Category: Opini

  • Opini: Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

    Opini: Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

    Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, MH
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Kajian tentang hukum perkawinan selalu dinamis beriring perkembangan pola dan tren yang terjadi pada masyarakat modern. Lifestyle (pola hidup) dan perkembangan teknologi disinyalir menjadi pengaruh utama arus perkembangan yang saat ini dihadapi. Persoalan tentang pernikahan yang saat ini hangat adalah tentang “marriage is scary” menikah adalah menakutkan. Isu ini sangat populer dimasyarakat kita, khusunya bagi generasi muda saat ini. Jika merujuk pada persoalan tentang pernikahan itu menakutkan sejatinya telah terjadi banyak pada kalangan perempuan akibat korban psikis yang terjadi hingga menyebabkan trauma yang mendalam, seperti kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang pernah dilakukan oleh ayah kepada ibunya yang disaksikan pada masa kecil hingga tertanam pada benaknya bahwa menikah itu menakutkan dan suami itu jahat, sehingga perempuan adalah korban kekerasan dalam sebuah rumah tangga.

    Teori pembanding adalah sebuah teori yang menganalisis sebuah persoalan dengan penalaran Al-Narajil. Adapun nalar Al-Narajil itu sendiri adalah sebuah metode berpikir yang sistematis pada pemanfaatan lapisan demi lapisan yang menjadi tahapan dalam proses penelusuran hukum secara deduktif.

    Jika dihadapkan dengan persoalan marriage is scary, maka tahapan pertama adalah kembalikan persialan juz’i pada persoalan yang kulli, artinya persoalan marriage is scary adalah persoalan juz’i yang merupakan bagian dari persoalan kulli yaitu pernikahan. Hal yang urgent adalah bahwa pada lapisan pertama, hukum Islam (dalam hal ini hukum perkawinan) memiliki prinsip taisir (memudahkan), pernikahan yang menakutkan bukanlah hal yang masuk dalam unsur memudahkan, karena orang yang takut menikah akan mengalami masa yang justru lebih menakutkan pada usia 40 hingga 60 tahun. Prinsip kedua adalah al-adlu (keadilan), pernikahan itu menakutkan bukanlah unsur yang relevan dengan keadilan, karena seseorang yang takut menikah hingga enggan untuk menikah berarti mengeneralkan laki-laki dengan anggapan bahwa semua laki-laki jahat, padahal tidak meski semua demikian. Prinsip syura (demikrasi), pernikahan itu menakutkan tentunya hanya sepihak bagi yang memiliki prinsip ini, padahal ia hidup tidak sendiri, ada saudara, keluarga, sahabat yang semua itu akan dapat juga memberikan wawasan lain tentang pentingnya pernikahan bagi keberlangsungan hidup. Prinsip musawah (persamaan), menikah adalah menakutkan berarti menyalahi aturan kesamaan, padahal dengan menikah seseorang akan mendapatkan perilaku dari pasangan hidupnya hingga hal ini akan memberikan kemenangan.

    Pada lapisan kedua adalah perlunya menilik kembali pada persoalan marriage is scary dengan pendekatan yang dilakukan, pada umumnya marriage is scary adalah pendekatan psikologis, padahal perlu ditinjau ulang, bagaimana marriage is scary dengan pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, sosiologis, antropologis, historis, bahkan medis, artinya marriage is scary akan dianggap boleh jika memang secara psikologis-medis memang layak untuk diberikan rukshashah hukum. Namun jika tidak layak, maka sesungguhnya marriage is scary tidak dapat digeneralkan hukum kebolehannya, meskipun dengan alasan hak asasi manusia.

    Pada tahapan ketiga, suatu statement bahwa marriage is scary harus dilihat pada tujuan hukum yang diinginkan, dalam konsep maqasid syariah, bahwa tujuan hukum adalah li jalbil mashalih wa lidaf’il mafasid (mengambil kemaslahatan dan menolah kemudharatan), ada tujuan yang primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat), dan tersier (tahainiyat). Pada prinsip utama dalam maqasid syariah adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Jika kita tilik pada tujuan hukum syara’ maka marriage is scary lepas landas dari tujuan syara’ kecuali rukhsah bagi perorangan karena ganguan psikis atau karena sakit. Pada prinsip utama adalah menjaga agama, norma agama menganjurkan seseorang untuk menikah, bahkan suatu hari seorang yang tidak punya apa-apa dalam hal rizki Rasulullah bolehkan menikah agar mendatangkan rizki, maka takut dalam menikah hingga tidak menikah secara otomatis bertentangan dengan sunah Rasulullah. Kedua adalah menjaga jiwa, takut menikah berarti tidak berpikir panjang akan masa depan hidupnya, yang secara siklus, manusia akan juga semakin lemah dan membutuhkan orang lain, dan orang yang paling dekat adalah pasangan hidup. Ketiga adalah menjaga akal, secara logika sehat bahwa seseorang menikah adalah fitrah, sehingga ketika ada seseorang yang takut menikah hingga tidak melakukannya maka sesungguhnya tidak logis dan bertentangan dengan akal sehat. Keempat menjaga nasab, takut untuk menikah hingga tidak menjalankannya adalah sikap egois yang tidak berpikir regenerasi, kecuali memang gangguan psikis atau medis yaitu childless. Kelima adalah menjaga harta, seseorang hidup tentunya akan mempertahankan hidupnya, dan kebutuhan primer nya adalah sandang, pangan dan papan, itu semua adalah harta, dan jika seseorang mengumpulkan harta lalu tidak dijaga hingga tidak bermanfaat bahkan ketika meninggal tidak punya ahli waris, alangkah mirisnya kehidupan.

    Pada lapisan ke empat adalah pelaku yang berprinsip marriage is scary perlu dilihat pada latar belakang lifestyle (pola hidup), atau bahkan paradigma yang ada pada benaknya, sehingga marriage is scary sehingga enggan menikah tidak boleh digeneralkan hukumnya.

    Pada lapisan kelima adalah nash dan konteks. Dalam Nash baik al-Quran maupun al Sunnah menganjurkan seseorang untuk menikah, memiliki keluarga harmonis, memiliki keturunan dan seterusnya, sedangkan konteks yang terjadi, di Indonesia yang merupakan negara non sekuler, tidak pernah ada larangan menikah bahkan larangan memiliki anak, program KB hanya anjuran dan bukan paksaan, sehingga tidak juga bisa dengan alasan hak asasi manusia lalu melupakan esensi agama.

    Pada prinsip Tauhid, yaitu sumbu yang menghubungkan seluruh lapisan, hendaklah suatu keputusan hukum berbasis pada nilai Tauhid, bahwa yang tidak berpasangan dan tidak berketurunan hanyalah Tuhan, sehingga hamba Allah fitrahnya adalah berpasangan. sehingga dari titik inilah teori pembanding sejatinya ingin menawarkan sebuah metode filter yaitu menganalisis sebuah fatwa, putusan hukum bahkan paradigma yang mungkin telah mengajar dengan meninjau unsur-unsur yang ada pada nalar Al-Narajil sebagai kerangka analisis yang digunakan.

  • Opini: Prinsip-Prinsip Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

    Opini: Prinsip-Prinsip Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

    Prinsip-Prinsip Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, MH
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Semakin berkembangnya pola hidup masyarakat, hingga disebut era modern, maka semakin banyak pula persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Tantangan itu diantaranya disebabkan karena semakin banyak kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, sehingga solusi hukum lama seakan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Pada sisi lain, para ulama sebagai pewaris para Nabi, harus senantiasa berijtihad untuk memberikan solusi-solusi yang solutif sesuai tantangan zaman.

    Usul fikih yang pada eranya menjadi salah satu metode istinbath dan ijtihad hukum, terkesan tidak lagi mampu menjawab persoalan zaman, jika usul fikih tidak revitalisasi, karena kajiannya yang terlalu luas sehingga tidak spesifik. Sedangkan untuk menghasilkan produk hukum Islam baru yang kontemporer haruslah menggunakan metode ijtihad baru, terlebih menghadapi suatu persoalan yang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana kedudukan Nash yang dapat dipahami secara makna dari isi teks dan juga analogi teks dengan cara qiyas, dengan terpenuhinya empat rukun, yaitu asl, hukmul asl, far’ dan ”illat. Maka yang dibutuhkan selanjutnya untuk menjawab persoalan baru adalah harus melakukan pembaruan metode ijtihad, ibarat suatu metode adalah mesin, maka mesin lama tidak lagi mampu mengolah bahan-bahan baru yang dibutuhkan untuk menjawab produk pasar yang dibutuhkan saat ini, maka tidak ada solusi kecuali menambah kapasitas mesin atau menggantinya. Untuk itu kemudian para ulama modern berupaya dengan nalar sehatnya untuk menyiapkan metode baru dalam menjawab persoalan baru yang dihadapi oleh masyarakat kontemporer yang terus berkembang seiring perkembangan pola hidup masyarakat dan perkembangan iptek yang begitu pesat.

    Pasca lahirnya rekonstruksi ushul fikih dalam perjalanan panjang menjawab persoalan zaman, maka sebagian ulama juga melakukan dikonstruksi metode ijtihad dengan penalaran hukum, dengan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Bermula dari situlah kemudian produk hukum Islam semakin progresif dan corak hukum Islam (fikih) semakin masif dan fleksibel. Namun demikian, tidak juga cukup mengembangkan metode baru atau menggantinya hingga menghasilkan produk hukum yang lebih responsif dan progresif, karena penalaran yang tanpa dibarengi filter syara’ sebagai batas ratio legis akan juga menghasilkan produk hukum yang liberal tanpa landas dan batas, dan demi alasan hak asasi manusia hingga tuntutan gender yang over limits akan juga lepas dari frame syara’ yang diinginkan.

    Untuk itu, perlu adanya kontrol metodologi ijtihad, yaitu kontrol terhadap proses lahirnya fikih yang bercorak baru. Lahirnya teori pembanding pada nalar Al-Narajil menawarkan metode baru untuk mengontrol metode ijtihad baru hingga dapat menghasilkan sebuah hukum yang lebih maslahat dan bernilai kemaslahatan yang lebih rajih. Teori pembanding pada nalar Al-Narajil adalah sebuah analisis hukum dengan menganalisis pada lapisan demi lapisan pada Al-Narajil. Lapisan itu ada lima dan masing-masing dari lima lapisan itu memiliki prinsip-prinsip tersendiri yang menjadi bahan perbandingan dalam penemuan hukum. Lapisan pertama adalah sifat hukum Islam bersifat komprehensif, mencakup prinsip hukum yang taisir (memudahkan), adl (keadilan), syura (demokrasi), dan musawah (persamaan). Lapisan kedua, kajian hukum Islam bersifat inklusif, artinya dapat dilakukan dengan banyak pendekatan, seperti pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, psikologis, sosiologis, antropologis, historis, dan medis untuk melihat rukhsah (keringanan hukum).

    Lapisan ketiga, tujuan hukum (maqasid syari’ah), yang terpenuhinya kebutuhan primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat), tersier (tahainiyat). Pada prinsip primer mencakup lima asas hukum yaitu menjaga agama (hifdzu al-din), menjaga jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga akal (hifdzu al-aql), menjaga nasab (hifdzu al-nasl), dan menjaga harta (hifdzu al-mal).

    Pada lapisan ke empat adalah kualitas mujtahid yang mencakup penguasaan bahasa Arab, mengahafal al-Quran dan hadis, memahami ulumul Quran, memahami ulumul hadis dan hal lain yang menjadi syarat mujtahid.

    Lapisan kelima, yaitu bahan atau objek kajian baik pemahaman Nash atau pemahaman madah yang dihadapi. Dan terakhir adalah sumbu yang menghubungkan lapisan satu sampai kelima adalah Tauhid yaitu ketuhanan atau keimanan.

    Cara kerja teori pembanding adalah menelusuri hukum dengan cara melihat pada lapisan-lapisan yang ada dalam nalar Al-Narajil, yang disebut prinsip-prinsip dalam teori pembanding. Adapun prinsip dari teori pembanding adalah sebagai berikut, pertama, kembalikan perkara yang juz’i pada perkara yang kulli, contohnya jika kajian poligami, maka lihatlah pada kajian hukum perkawinan secara utuh, apakah keinginan poligami yang diinginkan telah memenuhi syarat dari sifat komprehensif. Apakah poligami sudah sesuai dengan prinsip taisir, adl, syura, dan musawah?

    Prinsip kedua adalah tilik kembali pendekatan yang digunakan dalam penentuan hukum poligami, apakah sudah sesuai dengan pendekatan ilmiah yaitu pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, psikologis, sosiologis, antropologis, historis hingga medis?

    Pada prinsip ketiga adalah pastikan tujuan hukum yang diinginkan dalam poligami telah sesuai dengan tujuan syara’ dan tidak bertentangan dengan kebutuhan perkawinan yang bertujuan mewujudkan keluarga sakinah, baik secara primer, sekunder dan tersier, yang mencakup lima asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta?
    Prinsip ke empat yaitu lihat kembali kualitas dan kapasitasnya mujtahid, apakah telah benar memahami bahasa, memahami tafsir ayat, hadis dan ilmu ulumul quran dan hadis dan lainnya?

    Prinsip kelima adalah bahasan atau objek, telusuri secara benar ayat, hadis dan juga persoalan poligami yang terjadi, dan terakhir adalah sumbu dari nalar Al-Narajil, sehingga penting dipastikan keimanan mujtahid, karena hukum untuk mukallaf sehingga tidak layak jika mujtahid itu adalah orientalis atau orang yang lemah imannya apalagi tidak beriman.

    Bertitik dari analisis ini maka perlu disimpulkan hukum poligami tersebut, untuk mendapatkan nilai kemaslahatan yang rajih.

  • Opini: Ramadhan dan Tradisi

    Opini: Ramadhan dan Tradisi

    Ramadhan dan Tradisi
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Kemulian bulan ramadhan yang kita imani sebagai bulan penuh keberkahan sesuai ajaran agama yang kita yakini. Suatu bulan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbanyak ibadah kepada Allah Ta’ala, baik dalam ibadah puasanya, maupun segala sunah yang dianjurkan. Secara norma agama bahwa segala kewajiban dan sunah itu adalah anjurkan yang dipererintahkan dalam Nash, yaitu al-Quran dan Sunnah secara mu’tabarah. Pemahaman atas norma-norma agama itulah yang menjadi motivasi umat Islam untuk mengekspresikan ghirah untuk memuliakan ramadhan dengan harapan untuk mendapatkan keberkahan dengan penuh keimanan sesuai tradisi masyarakat masing-masing. Tradisi sendiri adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Mengingat bahwa Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang beragam, sehingga ekpresi kebahgiaan menyambut datangnya bukan ramadhan hingga memeriahkannya dibarengi dengan ragam budaya dan tradisi lokal masing-masing. Tradisi itu yang ikut mewarnai kegiatan-kegiatan ramadhan bukan merupakan ajaran agama baru yang datang dari tradisi, meskipun agama Islam datang bukan di ruang yang kosong, melainkan sangat dipengaruhi oleh tradisi lokal masyarakat Makkah dan Madinah, meskipun tradisi itu tidak semua ter-cover dalam agama Islam, ada yang dikokohkan dengan penguatan Nash, namun ada tradisi yang dirubah bahkan dihapus oleh Nash. Berbeda tentunya dengan tradisi lokal yang ada di lingkungan kita, bahwa tradisi lokal yang ada adalah ikut mewarnai norma agama, hingga lahirnya paham Islam tradisi. Jika dikaitkan dengan pemahaman bid’ah yang diyakini oleh sebagian orang bahwa makna darinya adalah suatu ajaran baru atau amaliyah baru yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, maka akan menjadi salah kaprah jika tradisi lokal yang kita lakukan pada masyarakat kita dianggap bid’ah, karena hal yang baru dari tradisi yang ada pada masyarakat kita adalah ekspresi yang datang dari agama yang merupakan inspirasi bukan kegiatan baru yang dianggap oleh sebagian orang mengada-ada dan meyakini bahwa hal itu adalah ajaran agama, melainkan yang benar adalah ekspresi atas ajaran agama yang dilakukan oleh masyarakat sesuai tradisi yang sudah ada, sehingga yang dirubah bukan norma agamanya, tapi adalah tradisinya diambil, dan norma agamanya diterima, dan itulah yang disebut inkulturasi agama, memasukkan nilai agama pada sebuah tradisi dengan tanpa membuang tradisi yang ada, tapi tidak mengurangi nilai agama apalagi merubahnya.

    Pada bulan Ramadhan, telah banyak tradisi ramadhan yang dilakukan oleh masyarakat kita, seperti unggahan, adalah sebuah ekspresi kebahagiaan yang dilakukan oleh masyarakat kita untuk menyambut datangnya bukan ramadhan, jadi bukanlah ajaran baru yang dibuat-buat dalam agama, melainkan ekpresi atas norma agama yang dilakukan sesuai tradisi yang ada. Hal lain ialah ziarah kubur adalah ekspresi terhadap norma agama, pertama sebagai bentuk birrul walidaini, orang tua, nenek-kakek atau sanak keluarga yang telah meninggal dunia, dan kedua adalah mengingat bahwa adanya kita karena orang tua dan sesepuh kita, sehingga diekspresikan oleh tradisi yang diindahkan oleh masyarakat dengan tanpa keluar dari koredor norma agama.

    Selain dua tradisi itu juga masih banyak tradisi lokal yang diindahkan hingga kita, seperti tradisi mudik, tadarusan di masjid dengan speaker, budaya tarawih dengan Bilal, tradisi peringati malam Nuzulul Quran, lebaran keliling dari rumah ke rumah, dan masih banyak lagi yang lainnya, semua itu tidak lain adalah ekspresi dan juga inkulturasi agama yang mereka lakukan sesuai tradisi lokal yang ada, indah dan memiliki nilai seni dan budaya yang tinggi, tidak ada di negara lain kecuali di bumi Pertiwi, negara Indonesia yang terbentang dengan pulau-pulau dan ragam budaya, tradisi, ras, dan bahasa yang beragam.

  • Opini: Rahasia di Balik Nuzulul Qur’an

    Opini: Rahasia di Balik Nuzulul Qur’an

    Rahasia di Balik Nuzulul Qur’an
    Prof. Dr. H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Ketua LP2M UIN Raden Intan Lampung
    Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Lampung

    Nuzulul Qur’an merupakan peristiwa penting dalam sejarah Islam yang merujuk pada turunnnya wahyu pertama, di mana peristiwa ini terjadi pada malam kemuliaan yang jatuh pada malam ke-17 bulan Ramadhan. Nuzulul Qur’an merupakan titik awal dimulainya penyampaian wahyu pertama yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang berisi tentang perintah untuk membaca dan mempelajari berbagai ilmu yang datang dari Allah SWT. Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi umat manusia yang di dalamnya terkandung aqidah/tauhid, ibadah, akhlak, muamalah, hukum, sejarah dan lain sebagainya. Allah SWT menurunkan al-Qur’an tidak sekaligus, tetapi secara bertahap dalam waktu kurang lebih 23 tahun sesuai dengan kebutuhan umat dan kondisi masyarakat saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki kedalaman makna yang dapat disesuaikan dengan perkembangan umat manusia.

    Bulan Ramadhan disebut juga bulan al-Qur’an (Syahrul Qur’an), karena pada bulan Ramadhan Al-Qur’an itu diturunkan, yang oleh masyarakat kemudian dikenal dengan nama Nuzulul Qur’an. Peringatan Nuzulul Qur’an tentunya jangan hanya dianggap sebagai kegiatan rutinitas saja, melainkan yang paling penting adalah bagaimana kita mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu salah satu amalan Ramadhan yang disukai Allah dan Rasul-Nya adalah membaca al-Qur’an (tilawatil qur’an). Mengapa demikian, karena al-Qur’an memiliki banyak keistimewaan yang luar biasa, di antara keistimewaan itu adalah al-Qur’an bisa menjadi penerang dan obat hati, bahkan al-Qur’an bisa menjadi penyelamat (penolong) dan mendatangkan  pahala bagi yang membacanya. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang artinya “Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya al-Qur’an itu akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya“.

    Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi umat manusia. Al-Qur’an juga merupakan sarana ibadah kepada Allah dan cahaya di bumi. Ingat hadis Rasulullah SAW yang artinya “Hendaklah kalian membaca al-Qur’an, sebab ia merupakan cahaya di bumi dan simpanan di langit”. Oleh karena itu hendaklah kita selalu membaca al-Qur’an, apalagi dengan memahami dan mengamalkannya, tentunya itu lebih utama.

    Lantas sudah berapa banyak ayat suci al-Qur’an yang kita baca, pahami dan amalkan,  serta sudah berapa kali kita menghatamkan al-Qur’an? Tentunya hanya kita masing-masing yang bisa tahu. Mengenai hal ini Rasulullah SAW telah menjelaskan dalam sebuah hadis yang artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an ini merupakan jamuan/hidangan Allah, maka terimalah jamuan/hidangan itu sesuai dengan kemampuan”. Ini artinya bahwa Rasulullah SAW senantiasa menganjurkan kepada kita untuk selalu mambaca al-Qur’an, baik tiga hari sekali khatam, lima hari sekali khatam, sepuluh hari sekali khatam, lima belas hari sekali khtaman, maupun sebulan sekali khatam, tentunya itu semua sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

    Adapun keistimewaan al-Qur’an adalah: Pertama, sebagai petunjuk bagi  seluruh umat manusia, ingat firman Allah yang artinya “Bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya al-Qur’an di mana ia sebagai petunjuk bagi manusia”. Kedua, sebagai  pembeda antara yang hak dan yang batil, antara yang halal dan yang haram. Ketiga, sebagai obat hati, sebab dengan membaca al-Qur’an, hati akan menjadi tenang dan tentram. Keempat, sebagai sumber hukum, ini artinya bahwa al-Qur’an sebagai petunjuk yang digunakan dalam menetapkan hukum dan aturan dalam kehidupan umat manusia, baik yang diperbolehkan maupun yang dilarang. Kelima, sebagai sumber ilmu pengetahuan, sebab semua ilmu pengetahuan hakekatnya selalu bersumber kepada al-Qur’an, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, pertanian, kedokteran, saintek, dan lain sebagainya. Keenam, sebagai sumber dari segala sumber kehidupan. Ini artinya bahwa al-Qur’an bisa menjadi sumber dari segala aspek kehidupan.

    Mengingat kedudukan dan fungsi al-Qur’an yang luar biasa, maka jangan pernah kita jauh dengan al-Qur’an, apalagi meninggalkan al-Qur’an. Tetapi kita harus selalu dekat dan berinteraksi dengan al-Qur’an. Ingat hadis Rasulullah SAW yang artinya “Bacalah al-Qur’an, dan beramallah dengan al-Qur’an, dan jangan jauhi al-Qur’an”. Berdasarkan hadis ini jelas bahwa: Pertama: Kita senantiasa diperintahkan untuk selalu membaca al-Qur’an, sebab dengan membaca satu huruf saja dari al-Qur’an, kita akan mendapatkan sepuluh kebaikan, apalagi jika al-Qur’an itu kita baca di bulan suci Ramadhan, tentunya akan lebih istemewa. Kedua, kita senantiasa diperintahkan untuk selalu bertutur kata, berbuat, bersikap dan bertingkah laku berdasarkan al-Qur’an, sebab dengan selalu berpedoman kepada al-Qur’an, niscaya semua ucapan, perbuatan, sikap dan tingkah laku kita akan terjaga, sehingga kita akan mendapatkan keselamatan. Ketiga, kita dilarang  jauh dengan al-Qur’an, sebab jauh dengan al-Qur’an berarti kita dapat kehilangan akan keberkahannya, sebaliknya kita harus selalu dekat dengan al-Qur’an, sehingga kita akan senantiasa mendapatkan akan nilai-nilai keistimewaan dan keberkahannya.

    Dengan demikian jelas bahwa al-Qur’an memiliki keistimewaan dan keajaiban yang luar biasa bagi kehidupan manusia, sehingga tidak heran kalau orang non Islam pun banyak yang mempelajari al-Qur’an. Untuk itu dalam rangka memuliakan dan menhidupkan al-Qur’an, marilah kita tingkatkan kecintaan terhadap al-Qur’an, tentunya dengan senantiasa berinteraksi dengan al-Qur’an dan selalu hidup bersama al-Qur’an, yaitu dengan cara mengimani, membaca, menghafal, memahami, mengamalkan dan mendakwahkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita akan menjadi insan-insan qur’ani yang senantiasa akan mendapatkan keberkahan dan keselamatan dunia maupun akhirat. Wallahua’lam Bishawab.

  • Opini: Pendekatan Pada Teori Pembanding pada Nalar Al-Narajil

    Opini: Pendekatan Pada Teori Pembanding pada Nalar Al-Narajil

    Pendekatan Pada Teori Pembanding pada Nalar Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, MH
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Pendekatan dan teori bagi sebagian orang kerap kali salah mengartikan dan bahkan sulit membedakan, sehingga teori dianggap sebagai pendekatan dan sebaliknya pendekatan dianggap sebagai teori. Dalam sebuah ilustrasi, apabila objeknya kuda, maka teori adalah bagaimana seseorang memelerlakukan kuda, sedangkan pendekatan adalah bagaimana kuda diperlakukan oleh seseorang tapi juga memberikan manfaat bagi yang memperlakukan. Artinya bahwa teori bersifat pasif karena menganalisis, sedangkan pendekatan aktif karena bukan hanya sebagai objek tapi juga memberikan timbal balik bagi pelakunya.

    Dalam konteks hukum, maka teori adalah alat atau pisau untuk menganalisis sebuah perkara yang membutuhkan solusi hukum, sedangkan pendekatan adalah sebuah peran untuk menganalisis suatu perkara dengan memanfaatkan pendekatan tersebut. Contoh dari teori adalah misalnya penggunaan teori gender dalam menganalisis sebuah hal, maka teori gender akan berperan aktif dalam mengkaji sebuah hal tersebut dengan prinsip-prinsip yang melekat padanya seperti keadilan, persamaan, demokrasi, dan muasyarah bil makruf. Cara kerjanya adalah bagaimana sebuah prinsip-prinsip dalam teori ini dapat menganalisis sebuah hal, apakah memenuhi kriteria tersebut atau tidak. Sedangkan pendekatan adalah sebuah cara yang dilakukan dalam menganalisis hal tersebut dengan segala sudut pandang, seperti pendekatan historis, sosiologis, antropologis, psikologia, epistemologis, bahkan medis. Artinya kedudukan pendekatan ini adalah kreteria yang dimanfaatkan untuk melihat suatu hal tersebut.

    Dalam penerapan teori pembanding ini, tidak lah jauh berbeda dengan pendekatan yang digunakan dalam teori-teori lainnya. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologis, untuk memastikan bahwa peneliti dalam hal ini harus dipastikan beriman, karena hukum Islam berlaku bagi orang mukallaf yang beriman, sehingga yang berijtihad atau menemukan hukum haruslah orang yang beriman, kecuali sebagai data sekundernya, misalnya kaitan dengan kompetensi tertentu yang membutuhkan informasi dari orang yang tidak beriman, tapi buku proses ijtihad nya.

    Kedua, pendekatan filosofis, karena analisis pada teori pembanding ini secara metodologi menggunakan nalar Al-Narajil, sehingga pendekatan filosofis digunakan untuk mencari kebenaran yang diinginkan. Ketiga, pendekatan epistemologis, dalam teori ini, pendekatan ini bermanfaat untuk mengukur ratio legis yang digunakan dan relevansi dalil atau kaidah yang dibutuhkan sebagai sandaran, sehingga terukur secara logis dan ilmiah. Keempat, pendekatan psikologis, dalam teori ini berguna untuk melihat kapasitas seorang peneliti atau kaositas seorang mujtahid dan hasil ijtihadnya untuk diterapkan.

    Kelima, pendekatan sosiologis, dalam penelitian dalam teori ini berguna untuk melihat dari sisi sosial masyarakat yang menyebabkan terjadinya suatu perkara dan penerapan hukum (putusan hukum yang bernilai kepastian hukum, berkeadilan dan bermanfaat). Inikah pendekatan yang digunakan dalam teori pembanding pada nalar Al-Narajil, guna menganalisis suatu hukum secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum kepada yang khusus.

  • Opini: Behavior Jurisprudence Ala Umar Bin Khattab

    Opini: Behavior Jurisprudence Ala Umar Bin Khattab

    Behavior Jurisprudence Ala Umar Bin Khattab
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Behaviour Jurisprudence adalah perilaku hukum dipengaruhi manusia dan manusia menjadi perilaku dari hukum, sehingga sebuah hukum dapat bersifat fleksibel, responsif dan progresif serta solutif, pada asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemaslahatan. Sebagaimana Sutjipto Raharjo menanamkan prinsip-prinsip hukum progresif guna menangkal paham hukum yang bersifat positif, Adapun prinsip-prinsip itu adalah bahwa hukum tidak harus law in book, melainkan law in action, hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum serta hukum adalah untuk kemanusiaan dan bukan peran hakim sebagai corong undang-undang.
    Jauh sebelum Nonect dengan teori responsif dan Sutjipto Raharjo dan dikembangkan oleh Suteki, sejatinya suatu hukum dalam pendekatan behaviour jurisprudence telah diterapkan oleh Umar bin Khattab pada saat menyelesaikan setiap perkara yang dihadapi. Behaviour jurisprudence adalah suatu model hukum dengan pendekatan psikologi hukum, sosiologi hukum dan epistemologi hukum. Pada nalar pemikiran yang ditawarkan Muhammad Abid al-Jabiry, dengan nalar bayan, burhani dan irfani.

    Posisi Umar bin Khattab sebagai Khalifah, senantiasa melakukan ijtihad hukum guna memberikan solusi kepada umat Islam yang telah mulai menyebar ke seluruh wilayah di luar Jazirah Arabiyah, ditambah lagi, umat Islam kala itu mulai terpecah-belah karena banyaknya fitnah dan upaya-upaya dari pihak eksternal untuk memecahkan dan menghancurkan umat Islam, saat itulah Umat bin Khattab berupaya menyatukan umat Islam dengan pandang-pandangan hukum dan dan putusan hukum yang kerap kali keluar dari teks dan sunah Nabi, seperti halnya shalat tarawih yang pada umumnya nabi sendiri kadang shalat di masjid, dan kerap shalat di rumah, dan begitu juga dalam bilangan rakaat, sehingga umat Islam pada masa pemerintahannya Umar bin Khattab yang mereka melakukan shalat tarawih dengan beragam model, akhirnya Umar memutuskan untuk melakukan shalat tarawih di masjid berjamaah dalam bilangan 20 rakaat. Hal ini menunjukkan bahwa Umar sejatinya telah melakukan upaya progresif dalam hukum dengan tidak terpaku pada aturan yang telah ada. Jika dikembalikan pada prinsip-prinsip progresif bahwa hukum tidak harus law in book melainkan law in action, maka Umar bin Khattab telah melakukan hal tersebut, bahkan Umar mengatakan bahwa bid’ah yang paling mulia adalah bid’ah shalat tarawih berjamaah. Dalam prinsip lain jika hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum, maka Umar sejatinya telah memperlakukan hukum untuk kemanusiaan.

    Merujuk pada behaviour jurisprudence, bahwa hukum adalah hal yang harus dilakukan dan masyarakat adalah inspirasi hukum, dengan pendekatan psikologi, sosiologi dan epistemologi hukum, hal ini telah juga dilakukan oleh Umar bin Khattab dalam menyelesaikan tiap perkara yang terjadi.

  • Opini: Indahnya Berbagi terhadap Sesama

    Opini: Indahnya Berbagi terhadap Sesama

    Indahnya Berbagi terhadap Sesama
    Prof. Dr. H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Ketua LP2M UIN Raden Intan
    Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Lampung

    Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa di masyarakat kita kenal yang namanya program Jumat berkah, yaitu program sedekah berupa pembagian bingkisan, baik bahan makanan atau makanan jadi yang diberikan kepada masyarakat sekitar yang bertujuan untuk menyambung silaturrahmi bersama masyarakat. Ini tentunya merupakan wujud nyata bagi  kita untuk peduli terhadap orang lain, terutama bagi mereka yang sangat membutuhkan. Apalagi saat ini banyak musibah di mana-mana, baik berupa banjir, longsor, gunung meletus, angin puting beliung, dan lain sebagainya. Sehingga banyak saudara kita yang mengalami kesulitan dalam ekonomi, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjadi korban, sampai-sampai mereka kehilangan tempat tinggal, tempat usaha, barang dagangan, bahkan kerusakan  kendaraan sebagaimana yang dialami saudara-saudara kita di Bekasi, Sukabumi dan daerah-daerah lainnya beberapa hari yang lalu, termasuk saudara-saudara kita di Palestina yang saat ini sedang berduka. ini tentunya mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita. Maka melalui infak/sedekah, tentunya akan dapat membantu meringankan beban mereka, apalagi di bulan Ramadhan yang penuh keberkahan dan kemuliaan ini.

    Kewajiban untuk berinfak/bersedekah/berbagi, Allah SWT telah banyak menjelaskan dalam al-Qur’an, salah satunya sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 195 yang artinya “Dan berinfaklah di jalan Allah, janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Ayat ini tentunya memerintahkan kepada kita untuk berinfak/bersedekah/berbagi, apalagi di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini, sebab berinfak/bersedekah/berbagi dapat berdimensi sosial sekaligus berdimensi ibadah, artinya dengan berinfak/bersedekah/berbagi tentunya akan dapat  membantu mengurangi beban mereka (nilai sosial) dan sekaligus mendatangkan pahala untuk kita yang berinfak/bersedekah/berbagi (nilai ibadah).

    Apapun yang akan kita infakkan/sedekahkan, dan sekecil apapun yang akan kita berikan, tentunya akan sangat bermanfaat untuk orang yang membutuhkan. Untuk itu mari kita saling berbagi, lebih-lebih di bulan suci Ramadhan ini. Jangan pernah kita menganggap bahwa apa yang akan kita berikan akan mengurangi harta kita, tetapi yakinlah bahwa apa yang akan kita infakkan/sedekahkan justru akan menambah harta kita, hal ini sebagaimana firman Allah Surat Saba’ Ayat 39 yang artinya “Suatu apa pun yang kalian infakkan/sedekahkan pasti Allah akan menggantinya. Dialah (Allah) sebaik-baik pemberi rizqi”. Dalam Firman yang lain, yakni Surat al-Baqarah Ayat 261 Allah menegaskan yang artinya “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, di mana pada setiap tangkai terdapat seratus biji. Allah  melipatgandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”. Berdasarkan kedua ayat ini jelas bahwa siapa saja yang mau berinfak/bersedekah/berbagi, maka Allah akan melipatgandakannya sampai tujuh ratus kali. Oleh karena itu jangan pernah kita takut untuk berinfak/bersedekah/berbagi kepada orang lain.

    Sebagai motivasi untuk berinfak/bersedekah/berbagi, Rasulullah SAW  telah menjelaskan dalam sebuah hadis yang artinya “Orang yang suka berinfak/bersedekah/berbagi (dermawan), ia akan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga dan jauh dengan neraka. Sebaliknya orang yang pelit atau enggan berinfak/bersedekah/berbagi, ia akan jauh dengan Allah, jauh dengan manusia, jauh dengan surga dan dekat dengan neraka”. Untuk itu mari kita budayakan hidup berbagi terhadap sesama, baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang. Ketahuilah bahwa sejatinya apa yang kita miliki hakekatnya ada hak orang lain, maka berikanlah akan hak-hak itu. Hal ini sebagaimana firman Allah Surat Adz-Dzariyat Ayat 19 yang artinya “Pada harta mereka ada hak-hak bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta”.

    Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan kemampuan kepada kita semua, sehingga kita termasuk orang-orang yang pandai bersyukur dengan menyisihkan sebagian dari harta yang kita miliki untuk berbagi terhadap orang lain. Wallahua’lam Bishawab.

  • Opini: Teori Pembanding Hukum Pada Nalar Al-Narajil

    Opini: Teori Pembanding Hukum Pada Nalar Al-Narajil

    Teori Pembanding Hukum Pada Nalar Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, M.H.I
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Nalar yang berarti kemampuan berpikir logis, ilmiah dan masuk akal, juga dapat diartikan perangkat manusia yang digunakan untuk mencari kebenaran. Sebuah nalar tidak akan dapat terukur manakala tidak adanya teori yang dibangun. Termasuk nalar Al-narajil yang tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa adanya bangunan teori. Maka daripada itu penulis menggagas sebuah teori yang ditawarkan yaitu teori perbandingan atau dalam Bahasa Arab dikenal dengan al-Muqarran, membandingkan berbeda dengan mengaitkan, mengoneksikan dan juga mengintegrasikan, melainkan bahwa membadingkan itu dapat dilakukan dengan dua hal, pertama membandingkan sebuah pedekatan yang digunakan, karena pendekatan dan teori yang digunakan oleh seorang mujtahid sangat menentukan hasil ijtihadnya, yang kedua adalah membandingkan kapasitas seorang mujtahid, apakah mujtahid yang melakukan ijtihad hukum sesuai dengan kapsitasnya atau tidak. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, karena dengan seperti itu akan tercipta hukum yang lebih baik dan lebih maslahat.

    Sebagaimana dikatakan dalam sebuah kaidah:

    الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا

    “Hukum itu beredar pada ‘illatnya, baik adanya hukum maupun tidak adanya”

    Secara etimologi ‘illat berarti alasan atau sebab, sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaanya. Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul fiqih, antara lain:

    العِلَّةُ هِىَ الوَصْفُ الظَاهِرُ المُنْضَبِطُ الَذِى جَعَلَ مَنَاطَ الحُكْمِ يُنَاسِبُهُ

    “’Illat ialah suatu sifat yang nyata yang terang tidak bergeser-geser yang dijadikan pergantungan suatu hukum yang ada munasabah antaranya dengan hukum itu.”

    Al-Syatibi, menuliskan pengertian illat sebagai berikut:

    العِلَّةُ هِىَ المَصْلَحَةُ أَوِ المَفْسَدَةُ الَّتِى رَاعَاهَا الشَارِعُ فِى الطَلَبِ كَفًّا أَوْ فِعْلاً

    “’Illat adalah kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau diperhatikan syara’ di dalam menyuruh suatu pekerjaan atau mencegahnya.”

    Imam Syatibi berkata:
    العِلَّةُ هِىَ المَصَالِحُ الشَرْعِيَةُ الَّتِى تَعَلَّقَتْ بِهاَ الأَوَامِرُ وَالمَفَاسِدُ الَّتِى تَعَلَّقَتْ بِهَا النَوَاهِى

    “’Illat ialah segala keselamatan syara’ yang bergantung dengannya segala perintah dan segala kerusakan yang bergantung dengannya segala larangan.”

    Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanabillah dan Imam Baidawi (tokoh ulama fiqih Syafi’iyah), merumuskan definisi illat dengan:

    الوَصْفُ المُعَرِّفُ لِلْحُكْمِ

    “Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.”

    Sebagaimana kaidah dibawah ini:

    الحُكْمُ يَتْبَعُ المَصْلَمَةُ الرَّاجِحَةُ

    “Hukum itu mengikuti kemaslahatan yang lebih kuat.

    Pada beberapa kaidah ini peneulis ingin menyampaikan bahwa suatu hukum sangat tergantung pada suatu ‘illat (ratio legis), namun demikian, kita dapat menilai dari setiap hasil ijtihad yang dilakukan oleh ulama, bahwa hukum akan tergantung pada kemaslahatan yang paling kuat (rajih).

    Teori lahir untuk menopang nalar Al-Narajil, dengan beberapa tahapan, tahapan pertama, mengembalikan suatu perkara pada hukum syumul (komprehensif). Kedua, analisis kembali approauch (pendekatan) yang digunakan oleh penelititi atau mujtahid dan teori atau dalilnya. Ketiga, tilik kembali tujuan hukum (maqashid al-syari’ah) pada hukum yang sedang dibahas, Keempat, kualitas dan kompetensi mujtahid. Kelima, lihat kembali pada teks dan konteks, teks ada.

  • Analisis Nalar Al-Narajil Dalam Pembaruan Hukum Islam

    Analisis Nalar Al-Narajil Dalam Pembaruan Hukum Islam

    Analisis Nalar Al-Narajil Dalam Pembaruan Hukum Islam
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Nalar adalah kemampuan berpikir logis, ilmiah dan dapat diterima oleh akal pikiran. Sedangkan Al-Narajil adalah kata bahasa Arab yang berarti buah kelapa, dua kata ini jika digabungkan akan menjadi sebuah pemahaman bahwa kemampuan seseorang dalam berpikir secara logis terhadap lapisan-lapisan yang ada dalam Al-Narajil sebagai salah satu metode analis ilmiah terhadap penyelesaian Hukum Islam kontemporer. Lapisan-lapisan ini tersusun dengan baik dengan lima tahapan pada lapisan tersebut.Pertama adalah pertanyaan tentang bagaimana Hukum Islam dapat disebut komprehensif? Maka perlu dibuktikan bahwa Hukum Islam itu mencakup dua hal, yaitu yang tetap (tsubut), dan yang berubah (taghayyur). Adapun prinsip-prinsip Hukum Islam adalah memudahkan (taisir), berkeadilan (al-adl), ber kesetaraan (musawah), dan berdemokrasi (al-syura).

    Tahapan kedua adalah pertanyaan, apakah Hukum Islam dapat ditinjau dalam kajian multidisipliner? Perlu dipahami bahwa Hukum Islam itu syumul (komprehensif) sehingga dapat dikaji dalam berbagai pendekatan ilmiah, baik berupa intra doctrinal reform, yaitu pendekatan usul fikih dan teori-teori yang dapat digunakan untuk menganalisis. Kedua ekstra doctrinal reform, sebuah penelitian Hukum Islam dengan pendekatan teori Barat atau teori-teori luar usul fikih, semua pendekatan ini dapat dilakukan untuk menganalisis Hukum Islam.

    Lapisan ketiga, pertanyaan tentang maqasid, apakah tujuan yang hendak dicapai dalam Hukum Islam? Tujuan Hukum Islam adalah li jalbi al-mashaalihi wa li daf’i al-mafasid (mengambil kemaslahatan dan menolak kemudharatan). Sedangkan tujuan Hukum itu bersifat primer (dharuriyat), skunder (hajiat) dan tersier (tahsiniyat). Hal yang bersifat dharuriyat adalah untuk menjaga agama (Hifdzu al-din), menjaga jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga akal (hifdzu al-ql), menjaga keturunan (hifdzu al-nasl) dan menjaga harta (hifdzu al-mal). Selain pertanyaan tujuan Hukum juga muncul pertanyaan kedua adalah apakah kompetensi mujtahid dalam berijtihad tentang Hukum Islam? Perlu diketahui syarat utama mujtahid adalah beriman, mampu berbahasa Arab, menguasai al-Quran dan tafsirnya serta ulumul Quran secara kaffah, begitu juga ilmu hadis baik dirayat dan riwayat serta hal yang berkaitan dengan pemahaman al-Sunah Nabi Muhammad SAW.

    Lapisan keempat, apakah kajian utama dari Hukum Islam kontemporer? Hukum Islam kontemporer kajiannya adalah Nash ( al-Quran dan al-Sunnah), sedangkan kajian kedua adalah konteks atau persoalan yang muncul pada persoalan yang sedang terjadi pada era kontemporer ini.

    Adapun pusar dalam konteks hukum Islam ini adalah tangkai yang dapat menyambungkan dari luar tembus pada 5 lapisan yang ada dalam Al-Narajil.

    Maka dari sinilah akan terlihat sebuah fenomena yang terjadi pada putusan hukum atau fatwa akan sangat mudah menelusuri nya, seperti misalnya bagaimanakah hukum childfree dalam kacamata Islam? Maka pertama harus ditelusuri bahwa hukum keluarga itu syumul (komprehensif) luas, utuh dan shaleh ngak ekslusif. Kedua perlu ada analis tentang pendekatan apa yang digunakan sehingga menimbulkan hukum baru pada childfree. Baru kemudian dapat kita lihat tujuan hukum berkeluarga, dan dapat dilihat kompetensi mujtahid, apakah ia orang beriman dan punya kemampuan secara baik dalam berijtihad. Sedangkan objek dalam kajian childfree ini dapat dilihat pada statement yang terjadi pada masyarakat, dan penelusuran Nash yang terkait.

  • Puasa Lahirkan Keikhlasan

    Puasa Lahirkan Keikhlasan

    Puasa Lahirkan Keikhlasan
    Prof. Dr. H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Ketua LP2M UIN Raden Intan Lampung
    Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Provinsi Lampung

    Allah berfirman yang artinya “ Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya semata-mata untuk Allah SWT ”. Ini artinya bahwa semua aktifitas termasuk ibadah puasa yang kita lakukan tentunya semata-mata hanya untuk Allah SWT. Dalam firman Allah yang lain, yakni Surat al-Bayyinah Ayat 5 dijelaskan bahwa kita hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas  dan mentaatinya semata-mata karena (menjalankan) agama, bukan karena yang lain. Berdasarkan  kedua ayat  ini jelas bahwa semua ibadah termasuk puasa yang kita lakukan harus berdasarkan keikhlasan karena Allah SWT, sebab ibadah apapun tanpa didasari dengan keikhlasan, maka semuanya akan sia-sia, bahkan akan ditolak oleh Allah SWT dan tidak bermakna, hal ini sebagaimana Hadis Rasulullah SAW yang artinya tidak akan diterima amal ibadah seseorang kecuali dilakukan dengan penuh keikhlasan.

    Lantas apa itu ikhlas? Dan bagaimana puasa mampu melahirkan keikhlasan? Ikhlas itu ketika meniatkan seluruh ibadah tentu hanya untuk Allah SWT, sehingga tidak bangga akan pujian dan sanjungan orang lain. Ikhlas itu ketika mampu berbagi rezeki meskipun kita dalam keadaan terhimpit. Ikhlas itu ketika tersenyum melihat orang lain bahagia walaupun kita sedang berduka. Ikhlas itu ketika harus melepaskan sesuatu demi kebaikan bersama sekalipun kita yang terluka. Ikhlas itu ketika dihujani kata-kata yang menyakitkan tetapi kita  tetap bersikap baik dan mendo’akannya. Ikhlas itu seperti surat al-Ikhlas, tidak ada kata ikhlas pada ayatnya, tidak terlihat, tidak tergambarkan, tidak terdefinisikan, tetapi ikhlas hanya dapat dirasakan dalam lubuk hati seseorang yang mampu memahaminya.

    Oleh karena itu puasa bukan hanya sekedar menahan diri dari haus dan lapar, melainkan puasa mampu menjadikan pondasi keimanan seseorang dalam membebaskan diri dari keserakahan dunia. Ingat puasa termasuk ibadah rahasia (Sir), karena puasa merupakan ibadah yang terhubung langsung antara seseorang dengan Allah SWT. Boleh jadi di hadapan orang lain seseorang mengaku berpuasa, padahal di belakang ia makan dan minum (tidak puasa). Sehingga puasa itu memerlukan keikhlasan, puasa bukan karena malu sama orang, puasa bukan karena ingin dilihat orang lain, puasa bukan karena ingin dipuji orang lain, tetapi puasa semata-mata karena ketaatan kepada Allah SWT.

    Untuk itu belajarlah menjadi orang ikhlas, karena dengan keikhlasan kita akan mampu menerima segala sesuatu dengan berlapang dada dan berjiwa besar. Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba Allah yang selalu ikhlas dalam beribadah dan beramal, sehingga seluruh ibadah dan amal kita senantiasa diterima oleh Allah SWT. Wallahua’lam Bishawab.