Opini: Tauhid Induk Dari Filsafat dan Sains, Penalaran Al-Narajil

Tauhid Induk Dari Filsafat dan Sains, Penalaran Al-Narajil
Dr. Agus Hermanto, M.H.I
Dosen UIN Raden Intan Lampung
“Kenalilah Tuhanmu sebelum engkau kenali ciptaannya” Sebuah gagasan Tauhid yang menunjukkan pada suatu hal yang menuntut hati, pikiran dan amaliyah kita untuk selalu menjaga esensi dari keimanan kepada Allah Ta’ala. Artinya bahwa ketika seseorang mengenal Rabbnya dengan penuh keimanan yang ia yakini dan pahami, sehingga amaliyah yang dilakukannya tidak lain hanyalah untuk mencari ridha-Nya. Ketika hati seseorang bersih dari segala keinginan buruk kecuali hanya mencari Ridha-Nya, dan ketika akal manusia benar hingga berpikir yang positif, maka setiap apa yang dipikirkan olehnya adalah hal yang akan membawa kemaslahatan bagi kehidupan.
“Kesempurnaan akal seseorang adalah selalu berada dalam ridha Allah, sedangkan sebaliknya adalah orang yang gila” Sebuah pijakan pola pikir seseorang ketika ingin berfilsafat, yaitu mencari kebenaran yang diyakininya pada hakekat kemudian, haruskah memiliki pikiran yang bersih, karena jika tidak, maka apa yang dipikirkannya akan tidak terarah hingga menjadi sebuah penelusuran dalam bentuk analisis yang tidak tepat, dan hasil yang didapatkannya juga akan salah kaprah. Begitlah pepatah mengatakan bahwa “jika kamu mencintai ciptaannya, maka jangan lupa kamu cinta pula sang Pencipta” Hal ini adalah pepiling, agar kita selalu ingat bahwa adanya sesuatu karena adanya yang menciptakan, kecuali sang Khaliq yaitu Allah Ta’ala yang berdiri sendiri dan tidak menyerupai makhluknya.
Kedudukan agama dan filsafat tidaklah sama, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mencari kebenaran yang kemudian diyakininya secara benar. Meskipun agama berpijak dari norma ajaran Ilahiah, sedangkan filsafat berasal dari keresahan pikiran, yang kemudian jika disinergikan akan terbentuklah integrasi antara keduanya, hingga terbukti pada sebuah pemahaman yang ilmiah, empirik dan terukur. Misalnya ketika berbicara tentang Isra dan mi’raj Rasulullah saw, bahwa perjalanan Isra dan mikraj dalam konteks ini hanyalah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, dan hal ini harus diyakini kebenarannya, mengapa demikian bahwa perjalanan itu dialami oleh Nabi Muhammad secara nyata, dan diceritakan kepada umatnya secara benar, sehingga harus diyakini oleh umatnya, mengapa demikian? karena mengenai adanya Rasul Allah adalah bagian dari unsur iman yang empat, berarti kemaksuman rasul harus juga diyakini oleh umatnya, termasuk juga meyakini atas apa yang disampaikan darinya tentang kejadian Isra dan Mi’raj. Ketika orang mengimani Rasul, sedangkan ia tidak percaya dengan ucapannya berarti keimanannya ngambang, tidak sepenuhnya. Sedangkan melakukan perjalanan dari Makkah ke Madinah haruslah dilakukan oleh umatnya sebagai bukti atas kebesaran Tuhan yang telah menjalankannya, sehingga secara pemahaman bahwa hal itu tidaklah dapat dilakukan dalam satu malam oleh orang biasa kecuali adalah hamba Allah yang terjaga dan terkecuali.
Sama halnya mempercayai atas kelahiran Isa as, dari rahim seorang Ibu bernama Maryam adalah proses yang alamiah, seorang wanita hamil dan kemudian melahirkan, namun terdapat nilai ketauhidan yang harus diyakini yaitu proses pembuahan rahim Maryam yang tanpa ada proses alamiah (bercampurnya seorang laki-laki yang membuahi sel telur perempuan hingga terjadi pembuahan yaitu kehamilan). Hal inilah menunjukkan bahwa nilai Ilahiah tampak nyata dalam realita yang terjadi ini. Sehingga mengimani atas kehadiran Rasul yaitu Isa as, yang terlahir dari rahim yang suci adalah hal yang tidak dapat ditentang, karena hal itu telah dijelaskan dalam kitab suci al-Quran yang merupakan salah satu unsur keimanan yang harus diyakini yang ketiga, setelah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat lalu iman kepada Kitab-kitab, dan mempercayai berita dalam al-Quran tentang kelahiran Isa as, adakah nilai Tauhid yang benar dan harus diyakini secara benar pula.
Dalam kaitannya dengan penalaran Al-Narajil dalam konteks integrasi antara agama dan sains adalah bahwa agama yang bersifat komprehensif yang kebenarannya harus diyakini dan tidak dapat diragukan sedikitpun adalah bukti kebenaran pada ajaran tersebut, seperti halnya lapisan Al-Narajil yang halus dan berada pada bagian luar yang sejatinya mengcover dua lapisan dalam yaitu serabut dan tempurung. Untuk membuktikan kebenaran al-Quran, maka perlu kiranya dipahami baik dengan penalaran keagamaan (al-aql al-diniy) dan penakaran sains (al-aql al-falsafiy). Maka integrasi keilmuan dalam bentuk berfikir falsafi hingga dibuktikan dengan penemuan-penemuan ilmiah, logis dan terukur dalam bukti empirik adalah membutuhkan basis yang mumpuni dan tidak dapat dilakukan oleh semua orang, hal inilah membuktikan bahwa tempurung itu keras dan kuat, karena esensinya adalah untuk melindungi dua intisari yang ada didalamnya yaitu isi kelapa dan airnya, yang hal ini menunjukkan bahwa proses alamiah dan ilmiah dengan pendekatan bayani, irfani hingga burhani tidaklah mudah, haruslah ada penalaran khusus yang dengan mudah menjadi wasilah untuk menghangatkan sebuah nilai kebenaran yang kemudian diyakini.
Pada muaranya bahwa kepandaian seorang akan hampa untuk mencari bukti kebesaran ciptaan sang Allah Ta’ala, sehingga haruslah dilakukan dengan penuh keimanan dan ketaatan agar supaya tidak pecahnya tempurung kelapa hingga menyebabkan busuknya kelapa dan air yaitu sebuah analogi ilmiah menunjukkan sebuah integrasi antara kebenaran al-Quran dan Sains yang jika dipahami dengan salah misalnya oleh orang yang tidak beriman, katakanlah orientalis, maka akan menghasilkan buah hasil yang tidak klimaks, karena kebenaran yang dilakukannya tidak berasaskan pada ketauhidan kepada sang Pencipta. Maka pada Al-Narajil terdapat ujung paling atas yang menyambung ketangkainya sebagai bentuk keterikatan Tauhid dalam hal mengintegrasikan antara Islam dan sains secara benar, begitu lepas dari tangkainya maka ia akan kering buah kelapa itu dan tidak lagi hidup ruh Ilahiah dalam nilai ketauhidan yang diyakini seorang hamba dalam analogi ilmiahnya.