Breaking NewsOpini

Dialektika Pemikiran Islam dengan Politik Praktis

Dialektika Pemikiran Islam dengan Politik Praktis 

Oleh.

Ust. Abdul Azis, SH., SPd.I., M.Pd.I

Sekretaris Umum

MUI Kota Bandar Lampung

Dalam sejarah panjang peradaban dan pemikiran Islam, yang sudah berlangsung hampir empat belas setengah abad. Pemikiran Islam seorang ulama, atau beberapa ulama, atau bahkan suatu komunitas ulama, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh para penguasa politik dizamannya, sejarah sudah membuktikan.

Ketika Mu’awiyyah Bin Abi Sufyan, bisa mengalahkan rival politiknya, Sayyidina Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan Bin Ali, Sayyidina Husein Bin Ali, berikut keluarga Alawiyin, tentu dengan berbagai intrik dan tipu muslihat, bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan dan kebengisan, pada akhirnya menang secara politik, ditandai dengan pindahnya Ibu Kota Islam dari Madinah ke Damaskus.

Muncullah pernyataan teologis Sang Khalifah Mu’awiyyah yang sangat populer, karena dipopulerkan dan dimassifkan oleh kekuasaan, “Semua Yang Telah Terjadi Karena Kehendak Allah, Karena Taqdir Allah, Biqudrotillahi Ta’ala, Wabi Irodatihi, Wabi Masyi’atihi, Waridlohu”, ini kemudian menjadi doktrin teologis jabariyah, yang motifnya tentu bisa dianalisis, untuk melanggengkan kekuasaan.

Mu’tazilah menjadi madzhab mayoritas pada zamannya juga karena didukung oleh kekuasaan, bahkan dalam beberapa hal melakukan intervensi, Khalifah Al Ma’mun misalnya, dari Dinasti Abbasyiah, secara terang – terangan mengaku sebagai penganut Mu’tazilah, dan itu tercermin dari kebijakan kebijakan politiknya, salah satunya adalah peristiwa Mihnah, wajar kemudian kalau menjadi madzhab mayoritas.

Teologi Asy’ariyah yang kemudian dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang populer hingga hari ini, serta banyak penganutnya dibanyak belahan bumi ini, sejarahnya juga didukung oleh kekuasaan politik, bahkan teologi Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 M. yang pengaruhnya tidak hanya di Asia Selatan, namun juga sampai ke Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia. Contoh yang lain lagi, adalah Dinasti Seljuk, 11-14 M. Khalifah Aip Arsalan beserta Perdana menterinya, Nidzam Al Mulk sangat mendukung teologi Asy’ariyah, penyebarannya terstruktur, sistematis dan massif, terutama melalui para ulama dan lembaga pendidikan.

Wahabi lebih tepatnya Wahabisme, وهابية, atau Salafi juga berangkat dari doktrin teologis hasil pemikiran kalam Ibnu Taimiyyah, yang terkenal dengan Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Asma’ Wassifat, doktrin ini kemudian melahirkan ideologi takfiri.

Doktrin teologis Ibnu Taymiyyah ini kemudia dikembangkan, dimodernisir dan dikontekstualisasi oleh seorang ulama dan teolog kontemporer, Muhammad bin Abdul Wahhab yang berasal dari Najd, aliran pemikiran kalam ini didukung bahkan menjadi madzhab resmi Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi hingga hari ini.

Di belahan bumi persia, tepatnya Republik Islam Iran, semenjak pemerintahan ini terbentuk, telah mendeklarasikan diri bermadzhab syi’ah imamiyah/syi’ah itsna’ ‘asyariyah, hingga terinternalisasi dalam sistem ketatanegaraannya.

Dalam konteks ke Islaman dan ke Indonesiaan, Islam yang ramah, Islam yang damai, Islam yang santun, Islam yang moderat dan toleran, Islam yang menghargai budaya nusantara, bahkan bisa dibilang sukses melakukan akulturasi, tentu dalam kerangka yang dibemarkan oleh ortodoksi Islam, semua itu berlandaskan doktrin teologis Ahlussunnah Wal Jama’ah/pemikiran kalam Asy’ariyah, mulai dari walisongo generasi pertama hingga hari ini, selalu didukung oleh penguasa politik, setidaknya membiarkan, tidak mengganggu, tentu dengan pengecualian, masa kolonial.

Kontestasi pilpres 2019, juga harus dilihat dalam perspektif ini

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button