Category: Opini

  • Pesan Tersirat Dibalik Larutnya Kegembiraan HSN

    Pesan Tersirat Dibalik Larutnya Kegembiraan HSN

    Syarif H
    Sekretaris PC PMII Lampung Tengah

    Wajah gembira seluruh santri nusantara dalam menyambut Hari Santri Nasional (HSN) sangat menggema sampai ke pelosok negeri.

    Hal yang tak boleh terlupakan dalam momentum HSN yaitu sejarah resolusi jihad yang dipelopori KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Hubbul
    Wathon Minal Iman, (cinta tanah air sebagian dari iman).

    Kini, kemerdekaan sudah setengah abad lebih kita dapatkan. Esensi manakah yang sudah betul-betul merdeka di negeri ini?. Kita hanya tidak dijajah secara fisik oleh bangsa lain, budaya, ekonomi arus global, sejatinya masih menjajah negara tercinta ini.

    Ada pesan yang sangat mendalam untuk santri NU yang berada di luar dan di dalam pesantren. Di balik larutnya kegembiraan HSN bukan hanya menjaga dan merawat kemerdekaan, lebih dari itu, mengisi kemerdekaan negara dengan mengangkat harkat dan martabat bangsa.

    NU bukan lagi menjadi bagian, melainkan solusi untuk kemajuan ekonomi bangsa. Menjadi pelopor pelestarian budaya tinggalan leluhur bangsa. Memberikan kedamaian keadilan bagi warga Indonesia. Menjadi penawar terhadap masuknya budaya luar yang ingin mengganti budaya bangsa.

    Kita berhak dan harus mampu akan hal itu. Lantaran para kyai dan santri dahulu ikut merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Santrilah penerus kyai. tanggung jawab santri akan dipertanyakan di akhirat sana.

    Sebagai santri, sudahkah kita tepati amanah ilahi sebagai kholifah fil ardi. Sudahkah menjadi pemimpin untuk diri sendiri, keluarga, agama, bangsa dan negara. Lebih dari itu, santri harus menjaga bumi dan alam semesta ini dari segala bentuk penindasan penjajahan dan kebatilan.

  • Dialektika Pemikiran Islam dengan Politik Praktis

    Dialektika Pemikiran Islam dengan Politik Praktis 

    Oleh.

    Ust. Abdul Azis, SH., SPd.I., M.Pd.I

    Sekretaris Umum

    MUI Kota Bandar Lampung

    Dalam sejarah panjang peradaban dan pemikiran Islam, yang sudah berlangsung hampir empat belas setengah abad. Pemikiran Islam seorang ulama, atau beberapa ulama, atau bahkan suatu komunitas ulama, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh para penguasa politik dizamannya, sejarah sudah membuktikan.

    Ketika Mu’awiyyah Bin Abi Sufyan, bisa mengalahkan rival politiknya, Sayyidina Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan Bin Ali, Sayyidina Husein Bin Ali, berikut keluarga Alawiyin, tentu dengan berbagai intrik dan tipu muslihat, bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan dan kebengisan, pada akhirnya menang secara politik, ditandai dengan pindahnya Ibu Kota Islam dari Madinah ke Damaskus.

    Muncullah pernyataan teologis Sang Khalifah Mu’awiyyah yang sangat populer, karena dipopulerkan dan dimassifkan oleh kekuasaan, “Semua Yang Telah Terjadi Karena Kehendak Allah, Karena Taqdir Allah, Biqudrotillahi Ta’ala, Wabi Irodatihi, Wabi Masyi’atihi, Waridlohu”, ini kemudian menjadi doktrin teologis jabariyah, yang motifnya tentu bisa dianalisis, untuk melanggengkan kekuasaan.

    Mu’tazilah menjadi madzhab mayoritas pada zamannya juga karena didukung oleh kekuasaan, bahkan dalam beberapa hal melakukan intervensi, Khalifah Al Ma’mun misalnya, dari Dinasti Abbasyiah, secara terang – terangan mengaku sebagai penganut Mu’tazilah, dan itu tercermin dari kebijakan kebijakan politiknya, salah satunya adalah peristiwa Mihnah, wajar kemudian kalau menjadi madzhab mayoritas.

    Teologi Asy’ariyah yang kemudian dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang populer hingga hari ini, serta banyak penganutnya dibanyak belahan bumi ini, sejarahnya juga didukung oleh kekuasaan politik, bahkan teologi Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 M. yang pengaruhnya tidak hanya di Asia Selatan, namun juga sampai ke Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia. Contoh yang lain lagi, adalah Dinasti Seljuk, 11-14 M. Khalifah Aip Arsalan beserta Perdana menterinya, Nidzam Al Mulk sangat mendukung teologi Asy’ariyah, penyebarannya terstruktur, sistematis dan massif, terutama melalui para ulama dan lembaga pendidikan.

    Wahabi lebih tepatnya Wahabisme, وهابية, atau Salafi juga berangkat dari doktrin teologis hasil pemikiran kalam Ibnu Taimiyyah, yang terkenal dengan Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Asma’ Wassifat, doktrin ini kemudian melahirkan ideologi takfiri.

    Doktrin teologis Ibnu Taymiyyah ini kemudia dikembangkan, dimodernisir dan dikontekstualisasi oleh seorang ulama dan teolog kontemporer, Muhammad bin Abdul Wahhab yang berasal dari Najd, aliran pemikiran kalam ini didukung bahkan menjadi madzhab resmi Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi hingga hari ini.

    Di belahan bumi persia, tepatnya Republik Islam Iran, semenjak pemerintahan ini terbentuk, telah mendeklarasikan diri bermadzhab syi’ah imamiyah/syi’ah itsna’ ‘asyariyah, hingga terinternalisasi dalam sistem ketatanegaraannya.

    Dalam konteks ke Islaman dan ke Indonesiaan, Islam yang ramah, Islam yang damai, Islam yang santun, Islam yang moderat dan toleran, Islam yang menghargai budaya nusantara, bahkan bisa dibilang sukses melakukan akulturasi, tentu dalam kerangka yang dibemarkan oleh ortodoksi Islam, semua itu berlandaskan doktrin teologis Ahlussunnah Wal Jama’ah/pemikiran kalam Asy’ariyah, mulai dari walisongo generasi pertama hingga hari ini, selalu didukung oleh penguasa politik, setidaknya membiarkan, tidak mengganggu, tentu dengan pengecualian, masa kolonial.

    Kontestasi pilpres 2019, juga harus dilihat dalam perspektif ini

  • Masjid Al-Ijabah dan Fenomena Konflik Intern-Umat

    Masjid Al-Ijabah dan Fenomena Konflik Intern-Umat
    Oleh: Rudy Irawan
    Wakil Ketua PCNU Kota Bandar Lampung

    Salah satu masjid di Madinah, ada yang diberi nama al-Ijabah. Nama lainnya adalah Masjid Muawiyah atau Masjid al-Mubahalah. Masjid ini dibangun oleh Nabi Muhammad saw di lahan milik Muawiyah bin Malik bin ‘Auf yang berasal dari suku Aus (id.m.wikipedia.org). Pertama dibangun tahun 622 M, dengan satu kubah dan satu menara. Masjid al-Ijabah ini berada di Jalan As-Sittin, kira-kira 385 meter dari Maqam Baqi’ yang secara administratif di wilayah Distrik Bani Muawiyah. Jarak dari Masjid Nabawi hanya 580 meter.

    Nama al-Ijabah secara harfiyah artinya adalah jawaban dari kata ajaba – yuujibu – ijaabah artinya jawaban. Dalam konteks al-ijabah artinya jawaban atau dikabulkannya permohonan. Mengapa kemudian Masjid tersebut diberi nama Al-Ijabah? Tampaknya, penamaan ini dikaitkan dengan tiga hal doa atau permohonan Rasulullah saw kepada Allah, yang dua dikabulkan dan yang satu tidak dikabulkan.

    Ada dua riwayat yang bisa kita rujuk dalam hal ini. Pertama, riwayat Imam Malik dari Abdullah bin Jabir bin Atik, bahwa Abdullah bin Umar datang kepada kami di (perkampungan) Bani Muawiyah dan bertanya: “Apakah kalian mengetahui di mana Rasulullah saw shalat di Masjid kalian? Aku menjawab: “Ya”, dan aku menunjuk ke satu arah. “Apakah kamu mengetahui tiga hal yang diminta oleh Rasulullah saw?” Tanya Abdullah bin Umar. “Ya, aku tahu”, jawab Malik. “Beritahu saya tentang tiga hal tersebut”, kata Umar. Aku berkata: “Rasulullah saw berdoa, pertama, agar tidak dikalahkan oleh musuh dari orang kafir, kedua, agar tidak dibinasakan dengan paceklik, dan ketiga, agar permusuhan umatnya tidak terjadi antar sesama mereka”. Dua doa yang pertama dikabulkan, dan doa yang ketiga tidak dikabulkan. Ibnu Umar mengatakan: “Engkau benar, sehingga peperangan, fitnah, dan perselisihan terus berlangsung hingga hari kiamat”.

    Riwayat yang kedua, Amir bin Sa’dari, dari ayahnya, mengatakan bahwa suatu hari Rasulullah saw datang dari al-Aliyah. Beliau melewati Masjid Bani Muawiyah, beliau masuk Masjid itu dan shalat dua rakaat. Kami pun ikut shalat bersama beliau. Rasulullah saw berdoa lama sekali, dan setelah itu menuju ke kami dan bersabda: “Aku memohon tiga hal kepada Rabb-ku, dua hal dikabulkan, dan satu hal tidak dikabulkan. Pertama, aku memohon agar umatku tidak dibinasakan dengan paceklik, ini dikabulkan. Kedua, aku memohon agar umatku tidak ditenggelamkan, dan dikabulkan. Ketiga, aku memohon agar permusuhan umatku tidak terjadi antarsesama mereka, tetapi permohonanku ini tidak dikabulkan” (Riwayat Muslim).

    Besar kemungkinan karena dua doa Rasulullah saw langsung dikabulkan itulah, Masjid tersebut diberi nama Masjid al-Ijabah. Bahwa ada satu doa dan permohonan Rasulullah saw agar permusuhan umatku tidak terjadi sesama mereka, tidak dikabulkan, tentu ada pesan dan maksud dari tidak dikabulkannya doa Beliau tersebut.

    Tentang pesan dan tujuan apa, mengapa doa Rasulullah saw yang ketiga, tidak dikabulkan? Tidak mudah untuk mendapatkan penjelasan tentang keinginan dan permohonan Rasulullah saw, agar konflik, permusuhan, dan fitnah antara sesama pengikut Beliau, tidak terjadi. Bahkan Ibnu Umar mengatakan: “Engkau benar, sehingga peperangan, fitnah, dan perselisihan terus berlangsung hingga hari kiamat”.

    Karena itulah, manusia yang secara tabiat dikarunia dan bahkan diperintahkan untuk berkompetisi dan berkontestasi menjadi hamba yang terbaik amal shalehnya, atau berlomba-lomba dalam kebaikan, atau sepakat dan tolong menolong dalam hal yang disepakati, dan toleransi dalam hal yang tidak bisa disepakati, maka model, pola, dan manhaj agar bisa terjadi toleransi (tasamuh) sesama pengikut Rasulullah saw dapat dikelola dengan baik.

    Ini mengingatkan tiga kata kunci kerukunan (tri-kerukunan), yang hingga kini diformulasikan ada FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Ada kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. Dalam konsep persaudaraan (ukhuwwah) juga sudah lama sekali pertama persaudaraan sesama muslim (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan antarumat beragama (ukhuuwah wathaniyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah insaniyah/basyariyah).

    Rasulullah saw sudah memberi contoh tentang praktik toleransi dalam beragama. Antarumat beragama, tingkat konfliknya relatif kecil, karena umat beragama kita relatif cukup dewasa. Meskipun masih sering terjadi konflik-konflik antar umat beragama yang kemudian menimbulkan korban dan menimbulkan trauma.

    Namun demikian, toleransi dalam arti sesama pengikut beliau ini, agak susah, apalagi ketika kemudian masuk pada ranah dan domain politik kekuasaan. Apakah ini terkait juga dengan hadits bahwa Rasulullah saw bersabda : Ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu. Yaitu yang mengikuti aku dan sahabatku”. Hadits ini menurut penelitian Yazid (al-manhaj.or.id), periwayatannya melalui 15 sahabat, dan ini cukup populer. Karena itu, masing-masing pemeluk Islam pun, mengaku diri mereka ahlus sunnah wal jamaah. Dan fakta di lapangan sama-sama mengaku ahlus sunnah wal jamaah, bisa praktik amalan keagamaannya berbeda.

    Tampaknya konflik intern umat Islam, tampaknya di tahun politik ini makin memprihatinkan. Apakah ini implikasi dari “kasus” persekusi terhadap pada ulama beberapa waktu lalu, atau imbas dari pembubaran ormas keagamaan Islam, karena mengusung sistem ketatanegaraan yang tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mudah-mudahan tidak. Allah a’lam.

    Singkatnya, umat Islam Indonesia yang merupakan terbesar di dunia, memerlukan pemimpin yang bisa diterima semua pihak, untuk membangun persaudaraan sejati, tidak harus semua hal disamakan, akan tetapi sepakat dalam perbedaan. Karena visi dan misi Islam yang rahmatan lil alamin, adalah tujuan Islam diturunkan di muka bumi. Bahwa ada ungkapan “setiap kelompok akan berbangga-bangga atas kelompok mereka sendiri”, adalah hak masing-masing, tetapi tidak harus dimaknai sebagai merendahkan, menghinakan, dan apalagi menista kelompok lain. Apalagi sampai ikut-ikutan mempersekusi ulama yang sesungguhnya fikiran dan dakwahnya bisa diterima oleh semua kalangan.

    Rasulullah saw sebenarnya sudah jauh-jauh memprihatinkan dan mengkhawatirkan kita sebagai umat beliau, agar tidak konflik dan saling merendahkan, tetapi jika Allah tidak memperkenankan, boleh jadi itu harus kita maknai sebagai ujian kedewasaan keberagamaan kita, supaya kita bisa sama-sama akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah dengan modal ketaqwaan kita. Wa tazawwaduu fa inna khaira z-zaad at-taqwa artinya “persiapkanlah bekal, karena sebaik-baik bekal adalah taqwa” (QS. Al-Baqarah : 197).

  • #2019GantiPresiden Adalah Gerakan Makar

    #2019GantiPresiden Adalah Gerakan Makar

    Oleh : Abdul Aziz
    Sekretaris Umum MUI Kota Bandar Lampung

    Sistem Politik di Indonesia pasca amandemen Undang – Undang Dasar 1945, Indonesia bentuk negaranya adalah Kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah Republik, kemudian sangat populer dengan istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang kokoh dan tak terbantahkan.

    Negara kesatuan adalah negara yang berdaulat, diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal, pemerintah pusat adalah yang tertinggi, satuan sub-nasionalnya hanya menjalankan kekuasaan yang dipilih dan ditentukan oleh pemerintah pusat untuk kemudian didelegasikan kewenangannya. Republik berasal dari bahasa latin res publica, yang berarti urusan awam, pemerintahan yang dimiliki dan dikawal oleh rakyat, maka sistem pemerintahannya mesti demokrasi, sebab kalau tidak, akan terjadi kontradiksi interminus.

    Demokrasi merupakan sistem pemerintahan, yang dirancang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebuah sistem sosial dan politik, yang membatasi kekuasaan pemerintah dan mengatur kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya dengan hukum, demi melindungi hak seluruh warga negara.

    Dalam demokrasi semua warga negaranya memiliki hak yang setara dan sederajat dalam pengambilan keputusan, membebaskan warga negaranya berpartisipasi, secara langsung atau melalui perwakilan, dalam perumusan, pengembangan dan pembuatan hukum. Demokrasi adalah artikulasi kebebasan yang setara dalam politik, ekonomi dan sosial budaya, namun harus tetap dalam bingkai Grundnorm/norma dasar, dalam konteks ke-Indonesiaan adalah konstitusi kita, UUD 1945 sebagai mitsaqon gholidzon para pendiri bangsa (The Founding Fathers), tentu berikut peraturan turunannya. Memaknai kebebasan dengan sebebas bebasnya berupaya untuk mengganti Konstitusi Dasar Negara adalah masuk kategori gerakan makar.

    Di Indonesia dan sudah berdasarkan konstitusi pasca amandemen, kekuasaan ekskutif berada ditangan Presiden, Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, Presiden beserta Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat, berdasarkan sistem demokrasi. Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, secara bersama sama disebut Lembaga Kepresidenan Indonesia. Jadi, Presiden itu adalah Lembaga Negara/Institusi Negara.

    Hastag #2019GantiPresiden, menjadi bermakna dan bertujuan untuk mengganti, setidak tidaknya bentuk dan sistem pemerintahan saat ini, jelas menabrak konstitusi, bahkan bisa merembet mengganti bentuk Negara, kalau yang terjadi ini, jelas upaya gerakan makar. Menjadi, tidak ada persoalan kalau hastaqnya adalah #2019GantiJokowi atau #2019PrabowoCalonPresdiden atau #2019JokowiTetapPresiden, itu bermakna personal/orang yang memperebutkan kursi Presiden, namun bentuk lembaga dan sistemnya tetap sesuai konstitusi.

  • Idul Adha 1439 H Jatuh Pada 22 Agustus 2018 itu Ilmiah 

    Idul Adha 1439 H Jatuh Pada 22 Agustus 2018 itu Ilmiah 

    Oleh Abdul Aziz Sekretaris Umum MUI Kota Bandar Lampung

    Ibadah itu terikat dengan ruang dan waktu dimana kita berada, hari ini, Selasa 21 Agustus 2018, masih puasa arofah untuk wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, walaupun hari ini sudah masuk Yaumin Nahar/Idul Adlha di Arab Saudi dan sekitarnya.

    Kalender Hijriyah menggunakan siklus peredaran bulan, kalender qomariyah/condro sengkolo, penentuan jatuhnya setiap tanggal satu/awal bulan setiap bulannya, harus berdasarkan Rukyatul Hilal (bulan tampak/visibilitas bulan)

    kemungkinan bulan bisa dilihat (Imkanur Rukyah), kalau ketinggian hilal/bulan sabit, minimal dua derajat diatas ufuk, setelah matahari terbenam (ghurub), hal ini harus selalu dilakukan setiap tanggal 29 setiap bulannya, apabila hilal bisa dilihat/dirukyah, maka jatuhlah tanggal 1 bulan berikutnya, apabila belum bisa dilihat, baik karena usia hilal masih terlalu muda (dibawah dua derajat atah bahkan minus) maupun karena faktor alam (iklim dan cuaca), maka di Istikmalkan/digenapkan bulannya menjadi 30 hari

    Case Study, dasar ilmiah penetapan Idul Adha 1439 H. bertepatan dengan 22 Agustus 2018 M. Konjungsi geosentrik atau konjungsi (ijtima’), peristiwa ketika bujur ekliptika Bulan
    sama dengan bujur ekliptika Matahari, dengan pengamat diandaikan berada di pusat Bumi, terjadi pada hari Sabtu, 29 Dzulqa’dah 1439 H. atau 11 Agustus 2018 M, pukul
    16 : 58 WIB atau 17 : 58 WITA atau pukul 18 : 58 WIT, periode sinodis bulan sendiri, terhitung sejak konjungsi sebelumnya hingga konjungsi yang akan datang, 29 hari 7 jam 10 menit

    Ketinggian Hilal di Indonesia pada tanggal 11 Agustus 2018, saat Matahari terbenam di ufuk barat, berkisar antara -1,96o (minus)
    di Merauke Papua sampai dengan 0,24o di Sabang Aceh.

    Jadi, bulan dzulqa’dah 1439 H. di istikmalkan (digenapkan) menjadi 30 hari penuh, konsekuensi logisnya, 1 dzulhijjah 1439 H. jatuh pada hari senin, 13 Agustus 2018, Idul Adha/Yaumin Nahar (10 dzulhijjah 1439 H.) otomatis jatuh pada 22 Agustus 2018. Nggak ada urusannya dengan keputusan Pemerintahan Arab Saudi, justru, kalau ngotot/ngeyel ikut Arab Saudi, pertanyaannya, penetapan 1 dzulhijjahnya make metode apa? Jelas itu bertentangan dengan prinsip ilmu pengetahuan

    Di Arab Saudi dan di Negara – Negara Timur Tengah, pada umumnya tinggi hilal/bulan sabit setelah ghurub/matahari terbenam pada hari Sabtu, tanggal 29 Dzulqa’dah 1439 H. bertepatan dengan 11 Agustus 2018 sudah memenuhi syarat imkanur rukyah, yakni usia bulan sudah mencapai dua derajat diatas ufuk, wajar sekali kalau Arab Saudi memutuskan 1 Dzulhijjah 1439 H. Jatuh pada hari minggu/ahad, 12 Agustus 2018 M. Konsekuensi logisnya, Idul Adha di Arab Saudi jatuh pada hari selasa, 21 Agustus 2018

    Bagaimana dengan masyarakat muslim Indonesia, ya ikut ruang dan waktu yang ada di Indonesia, ini sama dengan sholat lima waktu, yang juga pelaksanaannya (masuk waktu sholat), mengikuti peredaran waktu dimana kita berada, masak sholat dhuhur di Indonesia, waktunya ikut Arab Saudi, itu namanya “gagal faham”,,, he ,,, he

    Arab Saudi juga menegaskan lewat Ulamanya yang sangat terkenal dikalangan “Wahabi”, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu Fatawa wa Rosail Fadhilah al Syeikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin jilid 20 halaman 47-48, berpandangan Idul Adha mengikuti keputusan pemerintah setempat, bukan mengikuti keputusan pemerintah Saudi Arabia.
    Nah Loh ,,,,,,,!

  • Halal Bi Halal Satukan Umat Menjadi Kuat

    Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan
    /Pengurus MUI Provinsi Lampung

    Berbicara tentang halal bi halal rasanya sudah tidak asing lagi bagi kita, meskipun istilah ini tidak pernah kita dapatkan dalam al-Qur’an, Hadis , apalagi kamus bahasa arab. Namun yang paling penting bagi kita adalah makna /substansi yang terkandung di dalamnya. Halal bi halal memang merupakan tradisi di Indonesia yang dicetuskan oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah, pendiri Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, namun sejatinya tujuan dan makna/substansi yang terkandung di dalamnya sangatlah luar biasa. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah mengapa halal bi halal perlu diselenggarakan? Apa manfaat dan hikmahnya bagi kehidupan kita?

    Mengenai hal ini, halal bi halal diselenggarakan atas dasar karena kita ingin berkumpul dan bersilaturrahmi dengan yang lain, yakni untuk melepas rasa kangen dan rindu, sekaligus memadu kasih di antara kita setelah lama tidak bertemu dan tidak saling berkunjung. Mengapa kita perlu berkumpul dan bersilaturrahmi? Karena kita adalah saudara. Ingat firman Allah swt yang artinya “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah saudara, maka saling berbuat baiklah (damailah) di antara mereka”. Berdasrkan ayat ini jelas bahwa kita semua adalah saudara. Karena kita adalah saudara, maka sudah tentu kita harus saling membantu, meringankan, peduli dan sayang menyayangi satu sama yang lain. Bukan sebaliknya di antara kita saling menyalahkan, menyudutkan, menjatuhkan, melemahkan, dan saling meremehkan. Berkaitan dengan hal ini, maka Baginda Rasulullah saw bersabda yang artinya “Janganlah di antara kalian saling hasud/iri dengki, janganlah di antara kalian saling memutus hubungan silaturrahmi, janganlah di antara kalian saling membenci, dan janganlah di antara kalian saling membelakangi, tetapi jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”.

    Berdasarkan hadis ini jelas bahwa apapun perbedaannya, baik karena perbedaan kedudukan, jabatan, penghasilan, pendapat, paham, dan lain-lain jangan sampai membuat kita saling iri dengki, saling memutus hubungan silaturrahmi, saling membenci dan saling belakang membelakangi. Tetapi justru dengan perbedaan-perbedaan itu kita jadikan sebagai alat kekuatan untuk meraih cita-cita, mewujudkan impian dan memantapkan persatuan dan kesatuan. Ingat, orang yang suka hasud/iri dengki itu sesungguhnya akan dapat merusak amal kebaikannya, orang yang suka memutus hubungan silaturrahmi sesungguhnya akan dapat menghambat rezekinya sendiri, dan orang yang suka membenci orang lain hakekatnya dapat merusak harga dirinya, sebab orang yang suka membeci orang lain sama saja membenci dirinya sendiri, lihat al-Baqarah ayat 109 bahwa janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan. Dalam hadis yang lain Rasulullah saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya mukmin yang satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan sebuah bangunan, di mana antara unsur yang satu dengan unsur yang lain saling menguatkan”. Ini artinya bahwa di antara kita harus saling membantu, memberi dukungan dan kekuatan, sehingga persaudaraan dan persatuan di antara kita semakin mantap dan kuat.

    Selain itu perlunya menyelenggarakan halal bi halal karena kita mau maaf-maafan. Mengapa kita perlu maaf-maafan? Karena kita punya salah dan dosa. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah saw yang artinya “Setiap anak Adam (manusia) pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang mau meminta maaf”. Ini artinya bahwa apabila kita punya salah atau dosa, maka segera meminta maaf, dan yang memberi maaf pun harus benar-benar ikhlas untuk memaafkannya bukan terpaksa, hal ini sebagaimana tersirat dalam Surat al-Baqarah Ayat 109 bahwa apabila ada orang yang berbuat salah atau dosa, maka maafkanlah dan berlapang dadalah. Ini dimaksudkan apabila kita melakukan kesalahan, baik disengaja maupun tidak, kita harus saling memaafkan, sebab dengan saling memaafkan hidup akan terasa aman, nyaman dan tentram. Apalagi kalau setiap orang selalu mengaku bersalah, kemudian tidak malu-malu untuk meminta maaf, alangkah indahnya kehidupan ini. Sehingga tidak ada lagi orang yang selalu mengaku benar, tidak ada lagi kesombongan dan tidak ada lagi keangkuhan. Berkaitan dengan hal ini Lebih lanjut Allah swt menjelaskan dalam surat al-Imron ayat 134 yang artinya “Bersegeralah menuju ampunan dari tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang semuanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang yang mau menafkahkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, orang yang mampu menahan amarah/emosi, dan oarng yang mau memaafkan orang lain yang bersalah”. Wallahu a’lam Bishawab.

  • Atlet dalam Pilkada

    Atlet dalam Pilkada
    oleh

    Kahfi (Panwascam Tanjung Senang Kota Bandar Lampung)

    Pemilihan kepala daerah serentak yang dilaksanakan pada tanggal 27 Juni mendatang sudah memasuki minggu terakhir para kandidat melakukan sosialisasi dan kampanye untuk memperkenalkan diri dengan para voter yang menentukan apakah akan berakhir pada kursi kepala daerah atau justru berakhir dimeja hijau?

    Dimana pengalaman masa lalu dapat menjadi rujukan dalam kontestasi pilkada serentak ini. Karena, kandidat selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan tanpa memperhatikan kemaslahatan orang banyak. Sehingga pada akhir penghitungan suara yang kalah selalu memperkarakan yang menang di meja hijau.

    Padahal, dalam setiap kontestasi menang dan kalah adalah hal yang biasa terjadi, sebagaimana slogan yang biasa tertulis dalam baleho dan spanduk event-event pertandingan olahraga. “Junjung Sportifitas Dalam Bertanding”

    Oleh karenanya, bagi para kandidat sudah seharusnya mempersiapkan diri dari sejak dini sebelum mendaftarkan diri sebagai calon kandidat sehingga dalam mengikuti kontestasi pilkada tidak menggunakan cara-cara yang tidak terpuji dan mencoreng arti sportifitas kontestasi pemilihan kepala daerah.

    Atlet dan Paslon
    Pada kesempatan ini penulis tertarik untuk menyibak persamaan aktifitas atlet dan kandidat kepala daerah. Atlet dalam sehari-hari biasa dieja sebagai atlit, yang berasal dari bahasa Yunani (athlos) yang berarti “kontes”. Sehingga atlit dapat diartikan adalah olahragawan yang berpartisipasi dalam suatu kompetisi olahraga kompetitif. Dalam beberapa cabang olahraga seorang atlet harus mempunyai kemampuan fisik yang lebih tinggi dari rata-rata.

    Dengan demikian, seorang kandidat kepala daerah dapat dikategorikan sebagai seorang atlet dikarenakan memiliki beberapa persamaan dengan atlet olahragawan. Dimana hal ini, tentu bukanlah hal mudah untuk mengarungi kompetisi yang padat. Dalam segi fisik, mental maupun pengalaman, hal ini sangat berpengaruh pada kemampuan seorang kandidat pilkada dalam meraih kepercayaan dari masyarakat sebagai pemilih yang menentukan para kandidat dapat duduk sebagai kepala daerah atau tidak.

    Karena kandidat pilkada pun harus melalui berbagai macam tes didalamnya yaitu kesehatan jasmani, integritas, administrasi, dan tekanan untuk memenangkan kontestasi pilkada, sehingga pemberian motivasi sangat menentukan karakter diri seorang calon kandidat tersebut (Psikologi Olahraga).

    Hal ini sesuai dengan pendapat Singgih D Gunarsa, Psikologi Olahraga diartikan sebagai psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga yang meliputi atlet sebagai individu atau kelompok yang akan bertanding serta faktor–faktor lain yang berpengaruh terhadap kepribadian dan penampilan atlet tersebut.

    Setiap calon kandidat akan mendapatkan prestasi dalam hal ini ialah memenangkan simpati (trust) masyarakat dengan berbagai proses interaksi yang dilakukan sejak jauh-jauh hari bukan saat mendaftarkan diri sebagai calon kandidat.

    Hal ini berdasarkan pendapat Sardiman,A.M. (2001), prestasi merupakan suatu hasil dari interaksi antara berbagai faktor dari dalam maupun luar individu dalam belajar. Dalam hal ini prestasi yang dicapai seorang atlet akan dapat terealisasi dengan adanya latihan rutin yang sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam meraih prestasi banyak sekali faktor yang harus diperhatikan seperti yang telah diungkapkan diatas.

    Untuk itu, sudah saatnya para kandidat pilkada (atlet), bersama kpu dan bawaslu (wasit) serta masyarakat pemilih (supporter) menciptakan pilkada yang sehat, jujur, adil, bersih, dan aman. Sehingga dapat menghasilkan sosok pemimpin yang telah ditempa dengan latihan yang keras, teruji dengan melewati berbagai rintangan yang diberikan dalam proses latihan, dan mampu menghasilkan kursi kepala daerah dengan sportifitas bukan dengan cara-cara yang tidak terpuji.

    Akhirnya, semoga masyarakat sebagai komponen pemilih dapat memberikan dukungan terhadap atlet (peserta pilkada) pada 27 Juni mendatang bukan hanya didasari kedekatan emosional dan nominal rupiah melainkan, atlet tersebut mampu menciptakan keamanan, kenyamanan, dan menjunjung nilai-nilai sportifitas dalam kontestasi pilkada.

    Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu

  • Politik Kotor Tidak Mencerdaskan

    Politik Kotor Tidak Mencerdaskan

    Oleh

    Een Riansah (Koordinator Front Muda Nahdliyin)

    Indonesia telah memasuki babak baru kehidupan yang lebih demokratis, ketika gerakan reformasi melanda ditahun 1998 ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru di bawah kekuasaan Soeharto. Tuntutan luas masyarakat, mahasiswa dan tokoh-tokoh reformasi mendorong terjadinya perubahan sosial politik. buah hasil perjuangan panjang ini adalah di amandemen-nya UUD 1945 serta dikeluarkannya berbagai produk undang-undang yang mendukung kebijakan demokratisasi dan desentralisasi.

    Proses demokratisasi pasca runtuhnya rezim orde baru diiharapkan mampu membawa indonesia pada kehidupan sosial politik yang lebih baik, salah satunya dengan dilakukannya desentralisasi yang mendororng  proses demokratisasi di tingkat daerah yang selama rezim orde baru merupakan bagian kontrol pusat yang dikooptasi oleh pusat. Karena proses desentralisasi dipahami sebagai pemindahan kekuasaan adminstratif, fiskal, dan politik dari tingat pusat pada tingkat yang lebih bawah dalam hierarki kewilayahan dan adminstratif. Maka proses desentralisasi memang telah mendorong terjadinya proses demokratisasi di tingkat lokal.

    Demokrasi pasca runtuhnya rezim orde beru memang telah membuahkan perubahan yang menumbuhkan kekuataan lokalitas, terbukanya akses warga dan kelompok masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, serta pujian dunia international. Namun perkembangan ini tidak luput dari situasi problematik yang serba kompleks. Situasi problematik tersebut menunjukkan adanya paradoks dalam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Dua puluh tahun pasca terjadinya reformasi, reformasi kelembagaan politik menghadirkan problematika baru. Pencegahan penyimpangan kekuasaan tampak kurang optimal. Fenomena korupsi hadir secara terang benderang, bukan hanya dipusat melainkan menyebar hingga tingkat lokal di berbagai daerah.

    Berbagai penyimpangan ini terjadi disebabkan karena praktik-praktik poltik politisi yang tidak memberikan pencerdasan politik bagi masyarakat, alih-alih membawa semangat reformasi untuk menuju situasi sosial-politik yang lebih baik, para politisi justru mempraktikan politik “kotor” dengan kampanya hitam bermuatan sara, dan politik uang. Hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk merebut kekuasaan semata yang tak jarang didanai oleh korporasi. Apabila hal ini terus-menerus dibiarkan maka penyimpangan kekuasaan akan terus terjadi, tindakan korupsi akan semakin menjad-jadi dan rakyat akan tetap jauh dari kesejahteraan.

    Menjelang kontestasi pilkada serentak di tahun 27 Juni 2018 ini, khususnya di provinsi Lampung. Front Muda Nahdliyin (FMN) mengingatkan kepada seluruh kondidat kontestasi politik dari mulai calon gubernur dan wakil gubernur dan para calon kepala daerah  di setiap kabupaten kota di provinsi Lampung untuk tidak mempraktikkan politik kotor yang tidak mencerdaskan. Baik, kampanye hitam yang bermuatan sara terlebih politik uang yang diintervensi oleh korporasi. Karena hal ini tidak sesuai dengan kaidah Tasharraful imam ala-r-ra’iyyah manuthun bil-mashlahah (kebijakan seorang penguasa kepada rakyatnya ditujukan untuk memenuhi kemashlahatan dan kesejahteraan rakyat) apabila cara meraih kekuasaan saja sudah dilakukan dengan cara yang kotor maka yang timbul bukanlah kemashlahatan namun kemudharatan.

    Front Muda Nahdliyin (FMN) juga mengajak masyarakat untuk secara cerdas memilih pemimpin dan menolak segala bentuk praktik-pratik politik kotor, demi terwujudnya pilkada yang demokratis sekaligus mencerdaskan bukan malah sebaliknya seperti selama ini diperlihatkan oleh para politisi. Karena demokrasi bukan pasar, yang dapat dijual-belikan.  Demokrasi mencakupi makna kehendak rakyat dan kebaikan umum sebagai tujuan.

  • Ramadhan Jalan Menuju Kesalehan Ritual dan Sosial (OPINI)

    Ramadhan Jalan Menuju Kesalehan Ritual dan Sosial

    Oleh: Naili Adilah Hamhij, M.Pd

    Pengurus Ikatan Sarjana Nadhlatul Ulama (ISNU) Prov. Lampung

    Sudah tidak diragukan lagi bahwa bulan ramadhan dikenal di semua penjuru negeri. Baik, muslim dan non muslim telah memahami bulan ramadhan sebagai bulan puasa yang diwajibkan kepada umat Islam agar mereka bertaqwa sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah 183. Puasa atau shaum adalah menahan diri dari makan dan minum dan segala hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan syarat tertentu dalam rangka meningkatkan ketaqwaan seorang muslim.

    Di luar itu semua, bulan ramadhan selain bulan yang sangat mulia juga dijadikan sebagai salah satu bulan ibadah (syahrul ‘ibadah) dan bulan pendidikan (syahrul at-tarbiyah). Dikatakan bulan ibadah, karena pada bulan ini Allah swt melipat gandakan amalan setiap hamba-Nya yang fardhu maupun sunnah sebagaimana HR. Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah “bahkan amalan-amalan sunnah yang dikerjakan pada bulan Ramadhan, pahalanya dianggap sama dengan mengerjakan amalan wajib”. Hal ini berarti setiap amalan sunnah saja Allah memberi pahala seperti pahala amalan wajib, apalagi ibadah wajib yang dikerjakan.

    Selain bulan ibadah (syahrul ‘ibadah), bulan ramadhan juga sebagai bulan pendidikan (syahrul at-tarbiyah) yang diibaratkan sebagai bulan sekolah yang tujuannya menyerap nilai-nilai paling tinggi. Bulan ini mengajarkan kesabaran, kedisiplinan, kejujuran dan mendidik kepedulian antar sesama yang ujiannya telah ditetapkan Allah swt. Jika hamba-hamba-Nya berpuasa sesuai dengan aturan Allah, ditambah lagi melakukan segala ibadah ritual dan sosial pada bulan ini maka Ia akan lulus dengan menyandang gelar muttaqin.

    Kesalehan Ritual dan Sosial

    Amal saleh adalah sebuah refleksi keimanan. Iman, menjadi hal mutlak yang selalu menjadi tujuan pembicaraan pada kegiatan kegaamaan yang tujuan dari iman itu sendiri untuk dijaga dan diperkuat. Sebab, iman adalah basis kesadaran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa setiap muslim diwajibkan beriman atas enam yakni; iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari kiamat dan iman kepada qadha dan qadar. Jika setiap muslim meyakini dan menjalankan rukun iman tersebut atas dasar keimanannya maka refleksi kesalehan ritual dan sosial sudah pasti diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sadar atau tidak, beberapa umat muslim kita menganggap bahwa ibadah mahdah (ibadah ritual vertikal) adalah ibadah yang lebih penting jika dibandingkan dengan ibadah ghairu mahdah (ibadah sosial horizontal). Padahal, antara ibadah ritual dan ibadah sosial tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang. Sebagai contoh, jika seorang muslim shalat seribu rakaat namun tidak mampu menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, mudah mengkafirkan seseorang, intoleransi, tidak melaksanakan zakat, infaq atau shadaqah dan lain sebagainya sebagai bentuk kesalehan sosial maka tidaklah berharga ibadah shalatnya. Begitu sebaliknya, meskipun seorang muslim kaya raya setiap hari membagikan zakat, infaq atau shadaqah, berperilaku baik dengan orang lain, toleransi namun tidak diiringi dengan shalat maka tidaklah berharga ibadah sosialnya. Dalam realita yang ada kadang beberapa manusia melakukan kesalehan sosial tapi menafikan keimanan. Artinya, Ia memiliki jiwa sosial yang tinggi tapi tanpa dilandasi dan diiringi dengan keimanan. Padahal, al-Qur’an banyak bercerita tentang keseimbangan antara ibadah ritual dan sosial dan al-Qur’an menggandengkan kata iman dan amal saleh salah satunya dalam QS. Al-Ashr ayat 3 “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”.  Jadi, perlu adanya keseimbangan antara ibadah ritual (ukhrawi) dan ibadah sosial (duniawi) yang implikasinya keimanan akan terasa dalam hati dan akan membentuk sifat, perilaku dan sikap yang Qur’ani.

    Shalat Sebuah Meditasi Energi Kesalehan Ritual

    Kesalehan ritual adalah jenis kesalehan yang barometernya dapat dilihat dari bagaimana seseorang menunaikan shalat lima waktu, puasa, haji, seberapa banyak dzikir-dzikirnya dan seberapa sering shalat sunnahnya. Lebih lagi, Allah sangat mengistimewakan hambaNya yang jika melakukan ibadah pada bulan ramadhan maka pahalanya akan dilipat gandakan. Untuk menghidupkan bulan ibadah ini salah satunya dengan qiyamul lail yakni tarawih yang hanya dilakukan hanya satu tahun sekali, satu bulan penuh.  Jadi, sudah tentu kesalehan ritual sangat erat berkaitan dengan shalat baik shalat wajib atau sunnah. Sebagaimana diketahui shalat secara bahasa berarti do’a, menurut istilah shalat sebagai bentuk peribadatan yang dimulai dari takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam. Shalat berarti ibadah ritual yang melibatkan hati, lisan dan gerakan anggota badan. Hati, berfungsi untuk berniat dalam tiap kali menjalankan shalat dan sebagai alat mengingat Allah dalam melaksanakan shalat. Selain hati, lisan juga memiliki andil besar sebab lisan mengucapkan bacaan yang ada dalam shalat dari takbiratul ikhram sampai dengan salam. Adapun anggota badan, ikut serta dalam mendukung hati dan lisan untuk mengerjakan ibadah shalat sebagai bentuk ketundukan kepada Allah swt. Apabila ketiga hal tersebut diterapkan dan hadir dalam ritual shalat maka akan merasakan kekhusyukan dan kenikmatan menghadap Allah. Sebab shalat adalah sebuah hubungan vertikal ke atas antara hamba (makhluk) dan Tuhannya (khalik). Dengan demikian, shalat juga merupakan sebuah meditasi energi. Sebab, shalat dilakukan dengan menghadirkan hati, penuh khusyuk dan konsentasi dalam berkomunikasi dengan Allah swt. Selain gerakan dan doa-doa yang dibaca akan menghasilkan energi-energi positif, ternyata kekhusyukan juga mempengaruhi energi positif tersebut dalam menghasilkan suatu kekuatan.

    Hablumminannas sebagai Wujud Kesalehan Sosial

    Berbeda dengan kesalehan ritual, kesalehan sosial diukur dari seberapa banyak seseorang berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, seberapa besar rasa toleransinya, kepedulian dan perilaku lainnya yang bersifat sosial. Dalam hal ini, bentuk kesalehan sosial yang terlihat pada bulan ramadhan diantaranya adalah zakat, infaq dan shaqadah. Keberadaan ibadah ini akan membahagiakan semua pihak baik yang tua ataupun yang muda, yang miskin ataupun yang kaya. Bagi si miskin, adanya zakat menjadikan dirinya tercukupi atau bahkan menjadi dirinya justru sebagai muzakki (pemberi) dikemudian hari, sedangkan bagi si kaya, zakat akan mensucikan hartanya. Jika kita cermati bersama, kesalehan sosial sesungguhnya sebagai bentuk perwujudan iman dalam kehidupan bermasyarakat.  Adanya zakat fitrah pada bulan ramadhan pun memiliki dimensi kesalehan sosial yang cukup kuat. Secara tidak langsung di bulan yang mulia ini, setiap manusia dididik untuk mampu melaksanakan ibadah ritual dan sosial dengan continue. Dengan demikian, diharapkan kesalehan sosial menjadikan setiap manusia memiliki jiwa sosial yang tinggi namun tetap harus diiringi dengan kesalehan ritual yang tinggi pula. Sebab ibadah sosial merupakan salah satu bentuk hablumminannas yang juga harus diiringi dengan ibadah ritual lainnya (hablumminallah).

    Pendek kata, uraian panjang tersebut memberikan penjelasan bahwa ramadhan sebagai momentum latihan, pembiasaan dan penguatan seseorang untuk memperkuat dimensi ritual dan sosial haruslah dilakukan karena Allah swt. Segala rangkaian ibadah ritual di bulan ramadhan, ibadah ritual (shalat) & sosial (zakat), diakhiri dengan shalat ied dan adanya tradisi bermaafan serta berbagi tunjangan hari raya (moment bersilaturahim) menjadi contoh kongkrit pentingnya dan seimbangnya kedua ibadah tersebut. Namun, perlu dicatat dan diantisipasi bahwa perilaku dua kesalehan tersebut tidaklah hanya seolah-oleh “ada” pada bulan ramadhan saja. Namun, kita harus jadikan bulan ramadhan benar-benar sebagai bulan mulia yang memperkuat hubungan kita dengan Allah (hablumminallah) dan memperkuat hubungan kita dengan manusia lainnya (hablumminannas). Harapan besarnya, moment ramadhan saat inilah sebagai permulaan untuk melakukan dan meningkatkan kesalehan ritual dan sosial. Semoga positive effect bulan ramadhan pun terus melekat pada diri agar terus mampu menuju lebih baik terutama dalam penerapan kesalehan ritual dan sosial. Jika kedua kesalehan tersebut tidak dilaksanakan, maka bukanlah sebuah kesalehan akan tetapi kesalahan. Wallahu a’lam bis-shawab.

     

  • Perbuatan Berhadiah Bidadari Surga (Opini)

    Perbuatan Berhadiah Bidadari Surga

    (Pendidikan Multikultural Dalam Membendung Radikalisme)

    Naili Adilah Hamhij, M.Pd

    Pengurus Ikatan Sarjana Nadhlatul Ulama (ISNU) Lampung

     

    Permasalahan mengenai ketahanan nasional banyak dibahas dari pelbagai perspektif. Kajian ini muncul karena banyaknya ancaman dan tantangan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia baik ancaman yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu ancaman yang sangat dirasakan oleh Negara ini perilaku radikalisme dan terorisme. Isu ini menjadi isu yang perlu untuk dibahas sebab perilaku ini akan meruntuhkan ketahanan negara Indonesia. Ancaman yang muncul ini adalah satu musuh peradaban yang akan merusak individu, masyarakat dan mengancam ketahanan nasional. Baru-baru ini, kita disuguhi dengan beragam tindakan kekerasan yang terselimuti oleh anti-Pancasilaisme, fanatisme, rasisme, SARA-isme hingga terorisme. Selama tujuh hari berturut-turut Indonesia diserbu teror yang diawali pengeboman di Rutan Mako Brimob, Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela Surabaya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Surabaya dan Poltabes Surabaya. Padahal, Indonesia dikenal dengan Negara multikultural (beragam adat, budaya, ras, suku bangsa, dan agama) namun tiba-tiba tercederai oleh fanatisme dan brutalisme disebabkan intoleransi dalam kehidupan  bermasyarakat.

    Munculnya kekerasan dan teror di beberapa daerah di Indonesia ini menimbulkan kekhawatiran bagi semua kalangan masyarakat dan hal ini pula perlu mendapat perhatian serius baik dari keluarga, pemerintah, masyarakat, khususnya para tokoh agama. Perhatian serius ini dapat diterapkan melalui pendidikan multikultural dalam rangka meminamilisir dampak buruk radikalisme yang berpengaruh langsung terhadap keberlangsungan nilai-nilai keberadaban dan demokrasi yang dianut oleh bangsa ini.

    Ciri Kelompok Radikal

    Akhir-akhir ini seingkali kita mendengar tentang hilangnya aggota keluarga. Seorang ayah, isteri bahkan anak yang tadinya hidup biasa saja tiba-tiba menghilang. Ternyata tidak sedikit mereka telah bergabung dalam gerakan radikal. Ciri kelompok radikal dapat terlihat, diantaranya; Pertama, berperilaku fanatik. Perilaku ini mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat sehingga tumbuh jiwa intoleran . Kedua, kelompok radikal kebanyakan berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya. Ketiga, kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam mempengaruhi orang lain. Keempat, kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya dan mengabaikan aspek positifnya. Kelima, mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Keenam, berafiliasi dengan kelompok ekstrimis. Gerakan kelompok ini sangatlah rapi, terstruktur namun terselubung. Hal ini terbukti dari beberapa pelaku terorisme di Indonesia yang tidak tahu  dan tidak menyadari bahwa anggota keluarga dan tetangganya terlibat dalam jaringan terorisme. Ciri terakhir, mudah terpancing isu. Sadar atau tidak mudahnya kita terpancing isu menjadi salah satu ciri perilaku radikal. Dewasa ini, seriring dengan berkembangnya media sosial menjadi fenomena (latah) dalam
    berfatwa. Seseorang dengan mudah sekali menyebar, menghujat dan menghakimi segala hal yang terjadi terlepas berita itu hoax atau benar adanya.

    Doktrin: Perbuatan Berhadiah Bidadari Surga

    Fenomena bom bunuh diri yang terjadi saat ini membuat kita semakin bertanya-tanya apakah gerangan yang menjadi motivasi para pelaku radikalisme dan terorisme sehingga tega melakukan perbuatan brutal itu. Ternyata percaya atau tidak, fenomena ini salah satunya juga dilatar belakangi oleh doktrin yang dinilai ekstrim yakni siapa saja yang bersedia menjadi “pengantin (pelaku bom bunuh diri)” dijanjikan dengan 72 bidadari surga. Tidak sampai situ, bukan hanya doktrin bidadari surga saja namun perekrut meyakinkan pelaku akan masuk surga secara bersama-sama jika dalam serangan turut mengajak keluarga. Buktinya, seeprti apa yang dilakukan Dita Oepriyanto dan Puji Kuswati yang mengajak 4 anaknya untuk melakukan aksi bom bunuh diri serempak di 3 gereja di Surabaya. Padahal, tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan perilaku radikal.

    Pendidikan Multikultural Upaya Membendung Radikalisme

    Pendidikan multikultural dijadikan sebagai model pendidikan yang mengajarkan dan menanamkan ideologi yang memahami, menghormati dan menghargai harkat dan martabat manusia tanpa melihat seseorang dari aspek ekonomi, budaya, etnis, bahasa dan agama sehingga tertanam karakter dan kesadaran akan hidup bersama dalam keanekaragaman dalam perbedaan. Dengan demikian, akan terjalin sikap saling mendengar, meghormati dan menghargai pendapat untuk menemukan jalan terbaik mengatasi berbagai macam problema yang dihadapi. Sementara itu, jika pendidikan multicultural tidak digalakkan dalam kehidupan ini maka akan muncul radikalisme yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.