Opini: Nalar Ilmiah Al-Narajil dalam Pembaruan Hukum Islam

Nalar Ilmiah Al-Narajil dalam Pembaruan Hukum Islam
Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Nalar ilmiah ini penulis kenalkan sebagai ijtihad ilmiah dalam pembaruan hukum Islam. Kata Al-Narajil berasal dari bahasa Arab yang berarti kelapa, salah satu buah yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan, namun penulis bukan ingin berbicara tentang manfaat buah kelapa, melainkan ingin menjadikan buah kelapa ini sebagai nalar ilmiah proses pembaruan hukum yang lazim dilakukan dari generasi ke generasi selanjutnya secara logis, ilmiah dan terukur.
Pada buah kelapa memiliki lima lapisan dari yang paling luar hingga yang paling dalam. Lapisan pertama menganalogikan bahwa hukum Islam itu bersifat universal, dan komprehensif, yang mana dapat dilihat dalam banyak sudut. Yang mencakup di dalamnya bersifat tsubut dan taghayyur. Yang bersifat tsubut dapat dikatakan bersifat qath’i atau ciri dari hukum syara’ yang memang bersifat global. Sedangkan taghayyur terjadi karena adanya konteks yang berbeda-beda sehingga menyebabkan terjadinya perubahan hukum. Pada prinsipnya, bahwa hukum Islam itu memiliki prinsip taisir (memudahkan), ‘adl (berkeadilan), syura (demikrasi), musawah (setara).
Sedangkan sisi taghayyur sejatinya telah banyak kaidah yang mendukungnya yaitu (تغير الأحكام بتغيّر الأمكنة والأزمنة والأحوال والعوائد) perubahan hukum dapat dipengaruhi oleh tempat, zaman, keadaan, dan kultur).
Dalam kaidah lain juga dikatakan, (لا ينكر تغيّر الأحكام بتغيّر الأمكنة والأزمنة) tidak dipungkiri bahwa perubahan hukum, dapat dipengaruhi oleh perubahan tempat dan waktu.
Kaidah lain mengatakan, (الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما) hukum itu senantiasa berputar pada ada dan tidak adanya ”illat (alasan hukum).
Dalam kaidah lain juga dikatakan, (الحكم يتبع المصلحة الراجحة) hukum itu akan senantiasa mengikuti suatu kemaslahatan yang paling kuat.
Pada lapisan kedua adalah approach (pendekatan), meminjam bahasa Prof. Khairudin Nasution, bahwa pendekatan hukum itu kerap dilakukan oleh dua faktor, intra doctrinal reform dan ekstra doctrinal reform. Bahwa proses perubahan hukum termasuk hukum Islam dapatlah dilakukan dengan faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal dalam konteks hukum Islam adalah usul fikih, menggambarkan pada proses ijtihad pada masa Nabi masih hidup maka semua persoalan dikembalikan kepada beliau hingga menjadi asabab al-nuzul dan asbab al-wurudh, hingga al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber istinbath, kemudian pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, lahirlah beberapa dalil hukum yang disepakati yaitu ijma dan qiyas. Kemudian juga lahir beberapa teori (dalil) yang mukhtalif yaitu istishlah, istishab, istihsan, urf, sadd al-dzari’ah, syar’u man qablana, qaul qadim dan jadid, dan amal ahkul Madinah.
Sedangkan eksternal dalam konteks ini adalah teori atau pendekatan luar usul fikih yang juga bisa digunakan secara relevan.
Pada lapisan selanjutnya yaitu tempurung yang keras yang dapat menjadi filter hukum dan juga kredibilitas Mujtahid. Sedangkan tujuan hukum (maqasid al-syari’ah) adalah (لجلب المصالح ولدفع المفاسد) mengambil maslahat dan menolak mudharat. Unsur maslahat itu baik yang bersifat dharuriyah (primer), hajjiyah (skunder), tahainiyah (tersier). Sedangkan tujuan primer itu adalah bertujuan untuk melindungi agama (حفظ الدين), jiwa (حفظ النفس), akal (حفظ العقل), nasab (حفظ النسل)dan harta ( حفظ المال). Pada lapisan ini sangat kuat dan keras, karena ini adalah filter yang akan menentukan baiknya lapisan dalam. Analogi Al-Narajil jika tempurung pecah, maka akan busuk dalamnya kelapa dan airnya. Begitu juga suatu hukum Islam yang diijtihadi oleh orang yang tidak kompeten, baik ilmu yang dimilikinya atau metode ijtihad dan dalil hingga keimanannya, akan berakibat fatal pada produk hukum tersebut.
Sedangkan pada lapisan dalam terdapat inti kelapa dan air yang meruapan sumber inspirasi dan juga objek kajian yaitu Nash (al-Quran dan Sunnah), yang mana dua sumber hukum ini menjadi objek hukum. Al-Quran sebagai sumber utama, sedangkan al-Sunnah sebagai sumber kedua berfungsi sebagai penjelas (بيان التفسير), penguat (بيان التأكيد), dan syariat baru yang tidak ada dalam al-Qur’an (بيان التشريع).
Nalar inikah yang penulis tawarkan untuk melakukan ijtihad hukum baru yang progrsif dan berdaya maslahat. Penulis melihat bahwa pembaruan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid kontemporer kerap kali menggunakan pendekatan interdisipliner, sehingga dalam satu kasus hukum dapat dianalisis secara komprehensif.