Regulasi mediasi dalam undang-undang di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengaturnya, (more…)
Category: Opini
-
Konsep Mathla’ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah
Dalam kehidupan, umat manusia membutuhkan kalender atau penanggalan sebagai pengatur dan pembagi waktu. Terutama bagi umat Islam, kebutuhan akan suatu kalender merupakan hal yang sangat urgen karena banyak ibadah umat Islam yang terkait dengan waktu. Seperti ibadah haji, ibadah puasa Ramadhan dan sebagainya.
Allah SWT. telah menjelaskan kepada manusia, bahwa Dialah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam semesta dan seisinya dengan sempurna dan teratur, termasuk tentang waktu. Manusia dengan akal karunia-Nya telah mampu mengetahui waktu, jam, hari, bulan dan tahun kemudian menyusunnya menjadi organisasi satuan-satuan waktu yang disebut penanggalan atau kalender. Sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Al-Isra’ ayat 12 : “Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhan-mu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Al-Isra’ : 12)
Dalam ayat ini dapat difahami bahwa Allah menjadikan malam dan siang sebagai dua tanda kekuasaan-Nya, ayat ini dimaksudkan agar manusia dapat mencari karunia Tuhannya, dan agar manusia dapat menggali pikirannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) yang saat ini lebih terkenal dengan sebutan kalender.
Acuan yang digunakan untuk menyusun penanggalan adalah siklus pergerakan dua benda langit yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Dalam penggunaannya dari acuan dua benda langit tersebut terdapat tiga jenis kalender yang dipakai umat manusia. Pertama, solar system (kalender syamsiyah), yaitu sistem penanggalan berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari. Kedua, lunar system (kalender qamariyah), yaitu sistem penanggalan berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Ketiga, kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari.
Kalender Hijriyah inilah yang kemudian dibutuhkan dan dipakai umat Islam untuk menentukan hari-hari besar Islam, dan acuan dalam melaksanakan kewajiban ibadahnya.
Sistem kalender Hijriyah atau kalender Islam atau kalender Qamariyah ini didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi, sebagaimana firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 189 : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah). Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 189 di atas menjelaskan tentang hikmah bahwa bulan sabit (hilal) merupakan tanda bagi manusia untuk mengetahui waktu penunaian setiap urusan keduniaan, seperti waktu tanam dan waktu dagang, sekaligus kompas dalam hal ibadah yaitu untuk mengetahui waktu-waktu pelaksanaannya seperti ibadah puasa dan haji.
Salah satu problema yang krusial dan belum ditemukan solusinya yang tepat dan bisa diterima masyarakat adalah mengenai perbedaan di dalam menentukan awal bulan Hijriyah, khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yang berdampak pada adanya perbedaan di dalam penentuan hari raya Idul Fitri, penentuan hari raya Idul Adha. Permasalahan ini sering menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Masalah penentuan awal bulan Hijriah khususnya bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah seringkali terdapat perbedaan dalam penentuannya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat dalam memahami dan mengaplikasikan hadits Rasul yang berbunyi:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ. (رَوَاهُ البُخَارِي)
Artinya: Dari abu hurairah r.a. berkata: nabi saw. Bersabda: berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan), maka sempernukanlah hitungan bulan Sya’ban itu menjadi tiga puluh hari. (H.R. Bukhari).
Berdasarkan hadits di atas inilah yang menjadi pangkal persoalan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Di mana berpangkal pada zhahir hadis tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya sehingga melahirkan perbedaan pendapat.
Perbedaan Penetapan Awal Bulan Hijriyah
Perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriyah selain disebabkan adanya perbedaan metode dan adanya sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan Approach. Perbedaan approach ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada Approach Global, dan ada yang berpedoman pada Approach Parsial.
Approach Global atau ketunggalan mathla’ merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa tanggal satu bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh penduduk bumi, sebagai salah satu lambang kesatuan ummat Islam sedunia. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal, di negeri manapun dia melihatnya, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk seluruh penduduk bumi. Sedangkan Approach Parsial merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa kesatuan ummat islam bukan hanya berdasarkan sama di dalam menetapkan awal bulan hijriyah untuk seluruh permukaan planet bumi, melainkan bisa diwujudkan dengan adanya rasa saling menghargai di antara ummat Islam.
Berdasarkan kedua pendekatan diatas, pendukung approach parsial berpendapat bahwa tanggal awal bulan Hijriyah tidak harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh permukaan planet bumi. Berdasarkan pertimbangan ini muncullah pikiran ketunggalan mathla’. Maka, apabila hilal berhasil di rukyat pada suatu kota pada saat matahari terbenam maka sejak matahari terbenam hari itu sudah dinyatakan tanggal satu bulan baru bagi penduduk kota tersebut dan wilayah sebelah baratnya, tetapi tidak untuk disebelah timurnya.
Persoalan Approach (mathla’) dalam penetapan awal bulan Hijriyah juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan Imam Mazhab seperti Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i.
Jumhur berpendapat bahwa perbedaan tempat terbit bulan (ikhtilafu al-mathali) itu tidak menjadi soal atau tidak berlaku. Artinya, bila ada satu orang di sebuah negeri melihat hilal, maka semua negeri Islam di dunia ini wajib berpuasa dengan dasar rukyat orang itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan”. Ini adalah pernyataan yang bersifat umum untuk seluruh umat Islam. Siapa saja di antara mereka, dimana saja tempatnya, rukyatnya berlaku untuk mereka semua.
Imam Mazhab berbeda pendapat dalam persoalan tempat timbulnya bulan (mathla’). Pendapat Imam Hanafi, Maliki dan Hambali bahwasannya bila hilal telah nampak pada suatu daerah, maka seluruh penduduk berbagai daerah wajib berpuasa, tanpa membedakan antara jauh dan dekat, dan tidak perlu lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain sebagainya tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus. Karena adanya perbedaan mathla bulandiantara jarak yang jauh yang kemungkinan terjadi minimal 28 farsakh (kira-kira 5544 m=133,56).
Penulis : Meri Fitriyanti
-
Khutbah Jum’at “Manfaat Bersyukur dan Bersedekah”
MANFAAT BERSYUKUR DAN BERSEDEKAH
Oleh : Dr. KH. Khairuddin Tahmid, MH
الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امورالدنيا والدين. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون, وقال الله تعالى فى القرأن العظيم وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ َلأزِيْدَنَّكُمْ ولَئِنْ كَفَرْتُمْ إنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌKaum muslimin Hadirin Jamaah Jum’at Rahimakulullah
Pada kesempatan yang berbahagia ini, sembari bersila, duduk istiqamah di masjid al-Furqon ini, marilah kita semua melakukan muhasabah (mengintropeksi) diri kita masing-masing, dan sekaligus melakukan refleksi kritis terhadap rekam jejak kehidupan kita, sehingga diharapkan mampu menghadirkan kesadaran baru, berupa langkah kongkrit untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan melaksanakan seluruh perintah-perintahnya dan menjauhi segenap larangan-larangan Allah. Pada kesempatan kali ini, khatib ingin mengangkat tema tentang manfaat bersyukur dan bersedekah bagi kehidupan ummat.
Hadirin yang dimuliakan Allah, salah satu sifat dan perilaku terpuji yang mesti dimiliki oleh orang beriman adalah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepada kita, baik nikmat yang berupa fisik kebendaan (material) maupun nikmat yang bersifat mental spiritual (ruhaniah). Nikmat iman dan nikmat ukhuwah (persaudaraan atau persahabatan) adalah contoh-contoh kenikmatan ruhaniah. Sedangkan nikmat sehat, nikmat umur dan harta benda yang melimpah adalah beberapa di antara conroh-contoh nikmat material.
Sebagaimana telah sebut di pembukaan khutbah ini, Allah SWT berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ َلأزِيْدَنَّكُمْ ولَئِنْ كَفَرْتُمْ إنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya: Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumatkan, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS: Ibrahim: 7)
Berdasarkan substansi makna ayat di atas, maka marilah kita mensyukuri seluruh nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada kita, yang tidak dapat kita dihitung satu persatu jumlahnya.
Hadirin sidang Jum’at yang berbahagia
Sungguh pun pekerjaan bersyukur tampaknya hanyalah perbuatan yang terlihat mudah kita lakukan. Namun, sejatinya bersyukur juga memiliki konsekwensi yang tidak ringan, karena bersyukur adalah berbuat. Jika kita mensyukuri umur, maka kita mesti menggunakannya untuk beribadah kepada Allah. Dan jika kita mensyukuri harta, tentu kita akan menggunakannya untuk bersedekah. Konsekwensi logisnya adalah kita akan mendapatkan ujian tentang rasa syukur itu. Ketika kita menggunakan umur kita untuk beribadah kepada Allah, maka syetan dan hawa nafsu akan senantiasa menggoda dan membisikkan, bahwa banyak kesibukan dan pekerjaan yang mesti kita kerjakan. Bila kita ingin mendatangi masjid untuk sholat berjamah dan berdzikir, maka syetan-syetan akan memperberat langkah kita. Mereka ingin membelokkan langkah kita menuju tempat-tempat lain di mana kepentingan duniawi, seolah-olah demikian menjanjikan.
Sedangkan jika kita ingin bersedekah, tentu syetan dan hawa nafsu juga akan selalu menggoda kita, mereka membisikkan resiko-resiko yang tidak semestinya. Syetan-syetan akan mengatakan, untuk apa kita mesti beredekah, masih banyak kebutuhan pribadi dan keluarga yang belum terpenuhi. Padahal, menurut ajaran Islam, sesungguhnya mengeluarkan sedekah takkan menjadikan orang terperosok dalam kesengsaraan. Karena Allah pasti akan menggantinya dengan berlipat ganda. Rasulullah SAW pun telah bersabda :
مَا نَقَصَ مَالُ مِنْ صَدَقَةٍ
Artinya: Harta tidak berkurang karena bersedekah. (HR. Muslim)
Hadits ini merupakan jaminan Allah tentang keamanan dari kefakiran dan kemiskinan. Kita telah mendapatkan jaminan, takkan menjadi miskin karena bersedekah. Bahkan dalam hadits lain, Rasulullah menceritakan, “Tidaklah seorang hamba berada di pagi hari kecuali dua Malaikat turun kepadanya, yang salah satunya berkata: Ya Allah, berilah kepada orang yang berinfak, gantinya. Dan yang lain berkata: Ya Allah, berilah orang yang kikir, kerusakan. (HR. Bukhori dan Muslim).
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa dengan bershadaqah, harta seseorang akan semakin bertambah, baik keberkahannya maupun jumlah harta itu sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَمَا أنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْئٍ فَهُوَ يَخْلِفُهُ
“Dan segala yang kamu nafkahkan, tentu akan digantikan oleh Allah SWT.” (QS. Saba’: 39).
Hadirin sidang Jum’at yang berbahagia
Bersyukur atas nikmat adalah bukti bagi lurusnya keimanan dalam jiwa manusia. Dan orang yang bersyukur kepada Allah akan selalu merasakan muroqobatullah (Kebersamaan Allah) dalam mendayagunakan kenikmatan-Nya, dengan tidak disertai pengingkaran, perasaan menang dan unggul atas makhluk lainnya, dan penyalahgunaan nikmat. Syukur dapat mendorong jiwa untuk beramal sholeh dan mendayagunakan kenikmatan secara baik melalui hal-hal yang dapat menumbuhkembangkan kenikmatan tersebut. Kenikmatan yang disyukuri, adalah lebih berarti dibandingkan kenikmatan-kenikmatan yang disia-siakan. Syukur juga menjadikan orang lain ridho dan senang kepada kita. Syukur menentramkan jiwa kita. Karena rasa syukur yang telah kita ungkapkan dalam perbuatan, tentu menjadikan orang lain senang dan akan membantu dan menolong kita di waktu-waktu lainnya. Tentu saja, rasa syukur dapat memperbaiki dan melancarkan berbagai bentuk interaksi sosial dalam masyarakat, sehingga harta dan kekayaan yang dimiliki dapat terlindungi dengan aman.
Apabila mayoritas anggota suatu masyarakat adalah pribadi-pribadi yang bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah mereka dapatkan, tentu masyarakat akan aman tenteram, menjadi negeri yang baldatun toyyibatun wa robbun ghofuur, Amin ya robbal alamin.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II:
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ, وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ, اَلاَحْيآء مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ, وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ, وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ, وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ, وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ, وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا, وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا, وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا, وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ, وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا, وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا, وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا, وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا, وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا.
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
-
Aktualisasi Semangat Berqurban Untuk Kemaslahatan Bangsa & Negara
Oleh Dr. Abdul Syukur, M.Ag
Wakil Rais Syuriah PWNU Provinsi Lampung
Dosen FDIK IAIN Raden Intan Lampung
Khutbah Pertama
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر 9×.أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَه، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّجُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْكَرِهَ الْكَافِرُوْنَ وَلَوْكَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ وَلَوْكَرِهَ الْمُنَافِقُوْنَ.
إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ بالله مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِ الله فَلامُضِلَّ لَهُ،ومن يُضْلِلْ فَلا هَادِي له. أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لاشَرِيكَ لَهُ،وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى .
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَاوَبَثَّ مِنْهُمَارِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوااللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيماً .
Jama’ah Shalat ‘Idul Adha Rahimakumullah
Hari ini, kita berkumpul di tempat ini dengan keinginan/tujuan yang sama, yaitu menunjukkan rasa syukur dan taat kita kepada Allah SWT. Dialah yang telah melimpahkan banyak nikmat dan karunia yang tidak akan pernah sanggup kita menghitungnya kepada kita. Nikmat terbesar, yang senantiasa akan kita syukuri, adalah nikmat Iman dan Islam. Tanpa nikmat tersebut, kita tidak akan berada di jalan yang lurus (Dinul Islam), yaitu jalan keselamatan, jalan kebahagiaan, dan jalan kemenangan. Tanpa petunjuk dan bimbingan-Nya, kita tidak akan pernah tahu bagaimana menegakkan Syiar Islam pada Hari Raya Qurban, ‘Idul Adha 10 Dzulhijjah 1437 H, dan tanggal 11,12,13 Dzulhijjah (ayyam al-tasyrik) kita haram puasa, karena masih dalam suasana ‘Idul Adha, untuk ungkapan rasa syukur, keikhlasan, dan semangat ketauhidan dan kemanusiaan Hari Raya Qurban ini.
Shalawat dan salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah merisalahkan Syari’at Qurban ini kepada kita, sebagai wujud keteladanan atas Nabi Ibrahim AS, dan putranya bernama Nabi Ismail AS sehingga kita pun patut meneladaninya.
Jamaah ‘Idul Adha yang dirahmati Allah,
Dengan hati yang ikhlas dan pikiran yang jernih, mari kita ber-taqarrub (dekatkan diri) kepada Allah. Kita memohon ampunan dan keselamatan untuk diri kita, keluarga kita, dan Saudara-saudari kita yang tengah menunaikan ibadah haji tahun ini, 1437 H/2016 M. Semoga, mereka mendapatkan haji mabrur, amin. Semoga pula, mereka diberi kemudahan dan keselamatan selama di tanah suci dan kepulangan mereka, kembali ke tanah air untuk berjumpa dengan keluarga, dan beristiqamah dalam iman & ibadah.
Prosesi haji adalah kisah-ilahiah, tapak tilas Nabi Ibrahim dan keluarganya. Terutama peristiwa qurban atas putranya, Islamil. Dalam prosesi haji, ada Niat & Ihram, Tawaf di Ka’bah, Sa’i:Sofa-Marwah, Mabit di Mina/Muzdalifah, Wukuf di Arafah, Jamarat, Takhalul, dan berqurban bagi para jama’ah haji di tanah suci. Bagi kita, umat Islam di tanah air, juga menghimpun nilai wukuf Arafah dengan puasa Arafah, dirikan shalat ‘Idul Adha, dan berqurban.
Allahu Akbar 3X
Jama’ah yang berbahagia,
Perintah Ber-qurban Sejak Nabi Adam AS
Para jamaah haji yang berada di tanah suci Mekah khusyuk dalam manasik/prosesi haji mereka. Kita pun di tempat ini khusyuk dalam shalat ‘Idul Adha, menyimak isi khutbah ‘Id yang masih satu rangkaian dengan shalat ‘Idul Adha. Lalu, diteruskan nanti dengan pemotongan hewan qurban. (yaum al-nahr).
Istilah qurban sudah dikenal sejak masa Nabi Adam. Nabi Adam telah diperintahkan untuk mengaktualisasikan qurban kepada Allah. Dua putra Nabi Adam yaitu Habil memenuhi nilai ibadah qurban, dan qurbannya diterima oleh Allah. Sementara Qabil melaksanakan qurban, qurbannya tidak memenuhi nilai ibadah, tidak sesuai dengan perintah Allah, sehingga qurbannya tidak diterima dan ditolak oleh Allah. Dan inilah pertama kali peristiwa anak manusia (anak Adam), yang kemudian melahirkan cemburu, iri dengki, dendam, dan membunuh antara keduanya. Qabil merasa cemburu sehingga membunuh saudaranya Habil. Hal ini ungkapkan dalam Q.S. Al-Maidah:27:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (المائدة:27)
Artinya:“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)
Qurban Qabil ditolak oleh Allah karena ia memilih barang yang jelek, tidak memenuhi syarat & rukun qurban. Habil diterima qurbannya karena sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, yakni memenuhi syarat & rukun qurban (barang pilihan yang baik).
Qurban Dipertegas oleh Nabi Ibrahim AS
Istilah dan aktualisasi nilai qurban tersebut, dipertegas oleh Nabi Ibrahim AS dan keluarganya kompak & gigih memenuhi perintah Allah, dan memenuhi nilai ibadah, sehingga qurbannya diterima oleh Allah SWT. Peristiwa qurban pertama kali, adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putra satu-satunya saat itu, dan putra yang paling disayangi oleh ibu dan bapaknya, yakni Ismail. Saat itu, Nabi Ibrahim diperintah Allah SWT melalui mimpinya untuk menyembelih Ismail. Dua manusia pilihan ini membuktikan dirinya sebagai hamba yang patuh dan sabar dalam menjalankan perintah Allah SWT, meskipun fitrah dan logika manusia tidak mudah menyesuaikan dengan perintah Allah SWT tersebut; dan inilah agama (millah) dalam konteks ta‘abbudi (sami’na wa atha’na), yang tidak dapat dirasionalkan dengan logika manusia (ta’aqquli) sampai pada Syari’at Nabi Muhammad.
Buah dari ketaatan dan kepsarahan (muslim) bagi sang hamba (Ibrahim dan Ismail) kepada Tuhannya (Allah SWT) selalu berujung dengan kebaikan dan pertolongan pun datang dari Allah kepada mereka. Pada saat leher Ismail telah siap untuk disembelih oleh Bapaknya, Ibrahim, seketika itu pula Allah menggantinya dengan seekor domba. Peristiwa qurban dua hamba yang bertaat dan berserah diri kepada Allah itulah, kemudian menjadilah momentum Sejarah-Ilahiyah, yakni Syari’at-Qurban yang berlaku bagi Syari’at-Islam Nabi Muhammad SAW dengan sembelihan berupa hewan (ternak) qurban: unta, sapi, kerbau, dan kambing atau domba. Dijelaskan dalam Q.S Al-Hajj:36:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ
(الحج:36 )
Artinya: “Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya)…” (QS.Al-Hajj:36).
Jamaah ‘Idul Adha yang Dimuliakan Allah,
- Qurban Mendatagkan Kepedulian Sosial
Qurban adalah ibadah ritual Islam (‘ibadah mahdhah), tetapi nilai-nilai qurban lebih diorientasikan pada dimensi sosial. Dengan qurban, seorang muslim merasakan dirinya dekat dengan Allah SWT, juga dekat dengan sesamanya dalam kehidupan sosial. Qurban mendatangkan kepedulian sosial yaitu kepekaan sosial, mengikis egoistis, hidup harmoni, rukun, toleran sesama kita.
Ketika orang yang berqurban menyembelih hewan qurban, ia berniat dan berucap: “Sesungguhnya shalatku ibadahku (qurbanku), hidup dan matiku untuk Allah.” Setelah hewan qurbannya disembelih, dagingnya dibagikan kepada orang yang kurang mampu sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian mereka terhadap sesama. Ini menujukkan orang yang berkurban harus niat karena Allah, dan hewan yang dikurban pun harus diikhlaskan dan direlakan untuk kepedulian sosial, meraup berpahala, mengais rahmat dan berkah Allah pada Hari Raya Qurban kali ini.
Jama’ah yang diberkahi Allah
- Gairah Memelihara Qurban
Sungguhpun ibadah qurban ini hanya dilakukan sekali dalam setahun; namun, mari momentum ini kita jadikan semangat dan kebiasaan untuk memelihara quban, agar kita bisa berqurban setiap tahun. Semoga Allah memberkahi dan mengabulkan kita, amin. Gairah berkurban merupakan cerminan sikap dan perilaku kita, yang ingin selalu dekat dengan Allah, harus dipelihara dengan mendayagunakan seluruh potensi diri dalam menunaikan ibadah-‘ibadah mahdhah ini secara sempurna. Dan ibadah ini dibuktikan dengan kepedulian kita dengan sesama umat manusia sehingga senantiasa terpelihara persatuan dan kesatuan umat, bangsa, dan Negara dalam ampunan dan ridha Allah SWT.
Demikian pula, keinginan kita selalu dekat dengan Allah dan sesama kita, agar terus dijaga dan dipelihara dengan senantiasa memaksimalkan ibadah-ibadah ritual dan sosial (mu’amalah) dalam bentuk interaksi sosial Islami yakni setiap aktivitaskita, pekerjaan, kreativitas, dan produktivitas kita dengan diawali niat dan dibarengi ucap basmallah (segala apa yang kita kerjakan atas nama Allah).
Jika seorang muslim mampu menjaga hubungan baiknya, dengan Allah dan sesama manusia, maka Allah akan menjauhkan kehinaan, keburukan, kejahatan, tindakan kekerasan, radikalistik dan teroristik dalam kehidupan ini. Sebab agama Islam, sesuai dengan namanya: Islam, adalah agama cinta damai, agama pembawa rahmat, agama pembawa kebaikan, agama peduli umat dan perekat ukhuwah, agama penjamin selamat dunia dan akherat.
Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu
Hadirin dan Hadirat rahimakumullah
- Niat Ikhlas dan Rela Ber-qurban
Ibadah qurban mendidik setiap muslim untuk memaknai bahwa ibadah yang dilakukan kepada Allah haruslah disertai dengan sikap rela berkorban (tadhhiyyah/تضحية). Dengan sikap tersebut, seorang muslim tentu akan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan yang dimilikinya dalam merealisasikan ibadah-ibadahnya secara konsisten (istiqamah). Tidak seperti ibadahnya orang-orang munafik, adalah ibadahnya hipokrit (mudzabdzab) yaitu rasa malas dan lesu, suka ria, dan tak pernah dekat dan zikir kepada Allah kecuali hanya sedikit, itupun karena ria. Kalau pun mereka semangat, itu hanyalah untuk pamer (riya) di hadapan manusia. Mereka tidak memiliki punya jiwa pengorbanan (ruhul tadhhiyyah), tetapi mereka bermental hipokrit. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim, berkewajiban untuk menjaga semangat juang dan qurban, istiqamah & ikhlas dalam iman dan amal ibadah.
Jama’ah ‘Idul Adha yang dirahmati Allah,
Ibadah qurban dalam Islam jangan hanya dipahami sebagai ibadah dalam konteks ritualitasnya saja, hanya menyoroti dari sisi ‘ubudiyahnya saja. Akan tetapi, ibadah qurban juga menyemaikan nilai-nilai yang bermanfaat untuk menggapai pahala, berkah, rasa kedekatan kita kepada Allah SWT, juga kedekatan kita dengan sesamanya. Untuk itu, mari kita berusaha mengaktualisasikan nilai-nilai qurban untuk mematri kepedulian sosial dalam rangka kemaslahatan umat, bangsa, dan Negara Indonesia yang kita cintai. Aktualisasikan nilia-nilai qurban dalam kehidupan kita sehari-hari. Langkah-langkah aktualisasi nilai-nilai qurban, antara lain:
Pertama, Mensyukuri Nikmat (Rezeki) Allah
Allah SWT Maha Kaya dan senantiasa memberikan nikmat yang tak terhitung kepada kita. Tersedianya sumber makanan dan minuman bagi kelangsungan kehidupan kita.
Al-Qur’an menggambarkan bahwa Allah SWT dengan sifat Rububiyah-Nya memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya. Dia menurunkan hujan dari langit, menumbuhkan tumbuhan dengan air hujan tersebut, menyediakan makanan bagi berbagai jenis binatang dan binatang ternak. Dan dari semua itu, manusia memenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Maka sepatutnyalah manusia menunjukkan rasa syukur kepada-Nya dengan melaksanakan ibadah qurban, yang disyariatkan setahun sekali. Firman Allah:
Artinya: “(1) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. (2) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (3) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus.” (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)
Yang dimaksud berkorban (inhar) dalam ayat 2 ini, ialah menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allah. Maksud terputus (abtar) di sini, ialah terputus dari rahmat Allah.
Firman Allah yang lain menjelaskan Q.S Al-Hajj:28:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (الحج: 28)
Artinya:“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)
Kedua, Memelihara Kebersamaan Sesama Hamba Allah
Sebagai hamba Allah, manusia hanya beribadah kepada Allah dengan jalan menjaga hablum minallah dan hablum minan-nas dalam mewujudkan kehidupan bersama (masyarakat) yang baik (khairu ummah). Masyarakat yang baik yakni: kuat iman, kuat mental dan sehat untuk berinteraksi sosial, keberanian dan pengurbanan sosial untuk mempertahankan kebaikan & mencegah dari segala bentuk kejahatan dan keburukan individu dan sosial.
Islam memerintahkan, agar setiap muslim membina sebuah masyarakat yang baik, yang didasari atas pengabdian kepada Allah. Masyarakat yang baik dibangun di atas prinsip tasamuh (persamaan derajat, kewajiban dan hak) tawazun (keadilan), ta’awun (tolong-menolong), dan tawasut (moderat). Ini semua dibutuhkan untuk mewujudkan kebaikan dan ketakwaan. Bukan masyarakat yang fasakh dan fasiq/munafiq, ialah masyarakat bermental hipokrit, bersekongkol dalam kejahatan dan dosa, berprofokasi dalam konflik dan permusuhan.
Untuk itu, dalam merealisasikan masyarakat utama tersebut, semua pihak yang ada di dalamnya, umat, aparat, dan ustad harus bisa merasakan kebersamaan dan persaudaraan yang tulus & ikhlas.
Hal yang dapat menyemaikan sikap tenggang rasa, tepo seliro, dan saling mencintai antara sesama kita, bukan membuat jurang pemisah (distingsi) antara kita dengan mereka (minna wa minhum, insider dan outsider) sehingga dapat melahirkan ingorup love (al-wala, solidaritas kelompoknya saja, eksklusif) dan outgroup hate (al-barra, kelompok kebencian kepada di luar mereka) adalah berbahaya dan mengancam peratuan bangsa, ukhuwah ummatiyah, stabilitas sosial dan negara kita. Untuk itu, masyarakat yang baik, masyarakat utama (fadhilat al-ummah) adalah masyarakat terbuka dan membuka dirinya (open society) kepada kelompok lain sebagai sesame umat manusia untuk saling dekat dan berinteraksi sosial lebih dekat (social engage) yang didasari dengan dekatnya masyarakat kepada Allah (engage of God Allah) melalui komunikasi vertika (vertical communication of transcendental) yakni hablum minallah dalam bentuk ibadah dan ibadah lainnya, termasuk ibadah qurba bagi yang berqurban dan penerimanya.
Jama’ah Rahimakumullah
Bagi orang yang berqurban, kesempatan berqurban merupakan kelapang rezkinya dari yang sempit. Imam Ali R.A menceritakan bahwa: Beliau diperintahkan Rasulullah SAW untuk membagikan hewan qurbannya dan dilarang mengambil upah darinya. Para ulama berfatwa: hewan qurban sebaiknya dimakan sepertiganya oleh yang berqurban dengan keluarganya, dibagikan sepertiganya, dan disimpan sepertiganya dan boleh ke luar negeri. Maksudnya, daging boleh disimpan supaya tidak israf dan mubazir, kecuali harus habis dibagikan karena masyarakat yang berhak menerimanya membutuhkan/belum kebagian daging qurban. Kelebihan daging/simpanan daging itu boleh juga dibagikannya ke luar lingkungan, desa, daerah, bahkan luar negeri.
Dengan ibadah qurban tersebut, kita akan menemukan suasana masyarakat yang saling mengasihi dan menyayangi, saling menolong dan mempedulikan keadaan strata sosial masing-masing yang dijumpai di tengah masyarakat: antara si kaya dan si miskin.
Ketiga, Menumbuhkan Semangat Nasionalisme
Semangat qurban di dalamnya ada semangat mewujudkan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” atau masyarakat yang sejahtera. Do’a Nabi Ibrahin diabadikan dalam Q.S. 2:126:
Artinya: “ Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 126).
Dalam kaitan syukur nikmat, mari kita senantiasa bersyukur kepada Allah, dan jangan mengingkari nikmat Allah agar kita terjauhkan dari kufur nikmat. Kufur nikmat sama dengan kufur-kufur lain: kafir bi-wujudilllah, kafir bi-wahdaniyah Allah, & kafir bi-risalah Muhammad; semua kufur itu mendapat azab neraka.
Begitu pula diterangkan dalam Q.S. Ibrahim:35
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”
Setelah kita menyimak ayat-ayat di atas,, kita pahami bahwa semangat qurban pada hari raya yang penuh kerelaan dan kepasrahan lebih dekat (engage) kita kepada Allah ada dalam suasana ‘Idul Adha. Mari semangat qurban kita untuk bersemangat nasionalisme atas dasar Iman dan Taqwa kepada Allah, semangat nasionalisme menuju kebaikan (mahslahat) dalam kehidupan umat, bangsa, dan negara. Semangat nasionalisme dari makna qurban ‘Idul Adha untuk menjaga persatuan bangsa dan kesatuan negara, mempertahankan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhineka-tunggal-Ikaan sebagai empat pilar nasionalisme Indonesia.
Mari kita cegah bersama dari kejahatan dan kekerasan yang merongrong semangat nasionalisme, dari kelompok radikal dan teroris (radikalis-teroris) yang memaksakan akan mendirikan negara di atas Negara RI (disebut bughat). Bughat itu haram dalam Islam (fiqih siyasah) yaitu teori politik/hukum tata negara Islam. Kelompok tersebut memaksakan ideologinya untuk menggantikan Pancasilan, mengubah bentuk NKRI, mengingkari UUD 1945 dan demokrasi kita, serta memecah belah bhineka-tunggal-ika NKRI.
NKRI adalah nation-state (al-daulah al-syu’ubiyah) yang dijiwai semangat relijius (Islam) karena nasionalisme Islami juga digambarkan dalam Al-Qur’an dalam bentuk negara (balad) yaitu baladan aminan (negeri/negara yang aman), baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri/negara yang baik dan mendapat ampunan Allah); dan konsep nasionalisme Islami ini ada di dalam NKRI.
Untuk itu, kita sebagai umat Islam, jadilah pengawal NKRI, duta-duta nasionalisme RI, yang dijiwai dengan semangat iman dan taqwa, semangat ber-qurban untuk mendekatkan diri kepada Allah dan dengan sesama kita untuk mewujudukan Negara Nasional-Bangsa (Nation-State) Indonesia menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Semangat Negara Bangsa ini yang dijiwai nilai relijius, sebagaimana tercermin dalam Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mewujudkan umat yang utama, yakni masyarakat dan bangsa yang sejahtera dunia dan akhirat.
Saudara-Saudariku Seagama dan Setanah Air
Ibadah qurban adalah sarana mendidik setiap muslim untuk menjadi orang yang ikhas (mukhlis), menjadi orang yang berjuang dan ber-qurba hanya karena Allah, semata-mata mengharap ridho Allah SWT untuk berperan aktif mewujudkan Masyarakat utama (fadhilat al-Ummah), dan terwujudnya Negara utama (fadhilat al-Madinah) yaitu masyarakat yang beradab, maju, makmur, adil, bersatu, dan bersaudara dengan sesama umat manusia di dunia.
Oleh karena itu, bagi yang berqurban, niatkan ikhlas karena Allah, dan relakan hewan qurbannya demi mashlahat. Firman Allah
Artinya:“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikian Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Hajj:37).
Saudara-Saudariku yang Dimuliakan Allah
Keempat, Melestarikan Kebaikan (kemaslahatan) Umat
Ibadah qurban juga untuk mendidik jiwa dan perbuatan setiap pribadi muslim untuk memelihara kewajiban dan tanggung jawab guna menjadikan kepribadian/akhlak mulia. Umat Islam secara perorangan dan kolektif agar melestarikan kemashlahatan umat dan menjaga persaudaraan yakni ukhuwah Islamiyah, ukhuwan basyariyah, dan ukhuwah wathaniyah. Allah berfirman:
Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat:10)
Ayat 10 itu mengisyaratkan, agar kita membangun dan memelihara persaudaraan (ukhuwah/solidarity) berbasis iman, dan iman yang menabur saling kasih sayang (tarahum) dari buah ikhlas. Maka tanamkanlah qurban atas dasar ikhlas (karena Allah).
Begitu pula dijelaskan dalam Q.S. Al-Hajj:77:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Q.S. Al-Hajj:77).
Digambarkan pula, orang yang menang adalah orang yang bersih jiwanya dan tidak mengotori jiwanya dengan dusta dan kejahatan/dosa. Orang yang berbuat dosa dan jahat, dusta dan lainnya karena hanya memenuhi nafsu, mengikuti egoisnya, tanpa peduli dengan orang lain dan lingkungannya. Allah berfirman:
Artinya: “9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. 10. dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (11) (kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas.” (Q.S. As-Syams:9-11). Firman Allah lainnya:
Artinya:“14. Sesungguhnya beruntung orang yang membersihkan diri (dengan beriman); 15. Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (Q.S. Al-A‘la:14-15).
Sebagai penutup khutbah ini, perlu khatib tegaskan bahwa berqurban memerlukan keikhlasan hati, kesucian jiwa, dan semangat peduli sosial untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan saling dekat sesama kita dalam bingkai persatuan & persaudaraan.
Untuk itu, bagi yang berqurban, hindarilah ria, pamer, rakus mengambil daging kurban, dusta, dan hal-hal yang mendatangkan dosa. Begitu pula, bagi yang memotong (panitia qurban) dan menerima hewan kurban juga didasari rasa ikhlas, tidak rakus, tidak pula dusta sehingga akan timbul kemashlahatan sesama kita.
Akhirnya, kita semua dituntut semangat, ikhlas, dan kesucian diri untuk memperoleh kemenangan pada hari ini untuk mendapatkan ridha Allah dalam berqurban dan berjuang dengan dijiwai semangat agama, dirikan shalat, ingat Allah, dan berkorban untuk memperoleh rahmat, berkah, dan manfaat yang membawa mashlahat bagi kehidupan agama, bangsa, dan negara agar kita menikmati kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S Al-Kautsar tersebut di atas, yaitu “Maka Shalatlah dan berkurbanlah”. dan Q.S. Al-A‘la yaitu “Dan ingat nama Tuhannya, maka dia shalatlah.”
Dua kata kunci inilah yakni inta nama Allah (iman) dan shalat serta berkubanlah (taqwa) yang diperjuangkan Nabi Ibrahim selama hidupnya sehingga ia dan keluarganya menjadi keluarga pilihan Allah di atas alam semesta, dan Nabi Ibrahin menjadi kekasih Allah, menjadi penyelamat ketauhidan (hati) manusia, dan menjadikan keluarga (anak-anak dan siteri-isterinya) sebagai keluarga muslim, keturunan yang saleh, serta putra-putranya menjadi menjadi rasul-rasul Allah yakni Nabi Ismail & Nabi Ishaq.
Allahu Akbar Wa Lillahi al-hamdu
Jama’ah shalat ‘Idul Fitri Rahimakumullah,
Demikian, isi khutbah tentang qurban dan kisah keteladanan Nabi Ibrahim dalam mengaktualisasikan qurban guna menggapai kebaikan (mashlahat). Kebaikan yang dicontohkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah kebaikan yang harus terus dilestarikan oleh kita. Sikap taat, tulus-ikhlas, semangat, dan peduli sosial, adalah nilai-nilai qurban untuk menaati perintah Allah, untuk kebaikan agama, bangsa (umat), dan negara tercinta Indonesia. Semoga kita dapat mewujudkannya, Amin ya Rabbal’Alamin. بارك الله لي و لكم***
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَلاَهُ وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. أَمَّا بَعْدُ: أَيــُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، فَأَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ عَلَى النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ، إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَعَلَى النَّبِيِّ يَآأيــُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِيْهِمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْحَمْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَآأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى . اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاً طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.اللَّهُمَّ أَعِزَّالإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْشَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ . اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ،وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ. اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَافي ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَاالْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ. عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. ولذكر الله أكبر.
ألله أكبر- ألله أكبر- ألله أكبر- ولله الحمد. والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
-
Politik Santun Cermin Budaya Islam
POLITIK tak lagi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Mulai dari tempat yang istimewa sampai warung kopi, obrolan politik selalu menempati rating tertinggi dibanding topik lain. Bahkan, seringkali menghiasi perbincangan jemaah di teras masjid usai salat tarawih bulan puasa lalu. Apalagi jika telah memasuki topik pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), obrolan makin bersemangat, meskipun daerah yang bakal menggelar pesta demokrasi itu letaknya sangat jauh dari tempat mereka.
Politik memang fenomena. Perbincangan bertajuk ini memang selalu menggelitik hasrat orang untuk ikut ikutan ngomong politik, tak peduli apakah ia politisi, ulama atau strata sosial lainnya. Apalagi, Islam bukan agama yang cuma mengatur tentang salat, puasa, haji, dan zakat. Islam juga hadir untuk menata kehidupan manusia. Bahkan, agama samawi ini menganjurkan untuk berpolitik secara bersih, bebas dari tekanan dan suap. Di sinilah peran ulama untuk membimbing para pelaku politik agar bisa menumpahkan hasrat politiknya secara santun, sesuai prinsip Islam di dalam al-Quran dan al-hadist.
Syekh Abdul Qadir Jailani membagi tiga syarat ulama yang bisa membimbing para pelaku politik supaya berjalan lurus. Yaitu ulama yang ilmunya sangat dalam (ilmu al-ulama), memilki kemampuan berpolitik yang dimiliki para raja (siyasah al-muluk) dan ulama yang memiliki kebijaksaan tinggi (hikmah al-hukama).
Ketiga syarat itu akan membuat peran ulama menjadi indah dalam spectrum politik kenegaraan. Ia akan menjadi tempat para petinggi pemerintahan, para petinggi partai politik dan pelaku politik lainnya untuk meminta nasihat, pandangan dan langkah yang akan diambil untuk kemaslahatan umat.
Salah satu contoh pada 10 November 1945, sebelum Bung Tomo menggelorakan semangat para pemuda untuk melawan penjajah di Surabaya yang kemudian tanggal tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan Bung Tomo meminta nasihat terlebih dahulu tentang apa yang mesti ia lakukan kepada K.H Hasyim Ashari, ulama kondang yang namanya tetap harum sampai kini. Sejarah membuktikan bahwa peran ulama amat penting dalam perjalanan bangsa dan negara ini.
Ulama adalah orang yang berilmu dan seperti halnya para ilmuwan, keilmuwan para ulama berbeda. Ada ulama yang ahli hadist, ada pula ahli fikih dan ulama yang ahli dalam bidang politik kenegaraan. Mereka disebut ulama, karena ketakutannya kepada Allah swt–zat yang maha berkuasa atas segala sesuatu–sangat tinggi atau sering kita sebut khosyatullah.
Para ulama akan selalu bersikap santun ketika menegur, menasehati atau saat tidak sejalan dengan alam pikirannya dalam melihat situasi politik yang tidak menentu. Kesantunan ini terwujud dengan cara yang elegant, misalnya, seorang ulama akan menemui para pelaku politik secara langsung dan mengingatkan supaya tidak bertindak menyakiti hati rakyat. Ulama tidak akan menegur dan mempermalukan pelaku politik di depan rakyat.
Islam dan politik
Sebenarnya, banyak pemeluk agama Islam tidak setuju dengan politik dalam Islam, karena anggapan ranah ini penuh dengan kebusukan, kebencian dan kemunafikan.
Pendek kata politik adalah semua yang bertalian dengan kemungkaran. Anggapan itu tidak selamanya benar kalau kita melihat esensi politik yang berarti mengatur, memerintah dan mengelola kepentingan publik dengan baik. Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan as-siyasah.
Memang secara tekstual istilah politik tidak pernah ada dalam Islam, tetapi esensi dari politik tidak terbantahkan dalam Islam, yaitu memimpin dan dipimpin. Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a mengatakan dahulu bani Israil dipimpin para nabi, Artinya, masyarakat harus memiliki pemimpin yang memimpin mereka ke jalan ilahiah dan mencegah dari perbuatan munkar yang dilakukan keduanya.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya.”. (QS. an-Nisaa’: 59).
Dalam tafsir bebas menaati pemimpin tentu maknanya ada orang yang dipimpin.Dalam skala kecil memilih pemimpin bisa dengan bermusyawarah, seperti memilih ketua RT dan setingkatnya. Tetapi, ketika memilih pemimpin telah memasuki ranah yang lebih luas diperlukan pemungutan suara, yang kita kenal dengan sebutan pemilihan umum. Dengan demikian semakin tidak terbantahkan jika berpolitik bukanlah barang busuk yang mesti dihindarkan.
Rasulullah Saw bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Dari terjemahan bebas hadist ini, politik jika dilandasi keinginan untuk mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik sesuai ajaran Islam, maka berpolitik bukanlah barang busuk yang mesti dijauhkan.
Kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat vital dan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Islam mewajibkan umatnya untuk memilih pemimpin. sebab pimpinan yang akan mengatur, menertibkan dan menjalankan hukum secara baik dan benar dalam masyarakatnya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Apabila ada tiga orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan satu di antara mereka sebagai pemimpin”.
Dalam kaidah hukum Islam, terpilihnya pemimpin yang adil adalah tujuan, sedangkan pemilu adalah alat (wasilah). Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa, mengangkat seorang pemimpin adalah suatu keharusan. Pemilu merupakan satu cara yang ditempuh untuk memilih pemimpin.
Pemilu merupakan salah satu implementasi prinsip kedaulatan rakyat. Keterlibatan warga masyarakat dalam memutuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan mereka, termasuk siapa yang hendak dipilih/diangkat sebagai wakil pemimpin mereka.
Suksesi kepemimpinan dalam Islam, terutama pada sejarah awal perpolitikan berbeda-beda polanya. Rasulullah menjadi pemimpin melalui kesepakatan yang alami. Sedangkan sahabat Abu Bakar yang menggantikan Rasulullah sebagai khalifah pertama melalui dukungan beberapa orang tokoh, terutama dari kalangan Muhajirin dalam peristiwa Tsaqifah Bani Sai’dah; diawali oleh Umar bin Khattab, diikuti oleh Ustman bin Affan, kemudian yang lainnya.
Sementara penobatan Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua, menggantikan khalifah Abu Bakar terjadi melalui penunjukan oleh Abu Bakar sendiri, dan kemudian baru diikuti oleh masyarakat luas. Lain lagi dengan Khalifah Usman, beliau tampil menjadi khalifah ketiga melalui formatur (ahlal-halli wa-‘al aqdi) sebanyak enam orang yang ditunjuk sendiri oleh Umar bin Khattab. Kemudian Syaidina Ali menjadi Khalifah keempat-menggantikan khalifah Usman melalui dukungan sebagian sahabat, terutama dari veteran perang badar.
Selanjutnya, Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi Khalifah menggantikan Ali Bin Abi Tholib melalui perebutan kekuasaan. Sedangkan Yazid bin Muawiyah, suksesi kepemimpinan terjadi melalui pewarisan kepada anak atau kerabat seperti lazimnya sistem monarki, barangkali suatu suksesi kepempinan yang sejatinya tidak sejalan dengan idealitas Islam.
Pemilu adalah kreasi peradaban perpolitikan modern. Karena itu ia tidak dikenal dalam sejarah politik Islam. Namun, sebagain besar ulama berpendapat Pemilu tidak bertentangan dengan Islam. Sistem ini merupakan kreasi peradaban modern yang tidak bertentangan, atau bahkan sangat sejalan dengan semangat ajaran Islam, yakni tentang konsep as-Syura atau Musyawarah. Syura’ secara harfiah berarti ‘saling memberi saran’, atau rembukan (mutual consultation), yang memang tidak harus selalu dengan mulut (verbal) dan langsung (direct). Wallahu a’lam bis shawab.
Penulis Alhuda Muhajirin / Komisi Infokom MUI Lampung Editor Abdul Qodir Zaelani
-
Rekonstruksi Usia Perkawinan Perspektif Siyasah Syar’iyyah
Secara yuridis formal keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari proklamasi kemerdekaan (more…)
-
Selingkuh atau Poligami ?
Selingkuh dan poligami sering dianggap sebagai dua sisi dalam sekeping mata uang. Keduanya dihubungkan dengan pengkhianatan cinta terhadap pasangan. Perbedaannya, kalau selingkuh tidak dibenarkan atas nama apapun, baik secara hukum agama maupun sosial. Sedangkan poligami tidak dilarang oleh agama, tapi dengan syarat dan ketentuan yang diatur jelas oleh al-Qur’an. Namun poligami yang benar-benar mengikuti aturan agama tidak mudah dilakukan, ada banyak hal-hal yang mesti dipertimbangkan. (more…)