Ramadhan dan Tradisi
Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Kemulian bulan ramadhan yang kita imani sebagai bulan penuh keberkahan sesuai ajaran agama yang kita yakini. Suatu bulan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbanyak ibadah kepada Allah Ta’ala, baik dalam ibadah puasanya, maupun segala sunah yang dianjurkan. Secara norma agama bahwa segala kewajiban dan sunah itu adalah anjurkan yang dipererintahkan dalam Nash, yaitu al-Quran dan Sunnah secara mu’tabarah. Pemahaman atas norma-norma agama itulah yang menjadi motivasi umat Islam untuk mengekspresikan ghirah untuk memuliakan ramadhan dengan harapan untuk mendapatkan keberkahan dengan penuh keimanan sesuai tradisi masyarakat masing-masing. Tradisi sendiri adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Mengingat bahwa Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang beragam, sehingga ekpresi kebahgiaan menyambut datangnya bukan ramadhan hingga memeriahkannya dibarengi dengan ragam budaya dan tradisi lokal masing-masing. Tradisi itu yang ikut mewarnai kegiatan-kegiatan ramadhan bukan merupakan ajaran agama baru yang datang dari tradisi, meskipun agama Islam datang bukan di ruang yang kosong, melainkan sangat dipengaruhi oleh tradisi lokal masyarakat Makkah dan Madinah, meskipun tradisi itu tidak semua ter-cover dalam agama Islam, ada yang dikokohkan dengan penguatan Nash, namun ada tradisi yang dirubah bahkan dihapus oleh Nash. Berbeda tentunya dengan tradisi lokal yang ada di lingkungan kita, bahwa tradisi lokal yang ada adalah ikut mewarnai norma agama, hingga lahirnya paham Islam tradisi. Jika dikaitkan dengan pemahaman bid’ah yang diyakini oleh sebagian orang bahwa makna darinya adalah suatu ajaran baru atau amaliyah baru yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, maka akan menjadi salah kaprah jika tradisi lokal yang kita lakukan pada masyarakat kita dianggap bid’ah, karena hal yang baru dari tradisi yang ada pada masyarakat kita adalah ekspresi yang datang dari agama yang merupakan inspirasi bukan kegiatan baru yang dianggap oleh sebagian orang mengada-ada dan meyakini bahwa hal itu adalah ajaran agama, melainkan yang benar adalah ekspresi atas ajaran agama yang dilakukan oleh masyarakat sesuai tradisi yang sudah ada, sehingga yang dirubah bukan norma agamanya, tapi adalah tradisinya diambil, dan norma agamanya diterima, dan itulah yang disebut inkulturasi agama, memasukkan nilai agama pada sebuah tradisi dengan tanpa membuang tradisi yang ada, tapi tidak mengurangi nilai agama apalagi merubahnya.
Pada bulan Ramadhan, telah banyak tradisi ramadhan yang dilakukan oleh masyarakat kita, seperti unggahan, adalah sebuah ekspresi kebahagiaan yang dilakukan oleh masyarakat kita untuk menyambut datangnya bukan ramadhan, jadi bukanlah ajaran baru yang dibuat-buat dalam agama, melainkan ekpresi atas norma agama yang dilakukan sesuai tradisi yang ada. Hal lain ialah ziarah kubur adalah ekspresi terhadap norma agama, pertama sebagai bentuk birrul walidaini, orang tua, nenek-kakek atau sanak keluarga yang telah meninggal dunia, dan kedua adalah mengingat bahwa adanya kita karena orang tua dan sesepuh kita, sehingga diekspresikan oleh tradisi yang diindahkan oleh masyarakat dengan tanpa keluar dari koredor norma agama.
Selain dua tradisi itu juga masih banyak tradisi lokal yang diindahkan hingga kita, seperti tradisi mudik, tadarusan di masjid dengan speaker, budaya tarawih dengan Bilal, tradisi peringati malam Nuzulul Quran, lebaran keliling dari rumah ke rumah, dan masih banyak lagi yang lainnya, semua itu tidak lain adalah ekspresi dan juga inkulturasi agama yang mereka lakukan sesuai tradisi lokal yang ada, indah dan memiliki nilai seni dan budaya yang tinggi, tidak ada di negara lain kecuali di bumi Pertiwi, negara Indonesia yang terbentang dengan pulau-pulau dan ragam budaya, tradisi, ras, dan bahasa yang beragam.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.