Category: Opini

  • Opini: Tadarus Ramadhan Menguji Bacaan al-Qur’an

    Opini: Tadarus Ramadhan Menguji Bacaan al-Qur’an

    Tadarus Ramadhan Menguji Bacaan al-Qur’an
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Tadarus Ramadhan adalah kesempatan mulia dan amalan meraih pahala yang berlipat ganda. Waktu yang ada hanya pada bulan penuh keberkahan yaitu Ramadhan. Tadarus dapat dilakukan kapan saja, pagi, siang, sore bahkan malam selagi waktu kita ada, namun pada umumnya tadarus malam yang kerap kali dilantunkan oleh para generasi muda hingga orang dewasa di masjid-masjid dan surau. Hal ini sudah menjadi tradisi lama, dan tidak ada suatu problem yang penting untuk dipersoalkan apalagi diperselisihkan oleh kita. Namun yang perlu di garis bawahi bahwa tadarus ini memiliki nilai pelajaran yang sangat berharga dan mulia, selain tadarus adalah bacaan ayat-ayat suci al-Quran yang setiap hurufnya bernilai pahala, juga bernilai pendidikan yang mengajarkan kepada kita dan generasi muda untuk cinta pada kitabnya, yaitu panduan hidup dan sumber hukum utama.

    Suara tadarus yang bersahut menyahut antara satu masjid dengan masjid lainnya hingga surau-surau mengumandangkan bacaan ayat suci al-Quran menunjukkan adanya syiar Islam yang hidup dan dihidupkan. Hidup karena al-Quran dilantunkan dan hidup karena para generasi muda cinta pada al-Quran yang mulia. Namun demikian pula sejatinya tadarus adalah implementasi dari mengaji pada TPQ sekitar kita, artinya bahwa mereka anak-anak hingga remaja yang mampu mengaji (tadarus) menggunakan mic di masjid -masjid adalah mereka yang memiliki bekal mengaji dan mampu membacanya. Semakin banyak generasi kita yang masih silih berganti membaca ayat-ayat suci, berarti estafet generasi ke garasi yang Qur’ani dan Islami masih terus ada.

    Begitu bahagianya kedua orang tua yang telah menjadikan anak-anak shalehnya terus berpacu untuk melantunkan kalam Ilahi, sebuah keberhasilan nyata yang dialaminya dengan penuh kegembiraan yang tiada terkira. Sebaliknya, masih banyak masjid-masjid yang sepi, sunyi tanpa ada suara syiar yang menggema, bukan karena menjaga nilai toleransi untuk hidup saling menghargai antar umat beragama, namun lebih pada adanya lantunan Ilahi berarti disana ada harapan dan masa depan generasi kita.

    Dalam suatu kalimat mulia dikatakan (لم أرى خليلا قدر خليله كالقرآن فتوبى لمن اتّخد القرآن خليلا) saya belum melihat seorang sahabat yang memuliakan sahabatnya seperti halnya al-Quran, maka beruntunglah orang-orang yang menjadikan al-Quran sebagai sahabatnya.

  • Puasa Ramadhan dan Pengendalian Inflasi di Provinsi Lampung

    Puasa Ramadhan dan Pengendalian Inflasi di Provinsi Lampung

    Puasa Ramadhan dan Pengendalian Inflasi di Provinsi Lampung

    H. Suryani M. Nur
    Ketua MUI Provinsi Lampung

    Puasa Ramadhan tahun 1446H yang kita awali pada 1 Maret 2025, kita yakini merupakan bulan yang penuh berkah bagi umat Islam. Puasa Ramadhan selain sebagai ibadah spiritual, juga membawa dampak signifikan terhadap perekonomian, termasuk tingkat inflasi di berbagai daerah, khususnya di Provinsi Lampung yang pada penduduk beragama Islam pada tahun 2024 berjumlah 8.732.010 jiwa ( 96,14% ) dari total penduduk Lampung. Inflasi yang merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum, sering kali meningkat selama bulan Ramadhan akibat peningkatan permintaan masyarakat terhadap kebutuhan pokok (demand). Oleh karena itu, strategi pengendalian inflasi menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi selama bulan suci ini. Tugas ini tidak hanya menjadi kewajiban pihak Bank Indonesia, tetapi juga tugas para para ulama / mubaligh melalui edukasi dan imbauan moral mengajak masyarakat untuk tidak melakukan konsumsi berlebihan yang dapat menyebabkan lonjakan harga barang, mengajak umat Islam untuk mengedepankan nilai kesederhanaan dan tidak melakukan panic buying (membeli barang dalam jumlah besar untuk mengantisipasi kenaikan maupun penurunan harga) sebelum Idul Fitri.

    1.Pola Konsumsi Masyarakat Selama Ramadhan
    Selama bulan Ramadhan, biasanya pola konsumsi masyarakat cenderung mengalami perubahan signifikan. Kebutuhan akan bahan makanan pokok seperti beras, daging, telur, minyak goreng, dan gula meningkat drastis. Selain itu, permintaan terhadap makanan berbuka puasa dan takjil juga melonjak. Fenomena ini sering kali menyebabkan harga-harga naik, yang berkontribusi terhadap inflasi.
    Di Provinsi Lampung, yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional, peningkatan permintaan terhadap komoditas pangan juga terjadi. Kota Bandar Lampung, Metro, dan kabupaten lainnya mengalami kenaikan harga bahan pokok menjelang dan selama bulan Ramadhan. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi rumah tangga serta peningkatan aktivitas perdagangan dan industri makanan.
    2. Faktor Penyebab Inflasi di Lampung Selama Ramadhan
    Beberapa faktor utama yang menyebabkan inflasi di Provinsi Lampung selama bulan Ramadhan antara lain:
    1. Meningkatnya Permintaan Barang Pokok
    Kenaikan permintaan bahan pangan dan kebutuhan lainnya menjelang Ramadhan hingga Idul Fitri mendorong harga naik.
    2. Gangguan Distribusi dan Logistik
    Cuaca buruk atau kendala transportasi dapat menghambat distribusi barang, sehingga pasokan berkurang dan harga naik.
    3. Spekulasi dan Penimbunan Barang
    Pedagang atau spekulan sering kali menahan stok barang untuk dijual dengan harga lebih tinggi saat permintaan melonjak.
    4. Efek Musiman dan Tradisi Konsumsi Lebih Banyak
    Masyarakat cenderung membeli lebih banyak makanan dan barang kebutuhan lainnya selama bulan puasa dan menjelang Lebaran.
    3. Upaya Pengendalian Inflasi Selama Ramadhan di Lampung
    Untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat selama Ramadhan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak terkait, antara lain:
    a. Operasi Pasar Murah
    Pemerintah Provinsi Lampung rutin menggelar operasi pasar murah untuk memastikan ketersediaan bahan pokok dengan harga terjangkau. Pasar murah ini membantu masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok dengan harga yang lebih stabil, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah.
    b. Pengawasan Harga dan Stok Barang
    Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung serta Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Lampung terus melakukan pemantauan harga di pasar tradisional dan modern. Pengawasan ini bertujuan untuk mencegah penimbunan barang dan memastikan distribusi berjalan lancar.
    c. Optimalisasi Produksi Lokal
    Lampung sebagai daerah penghasil pangan, terutama beras, jagung, dan hasil perkebunan, berupaya meningkatkan produksi dan distribusi komoditas lokal agar pasokan tetap terjaga. Hal ini juga mendukung stabilitas harga dan mengurangi ketergantungan pada impor dari luar daerah.
    d. Edukasi dan Kampanye Pola Konsumsi Bijak
    Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat juga mengedukasi masyarakat agar berbelanja secara bijak dan tidak melakukan pembelian berlebihan (panic buying). Kampanye ini bertujuan untuk menyeimbangkan permintaan pasar agar harga tetap terkendali.
    4. Dampak Positif Pengendalian Inflasi Selama Ramadhan
    Jika inflasi berhasil dikendalikan selama Ramadhan, maka beberapa manfaat bagi masyarakat Lampung antara lain:
    1. Harga bahan pokok lebih stabil, sehingga masyarakat tidak terbebani dengan lonjakan harga.
    2. Daya beli masyarakat tetap terjaga, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah.
    3. Iklim ekonomi lebih kondusif, sehingga pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) tetap bisa berkembang.
    4. Mengurangi risiko krisis pangan dan spekulasi harga, yang dapat merugikan masyarakat luas.

    Puasa Ramadhan tidak hanya membawa keberkahan secara spiritual, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan, terutama terhadap inflasi di Provinsi Lampung. Kenaikan permintaan terhadap bahan pokok dapat menyebabkan lonjakan harga, namun dengan strategi yang tepat, inflasi dapat dikendalikan. Melalui operasi pasar murah, pengawasan harga, peningkatan produksi lokal, serta edukasi konsumsi bijak, pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama menjaga stabilitas harga dan kesejahteraan ekonomi selama bulan Ramadhan. Dengan pengelolaan yang baik, Ramadhan bisa menjadi momentum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa terbebani oleh kenaikan harga yang tidak terkendali.

  • Opini: Psikologi Kultum Ramadan

    Opini: Psikologi Kultum Ramadan

    Psikologi Kultum Ramadan
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan seseorang, bukan mengkaji tentang jiwa seseorang melainkan mengkaji dan mengamati tentang perilaku jiwa seseorang. Dalam ilmu psikologi mengajarkan bagaimana seseorang dapat merasakan kebahagiaan, yang terkadang psikologi tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal hari kiamat dan tidak mengenal baik dan buruknya suatu hal, melainkan ia hanya mengenal bagaimana kebahagiaan itu di dapatkan dan dirasakan. Sedangkan kultum yang berarti kuliah tujuh menit adalah sebuah dakwah dalam waktu singkat, karena waktu yang digunakan untuk kultum juga sempit, seperti setelah shalat isya dan menjelang shalat tarawih khususnya. Kultum yang berarti kuliah tujuh menit, istilah ini lazim digunakan oleh masyarakat kita dan tentunya dalam dorasi yang singkat ini, seorang dai harus mampu menyampaikan pesan agama, khususnya seputar Ramadhan dan hal yang berkaitan dengan amaliyah ramdhan.

    Dakwah secara bahasa yang berarti menyeru kepada jamaah yang dalam hal ini sebagai mad’u (audiens). Dalam psikologi dakwah, seorang da’i haruslah mampu psikis audiens, sehingga pesan yang disampaikan sesuai target dari dakwah yang diinginkan. Dalam ilmu psikologi, seseorang tidak akan mudah berubah hanya dengan kata-kata yang disampaikan seorang da’i, melainkan bagaimana cara seorang da’i menyampaikan (metode dakwah) menjadi hal yang penting dalam berdakwah.

    Maka, dalam berdakwah, khususnya dalam menyampaikan kultum Ramadhan, seorang da’i harus mampu menyampaikan materi dakwahnya dengan baik sehingga menyentuh sanubari para audiens, untuk itu maka seorang da’i haruslah mempersiapkan dengan matang atas materi yang akan disampaikan, metode penyampaian hingga mampu memanfaatkan durasi waktu yang disediakan. Karena durasi waktu dakwah tersebut hanya tujuh menit, maka tidak seyogyanya seorang da’i melebihi dari waktu yang disediakan, karena jika dilanggar oleh da’i, maka akan menggangu psikologi para mad’u, sehingga apa yang diinginkan oleh da’i tidak dapat maksimal diterima oleh para audiens.

    Untuk itu, ilmu psikologi dakwah menjadi penting untuk dipahami oleh seorang da’i dalam menyampaikan pesan dakwah. Pesan surat al-Nahl ayat 125 tidak hanya pesan bagi seorang mad’u (audiens), melainkan juga pesan psikis bagi seseorang da’i. Karena sesungguhnya seorang yang tidak beres pada dirinya, dia tidak akan mampu merubah perilaku seseorang. Dalam psikologi dakwah tidak cukup hanya berpikir pada pesan Nabi Muhammad saw, “ballighu anni walau ayat” dengan berharap bahwa seorang da’i hanya bertugas menyampaikan sedangkan Allah Ta’ala yang akan memberikan petunjuk, melainkan ada upaya serius bagi da’i untuk berusaha menjadi orang yang baik, sehingga apa yang disampaikan bukan hanya pesan kata, melainkan juga pesan moral dan pesan mental yang harus ada bersamaan dengannya.

    Pada psikologi kultum ramadhan yang ingin disampaikan disini adalah, mari kita bersihkan diri kita, hati kita, pikiran kita dan perilaku kita dari segala hal yang buruk, terutama bagi seseorang da’i, meskipun bukan orang yang sempurna, juga harus tetap berupaya untuk menjaga segala tindak tanduknya, sehingga pesan agama yang disampaikan haruslah nilai norma agama yang benar ia jalankan. sehingga tidak terjebak pada suatu surat al-Shaff ayat 3, Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.

    Hal lain yang harus dibangun juga oleh seorang da’i dalam kultum ramadhan adalah sebuah upaya untuk memahamkan orang lain secara makruf.

  • Opini: Akar Ikhtilaf Pada Nalar al-Narajil

    Opini: Akar Ikhtilaf Pada Nalar al-Narajil

    Akar Ikhtilaf Pada Nalar al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Perbedaan itu fitrah, dan bahkan Rahmah, karena dengan adanya Ikhtilaf, akan semakin banyak ilmu dan pemahaman yang kita dapatkan, sehingga menjadi rahmah. Begitulah sabda Rasulullah saw, (إختلاف أمّتى رحمة) Ikhtilaf yang terjadi pada umatku (kata Nabi) adalah rahmat. Ikhtilaf menurut Yusuf al-Qardhawi dapat dibagi menjadi dua, yaitu (إختلاف العقل) perbedaan pemikiran dan (إختلاف الأخلاق ) perbedaan akhlak. Konteks rahmat dalam kajian hukum Islam dalam menyikapi ikhtilaf adalah perbedaan seputar pemikiran. Bahwa setiap manusia dianugerahi akal pikiran yang sehat dan sempurna kecuali orang gila yang tidak terbebani hukum. Dalam suatu perkataan mulia diungkapkan (إكمال العقل اتّباع رضوان الله تعالى واجتناب عن نواهيه فخلاف ذلك جنون) kesempurnaan akal seseorang, akan senantiasa mengikuti ridha Allah Ta’ala, dan menjauhkan segala yang dilarang, sedangkan orang yang menyalahi kaidah ini adalah orang gila. Sedangkan ikhtilaf kedua adalah perbedaan yang disebabkan oleh akhlak, maksudnya adalah perbedaan yang disebabkan karena suatu sikap seseorang yang menyebabkan berbeda dalam sikap hingga menyebabkan pertikaian baik dalam ucapan hingga perbuatan.

    Nalar al-Narajil adalah sebuah metode ijtihad yang penulis tawarkan guna menganalisis proses ijtihad dengan berbagai prinsip-prinsip dan tahapan-tahapan yang dilalui. Nama al-Narajil adalah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti kelapa. Pada buah ini memiliki tahapan demi tahapan sesuai lapisan yang ada pada buah ini. Lapisan pertama menunjukan bukti hukum Islam yang universal dan komprehensif, sebuah keuniversalan secara utuh dan sempurna hingga dapat dilihat dari segala sudut. Hukum Islam memiliki karakter, yaitu memudahkan (التيسير), berkeadilan (العدل), demokrasi(الشورى), dan berkesimbangan (المساوة). Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa hukum Islam adalah (شمول) menyeluruh. Pada lapisan inilah Islam menunjukkan dirinya yang dinamis ( صالح لكل زمان ومكان) agama Islam dinamis (kebenarannya) untuk setiap waktu dan tempat.

    Pada lapisan kedua adalah pendekatan itu sendiri (approach), menunjukkan bahwa Islam dapat dikaji dengan banyaknya disiplin keilmuan, atau banyaknya pendekatan, baik yang masih relevan (interdisipliner, multidisipliner, hingga transdisipliner). Proses merekonstruksi hukum, dan atau merekonstruksi huhum, bahkan hingga mendeskonstruksi hukum, haruslah dilalui secara benar, karena jika proses itu dilakukan dengan cara yang tidak benar (baik dalam mengginakan teori/pendeketan, atau argument hukum yang digunakan, hingga kelemahan mujtahid dalam berijtihad) akan berakibat fatal. Pada pendekatan ini, ada dua pendekatan yang biasa dilakukan yaitu intra doctrinal reform, yaitu sebuah pendekatan hukum dengan menggunakan teori-teori yang ada dalam usul fikih. Sedangkan yang kedua adalah ekstra doctrinal reform yaitu pendekatan hukum yang juga dapat dilakukan dengan pendekatan selain usul fikih, adalah pendekatan yang dilakukan dengan teori-teori yang berkembang pada umumnya.

    Maka, pada lapisan ketiga pada buah kelapa, terdapat sebuah tempurung yang sangat kuat dan keras, menujukkan sebuah filter bahwa hukum Islam dikonstruksi melalui tujuan yang jelas, pasti dan terukur, karena proses ini dilakukan dengan kehati-hatian serta keseriusan dalam memilah dan memilih ‘illat hukum dan dalam mengambil dalil yang relevan dengannya. Dalam konteks hukum Islam, maqasid al-syari’ah (tujuan hukum) haruslah diperioritaskan, baik yang bersifat dharûriyah (primer), hajjiyah (skunder), dan tahsiniyah (tersier). Secara primer tujuan hukum adalah untuk melindungi agama (hifdz al-dîn), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-aqil), menjaga nasab (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mâl). Keseluruhan unsur tersebut di atas, digunakan untuk menelaah realita hukum agar dapat rerukur yaitu untuk mengambil manfaat dan menolak kerusakan (li jalbi al-mashâlih wa li daf’i al-mafâsid). Tidak hanya pada wilayah tujuan hukum saja, melainkan juga dalam konteks mujtahid (ulama yang berijtihad), haruslah kompeten dalam proses ijtihadnya, sehingga tidak menghasilkan hukum yang cacat. Analoginya, bahwa jika pada lapisan ini cacat atau tempurung kelapa ini pecah, maka akan berakibat buruk pada bagian dalamnya.

    Sehingga pada lapisan keempatnya ini adalah inti (bahan) yang dijadikan sebuah objek dalam kajian hukum ini, yaitu nash al-Qur’an dan al-Sunah. Sebuah lapisan dalam yang dilapisi oleh tempurung. Menggambarkan pada dua kajian pokok yang merupakan intisari dari kajian hukum itu sendiri, inti kelapa dan air mengisyaratkan objek kajian hukum Islam yang pada ujung paling atas bersambung dengan tangkai yang dapat menembus beberapa laisan tempurung, serabut dan juga lapisan halus paling luar yang menunjukkan bahwa ketauhidan seorang mujtahid dengan setetus menjadi orang yang beriman adalah hal yang mutlak, sehingga kajian hukum Islam tidak elok jika dikaji oleh seorang yang orientalis dengan tidak adanya iman yang melekat padanya, karena jika itu dilakukan akan mengabaikan tujuan hukum maqashid al-syari’ah dan ini akan berakibat fatal. Betapa tidak, bahwa hukum syarâ’ itu berlaku bagi orang yang mukallaf dan beriman, dan tidak sebaliknya, bahwa orang yang tidak beriman adalah tidak dianggap sebagai akhli ibadah (laisa min ahli ibadah), jika mereka (orang yang tidak beriman) bukan ahli ibadah, maka mereka tidak terbebani hukum, dan tidak mungkin orang yang tidak terbebani hukum lantas memiliki hak untuk berijtihad. Maka penulis menekankan bahwa nilai taihid dalam konteks hukum Islam menjadi induk lahirnya hukum syara’.

    Dari Nalar Al-Narajil ini dapat dipahami bahwa akar ikhtilaf sejatinya ada pada lapisan kedua, yaitu lapisan approach (pendekatan), yaitu sebuah hukum yang mutaghayyir akan senantiasa dapat dilakukan dengan penggalian ”illat dan penggunaan teori yang beragam, hingga penggunaan dalil yang relevan akan sangat menentukan hasil dari suatu hukum. Mengingat bahwa kaidah (الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما) hukum akan senantiasa berkisar antara ada dan tiadanya ”illat. Hukum fikih bersifat relatif, dinamis dan rinci, sehingga ‘illat hukum menjadi faktor yang dapat menjadi ada dan tiadanya hukum, apakah wajib, sunah, mubah, makruh atau bahkan haram akan senantiasa dapat dilihat pada argumen dan bukti hukum itu sendiri.

  • Empat Persiapan Menyambut Ramadhan 1446

    Empat Persiapan Menyambut Ramadhan 1446

    Empat Persiapan Menyambut Ramadhan 1446
    Prof. Dr. H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Ketua LP2M UIN Raden Intan Lampung Ketua KomisiUkhuwah Islamiyah MUI Lampung

    Sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, tentunya sebagai umat Islam akan sangat bahagia dan bersuka cita manakala dapat dipertemukan kembali dengan bulan suci Ramadhan, sebab bulan suci Ramadhan bukan hanya bulan yang mulia, tetapi bulan suci Ramadhan juga memiliki banyak keistimewaan yang tidak dimiliki bulan-bulan lain, bahkan bulan suci Ramadhan merupakan ladang pahala bagi kita semua. Oleh karenanya sangatlah rugi manakala kita menyia-nyiakan bulan suci Ramadhan, apalagi melewatkannya begitu saja. Sebab belum tentu Ramadhan yang akan datang kita dapat dipertemukan kembali. Lantas, persiapan apa yang perlu dilakukan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan

    Dalam hal ini ada 4 (empat) persiapan yang diperlukan dalam rangka menyambut/menyongsong bulan suci Ramadhan;

    Pertama, Persiapan Ruhiyah. Persiapan ini bisa dilakukan dengan cara membersihkan jiwa dan hati, di mana membersihkan jiwa dan hati bisa dilakukan dengan cara bertaubat kepada Allah swt dengan taubat nasuha, yaitu menyesali dengan sepenuh hati terhadap semua dosa dan kesalahan yang pernah kita lakukan, kemudian mengisi dan memperbaiki diri dengan berbagai amal kebaikan dan berjanji untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan lagi, serta berupaya untuk senantiasa menjalankan perintah-perintah Allah swt dan meninggalkan larangan-larangannya. Selain itu membersihkan jiwa dan hati juga dapat dilakukan dengan cara saling memaafkan, baik terhadap orang tua, keluarga, maupun terhadap sesama.

    Kedua, Persiapan Aqliyah. Persiapan ini bisa dilakukan dengan cara mempelajari dan memahami materi-materi yang berkaitan dengan puasa Ramadhan, baik yang berkaitan dengan makna dan hakekat puasa, dasar hukum puasa, tujuan puasa, rukun dan syarat puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, hal-hal yang disunahkan dalam puasa, hal-hal yang dapat mengurangi nilai-nilai puasa, serta manfaat dan hikmah puasa. Dengan memahami materi-materi puasa tersebut, insya Allah puasa kita akan menjadi sempurna.

    Ketiga, Persiapan Badaniyah.  Persiapan ini bisa dilakukan dengan cara menjaga akan kesehatan badan/fisik kita, tentunya dengansenantiasa menjaga pola hidup secara baik, misalnya makan dan minum secara teratur, olah raga yang cukup, istirahat yang cukup, dan lain sebagainya. Sehingga apabila badan/fisik kita dalam keadaan sehat, tentunya kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan maksimal.

    Keempat, Persiapan Maliyah. Persiapan ini bisa dilakukan dengan cara mempersiapkan bekal/harta yang cukup, baik dalam bentuk sembako maupun dalam bentuk uang, sehingga pada bulan Suci Ramadhan kita bisa secara maksimal, fokus dan khusudalam menjalankan serangkaian ibadah Ramadhan, tidak lagi terlalu memikirkan akan pekerjaan dan pendapatan. Agar puasa kita lebih semangat, maka kita anggap bahwa ramadhan tahun ini, merupakan ramadhan terakhir bagi kita. Akhirnya, mudah-mudahan kita dapat  melakukan  4 (empat) persiapan tersebut secara matang, sehingga ibadah Ramadhan kita tahun ini akan menjadi lebihsempurna. Wallahua’lam bishawab.

  • OPINI: NALAR AL-NÂRAJÎL SEBAGAI METODE IJTIHAD HUKUM

    OPINI: NALAR AL-NÂRAJÎL SEBAGAI METODE IJTIHAD HUKUM

    NALAR AL-NÂRAJÎL SEBAGAI METODE IJTIHAD HUKUM
    Dr. Agus Hermanto, M.H.I
    Dosen UIN Raden Intan Lampung


    Al-Nârajîl adalah diambil dari kata dalam Bahasa Arab yang berarti “kelapa”. Nalar ini terinspirasi pada lapisan demi lapisan yang ada pada buah kelapa yang sangat relevan dengan nalar ilmiah pada sebuah proses penemuan hukum Islam yang bersumberkan pada kitab suci yaitu al-Qur’an dan al-Sunah, serta pengembangan hukum melaui ijtihad dengan menggunakan dalil yang telah disepakai hingga upaya-upaya lain yang mukhtalif. Buah kelapa ini memiliki lima lapisan yang sangat unik dan masing-masing lapisan memiliki bentuk yang berbeda dengan lapisan lainnya, sehingga penulis tertarik dengan model lapisan ini, sehingganya penulis jadikan sebagai sebuah penalaran ilmiah yang sangat sederhana, namun juga secara maksimal dapat menggambarkan sejatinya hukum ada, dan juga penulis temukan letak sebuah pertikaian para ulama dalam menyikapi persoalan yang furu’i (cabang), hingga menghasilkan sebuah hukum Islam (fikih).

    Buah ini memiliki lima lapisan. Lapisan pertama adalah lapisan halus yang ada di luar, lapisan kedua adalah lapisan serabut yang sangat tebal, dan lapisan ketiga adalah tempurung yang sangat keras dan kuat, lapisan keempat adalah intisari dari buah kelapa yang berwarna putih dan lapisan paling dalam adalah air. 

    Lapisan pertama pada buah ini yaitu lapisan paling luar yang halus dan menjadi lapisan paling luar yang mencakup pada beberapa lapisan bagian dalam lainnya, memberikan sebuah isyarat bahwa Islam itu koprehensif (mencakup kajian yang sangat universal dan menyeluruh), mengandung makna yang sangat filosofis, bahwa universal dan menyeluruh ini bahwa kajian hukum Islam yang bersumberkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah memiliki sebuah keterbukaan hingga dapat dikaji dengan berbagai pendekatan.

    Pada lapisan kedua adalah pendekatan itu sendiri (approach), menunjukkan bahwa Islam dapat dikaji dengan banyaknya disiplin keilmuan, atau banyaknya pendekatan, baik yang masih relevan (interdisipliner, multidisipliner, hingga transdisipliner). Proses merekonstruksi hukum, dan atau merekonstruksi huhum, bahkan hingga mendeskonstruksi hukum, haruslah dilalui secara benar, karena jika proses itu dilakukan dengan cara yang tidak benar (baik dalam mengginakan teori/pendeketan, atau argument hukum yang digunakan, hingga kelemahan mujtahid dalam berijtihad) akan berakibat fatal. Pada pendekatan ini, ada dua pendekatan yang biasa dilakukan yaitu intra doctrinal reform, yaitu sebuah pendekatan hukum dengan menggunakan teori-teori yang ada dalam usul fikih. Sedangkan yang kedua adalah ekstra doctrinal reform yaitu pendekatan hukum yang juga dapat dilakukan dengan pendekatan selain usul fikih, adalah pendekatan yang dilakukan dengan teori-teori yang berkembang pada umumnya.

    Maka, pada lapisan ketiga pada buah kelapa, terdapat sebuah tempurung yang sangat kuat dan keras, menujukkan sebuah filter bahwa hukum Islam dikonstruksi melalui tujuan yang jelas, pasti dan terukur, karena proses ini dilakukan dengan kehati-hatian serta keseriusan dalam memilah dan memilih ‘illat hukum dan dalam mengambil dalil yang relevan dengannya. Dalam konteks hukum Islam, maqasid al-syari’ah (tujuan hukum) haruslah diperioritaskan, baik yang bersifat dharûriyah (primer), hajjiyah (skunder), dan tahsiniyah (tersier). Secara primer tujuan hukum adalah untuk melindungi agama (hifdz al-dîn), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-aqil), menjaga nasab (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mâl). Keseluruhan unsur tersebut di atas, digunakan untuk menelaah realita hukum agar dapat rerukur yaitu untuk mengambil manfaat dan menolak kerusakan (li jalbi al-mashâlih wa li daf’i al-mafâsid). Tidak hanya pada wilayah tujuan hukum saja, melainkan juga dalam konteks mujtahid (ulama yang berijtihad), haruslah kompeten dalam proses ijtihadnya, sehingga tidak menghasilkan hukum yang cacat. Analoginya, bahwa jika pada lapisan ini cacat atau tempurung kelapa ini pecah, maka akan berakibat buruk pada bagian dalamnya.

    Sehingga pada lapisan keempatnya ini adalah inti (bahan) yang dijadikan sebuah objek dalam kajian hukum ini, yaitu nash al-Qur’an dan al-Sunah. Sebuah lapisan  dalam yang dilapisi oleh tempurung. Menggambarkan pada dua kajian pokok yang merupakan intisari dari kajian hukum itu sendiri, inti kelapa dan air mengisyaratkan objek kajian hukum Islam yang pada ujung paling atas bersambung dengan tangkai yang dapat menembus beberapa laisan tempurung, serabut dan juga lapisan halus paling luar yang menunjukkan bahwa ketauhidan seorang mujtahid dengan setetus menjadi orang yang beriman adalah hal yang mutlak, sehingga kajian hukum Islam tidak elok jika dikaji oleh seorang yang orientalis dengan tidak adanya iman yang melekat padanya, karena jika itu dilakukan akan mengabaikan tujuan hukum maqashid al-syari’ah  dan ini akan berakibat fatal. Betapa tidak, bahwa hukum syarâ’ itu berlaku bagi orang yang mukallaf dan beriman, dan tidak sebaliknya, bahwa orang yang tidak beriman adalah tidak dianggap sebagai akhli ibadah (laisa min ahli ibadah), jika mereka (orang yang tidak beriman) bukan ahli ibadah, maka mereka tidak terbebani hukum, dan tidak mungkin orang yang tidak terbebani hukum lantas memiliki hak untuk berijtihad. Maka penulis menekankan bahwa nilai taihid dalam konteks hukum Islam menjadi induk lahirnya hukum syara’.

  • Opini: Nalar Ilmiah Al-Narajil dalam Pembaruan Hukum Islam

    Opini: Nalar Ilmiah Al-Narajil dalam Pembaruan Hukum Islam

    Nalar Ilmiah Al-Narajil dalam Pembaruan Hukum Islam
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Nalar ilmiah ini penulis kenalkan sebagai ijtihad ilmiah dalam pembaruan hukum Islam. Kata Al-Narajil berasal dari bahasa Arab yang berarti kelapa, salah satu buah yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan, namun penulis bukan ingin berbicara tentang manfaat buah kelapa, melainkan ingin menjadikan buah kelapa ini sebagai nalar ilmiah proses pembaruan hukum yang lazim dilakukan dari generasi ke generasi selanjutnya secara logis, ilmiah dan terukur.
    Pada buah kelapa memiliki lima lapisan dari yang paling luar hingga yang paling dalam. Lapisan pertama menganalogikan bahwa hukum Islam itu bersifat universal, dan komprehensif, yang mana dapat dilihat dalam banyak sudut. Yang mencakup di dalamnya bersifat tsubut dan taghayyur. Yang bersifat tsubut dapat dikatakan bersifat qath’i atau ciri dari hukum syara’ yang memang bersifat global. Sedangkan taghayyur terjadi karena adanya konteks yang berbeda-beda sehingga menyebabkan terjadinya perubahan hukum. Pada prinsipnya, bahwa hukum Islam itu memiliki prinsip taisir (memudahkan), ‘adl (berkeadilan), syura (demikrasi), musawah (setara).

    Sedangkan sisi taghayyur sejatinya telah banyak kaidah yang mendukungnya yaitu (تغير الأحكام بتغيّر الأمكنة والأزمنة والأحوال والعوائد) perubahan hukum dapat dipengaruhi oleh tempat, zaman, keadaan, dan kultur).

    Dalam kaidah lain juga dikatakan, (لا ينكر تغيّر الأحكام بتغيّر الأمكنة والأزمنة) tidak dipungkiri bahwa perubahan hukum, dapat dipengaruhi oleh perubahan tempat dan waktu.

    Kaidah lain mengatakan, (الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما) hukum itu senantiasa berputar pada ada dan tidak adanya ”illat (alasan hukum).

    Dalam kaidah lain juga dikatakan, (الحكم يتبع المصلحة الراجحة) hukum itu akan senantiasa mengikuti suatu kemaslahatan yang paling kuat.
    Pada lapisan kedua adalah approach (pendekatan), meminjam bahasa Prof. Khairudin Nasution, bahwa pendekatan hukum itu kerap dilakukan oleh dua faktor, intra doctrinal reform dan ekstra doctrinal reform. Bahwa proses perubahan hukum termasuk hukum Islam dapatlah dilakukan dengan faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal dalam konteks hukum Islam adalah usul fikih, menggambarkan pada proses ijtihad pada masa Nabi masih hidup maka semua persoalan dikembalikan kepada beliau hingga menjadi asabab al-nuzul dan asbab al-wurudh, hingga al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber istinbath, kemudian pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, lahirlah beberapa dalil hukum yang disepakati yaitu ijma dan qiyas. Kemudian juga lahir beberapa teori (dalil) yang mukhtalif yaitu istishlah, istishab, istihsan, urf, sadd al-dzari’ah, syar’u man qablana, qaul qadim dan jadid, dan amal ahkul Madinah.

    Sedangkan eksternal dalam konteks ini adalah teori atau pendekatan luar usul fikih yang juga bisa digunakan secara relevan.

    Pada lapisan selanjutnya yaitu tempurung yang keras yang dapat menjadi filter hukum dan juga kredibilitas Mujtahid. Sedangkan tujuan hukum (maqasid al-syari’ah) adalah (لجلب المصالح ولدفع المفاسد) mengambil maslahat dan menolak mudharat. Unsur maslahat itu baik yang bersifat dharuriyah (primer), hajjiyah (skunder), tahainiyah (tersier). Sedangkan tujuan primer itu adalah bertujuan untuk melindungi agama (حفظ الدين), jiwa (حفظ النفس), akal (حفظ العقل), nasab (حفظ النسل)dan harta ( حفظ المال). Pada lapisan ini sangat kuat dan keras, karena ini adalah filter yang akan menentukan baiknya lapisan dalam. Analogi Al-Narajil jika tempurung pecah, maka akan busuk dalamnya kelapa dan airnya. Begitu juga suatu hukum Islam yang diijtihadi oleh orang yang tidak kompeten, baik ilmu yang dimilikinya atau metode ijtihad dan dalil hingga keimanannya, akan berakibat fatal pada produk hukum tersebut.

    Sedangkan pada lapisan dalam terdapat inti kelapa dan air yang meruapan sumber inspirasi dan juga objek kajian yaitu Nash (al-Quran dan Sunnah), yang mana dua sumber hukum ini menjadi objek hukum. Al-Quran sebagai sumber utama, sedangkan al-Sunnah sebagai sumber kedua berfungsi sebagai penjelas (بيان التفسير), penguat (بيان التأكيد), dan syariat baru yang tidak ada dalam al-Qur’an (بيان التشريع).

    Nalar inikah yang penulis tawarkan untuk melakukan ijtihad hukum baru yang progrsif dan berdaya maslahat. Penulis melihat bahwa pembaruan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid kontemporer kerap kali menggunakan pendekatan interdisipliner, sehingga dalam satu kasus hukum dapat dianalisis secara komprehensif.

  • Inilah Pesan Rais Syuriah PCNU Lampung Tengah, KH. Nur Daim Pada Rakercab ke – II LAZISNU Lampung Tengah

    Inilah Pesan Rais Syuriah PCNU Lampung Tengah, KH. Nur Daim Pada Rakercab ke – II LAZISNU Lampung Tengah

    Lampung Tengah, MUI Lampung Digital

    Jajaran Pengurus NU CARE-LAZISNU PCNU Lampung Tengah menyelenggarakan Rapat Kerja Cabang (Rakercab ) II, di lantai 2 aula Hotel Asy Syafi’iyah, Kampung Kotagajah Timur, Kecamatan Kotagajah, Kabupaten Lampung Tengah, Minggu (16/2/2025), bertepatan 17 Sya’ban 1446 H.

    Rais Syuriah PCNU Lampung Tengah, KH. Nur Daim, pada kesempatan tersebut menyampaikan pesan – pesan moral, antaralain; setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban, apapun profesinya, dan apapun status sosialnya termasuk dalam jam’iyyah perkumpulan NU ini .

    “Kesemuanya pada jenjang jam’iyyah perkumpulan NU, saling berhubungan dan koordinasi, koherensi, mulai dari PBNU, PWNU, PCNU, MWC NU, PRNU, dan PARNU,” imbuhnya.

    Pengasuh Pondok Pesantren Darussalamah, Kampung Bandar Agung, Kecamatan Terusan Nunyai, ini menambahkan, semua pengurus Lembaga NU level cabang Lampung Tengah saling koordinasi dengan PCNU Lampung Tengah, dan pada jenjang lainnya, tujuannya supaya lebih terarah, tertib, dan lebih bagus.

    Ketua NU CARE – LAZISNU PCNU Lampung Tengah, Gus Ali Fadhilah Mustofa, pada agenda pembukaan RAKERCAB (Rapat Kerja Cabang) II NU CARE – LAZISNU PCNU Lampung Tengah, menyampaikan, peserta RAKERCAB (Rapat Kerja Cabang) II NU CARE – LAZISNU PCNU Lampung Tengah adalah utusan UPZISNU tingkat kecamatan se Lampung Tengah, juga UPZISNU tingkat Pengurus Ranting NU se Lampung Tengah,” imbuhnya.

    Alumnus Pesantren Walisongo Bumi Ratu Nuban ini menambahkan, agenda RAKERCAB (Rapat Kerja Cabang) II NU CARE – LAZISNU PCNU Lampung Tengah ini adalah bagian hormat dari memeriahkan Hari Lahir NU ke 102, sekaligus untuk mempersatukan gerakan dan persepsi, semuanya dari jenjang atas hingga bawah. Peserta yang masuk 290 peserta, semua keseluruhan dari MWC NU, dari ranting NU se Lampung Tengah. Pada momentum kami akan menyampaikan capaian progres NU CARE – LAZISNU PCNU kabupaten Lampung Tengah selama satu tahun ini.

    Sekretaris NU CARE – LAZISNU PCNU Lampung Tengah Abdul Hadi, menambahkan, Dalam Rakercab II tersebut tersebut dihadiri oleh; Rais Syuriah PCNU Lampung Tengah, KH. Nur Daim, Ketua NU CARE – LAZISNU PWNU Lampung, H.A. Jalaludin, M.Kom.I, jajaran pengurus PCNU Lampung Tengah, serta para pengurus Lembaga dan Badan Otonom di PCNU Lampung Tengah. Kepala Kantor Kementerian Agama Lampung Tengah, H. Maryan Hasan, M.Pd, BAZNAS Lampung Tengah, MUI Lampung Tengah, RS Mitra Mulia Husada, dan lain-lain.

    Tema yang diusung pada Rakercab ke-II tahun 2025 ini adalah “Bekerja Bersama Umat Untuk Indonesia Maslahat”. (Akhmaf Syarief Kurniawan)

  • Opini: Tauhid Induk Dari Filsafat dan Sains, Penalaran Al-Narajil

    Opini: Tauhid Induk Dari Filsafat dan Sains, Penalaran Al-Narajil

    Tauhid Induk Dari Filsafat dan Sains, Penalaran Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, M.H.I
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    “Kenalilah Tuhanmu sebelum engkau kenali ciptaannya” Sebuah gagasan Tauhid yang menunjukkan pada suatu hal yang menuntut hati, pikiran dan amaliyah kita untuk selalu menjaga esensi dari keimanan kepada Allah Ta’ala. Artinya bahwa ketika seseorang mengenal Rabbnya dengan penuh keimanan yang ia yakini dan pahami, sehingga amaliyah yang dilakukannya tidak lain hanyalah untuk mencari ridha-Nya. Ketika hati seseorang bersih dari segala keinginan buruk kecuali hanya mencari Ridha-Nya, dan ketika akal manusia benar hingga berpikir yang positif, maka setiap apa yang dipikirkan olehnya adalah hal yang akan membawa kemaslahatan bagi kehidupan.

    “Kesempurnaan akal seseorang adalah selalu berada dalam ridha Allah, sedangkan sebaliknya adalah orang yang gila” Sebuah pijakan pola pikir seseorang ketika ingin berfilsafat, yaitu mencari kebenaran yang diyakininya pada hakekat kemudian, haruskah memiliki pikiran yang bersih, karena jika tidak, maka apa yang dipikirkannya akan tidak terarah hingga menjadi sebuah penelusuran dalam bentuk analisis yang tidak tepat, dan hasil yang didapatkannya juga akan salah kaprah. Begitlah pepatah mengatakan bahwa “jika kamu mencintai ciptaannya, maka jangan lupa kamu cinta pula sang Pencipta” Hal ini adalah pepiling, agar kita selalu ingat bahwa adanya sesuatu karena adanya yang menciptakan, kecuali sang Khaliq yaitu Allah Ta’ala yang berdiri sendiri dan tidak menyerupai makhluknya.

    Kedudukan agama dan filsafat tidaklah sama, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mencari kebenaran yang kemudian diyakininya secara benar. Meskipun agama berpijak dari norma ajaran Ilahiah, sedangkan filsafat berasal dari keresahan pikiran, yang kemudian jika disinergikan akan terbentuklah integrasi antara keduanya, hingga terbukti pada sebuah pemahaman yang ilmiah, empirik dan terukur. Misalnya ketika berbicara tentang Isra dan mi’raj Rasulullah saw, bahwa perjalanan Isra dan mikraj dalam konteks ini hanyalah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, dan hal ini harus diyakini kebenarannya, mengapa demikian bahwa perjalanan itu dialami oleh Nabi Muhammad secara nyata, dan diceritakan kepada umatnya secara benar, sehingga harus diyakini oleh umatnya, mengapa demikian? karena mengenai adanya Rasul Allah adalah bagian dari unsur iman yang empat, berarti kemaksuman rasul harus juga diyakini oleh umatnya, termasuk juga meyakini atas apa yang disampaikan darinya tentang kejadian Isra dan Mi’raj. Ketika orang mengimani Rasul, sedangkan ia tidak percaya dengan ucapannya berarti keimanannya ngambang, tidak sepenuhnya. Sedangkan melakukan perjalanan dari Makkah ke Madinah haruslah dilakukan oleh umatnya sebagai bukti atas kebesaran Tuhan yang telah menjalankannya, sehingga secara pemahaman bahwa hal itu tidaklah dapat dilakukan dalam satu malam oleh orang biasa kecuali adalah hamba Allah yang terjaga dan terkecuali.

    Sama halnya mempercayai atas kelahiran Isa as, dari rahim seorang Ibu bernama Maryam adalah proses yang alamiah, seorang wanita hamil dan kemudian melahirkan, namun terdapat nilai ketauhidan yang harus diyakini yaitu proses pembuahan rahim Maryam yang tanpa ada proses alamiah (bercampurnya seorang laki-laki yang membuahi sel telur perempuan hingga terjadi pembuahan yaitu kehamilan). Hal inilah menunjukkan bahwa nilai Ilahiah tampak nyata dalam realita yang terjadi ini. Sehingga mengimani atas kehadiran Rasul yaitu Isa as, yang terlahir dari rahim yang suci adalah hal yang tidak dapat ditentang, karena hal itu telah dijelaskan dalam kitab suci al-Quran yang merupakan salah satu unsur keimanan yang harus diyakini yang ketiga, setelah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat lalu iman kepada Kitab-kitab, dan mempercayai berita dalam al-Quran tentang kelahiran Isa as, adakah nilai Tauhid yang benar dan harus diyakini secara benar pula.

    Dalam kaitannya dengan penalaran Al-Narajil dalam konteks integrasi antara agama dan sains adalah bahwa agama yang bersifat komprehensif yang kebenarannya harus diyakini dan tidak dapat diragukan sedikitpun adalah bukti kebenaran pada ajaran tersebut, seperti halnya lapisan Al-Narajil yang halus dan berada pada bagian luar yang sejatinya mengcover dua lapisan dalam yaitu serabut dan tempurung. Untuk membuktikan kebenaran al-Quran, maka perlu kiranya dipahami baik dengan penalaran keagamaan (al-aql al-diniy) dan penakaran sains (al-aql al-falsafiy). Maka integrasi keilmuan dalam bentuk berfikir falsafi hingga dibuktikan dengan penemuan-penemuan ilmiah, logis dan terukur dalam bukti empirik adalah membutuhkan basis yang mumpuni dan tidak dapat dilakukan oleh semua orang, hal inilah membuktikan bahwa tempurung itu keras dan kuat, karena esensinya adalah untuk melindungi dua intisari yang ada didalamnya yaitu isi kelapa dan airnya, yang hal ini menunjukkan bahwa proses alamiah dan ilmiah dengan pendekatan bayani, irfani hingga burhani tidaklah mudah, haruslah ada penalaran khusus yang dengan mudah menjadi wasilah untuk menghangatkan sebuah nilai kebenaran yang kemudian diyakini.

    Pada muaranya bahwa kepandaian seorang akan hampa untuk mencari bukti kebesaran ciptaan sang Allah Ta’ala, sehingga haruslah dilakukan dengan penuh keimanan dan ketaatan agar supaya tidak pecahnya tempurung kelapa hingga menyebabkan busuknya kelapa dan air yaitu sebuah analogi ilmiah menunjukkan sebuah integrasi antara kebenaran al-Quran dan Sains yang jika dipahami dengan salah misalnya oleh orang yang tidak beriman, katakanlah orientalis, maka akan menghasilkan buah hasil yang tidak klimaks, karena kebenaran yang dilakukannya tidak berasaskan pada ketauhidan kepada sang Pencipta. Maka pada Al-Narajil terdapat ujung paling atas yang menyambung ketangkainya sebagai bentuk keterikatan Tauhid dalam hal mengintegrasikan antara Islam dan sains secara benar, begitu lepas dari tangkainya maka ia akan kering buah kelapa itu dan tidak lagi hidup ruh Ilahiah dalam nilai ketauhidan yang diyakini seorang hamba dalam analogi ilmiahnya.

  • Opini: Childfree Dalam Telaah Al-Narajil

    Opini: Childfree Dalam Telaah Al-Narajil

    Childfree Dalam Telaah Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Penalaran Al-Narajil adalah metode penalaran ilmiah yang digagas oleh Agus Hermanto sebagai salah satu teori untuk mengembangkan keilmuan hingga melakukan pembaruan hukum Islam, dengan tanpa mendikotomi pendekatan intra doctrinal reform dan intra doctrinal reform. Karena kedua pendekatan ini sejatinya dapatkah diintegrasikan secara ilmiah, logis dan terukur. Hadirnya teori Al-Narajil Agus Hermanto tawarkan sebagai salah satu metode analisis tajam dengan mengintegrasikan interdisipliner, multidisipliner hingga transdisipliner.

    Al-Narajil yang berasal dari bahasa Arab yang berarti kelapa. Mengapa harus kelapa? Mengingat bahwa kelapa memiliki tiga lapisan yang dapat penulis lakukan sebagai metode analisis ilmiah suatu hukum sehingga hukum akan lebih maslahat dan berdaya guna dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip al-taisir (kemudahan), al-adl (keadilan), al-syura (demokrasi), al-musawah (keadilan) hingga muasyarah bi al-makruf (bergaul dengan cara yang benar).

    Childfree yang berarti suatu pernikahan tanpa ingin adanya kelahiran anak. Dalam nalar Al-Narajil, bahwa keinginan menikah, hingga memilih pasangan, melaksanakan akad nikah, menjalankan hak dan kewajiban, hingga mewujudkan keluarga yang sakinah adalah tinjauan komprehensif dari hukum kelurga Islam. Begitulah nalar ilmiah pada lapisan pertama pada Al-Narajil secara universal.

    Hukum keluarga merupakan salah satu kajian yang dinamis hingga dapat dikaji dengan banyak teori maupun pendekatan, baik dalam konteks intra doctrinal reform maupun intra doctrinal reform. Begitulah lapisan kedua dalam nalar Al-Narajil.

    Perlu diingat, bahwa memutuskan hingga menentukan hukum childfree bukanlah cukup dengan satu ‘illat hukum, melainkan harus melihat secara komprehensif yaitu dengan banyak tinjauan agar tidak terjebak pada asumsi yang menutup sisi-sisi lain dari argumen yang sebenar dan lebih membawa kemaslahatan. Begitulah lapisan ketiga dalam konteks Al-Narajil yang begitu tebal dan keras, sehingga tidak mudah bagi seorang pemikir, apalagi mujtahid untuk memutuskan hukum childfree, itulah nalar batok tempurung pada Al-Narajil.

    Pada sisi dalam terdapat dua lapisan kelapa dan air yang menunjukkan bahwa integrasi hukum keluarga dan sains tidaklah dapat dipisahkan hingga dikotomi, melainkan harus dilihat dan dicermati secara benar agar tujuan hukum yaitu li jalbi al-mashaalihi wa li daf’i al-mafasid (mengambil kemaslahatan dan menolak kemudharatan harus ditinggalkan).

    Pada sisi paling atas pada Al-Narajil terdapat tangkai yang terintegrasi dengan lapisan paling dalam, yang menunjukkan bahwa nilai ketuhanan dalam bentuk ibadah yang terimplementasi dalam bentuk muamalah harus dijaga secara etika yang benar, sehingga setiap hukum yang ada haruslah bernilai Ilahiah agar bernilai maslahat dan sekaligus bernilai ibadah agar senantiasa diridhai Ilahi serta barokah.