Breaking NewsOpini

Konsep Mathla’ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah

meri-fitriyanti

Dalam kehidupan, umat manusia membutuhkan kalender atau penanggalan sebagai pengatur dan pembagi waktu. Terutama bagi umat Islam, kebutuhan akan suatu kalender merupakan hal yang sangat urgen karena banyak ibadah umat Islam yang terkait dengan waktu. Seperti ibadah haji, ibadah puasa Ramadhan dan sebagainya.

Allah SWT. telah menjelaskan kepada manusia, bahwa Dialah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam semesta dan seisinya dengan sempurna dan teratur, termasuk tentang waktu. Manusia dengan akal karunia-Nya telah mampu mengetahui waktu, jam, hari, bulan dan tahun kemudian menyusunnya menjadi organisasi satuan-satuan waktu yang disebut penanggalan atau kalender. Sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Al-Isra’ ayat 12 : “Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhan-mu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Al-Isra’ : 12)

Dalam ayat ini dapat difahami bahwa Allah menjadikan malam dan siang sebagai dua tanda kekuasaan-Nya, ayat ini dimaksudkan agar manusia dapat mencari karunia Tuhannya, dan agar manusia dapat menggali pikirannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) yang saat ini lebih terkenal dengan sebutan kalender.

Acuan yang digunakan untuk menyusun penanggalan adalah siklus pergerakan dua benda langit yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Dalam penggunaannya dari acuan dua benda langit tersebut terdapat tiga jenis kalender yang dipakai umat manusia. Pertama, solar system (kalender syamsiyah), yaitu sistem penanggalan berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari. Kedua, lunar system (kalender qamariyah), yaitu sistem penanggalan berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Ketiga, kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari.

Kalender Hijriyah inilah yang kemudian dibutuhkan dan dipakai umat Islam untuk menentukan hari-hari besar Islam, dan acuan dalam melaksanakan kewajiban ibadahnya.

Sistem kalender Hijriyah atau kalender Islam atau kalender Qamariyah ini didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi, sebagaimana firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 189 : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah). Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 189 di atas menjelaskan tentang hikmah bahwa bulan sabit (hilal) merupakan tanda bagi manusia untuk mengetahui waktu penunaian setiap urusan keduniaan, seperti waktu tanam dan waktu dagang, sekaligus kompas dalam hal ibadah yaitu untuk mengetahui waktu-waktu pelaksanaannya seperti ibadah puasa dan haji.

Salah satu problema yang krusial dan belum ditemukan solusinya yang tepat dan bisa diterima masyarakat adalah mengenai perbedaan di dalam menentukan awal bulan Hijriyah, khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yang berdampak pada adanya perbedaan di dalam penentuan hari raya Idul Fitri, penentuan hari raya Idul Adha. Permasalahan ini sering menimbulkan polemik yang berkepanjangan.

Masalah penentuan awal bulan Hijriah khususnya bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah seringkali terdapat perbedaan dalam penentuannya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat dalam memahami dan mengaplikasikan hadits Rasul yang berbunyi:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ. (رَوَاهُ البُخَارِي)

Artinya: Dari abu hurairah r.a. berkata: nabi saw. Bersabda: berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan), maka sempernukanlah hitungan bulan Sya’ban itu menjadi tiga puluh hari. (H.R. Bukhari).

Berdasarkan hadits di atas inilah yang menjadi pangkal persoalan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Di mana berpangkal pada zhahir hadis tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya sehingga melahirkan perbedaan pendapat.

Perbedaan Penetapan Awal Bulan Hijriyah

Perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriyah selain disebabkan adanya perbedaan metode dan adanya sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan Approach. Perbedaan approach ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada Approach Global, dan ada yang berpedoman pada Approach Parsial.

Approach Global atau ketunggalan mathla’ merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa tanggal satu bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh penduduk bumi, sebagai salah satu lambang kesatuan ummat Islam sedunia. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal, di negeri manapun dia melihatnya, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk seluruh penduduk bumi. Sedangkan Approach Parsial merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa kesatuan ummat islam bukan hanya berdasarkan sama di dalam menetapkan awal bulan hijriyah untuk seluruh permukaan planet bumi, melainkan bisa diwujudkan dengan adanya rasa saling menghargai di antara ummat Islam.

Berdasarkan kedua pendekatan diatas, pendukung approach parsial berpendapat bahwa tanggal awal bulan Hijriyah tidak harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh permukaan planet bumi. Berdasarkan pertimbangan ini muncullah pikiran ketunggalan mathla’. Maka, apabila hilal berhasil di rukyat pada suatu kota pada saat matahari terbenam maka sejak matahari terbenam hari itu sudah dinyatakan tanggal satu bulan baru bagi penduduk kota tersebut dan wilayah sebelah baratnya, tetapi tidak untuk disebelah timurnya.

Persoalan Approach (mathla’) dalam penetapan awal bulan Hijriyah juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan Imam Mazhab seperti Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i.

Jumhur berpendapat bahwa perbedaan tempat terbit bulan (ikhtilafu al-mathali) itu tidak menjadi soal atau tidak berlaku. Artinya, bila ada satu orang di sebuah negeri melihat hilal, maka semua negeri Islam di dunia ini wajib berpuasa dengan dasar rukyat orang itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan”. Ini adalah pernyataan yang bersifat umum untuk seluruh umat Islam. Siapa saja di antara mereka, dimana saja tempatnya, rukyatnya berlaku untuk mereka semua.

Imam Mazhab berbeda pendapat dalam persoalan tempat timbulnya bulan (mathla’). Pendapat Imam Hanafi, Maliki dan Hambali bahwasannya bila hilal telah nampak pada suatu daerah, maka seluruh penduduk berbagai daerah wajib berpuasa, tanpa membedakan antara jauh dan dekat, dan tidak perlu lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain sebagainya tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus. Karena adanya perbedaan mathla bulandiantara jarak yang jauh yang kemungkinan terjadi minimal 28 farsakh (kira-kira 5544 m=133,56).

Penulis : Meri Fitriyanti

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button