Secara yuridis formal keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 mulainya pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan perundang-undangan yang diselenggarakan dan dijadikan pedoman bertindak dan berperilaku bangsa Indonesia tidak terlepas dari eksistensi Negara Indonesia itu sendiri, yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam (Ahmad Rofiq, 2013: 29).
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memberikan pedoman dan petunjuk kepada umatnya melalui mukjizat teragung sepanjang masa yaitu al-Qur’an yang kemudian dipertegas dengan Hadis. al-Qur’an menjadi sumber utama dalam pengambilan hukum Islam yang mengandung pedoman dasar tentang penataan kehidupan manusia secara normatif, baik dalam arti kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bermasyarakat.
Manusia dalam kehidupan pribadi adalah unsur terkecil dari suatu keluarga. Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat, yang menjadi penentu terciptanya masyarakat yang baik atau buruk. Jika pada tatanan keluarga sudah tercipta keharmanisan yang sangat matang, tidak mustahil jika akan terwujud tatanan masyarakat yang sejahtera. Begitu pula sebaliknya, keluarga yang rapuh akan mengantarkan suatu masyarakat yang buruk dan tidak teratur.
Pembentukan keluarga dalam Islam dimulai dari perkawinan, yang nantinya akan menjadi awal dari segala dialektika kehidupan rumah tangga. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat kuat (misaqan galizan) untuk terciptanya kehidupan rumah tangga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah Swt dalam al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Demikian pula yang termaktub dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP) menjelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Terminologi di atas sangatlah jelas mendefinisikan bahwa betapa sakralnya perkawinan dan tidak bersifat sementara melainkan kekal (selamanya). Perkawinan bukan terjadi antar sesama jenis, akan tetapi harus dengan yang berlainan jenis. Perkawinan juga bukan sekedar pelampiasan nafsu biologis semata, tetapi dimaksudkan guna beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dari sisi sosiologi, sebagaimana menjadi kenyataan dalam masyarakat Indonesia, perkawinan dapat juga dilihat sebagai fenomena penyatuan dua kelompok keluarga besar. Perkawinan menjadi sarana terbentuknya satu keluarga besar yang asalnya terdiri dari dua keluarga yang tidak saling mengenal, yakni satu kelompok (keluarga) suami (laki-laki). Dan satunya dari keluarga isteri (perempuan). Kedua keluarga yang semula menjadi berdiri sendiri tidak saling mengenal menjadi satu kesatuan utuh. Oleh karena itu, menurut sudut pandang sosiologi, perkawinan yang semula hanya perpaduan dua insan, dapat pula menjadi sarana pemersatu dan keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu (Khoirudddin Nasution, 2009: 240).
Selanjutnya, dengan perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial biologis, psikologis, maupun secara sosial. Seseorang dengan melangsungkan sebuah perkawinan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya. Dengan dilangsungkannya perkawinan maka status sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami-istri, dan sah secara hukum. Kemudian untuk menjaga kelangsungan dan tujuan perkawinan dibutuhkan kematangan emosi baik suami maupun isteri.
URGENSI PENGATURAN USIA PERKAWINAN
Maka calon suami isteri itu harus telah matang jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur (K.Wantjik Saaleh, 1978: 26). Dengan demikian, terdapat indikasi pengaturan usia perkawinan yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai demi terselenggaranya perkawinan yang ideal sesuai dengan tuntunan agama dan memenuhi tujuan sebagaimana yang telah tercantum di dalam undang-undang yang mengaturnya.
al-Qur’an dan hadis tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia ideal perkawinan. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah balig, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuan perkawinan. Sebagaimana al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 6 menyebutkan:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
Kata balaguan-nikah dalam ayat tersebut ditafsirkan oleh para ulama berbeda-beda. Perbedaan ini dikarenakan tinjauan atau sudut pandang masing-masing. Pertama, ditafsirkan sebagai kecerdasan (rusydan) karena tinjauannya dititikberatkan pada segi mental, yakni dilihat pada sikap dan tingkah laku seseorang. Kedua, ditafsirkan cukup umur dan bermimpi, fokus tinjauannya pada fisik lahiriah dan sekaligus telah mukallaf (Zaki Fuad Chalil, 1996: 70).
Ayat tersebut memberi peluang melakukan interpretasi. Kondisi ini menyebabkan para fukaha’ berbeda pendapat dalam menetapkan usia perkawinan. Sesuatu yang wajar terjadi, karena masalah pernikahan di samping wilayah ibadah (ubu>diyyah), juga merupakan urusan hubungan antar manusia (mu’a>malah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum, maka kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihadiyyah (Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, 1996: 67), artinya terbuka peluang bagi manusia untuk menggunakan nalar, menyesuaikannya dengan kondisi sosial dan kultur yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Terkait hal tersebut, maka pemerintah Republik Indonesia sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk mengatur negara dan masyarakat berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 (Cik Hasan Bisri, 1998: 26). Penentuan usia perkawinan di Indonesia diatur oleh UUP dalam Pasal 7 yang berbunyi:
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihah pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
Hal ini selanjutnya ditegaskan lagi dalam KHI Pasal 15 ayat (1) bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga maka perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 UUP.
Mengingat hukum yang mengatur tentang perkawinan tersebut adalah UUP dan KHI, maka ketentuan dalam peraturan perundang-undangan inilah yang harus ditaati oleh semua golongan masyarakat yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, UUP yang telah diberlakukan selama 41 tahun tersebut, kemudian disusul dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI, masih banyak pelanggaran pernikahan yang law enforcement-nya sangat lemah. Salah satu pelanggaran mengenai hal ini adalah kasus-kasus pernikahan usia anak. Sementara perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum. Sebagai suatu peristiwa hukum maka subjek hukum yang melakukan peristiwa tersebut harus memenuhi syarat. Salah satu syarat manusia sebagai subjek hukum untuk dapat dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah harus sudah dewasa. Jadi, kedewasaan menjadi ukuran boleh tidaknya seseorang melakukan tindakan hukum.
Pernikahan usia anak adalah hal dilematis. Kasus demikian jarang atau sangat sedikit muncul ke permukaan, tetapi sesungguhnya di penjuru daerah Indonesia banyak terjadi kasus pernikahan usia anak yang pada umumnya dikarenakan pengaruh hukum adat yang masih sangat kental. Pernikahan usia anak ini juga menimbulkan masalah hukum, diantaranya terjadi peningkatan angka perceraian akibat nikah di bawah umur sangat tinggi, khususnya di daerah Jawa. Pada tahun 2005 di Semarang tercatat sebanyak 104 kasus dan Surabaya 128 kasus (Jurisdiksi Mahkamah Syar’iyah Propinsi/Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia Tahun 2005).
Hal tersebut merupakan tantangan besar terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia, karena banyak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan tanpa dapat ditegakkan secara hukum. Ditambah lagi, dengan sistem regulasi yang semrawut dan terkesan over regulation, tumpang tindih, bahkan kontroversial. Tidak bisa ditemukan harmonisasi hukum antara satu peraturan dengan peraturan yang lain terkait dengan penentuan usia perkawinan.
Menanggapi hal tersebut persoalan pengaturan usia perkawinan didiskusikan kembali. Pada tahun 2004, Tim Kelompok Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) Kementerian Agama menggagas Counter Legal Draft (CLD-KHI) untuk merevisi usia perkawinan dalam UUP menjadi 19 tahun (laki-laki dan perempuan), dengan alasan perkembangan zaman dan kemaslahatan bagi masa depan calon mempelai (Nasaruddin Umar dkk, t.th: 133).
Kemudian, pada tahun 2010 Proglam legislasi Nasional (Prolegnas) mencoba mengeluarkan Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Pengadilan Agama (RUU-HMPA), menyebutkan bahwa batas minimum usia perkawinan perlu ditingkatkan menjadi 18 tahun untuk perempuan dan 21 tahun untuk laki-laki, dengan alasan bahwa tingkat kemampuan dalam pemenuhan nafkah keluarga berbanding lurus dengan tingkat kedewasaan yang umumnya ditandai dengan kematangan usia (maturity).
Di samping itu, usia perkawinan tidak mencerminkan keadilan dan persamaan gender, bahkan penentuan usia perkawinan yang sudah ada tidak selaras dengan semangat perlindungan anak dan perempuan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Lembaga Hukum untuk Perempuan (LBH APIK) Jakarta dalam usahanya untuk mengamandemen UUP dan KHI. Berkaitan dengan hak-hak reproduksi, pemerintah melalui Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), berupaya mensosialisasikan batas usia perkawinan ideal yakni 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki, dengan alasan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan keluarga berdasarkan kebutuhan jangka panjang (BKKBN, 2010: 19).
Selanjutnya, pada tahun 2015, beberapa kalangan aktifis perempuan dan institusi resmi Indonesia menggulirkan Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 ayat (1) dan (2) UUP terhadap UUD 1945. Namun, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pasal tersebut masih relevan, dengan alasan bahwa tidak ada jaminan yang dapat memastikan dengan ditingkatkannya batas usia perkawinan untuk perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisasi permasalahan sosial lainnya; dan karena di masa depan kemungkinan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal; lagi pula di sejumlah negara batas usia perkawinan untuk perempuan beraneka.
Memperhatikan realitas yang ada, pada hakikatnya putusan MK benar secara normatif yakni dapat menolak usulan perubahan materi pasal, namun salah secara kualitatif karena tidak progresif dan faktual, di samping itu MK tidak dapat membuat norma hukum baru sehingga tuntutan ke arah mengamandemen undang-undang perkawinan dapat terus bergulir, baik dengan pemberian sanksi yang tegas terhadap pelanggar ketentuan (khususnya usia kawin) maupun kepada rekonstruksi pengaturan usia perkawinan yang dapat diupayakan antara lain dengan jalan perubahan batas minimal usia perkawinan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) yang digulirkan melalui pembuat undang-undang atau mengupayakan disegerakannya penetapan RUU-HMPA.
Penulis | Indah Dian Sari (Mahasiswi Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung) |
Editor | Abdul Qodir Zaelani |
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.