Mediasi Non Litigasi dalam Penyelesaian Permasalahan Keluarga

mediasi_02_by_tomassoejakto

Regulasi mediasi dalam undang-undang di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengaturnya, Mediasi di Indonesia telah ditetapkan dan dilaksanakan dalam prosses peradilan berdasarkan pasal 130 dan 131 HIR atau 154 dan 155 RBg bahwa Hakim Pengadilan Negeri wajib terlebih dahulu berusaha mendamaikan pihak yang bersengketa. Pasal tersebut telah menggambarkan bahwa mediasi dilakukan oleh hakim dan dilaksanakan dalam proses peradilan. Upaya ini dilakukan karena menyadari bahhwa proses penyelesaian perkara  melalui mediasi lebih dikedepankan supaya tercapai suatu kesepakatan yang kedua pihak sama-sama ikhlas menerima.

Sampai Saat ini mediasi tetap dipercaya sebagai upaya perdamaian yang lebih adil daripada putusan pengadilan yang bersifat menang kalah. Maka dari itu, upaya Mahkamah Agung dalam melaksanakan proses mediasi tertuang dalam PERMA No 2 Tahun 2003 kemudian diperbarui dengan PERMA No 1 Tahun 2008 dan direvisi kembali menjadi PERMA No 1 Tahun 2016, adanya pembaharuan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam tahap mediasi mengharapkan bahwasannya kasus yang menumpuk di pengadilan dapat dikurangi. Kelalaian hakim untuk melaksanakan mediasi berdasarkan ketentuan pasal 130 HIR dan pasal 154 HIR mengakibatkan putusnya pengadilan batal demi hukum Pasal 2 ayat (3). Hal ini menunjukan bahwa pentingnya suatu mediasi dilakukan dalam menghadapi suatu perkara khususnya permasalahan keluarga.

Selain beberapa peraturan tentang proses mediasi secara litigasi, penyelesaian perkara di luar pengadilan (nonlitigasi) juga diakui di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya: Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 3: tidak terdapat keharusan bagi masyarakat untuk menyelesaikan suatu sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan cara perdamaian dan arbitrase. Kemudian Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman  Pasal 58 yaitu: Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Selanjutnya, dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 6 ayat (1): sengketa atau beda pendapat  perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik  dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.  Pasal 36 ayat (1) PERMA RI No. 1 Tahun 2016 menyebutkan, para pihak dengan bantuan atau tanpa bantuan mediator bersertifikat berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.

Penggunaan mediasi dalam sistem hukum Indonesia selain didasarkan pada kerangka peraturan perundang-undanngan negara, mediasi juga dipraktikan dalam penyelesaian sengketa dalam lingkup masyarakat adat atau sengketa-sengketa dalam masyarakat pada umumnya seperti permasalahan keluarga, waris, batas tanah, perselisihan suami istri (syiqaq) dan masalah-masalah perdata lainnya.  Mediasi dapat dilakukan melalui proses peradilan seperti yang sudah dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan atau disebut juga dengan proses mediasi secara litigasi, dan dapat juga dilakukan dengan tidak melalui proses peradilan  atau dapat disebut dengan mediasi nonlitigasi misalnya dengan memilih Kiyai atau tokoh Adat di kampung-kampung sebagai mediatornya.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi nonlitigasi atau lebih dikenal dengan penyelesaian masalah secara kekeluargaan sudah dikenal sejak zaman dahulu, beberapa daerah di Indonesia sudah melaksanakannya. Oleh sebab itu alternatif mediasi bukanlah hukum yang diwariskan oleh bangsa Belanda, melainkan cerminan budaya musyawarah yang sudah dilaksanakan secara turun temurun yang sampai saat ini bangsa Indonesia masih menggunakannya seperti yang tertuang dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Awal perkembangan penggunaan mediasi, mediator bukanlah sebuah profesi atau pekerjaan, tetapi mediator dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam sebuah masyarakat dan mereka menjadi mediator atau pihak penengah lebih dari sebuah peran sebagai wasit dalam suatu perkara, melainkan juga sebagai tanggung jawab sosial untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dan memulihkan keharmonisan-keharmonisan dalam masyarakat, dalam konteks masyarakat tradisional atau masyarakat adat, mediator diperankan oleh kepala desa, kepala suku, fungsionalis adat dan tokoh agama.  Fungsi mediator untuk mendidik atau memberi  wawasan kepada para pihak tentang proses perundingan dalam penyelesaian suatu perkara.

Sampai saat ini masih ada masyarakat yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi secara nonlitigasi khususnya pada permasalahan keluarga. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat enggan menyelesaikan masalahnya melalui proses peradilan diantaranya anggapan masyarakat jika diselesaikan melalui proses peradilan maka akan memakan biaya yang cukup besar dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum-hukum adat yang lebih dipercaya dapat menyelesaikan permasalahan dibandingkan dengan proses litigasi, serta jarak  tempuh yang terlampau jauh  untuk sampai di pengadilan membuat masyarakat lebih memilih menyelesaiakan masalah secara mediasi nonlitigasi.

Selain itu mediasi secara nonlitigasi seperti memanfaatkan peran kiyai atau tokoh adat sebagai mediatornya cukup terasa dapat menyelesaikan masalah khususnya permasalahan keluarga. Karena dengan mediasi para pihak sama-sama ikhlas menerima keputusan. Sebab hasil putusan dari mediasi adalah berawal dari musyawarah dan berujung pada kesepakatan bersama atau mufakat yang menghasilkan maslahat. Berbeda dengan putusan pengadilan yang bersifat menang kalah, dalam mediasi putusan berprinsip win-win solution.Hal inilah yang dirasakan beberapa masyarakat di Lampung, sehingga terdapat beberapa masyarakat lebih memilih menyelesaikan masalah keluarga melalui proses mediasi Nonlitigasi.

Penulis : Inayatul Maghfiroh

Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum

IAIN Raden Intan Lampung

Comments

Leave a Reply