Selingkuh atau Poligami ?
Selingkuh dan poligami sering dianggap sebagai dua sisi dalam sekeping mata uang. Keduanya dihubungkan dengan pengkhianatan cinta terhadap pasangan. Perbedaannya, kalau selingkuh tidak dibenarkan atas nama apapun, baik secara hukum agama maupun sosial. Sedangkan poligami tidak dilarang oleh agama, tapi dengan syarat dan ketentuan yang diatur jelas oleh al-Qur’an. Namun poligami yang benar-benar mengikuti aturan agama tidak mudah dilakukan, ada banyak hal-hal yang mesti dipertimbangkan.
Rasulullah Saw bersabda: “Wanita manapun yang meminta suaminya menceraikannya (tanpa alasan yang dibenarkan menurut syariat), maka ia diharamkan mencium wanginya syurga.”(H.R. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam konteks ini fakta menunjukan bahwa kebanyakan perempuan saat ini lebih takut pada hukum sosial daripada hukum agama, misalnya lebih takut image-nya kurang bagus dimata sesama manusia daripada mendapat murka Allah Swt karena melanggar hukum agama. Mengenai poligami, Allah Swt berfirman: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja …….” (Q.S. An-Nisa: 3 ).
Kalau boleh dianalogikan, poligami ibarat pintu darurat (emergency exit) dalam suatu pesawat terbang, dimana tidak boleh dibuka kecuali atas izin pilot dalam situasi darurat. Diperkenankan duduk di kursi pintu darurat pun harus memenuhi syarat pula, yakni orang yang mampu dan mengetahui cara-cara membukanya, jadi bukan orang sembarangan. Begitupun poligami, dalam situasi tertentu, justru bisa menjadi pilihan solusi bagi sebuah perkawinan yang sedang bermasalah (misalnya sang istri sakit yang mengakibatkan tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai istri atau sang istri secara medis dinyatakan mandul).
Dengan demikian, poligami walaupun dalam ajaran agama Islam tidak dilarang, namun sebaiknya hanya boleh dilakukan oleh mereka yang benar-benar mentaati agama, memenuhi syarat dan mengetahui aturan dan hukum-hukumnya. Saat ini, kebanyakan masyarakat masih memandang poligami dari sisi biologis semata (pernikahan yang dihubungkan dengan percintaan yang romantis), sehingga terkesan negatif. Padahal nilai yang lebih mulia adalah sebagai pendakian spiritual yakni media untuk pengabdian kepada Allah Swt, apabila kesediaan istri yang dipoligami dengan ikhlas tanpa dendam/amarah dan memaafkan suaminya atas perlakuan yang kurang adil setiap saat.
Umat Muslim tidak boleh mencibir atau menganggap rendah atau lemah wanita yang dipoligami. Barangkali dengan dipoligami tersebut justru akan menghantarkannya menjadi wanita sholehah, yang kelak berhak menjadi penghuni syurga. Karena untuk meraih keimanan yang utuh tidak cukup hanya melalui ketaatan menjalani ibadah ritual, namun ada konsistensi antara memahami ajaran agama dengan menerapkannya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Keikhlasan dan kesediaan menerima ketentuan atau nasib yang sudah ditetapkan Allah Swt merupakan wujud nyata bentuk pengabdian seorang hamba kepada-Nya.
Di zaman modern atau globalisasi saat ini banyak perempuan (bahkan muslimat) yang masih berprinsip “lebih baik bercerai daripada dipoligami”. Mirisnya lagi banyak yang berprinsip “kalau cuma selingkuh-selingkuh atau main dengan wanita lain (asal tidak diperistri) sih aku masih maklumi, tapi kalau sampe poligami lebih baik cukup sampai disini”. Prinsip-prinsip atau statement seperti ini sangat memprihatinkan. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam. Wallahu a’lam bisshowab
Penulis | Dr.© Suryani M. Nur, S.Sos., M.M. |
Editor |
Abdul Qodir Zaeani |
Poligami, Bentuk Kekerasan Psikis Kepada Wanita
Bandar Lampung: Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung, Dr. Siti Mahmudah, M.Ag selaku pembicara terakhir dalam acara Seminar Peran Keluarga dan Negara dalam Mencegah Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna Fakultas Syari’ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung pada Kamis (2/6) menyatakan, “Salah satu tujuan diturunkannya syariat Islam pertama kalinya di kota Makkah adalah untuk membebaskan tindakaan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Prinsip hukum Islam sendiri menjunjung tinggi keadilan, kebebasan dan persamaan atau kesetaraan. Tujuannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta benda dan kehormatan manusia, sehingga jika di Indonesia yang 90% warga negaranya beragama Islam jika menerapkan hukum Islam dengan baik diharapkan kekerasan terhadap anak dan perempuan ini bisa dicegah”, tegas beliau dalam materinya yang berjudul Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dalam Perspektif Hukum Islam.
Menurutnya, kekerasan terhadap perempuan tentu bukan hanya dari segi fisik saja tetapi dari segi psikis juga, yang menjadi persoalan dalam masalah ini adalah poligami yang dilakukan oleh suami yang tentunya menyakiti hati perempuan, tetapi dalam Islam pun masalah poligami ini diperbolehkan inilah yang menyebabkan timbulnya pertanyaan apakah poligami termasuk dalam KDRT atau tidak, “Sebenarnya saya setuju jika ada pernyataan bahwa poligami itu merupakan salah satu bentuk KDRT karena meskipun tidak menyiksa fisik tetapi sangat menyiksa batin seorang istri. Memang dasar hukum para suami melakukan poligami ini ada dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 3 yang artinya …Maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat.Tetapi hadirin sekalian, kami kaum perempuan saat ini sudah cerdas, kami tahu penggalan ayat tersebut masih ada lanjutannya lagi yaitu tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil maka nikahilah seorang saja. Menurut saya, para suami yang melakukan poligami itu hanya memahami nash tersebut masih dalam tingkatan bayani atau tekstual, tetapi jika para suami memahami nash tersebut sampai tingkatan ta’lili maupun istishlahi, saya yakin para suami tidak akan melakukan poligami. Untuk mengetahui apa itu bayani, ta’lili maupun istishlahi mari kuliah dengan saya..”, papar Dr. Siti Mahmudah, M.Ag dengan candaan dan tawanya yang khas.
Acara Seminar Peran Keluarga dan Negara dalam Mencegah Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak ini diakhiri dengan Deklarasi Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang dipimpin oleh Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A selaku ketua pelaksana. (Nur Fatmawati Anwar)