Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil
Dr. Agus Hermanto, MH
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Kajian tentang hukum perkawinan selalu dinamis beriring perkembangan pola dan tren yang terjadi pada masyarakat modern. Lifestyle (pola hidup) dan perkembangan teknologi disinyalir menjadi pengaruh utama arus perkembangan yang saat ini dihadapi. Persoalan tentang pernikahan yang saat ini hangat adalah tentang “marriage is scary” menikah adalah menakutkan. Isu ini sangat populer dimasyarakat kita, khusunya bagi generasi muda saat ini. Jika merujuk pada persoalan tentang pernikahan itu menakutkan sejatinya telah terjadi banyak pada kalangan perempuan akibat korban psikis yang terjadi hingga menyebabkan trauma yang mendalam, seperti kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang pernah dilakukan oleh ayah kepada ibunya yang disaksikan pada masa kecil hingga tertanam pada benaknya bahwa menikah itu menakutkan dan suami itu jahat, sehingga perempuan adalah korban kekerasan dalam sebuah rumah tangga.
Teori pembanding adalah sebuah teori yang menganalisis sebuah persoalan dengan penalaran Al-Narajil. Adapun nalar Al-Narajil itu sendiri adalah sebuah metode berpikir yang sistematis pada pemanfaatan lapisan demi lapisan yang menjadi tahapan dalam proses penelusuran hukum secara deduktif.
Jika dihadapkan dengan persoalan marriage is scary, maka tahapan pertama adalah kembalikan persialan juz’i pada persoalan yang kulli, artinya persoalan marriage is scary adalah persoalan juz’i yang merupakan bagian dari persoalan kulli yaitu pernikahan. Hal yang urgent adalah bahwa pada lapisan pertama, hukum Islam (dalam hal ini hukum perkawinan) memiliki prinsip taisir (memudahkan), pernikahan yang menakutkan bukanlah hal yang masuk dalam unsur memudahkan, karena orang yang takut menikah akan mengalami masa yang justru lebih menakutkan pada usia 40 hingga 60 tahun. Prinsip kedua adalah al-adlu (keadilan), pernikahan itu menakutkan bukanlah unsur yang relevan dengan keadilan, karena seseorang yang takut menikah hingga enggan untuk menikah berarti mengeneralkan laki-laki dengan anggapan bahwa semua laki-laki jahat, padahal tidak meski semua demikian. Prinsip syura (demikrasi), pernikahan itu menakutkan tentunya hanya sepihak bagi yang memiliki prinsip ini, padahal ia hidup tidak sendiri, ada saudara, keluarga, sahabat yang semua itu akan dapat juga memberikan wawasan lain tentang pentingnya pernikahan bagi keberlangsungan hidup. Prinsip musawah (persamaan), menikah adalah menakutkan berarti menyalahi aturan kesamaan, padahal dengan menikah seseorang akan mendapatkan perilaku dari pasangan hidupnya hingga hal ini akan memberikan kemenangan.
Pada lapisan kedua adalah perlunya menilik kembali pada persoalan marriage is scary dengan pendekatan yang dilakukan, pada umumnya marriage is scary adalah pendekatan psikologis, padahal perlu ditinjau ulang, bagaimana marriage is scary dengan pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, sosiologis, antropologis, historis, bahkan medis, artinya marriage is scary akan dianggap boleh jika memang secara psikologis-medis memang layak untuk diberikan rukshashah hukum. Namun jika tidak layak, maka sesungguhnya marriage is scary tidak dapat digeneralkan hukum kebolehannya, meskipun dengan alasan hak asasi manusia.
Pada tahapan ketiga, suatu statement bahwa marriage is scary harus dilihat pada tujuan hukum yang diinginkan, dalam konsep maqasid syariah, bahwa tujuan hukum adalah li jalbil mashalih wa lidaf’il mafasid (mengambil kemaslahatan dan menolah kemudharatan), ada tujuan yang primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat), dan tersier (tahainiyat). Pada prinsip utama dalam maqasid syariah adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Jika kita tilik pada tujuan hukum syara’ maka marriage is scary lepas landas dari tujuan syara’ kecuali rukhsah bagi perorangan karena ganguan psikis atau karena sakit. Pada prinsip utama adalah menjaga agama, norma agama menganjurkan seseorang untuk menikah, bahkan suatu hari seorang yang tidak punya apa-apa dalam hal rizki Rasulullah bolehkan menikah agar mendatangkan rizki, maka takut dalam menikah hingga tidak menikah secara otomatis bertentangan dengan sunah Rasulullah. Kedua adalah menjaga jiwa, takut menikah berarti tidak berpikir panjang akan masa depan hidupnya, yang secara siklus, manusia akan juga semakin lemah dan membutuhkan orang lain, dan orang yang paling dekat adalah pasangan hidup. Ketiga adalah menjaga akal, secara logika sehat bahwa seseorang menikah adalah fitrah, sehingga ketika ada seseorang yang takut menikah hingga tidak melakukannya maka sesungguhnya tidak logis dan bertentangan dengan akal sehat. Keempat menjaga nasab, takut untuk menikah hingga tidak menjalankannya adalah sikap egois yang tidak berpikir regenerasi, kecuali memang gangguan psikis atau medis yaitu childless. Kelima adalah menjaga harta, seseorang hidup tentunya akan mempertahankan hidupnya, dan kebutuhan primer nya adalah sandang, pangan dan papan, itu semua adalah harta, dan jika seseorang mengumpulkan harta lalu tidak dijaga hingga tidak bermanfaat bahkan ketika meninggal tidak punya ahli waris, alangkah mirisnya kehidupan.
Pada lapisan ke empat adalah pelaku yang berprinsip marriage is scary perlu dilihat pada latar belakang lifestyle (pola hidup), atau bahkan paradigma yang ada pada benaknya, sehingga marriage is scary sehingga enggan menikah tidak boleh digeneralkan hukumnya.
Pada lapisan kelima adalah nash dan konteks. Dalam Nash baik al-Quran maupun al Sunnah menganjurkan seseorang untuk menikah, memiliki keluarga harmonis, memiliki keturunan dan seterusnya, sedangkan konteks yang terjadi, di Indonesia yang merupakan negara non sekuler, tidak pernah ada larangan menikah bahkan larangan memiliki anak, program KB hanya anjuran dan bukan paksaan, sehingga tidak juga bisa dengan alasan hak asasi manusia lalu melupakan esensi agama.
Pada prinsip Tauhid, yaitu sumbu yang menghubungkan seluruh lapisan, hendaklah suatu keputusan hukum berbasis pada nilai Tauhid, bahwa yang tidak berpasangan dan tidak berketurunan hanyalah Tuhan, sehingga hamba Allah fitrahnya adalah berpasangan. sehingga dari titik inilah teori pembanding sejatinya ingin menawarkan sebuah metode filter yaitu menganalisis sebuah fatwa, putusan hukum bahkan paradigma yang mungkin telah mengajar dengan meninjau unsur-unsur yang ada pada nalar Al-Narajil sebagai kerangka analisis yang digunakan.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.