Author: muilampungdigital

  • Opini: Perlindungan Hukum bagi Tenaga Pendidik: Meningkatkan Profesionalisme dalam Menunjang Kualitas Pendidikan

    Opini: Perlindungan Hukum bagi Tenaga Pendidik: Meningkatkan Profesionalisme dalam Menunjang Kualitas Pendidikan

    Perlindungan Hukum bagi Tenaga Pendidik: Meningkatkan Profesionalisme dalam Menunjang Kualitas Pendidikan

    Dr. H. Achmad Moelyono, M.H.
    (Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Provinsi Lampung)

    Introduksi:
    Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto pada tanggal 21 Oktober 2024 membagi “Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi” menjadi tiga kementerian baru, yaitu “Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah”, “Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi”, dan “Kementerian Kebudayaan”. Pemisahan fungsi ini diperlukan untuk mendorong peran pendidikan tinggi dalam pengembangan sains dan teknologi yang dapat memberikan dampak ekonomi dan sosial kepada masyarakat. Penggabungan koordinasi pendidikan tinggi dengan pengembangan sains dan teknologi melalui kegiatan riset di berbagai lembaga penelitian non-universitas diharapkan hasilnya akan sangat produktif dan lebih berkualitas.

    Pendidikan merupakan salah satu sektor vital dalam pembangunan suatu negara. Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum yang diterapkan atau fasilitas yang disediakan, tetapi juga oleh kualitas tenaga pendidik, khususnya dosen, yang berperan penting dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada mahasiswa. Dalam konteks ini, profesionalisme dosen sangat memengaruhi mutu pendidikan di perguruan tinggi. Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi tenaga pendidik, terutama dosen, menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan mereka dapat bekerja secara optimal dan menghasilkan lulusan yang berkualitas.

    Perlindungan hukum terhadap dosen bukan hanya berbicara tentang perlindungan hak-hak dasar mereka, tetapi juga mencakup pemberian ruang bagi dosen untuk berkembang secara profesional tanpa takut akan adanya intimidasi atau perlakuan tidak adil. Dengan adanya perlindungan hukum, diharapkan dosen dapat melaksanakan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan di kampus.

    Perlindungan Hukum bagi Dosen :
    Perlindungan hukum bagi dosen di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai regulasi yang meliputi hak dan kewajiban dosen, yang terdapat dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta peraturan-peraturan turunannya. Dalam undang-undang tersebut, dosen diberikan hak atas pengakuan profesi, kesejahteraan, serta perlindungan dalam menjalankan tugasnya. Perlindungan hukum ini mencakup beberapa aspek, antara lain:

    1. Hak atas Jaminan Kesejahteraan
    Dosen berhak mendapatkan penghasilan yang layak sesuai dengan jenjang jabatan fungsionalnya. Hal ini mendukung dosen untuk fokus pada tugas utama mereka sebagai pendidik dan pengajar tanpa terganggu oleh masalah kesejahteraan ekonomi. Selain itu, jaminan sosial dan asuransi kesehatan juga menjadi bagian dari perlindungan hukum yang penting untuk menjaga kesejahteraan dosen.

    2. Perlindungan dalam Menjalankan Tugas Akademik
    Perlindungan terhadap kebebasan akademik adalah hal yang sangat penting bagi dosen. Mereka harus bebas dalam menyampaikan gagasan, melakukan penelitian, dan mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa adanya tekanan politik atau intervensi yang dapat menghambat kebebasan berpikir dan berinovasi. Perlindungan hukum terhadap kebebasan akademik ini mendukung profesionalisme dosen untuk mengembangkan metode pengajaran yang kreatif dan berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan.

    3. Jaminan Keamanan Hukum
    Dosen juga dilindungi dari potensi ancaman hukum yang mungkin timbul akibat pelaksanaan tugas mereka, baik itu dalam bentuk gugatan atau tekanan dari pihak tertentu. Perlindungan ini memastikan bahwa dosen dapat bekerja tanpa rasa takut akan reperkusi hukum yang tidak adil.

    Dampak Perlindungan Hukum terhadap Profesionalisme Dosen:
    Perlindungan hukum terhadap dosen tidak hanya memberikan rasa aman dan terlindungi, tetapi juga dapat mendorong peningkatan profesionalisme dosen dalam menjalankan tugasnya. Berikut adalah beberapa dampak positif dari perlindungan hukum terhadap profesionalisme dosen:

    1. Meningkatkan Kinerja dan Kreativitas Dosen
    Ketika dosen merasa terlindungi secara hukum, mereka lebih bebas untuk mengembangkan kreativitas dalam proses belajar mengajar. Perlindungan hukum memberikan rasa aman bagi dosen untuk bereksperimen dengan metode pengajaran yang baru dan inovatif. Mereka juga lebih terbuka untuk berkolaborasi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.

    2. Peningkatan Motivasi dalam Pengembangan Diri
    Perlindungan hukum yang mencakup hak-hak profesional dan kesejahteraan dosen dapat meningkatkan motivasi mereka untuk terus mengembangkan diri dalam bidang akademik. Dosen yang mendapatkan jaminan hukum terkait hak mereka untuk melanjutkan pendidikan dan memperoleh pengakuan atas prestasi akademiknya akan lebih terdorong untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini akan membawa dampak positif terhadap kualitas pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi.

    3. Pengurangan Beban Administratif dan Non-Akademik
    Perlindungan hukum yang jelas terkait dengan kewajiban dan hak dosen juga membantu mengurangi beban administratif dan non-akademik yang tidak berkaitan langsung dengan tugas pengajaran dan penelitian. Dengan demikian, dosen dapat lebih fokus pada tugas utamanya, yaitu mengajar dan melakukan penelitian, yang berimplikasi langsung terhadap peningkatan kualitas pendidikan yang mereka berikan.

    4. Mengurangi Konflik dan Tuntutan Hukum
    Dengan adanya perlindungan hukum, baik dalam bentuk peraturan yang jelas maupun lembaga yang mengawasi pelaksanaan hak-hak dosen, konflik antara dosen dengan pihak kampus atau mahasiswa dapat diminimalisir. Perlindungan hukum ini memberikan pedoman yang jelas mengenai hak dan kewajiban dosen, yang pada gilirannya akan mengurangi potensi tuntutan hukum yang merugikan dosen dan menciptakan lingkungan akademik yang kondusif.

    Tantangan dalam Implementasi Perlindungan Hukum untuk Dosen :
    Meski perlindungan hukum bagi dosen telah diatur dalam berbagai regulasi, masih ada beberapa tantangan dalam implementasinya. Salah satunya adalah ketidakmerataan dalam penerapan kebijakan tersebut di seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Beberapa perguruan tinggi, terutama yang berskala kecil, mungkin belum sepenuhnya dapat memberikan perlindungan yang maksimal bagi dosen mereka, baik dari segi kesejahteraan maupun kebebasan akademik.

    Selain itu, kurangnya pemahaman mengenai hak-hak dosen dalam menjalankan tugas akademik seringkali menjadi hambatan dalam pemberian perlindungan hukum yang efektif. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk terus menyosialisasikan peraturan yang ada dan memperkuat lembaga pengawas yang dapat memberikan pendampingan hukum kepada dosen yang menghadapi masalah hukum.

    Perlindungan hukum bagi dosen sangat penting dalam meningkatkan profesionalisme mereka sebagai tenaga pendidik. Dengan adanya perlindungan hukum yang jelas dan tegas, dosen akan merasa aman dalam menjalankan tugas-tugas akademiknya, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang mereka berikan di perguruan tinggi. Perlindungan tersebut memberikan ruang bagi dosen untuk berinovasi, mengembangkan diri, dan mengurangi tekanan yang dapat mengganggu konsentrasi mereka dalam mengajar dan melakukan penelitian.

    Konklusi:
    Tantangan dalam implementasi perlindungan hukum yang merata dan pemahaman yang baik mengenai hak-hak dosen masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan. Untuk itu, perlu adanya upaya bersama dari pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi profesi untuk meningkatkan pemahaman serta memperkuat implementasi perlindungan hukum yang dapat memajukan kualitas pendidikan di Indonesia.

  • Opini: Gerakan Transmigrasi Upaya Menjaga Negara Kepulauan

    Opini: Gerakan Transmigrasi Upaya Menjaga Negara Kepulauan

    Gerakan Transmigrasi Upaya Menjaga Negara Kepulauan
    Hasprabu
    Ketua Umum DPP PATRI

    Jika kita melihat peta dunia, tanpak jelas. Indonesia adalah suatu Negara Kepulauan (archipelago, Nusantara). Sebagai negara Kepulauan, selain karunia keragaman, juga rawan perpecahan.

    Terbukti. Belanda berhasil menjajah ratusan tahun dengan mengandalkan politik adu domba (devide et impera). Bahkan walau Indonesia sudah Merdeka (1945), Belanda enggan meninggalkan Indonesia. Berbagi teror dilakukan. Termasuk membentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS, 27 Desember 1949.

    Saat itu ada Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Pasundan, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Jawa Timur, dan lainnya.

    Alhamdulillah, RIS hanya bertahan 9 (sembilan) bulan. Karena para pemimpin mulai sadar, bahwa RIS hanya siasat licik memecah belah.

    Kita patut bersyukur. Indonesia adalah Negara Kepulauan besar. Ada lebih 17.000 pulau, 1.300 suku dan 700 bahasa. Terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kompleks. Bagaimana dulu para Bapak Bangsa bisa mempersatukan. Wajib disyukuri. Alhamdulillah.

    Sebenarnya bukan hanya Indonesia. Ada juga negara kepulauan. Seperti: Jepang (6.800 pulau), Filipina (7.641 pulau), Maladewa (1.200 pulau), dan Fiji (330 pulau).

    Sebagai negara berdaulat, Negara dan warga Bangsa wajib mempertahankannya. Persoalan besar adalah, bagaimana menjaga perbatasan antar negara. Bukan saja yang di darat, tetapi wilayah maritim. Perlu pasukan yang kuat dan cukup besar. Kata Publius Flavius Vegetius Renatus (abad 4-5 M): “Si vis pacem, para bellum.” Artinya :”Jika ingin damai, bersiaplah untuk perang.” (dalam karyanya, “Epitoma Rei Militaris”).

    Perang, selain butuh alutsista, perlu dukungan logistik. Khususnya pangan. Maka harus ada sinergi dan pembagian peran. Tentara sebagai kekuatan tempur utama. Rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Di wilayah perbatasan, perlu ada perkampungan terlatih. Diantaranya dengan menempatkan Transmigran. Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno (28/12/1964) menyatakan. Transmigrasi adalah Mati -Hidup Bangsa Indonesia.

    Untuk mewujudkan gagasan besar itu, selama Orde Baru (1967-1998), Gerakan Nasional Transmigrasi dilaksanakan Pak Harto secara massif. Sekarang terasa. Dengan adanya Transmigrasi stabilitas keamanan lebih terjaga. Sparatisme dapat dikendalikan. Sebaliknya, ketika Transmigrasi mereda di masa Reformasi, benih sparatisme bangkit kembali.

    Kini saatnya kita kembali mempelajari sejarah kita. Walau kita tidak hidup dimasa awal kemerdekaan, tetapi hendaknya bisa merasakan. Betapa beratnya mempersatukan negara kepulauan besar ini. Mari kita dukung Gerakan Nasional Transmigrasi. Transmigrasi yang menyejahterakan seluruh anak Bangsa. Karena hakikatnya Transmigrasi bukan milik suku, agama, atau pulau tertentu saja.

     

  • Opini: Peka, Bukan Proses Observasi

    Opini: Peka, Bukan Proses Observasi

    Peka, Bukan Proses Observasi
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Peka adalah istilah yang disandarkan pada sikap seseorang yang peduli terhadap lingkungan. Istilah peka ini kerap kali dipakai ketika seseorang melihat pada lingkungan sekelilingnya yang tidak pas menurut naluri maka ia rubah atau pindah pada posisi yang seharusnya. Misalnya ketika melihat lampu masih menyala sampai siang, sedangkan pemilik ruangan ada di dalamnya, berarti menunjukkan sikap tidak peka terhadap seseorang tersebut.

    Peka butuh kesadaran dan pelatihan untuk membiasakan diri, sehingga orang yang peka kerap kali dikatakan sebagai laqab (julukan) mulia bagi seseorang, yang kerap kali juga dilawan katakan dengan “pekok” yaitu sikap seseorang yang tidak peduli dan abai terhadap sekitarnya. Melihat sampah berantakan atau kotoran bertaburan ia anggap sesuatu yang biasa, begitu juga ketika ia melihat sesuatu yang menjijikkan ia pun anggap hal yang biasa, bahkan ketika mendengan suara tidak lazim disekitarnya tetaplah dianggap biasa, hingga mencium aroma di depan telinganya, hal itu dianggap bukan bukan persoalan. Dalam konteks saat ini, orang yang tidak peka, kerap dianggap orang yang tidak peduli atau cuek terhadap lingkungan.

    Peka bukan proses observasi dalam sebuah penelitian, karena observasi adalah melihat pada titik lokasi penelitian dengan cermat dan lalu mendapatkan data yang akurat. Namun peka adalah sikap yang harus dimiliki oleh seseorang, terutama generasi saat ini. Peka kerap kali dilupakan, sehingga kerap dianggap seseorang moralitas nya menurun. Contoh ringan ketika seorang pendidik hendak mengajar, terlihat suasana bangku yang berantakan, dan para peserta didik duduk pada posisi yang tidak lazim, maka seorang guru sebelum masuk memberi materi pada peserta didik, ia rapikan duduk para perta didik tersebut adalah sikap peka bagi tenaga pengajar. Namun sebaliknya pada saat pendidik datang dan para peserta didik telah jauh sebelumnya datang di kelas, sedangkan papan tulis terlihat masih kotor sedangkan peserta didik tidak membersihkannya, maka itulah sikap “pekok” yang menunjukkan bahwa peserta didik tidak peka terhadap kondisi papan tulis, agar menjadi peka, maka selazimnya peserta didik menghapusnya sebelum pendidik datang.

    Pada saat ini, dunia digital kerap kali menjadikan generasi muda lupa akan sikap peka dan peduli terhadap lingkungan. Gadget ketika sudah dipegangnya, hingga beragam game dimainkannya, kerap kali sikap peka mulai luntur, mulai dari ketika orang tua menyapu rumah ia abaikan dan asyik bermain game, hingga ia biarkan juga kawan yang ada di sekitarnya bertanya bahkan guru dan orang tuanya kerap kali terlupakan. Dalam konteks rumah tangga, seorang suami dan istri juga harus memiliki sikap peka terhadap pasangannya, karena sikap peka inilah yang akan senantiasa menjadikan keharmonisan dalam rumah tangga. Mulai dari perhatian pada pasangan, saling menghormati, memanggil dengan panggilan mesra, hingga bergaul dan bermitra dalam kebaikan dan kebenaran dalam keutuhan rumah tangga. Jika rasa peka tidak melekat pada keduanya, maka kerap kali miskomunikasi kerap kali terjadi, hingga kerap terjadinya konflik hingga problem yang membuat ketidakharmonisan dalam rumah tangga.

  • Transformasi Manajemen Pendidikan Islam Melalui Pendekatan Multikultural di Era Globalisasi

    Transformasi Manajemen Pendidikan Islam Melalui Pendekatan Multikultural di Era Globalisasi

    Transformasi Manajemen Pendidikan Islam Melalui Pendekatan Multikultural di Era Globalisasi

    Dr. Hj. Erfina, M.M.
    (Anggota Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Provinsi Lampung)

    Di era globalisasi saat ini, pendidikan mengalami berbagai tantangan dan peluang baru, terutama dalam konteks pendidikan Islam. Transformasi manajemen pendidikan Islam menjadi suatu keharusan untuk menghadapi perubahan yang cepat ini. Salah satu pendekatan yang semakin relevan adalah pendekatan multikultural. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya proses pembelajaran, tetapi juga mempromosikan toleransi dan pemahaman antarbudaya.

    Konteks Globalisasi dan Pendidikan Islam.
    Globalisasi membawa dampak signifikan terhadap pendidikan di seluruh dunia, termasuk pendidikan Islam. Proses ini memfasilitasi pertukaran informasi dan budaya yang lebih cepat, yang pada gilirannya mempengaruhi cara pengajaran dan pembelajaran. Di satu sisi, globalisasi menawarkan peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui akses ke teknologi dan sumber daya yang lebih luas. Namun, di sisi lain, ia juga menimbulkan tantangan, seperti homogenisasi budaya yang dapat mengancam identitas lokal, termasuk nilai-nilai Islam.

    Pentingnya Pendekatan Multikultural.
    Pendekatan multikultural dalam pendidikan Islam bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, menghargai perbedaan, dan membangun solidaritas antar siswa dari berbagai latar belakang. Dalam konteks pendidikan Islam, pendekatan ini dapat mendorong pengembangan sikap saling menghormati dan toleransi, serta mempersiapkan siswa untuk hidup dalam masyarakat yang semakin beragam.

    Melalui kurikulum yang mencakup berbagai perspektif budaya, siswa dapat belajar tentang nilai-nilai universal dalam Islam yang sejalan dengan prinsip-prinsip multikulturalisme. Misalnya, ajaran Islam tentang keadilan, kasih sayang, dan kerjasama dapat diterapkan dalam interaksi sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya memahami konsep tersebut dalam konteks agama, tetapi juga dalam konteks sosial yang lebih luas.

    Transformasi Manajemen Pendidikan.
    Untuk mewujudkan pendekatan multikultural ini, manajemen pendidikan Islam perlu bertransformasi.
    Pertama, pengelola pendidikan harus mengembangkan kebijakan yang mendukung keragaman. Ini bisa dilakukan dengan merancang kurikulum yang mengakomodasi berbagai budaya dan nilai. Selain itu, pelatihan bagi guru untuk memahami dan mengimplementasikan pendekatan multikultural dalam pengajaran juga sangat penting.
    Kedua, manajemen pendidikan harus mendorong keterlibatan masyarakat. Mengajak orang tua dan komunitas untuk berpartisipasi dalam proses pendidikan akan memperkuat ikatan sosial dan mempromosikan pemahaman antarbudaya. Forum diskusi, seminar, dan kegiatan komunitas dapat menjadi sarana yang efektif untuk membangun jembatan antara sekolah dan masyarakat.

    Tantangan dalam Implementasi
    Meskipun pendekatan multikultural menawarkan banyak keuntungan, terdapat tantangan dalam implementasinya. Salah satu tantangan utama adalah resistensi terhadap perubahan. Beberapa pihak mungkin merasa nyaman dengan cara tradisional dalam mengajar dan mengelola pendidikan, sehingga sulit untuk mengadopsi pendekatan baru. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang serius untuk mengedukasi dan membangun kesadaran tentang pentingnya keberagaman dalam pendidikan.

    Selain itu, sumber daya yang terbatas juga menjadi kendala. Banyak lembaga pendidikan Islam mungkin tidak memiliki akses yang cukup terhadap materi pembelajaran yang mendukung pendekatan multikultural. Oleh karena itu, kerjasama dengan institusi lain, baik lokal maupun internasional, dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas dan aksesibilitas sumber daya pendidikan.

    Konklusi
    Transformasi manajemen pendidikan Islam melalui pendekatan multikultural di era globalisasi adalah langkah penting untuk membangun sistem pendidikan yang relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang beragam. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip multikultural dalam pengelolaan pendidikan, kita dapat menciptakan lingkungan yang tidak hanya mendorong akademik, tetapi juga memupuk nilai-nilai toleransi dan saling menghormati. Meskipun terdapat tantangan yang harus dihadapi, dengan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, pendidikan Islam dapat berkontribusi signifikan dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif.

  • Opini: Akreditasi Prodi S.2 PMI Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung Menuju Unggul

    Opini: Akreditasi Prodi S.2 PMI Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung Menuju Unggul

    Akreditasi Prodi S.2 PMI Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung Menuju Unggul

    KH. Suryani M. Nur
    (Ketua MUI Provinsi Lampung)

    Dalam rangka proses akreditasi Program Studi S.2 Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung, Asesmen Lapangan dilaksanakan di Ruang Teater Lt. 2 Gedung Academic & Research Center UIN Raden Intan Lampung pada Selasa (05/11/2024).

    Asesmen lapangan tersebut dihadiri oleh dua asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yaitu Dr. Rasyidah M.Ag. dan Dr. Abdur Rozaki M.Si. Acara tersebut juga melibatkan perwakilan alumni dan stakeholders, salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung.

    Dalam proses asesmen, Asesor Dr. Abdur Rozaki melakukan wawancara dan diskusi dengan pihak-pihak terkait untuk menggali informasi lebih dalam mengenai kualitas program studi serta kontribusinya terhadap pengembangan masyarakat Islam, baik secara akademik maupun praktis. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terkait pencapaian dan tantangan yang dihadapi oleh Program Studi S.2 PMI, serta peranannya dalam memberikan dampak positif bagi masyarakat di Provinsi Lampung.

    Salah satu topik diskusi asesor bersama stakeholders adalah terkait kontribusi prodi PMI terhadap organisasi keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung. Dalam diskusi tersebut, Suryani mengungkapkan bahwa program studi ini memiliki peran strategis dalam mengembangkan kapasitas keagamaan dan sosial masyarakat, yang sejalan dengan visi dan misi MUI dalam memajukan pemahaman Islam yang moderat dan berkeadaban.

    Beberapa kontribusi nyata yang disampaikan antara lain adalah melalui penyelenggaraan pelatihan, seminar, dan kolaborasi riset yang melibatkan mahasiswa dan alumni PMI, yang berperan langsung dalam memperkuat kapasitas keagamaan di masyarakat. Alumni dari Prodi S2 PMI juga berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh MUI, khususnya dalam bidang pengembangan dakwah, pemberdayaan umat, dan pembinaan masyarakat Islam yang berwawasan global.

    Dengan kontribusi yang signifikan ini, Prodi S2 PMI diharapkan dapat terus berkembang dan memperoleh predikat “Unggul” dari BAN-PT, mengingat kualitasnya yang telah terbukti dengan predikat “Baik Sekali” saat ini. Hal ini mencerminkan komitmen Prodi S2 PMI dalam mencetak lulusan yang tidak hanya kompeten di bidang akademik, tetapi juga mampu memberikan dampak positif pada organisasi keagamaan dan masyarakat luas.

    Untuk memperoleh predikat “Unggul” dalam akreditasi BAN-PT, sebuah program studi harus memenuhi serangkaian syarat yang mencakup berbagai aspek penting. Berikut adalah beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh Program Studi dalam rangka memperoleh predikat terbaik dari BAN-PT:
    Kualitas Pendidikan dan Pembelajaran:
    Kurikulum, Program studi harus memiliki kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sesuai dengan standar nasional dan internasional.

    Proses Pembelajaran: Proses pembelajaran harus menggunakan metode yang inovatif, berbasis riset, dan dapat melibatkan mahasiswa secara aktif. Penggunaan teknologi dalam pembelajaran juga menjadi penilaian penting.

    Sumber Daya Pengajaran:
    Dosen harus berkualitas, memiliki kualifikasi akademik yang memadai (minimal S2 atau S3 tergantung level program), serta aktif dalam riset dan pengabdian kepada masyarakat.

    Sumber Daya Manusia :
    Kualifikasi Dosen, dimana dosen harus memiliki kualifikasi pendidikan yang memadai, dengan kombinasi antara pendidikan akademik dan pengalaman profesional yang relevan. Selain itu, dosen diharapkan terlibat dalam riset dan publikasi ilmiah.

    Jumlah dan Kompetensi Dosen:
    Program studi harus memiliki cukup dosen tetap dengan latar belakang yang sesuai dengan disiplin ilmu yang diajarkan. Dosen harus memiliki keahlian yang mendalam dan mampu memberikan pengajaran yang berkualitas.

    Fasilitas dan Infrastruktur:
    Fasilitas Pembelajaran: Ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, dan sarana pendukung lainnya harus memadai, modern, dan mendukung proses pembelajaran.

    Akses terhadap Sumber Daya: Tersedianya fasilitas digital, seperti e-learning, akses jurnal internasional, dan platform pembelajaran online, juga menjadi pertimbangan penting.

    Penjaminan Mutu:
    Program studi harus memiliki sistem penjaminan mutu yang efektif untuk memastikan keberlanjutan kualitas pendidikan dan memperbaiki kekurangan yang ada. Ada mekanisme evaluasi dan tindak lanjut yang jelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan proses pendidikan secara keseluruhan.

    Lulusan dan Relevansi dengan Dunia Kerja:
    Program studi harus mampu menghasilkan lulusan yang kompeten, siap kerja, dan memiliki kontribusi positif di bidang yang relevan. Kolaborasi dengan stakeholders, dunia usaha, dan organisasi keagamaan atau kemasyarakatan juga menjadi poin penting dalam menilai relevansi program studi terhadap kebutuhan masyarakat.

    Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat:
    Program studi harus terlibat dalam kegiatan penelitian yang relevan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa juga menjadi indikator penting dalam penilaian akreditasi.

    Indikator Kinerja Utama :
    Pencapaian indikator-indikator kinerja utama yang ditetapkan oleh BAN-PT, seperti tingkat kelulusan, tingkat penerimaan kerja lulusan, serta publikasi ilmiah, menjadi faktor penentu dalam menentukan predikat akreditasi.

    Manajemen Program Studi:
    Program studi harus memiliki manajemen yang efisien, transparan, dan bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan akademik dan administrasi. Ada rencana strategis (Renstra) jangka panjang untuk pengembangan prodi yang jelas, termasuk pengelolaan anggaran, pengembangan dosen, dan peningkatan kualitas pendidikan.

    Jika Program Studi S2 Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) UIN Raden Intan Lampung dapat memenuhi seluruh kriteria ini secara optimal, maka predikat “Unggul” dari BAN-PT menjadi pencapaian yang layak diraih, Aamiin Ya Robbal Aalamiin.

  • Opini: Pamit, Sebuah Etika dalam Komunikasi

    Opini: Pamit, Sebuah Etika dalam Komunikasi

    Pamit, Sebuah Etika dalam Komunikasi
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Pamit adalah istilah yang biasa digunakan pada masyarakat kita, terutama masyarakat Jawa. Pamit memiliki makana yang sangat halus, karena pamit bukan berarti ijin atau apalagi permisi. Jika ijin identik pada harapan seorang anak pada orang tuanya, misalnya ijin mengikuti kegiatan renang atau ijin menikah, yang kalimat ini membutuhkan respon jawaban “ia” dan “tidak” yaitu diberi ijin berarti dibolehkan dan jika tidak diijinkan berarti tidak boleh. Sedangkan permisi adalah sebuah ungkapan yang kerap kali digunakan pada saat ingin bertanya atau meminta ijin untuk sekedar lewat didepan seseorang, meskipun pada konteks lain dua istilah (ijin dan permisi) kerap kali bermakna luas.

    Kata pamit dalam istilah yang dipahami disini adalah sebuah ungkapan sopan dan bermakna etika seseorang ketika misalnya ingin keluar rumah sekedar ingin membeli barang atau berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah. Kalimat ini sangatlah sopan digunakan oleh seorang suami atau istri yang hendak keluar rumah atau bahkan anak, sehingga dengan adanya “pamit” akan membuat keluarga merasa tenang atas keberangkatannya ke suatu tempat yang dituju. Namun sebaliknya, di masyarakat kerap kali, kalimat pamit atau sejenisnya kerap terlupakan, sehingga membuat orang tua atau keluarga menunggu atau sekedar memastikan kepergiannya yang tanpa tujuan.

    Dalam dunia modern, kalimat pamit ini seharusnya juga tetap dijaga oleh anak muda sebagai etika dan sopan santun yang harus dijaga dan dipelihara, sehingga ketika hendak bepergian seyogyanya memberikan informasi kepada keluarga agar keluarga mengerti tujuan dan arah dimana keberadaannya. Terlebih dunia digital sangat memudahkan kita untuk berkomunikasi, sehingga tidaklah dianggap memberatkan jika seorang anak ketika keluar dari rumah sekedar pamit misalnya “ma, saya mau belajar kelompok” misalnya, maka dengan sekedar memberikan informasi ringan seperti ini orang tua menjadi tahu keberadaan seorang anaknya yang sedang mau belajar, dan tentunya jika waktu itu adalah siang, mungkin dalam waktu sore belajar itu telah berakhir, karena secara logika bahwa belajar tidak akan mungkin dilakukan oleh anak dalam waktu sampai larut malam, sehingga jika ternyata anak di luar rumah sampai larut malam berarti ada kecurigaan yang harus diwaspadai, terlebih jika anak keluar rumah tanpa pamit, hal ini akan mengakibatkan keresahan orang tua, karena tidak jelasnya keberadaan anak tersebut.

    Pamit bukanlah intervensi, artinya ketika pamit seorang anak pada orang tuanya lantas menunjukkan bahwa orang tua kepo dan selalu ingin tahu, tapi orang tua selazimnya memang harus selalu mengontrol anaknya agar tidak lepas dalam pergaulan misalnya, terlebih misalnya bagi anak yang sudah remaja atau bahkan dewasa, katakan bujang misalnya. Jika kalimat ini biasa dilakukan dalam sebuah rumah tangga, maka sejatinya akan melatih untuk membangun komunikasi aktif antar mereka, sehingga kecurigaan dan kekhawatiran dalam jumlah anggota keluarga yang ada akan terminimalisir, karena bagi masyarakat tertentu ketika ada salah satunya keluar dari rumah tanpa memberikan informasi kepergiannya berarti ia “minggat” yaitu keluar diam-diam dari rumah dengan tujuan buruk, sehingga kepergiannya tidak ingin diketahui, atau meskipun tidak ingin melakukan keburukan, tapi merasakan bahwa apa yang akan dilakukannya tidak ingin diketahui oleh orang lain, seperti aktivitas yang kerap dilakukan oleh sebuah keluarga yang tidak bertanggungjawab, misalnya keluar rumah sampai larut malam tanpa kesan, mencari hiburan sampai larut malam atau sepanjang siang, sekedar bersama kawan atau mancing misalnya, sangat sederhana, namun ketika kebiasaan ini biasa kita lakukan, maka sejatinya akan melatih etika dan sopan santun serta membangun komunikasi aktif dalam keluarga. Wallahualam.

  • Opini: Halal dan Moral

    Opini: Halal dan Moral

    Halal dan Moral
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Produk berlebel halal adalah jaminan kepada masyarakat atas kualitas produk yang diproduksi, bukan hanya pada makanan, melainkan juga pada fasilitas. Hal ini menjadi penting, untuk memastikan bahwa makanan yang akan kita beli atau fasilitas yang kita butuhkan terbukti halal, khususnya bagi para muslim dan muslimat. Namun demikian, makanan yang baik lagi sehat bukan hanya pada bahan yang digunakan dan fasilitas yang dimanfaatkan, melainkan juga membutuhkan sebuah kejujuran yang konsisten terhadap produk yang dihasilkannya.

    Sebuah konsisten dalah pengolahan produk halal tentunya membutuhkan moral yang baik, karena adanya moral seseorang akan tetap saja memiliki keinginan-keinginan curang terhadap produk yang dihasilkannya. Misalnya ketika pendataan produk halal, maka setiap bahan yang disajikan dan fasilitas yang digunakan berstandar halal, sehingga tercapainya hasil audit halal dan ber fatwakan halal hingga mendapatkan lebel halal. Moral yang dibutuhkan dalam hal ini adalah untuk mengontrol diri bagi sebuah penghasil produk agar konsisten dan sehingga produk yang dihasilkannya halal lagi baik yang dalam bahasa agama kerap disebut (halaalan thayyiban).

    Produk halal adalah produk yang memberikan manfaat dan kemaslahatan sehingga yang halal haruslah baik, karena belum tentu yang baik itu halal menurut syara’.

    Membangun moral bagi pengusaha agar meneladani Rasulullah SAW dalam berdagang menjadi penting, karena beliau adalah orang yang jujur dan konsisten akan kejujurannya. Mengingat pada saat ini banyak corak makanan dan fasilitas yang dapat kita miliki, maka lebel halal menjadi sangat penting untuk memastikan barang yang akan kita miliki benar-benar halal sehingga akan memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi kita. Meskipun dalam fikih, sesuatu yang menyulitkan adalah rukshah (keringanan), seperti ketika seseorang datang ke warung makan lalu memesan nasi ayam, tentu dia tidak akan tahu apakah ayam tersebut disembelih secara syar’i atau tidak, lalu fikih memberikan keringanan agar setiap pembeli makanan yang belum pasti hendaklah ia membaca basmalah sebelum makan, meskipun bacaan basmalah dan doa adalah hal yang lazim dilakukan bagi seorang muslim yang hendak makan, maka dengan adanya lebel halal maka dengan mudah kaum muslimin mendapatkan ragam makanan maupun fasilitas yang beragam pada saat ini dengan melihat lebel pada makanan atau jenis fasilitas yang akan kita beli, pastikan bahwa makanan dan fasilitas yang kita akan miliki berlebel halal.

  • Opini: Ulama sebagai Jembatan Dialog Antar Agama: Menciptakan Harmoni dalam Keagamaan

    Opini: Ulama sebagai Jembatan Dialog Antar Agama: Menciptakan Harmoni dalam Keagamaan

    Ulama sebagai Jembatan Dialog Antar Agama: Menciptakan Harmoni dalam Keagamaan

    Prof. Dr. KH. Sudarman, M.A.
    (Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Lampung)

    Di era globalisasi yang semakin maju, interaksi antaragama menjadi semakin intensif. Dalam konteks ini, peran ulama sebagai jembatan dialog antar agama sangat penting. Ulama, yang tidak hanya dianggap sebagai pemimpin spiritual tetapi juga sebagai pembimbing moral, memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan harmoni di tengah keragaman keyakinan. Dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi, saling pengertian, dan dialog yang konstruktif, ulama dapat menjadi agen perubahan (agent of change) yang membawa kedamaian dan kesejukan.

    Ulama harus Berpengetahuan Komprehensif :
    Seorang ulama harus memiliki Ilmu mendalam tentang ajaran agama mereka dan mampu menjelaskan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks yang universal. Misalnya, banyak ajaran dalam berbagai tradisi agama yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan (humanity) seperti kasih sayang, keadilan, dan saling menghormati. Ulama yang bijak dapat menemukan titik temu antara berbagai ajaran ini, sehingga mendorong umat untuk saling menghargai perbedaan. Melalui penafsiran yang inklusif, ulama dapat menunjukkan bahwa agama bukanlah sumber konflik, melainkan alat untuk membangun hubungan yang harmonis.

    Kedudukan Ulama Dalam Masyarakat :
    Dengan menggunakan posisi mereka untuk mempromosikan dialog antar agama, mereka dapat menginspirasi umat untuk mengesampingkan prasangka dan stereotip yang sering kali menjadi sumber perpecahan. Forum-forum dialog yang dipimpin oleh ulama dapat menjadi tempat bagi berbagai pemeluk agama untuk berbagi pandangan, pengalaman, dan bahkan tantangan yang dihadapi. Di sini, ulama dapat berperan sebagai mediator yang menjembatani perbedaan, menciptakan ruang aman bagi diskusi yang produktif.

    Pendidikan dan Advokasi :
    Ulama dapat membantu membentuk sikap toleransi di kalangan generasi muda. Dalam konteks pendidikan agama, ulama dapat menekankan pentingnya pemahaman lintas agama, sehingga generasi mendatang tumbuh dengan kesadaran akan nilai-nilai pluralisme. Dengan menyelenggarakan seminar, lokakarya, dan kegiatan sosial yang melibatkan berbagai komunitas agama, ulama dapat mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekayaan yang harus dirawat.

    Ulama juga harus berani mengambil sikap tegas terhadap ekstremisme yang sering kali mengatasnamakan agama. Dalam situasi di mana kekerasan dan intoleransi mengancam, ulama memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara. Dengan mengutuk tindakan yang merusak perdamaian dan mengajak umat untuk kembali kepada esensi ajaran agama yang damai, mereka dapat menjadi pelopor dalam perjuangan melawan radikalisasi. Dengan demikian, ulama tidak hanya berfungsi sebagai jembatan dialog, tetapi juga sebagai penegak kebenaran dan keadilan.

    Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1912, memiliki visi untuk menciptakan masyarakat yang berkemajuan melalui pendidikan dan pemahaman yang lebih baik tentang agama. Prinsip-prinsip toleransi dan keadilan sosial yang menjadi dasar ajaran Muhammadiyah sangat relevan dalam konteks dialog antaragama. Ulama Muhammadiyah sering kali mengajak umat untuk menghormati perbedaan, menyadari bahwa setiap agama memiliki nilai-nilai universal yang dapat dijadikan dasar untuk berkolaborasi dalam menciptakan kebaikan bersama.

    Salah satu kontribusi signifikan ulama Muhammadiyah dalam dialog antaragama adalah melalui forum-forum dialog yang diadakan secara rutin. Forum ini menjadi sarana bagi para pemimpin agama untuk saling berbagi pandangan dan pengalaman, serta untuk mendiskusikan isu-isu yang relevan dalam kehidupan bersama. Dalam forum tersebut, ulama Muhammadiyah mengedepankan prinsip musyawarah, yang merupakan bagian integral dari ajaran Islam, untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

    Ulama Muhammadiyah juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial yang melibatkan lintas agama. Misalnya, mereka berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan yang diorganisir oleh lembaga-lembaga interfaith, seperti aksi solidaritas untuk korban bencana alam. Kegiatan ini tidak hanya menunjukkan kepedulian sosial, tetapi juga memperkuat hubungan antarumat beragama, yang sering kali terjalin dalam suasana yang akrab dan penuh rasa persaudaraan.

    Selain itu, melalui pendidikan, ulama Muhammadiyah berupaya menanamkan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda. Melalui program-program pendidikan yang menyertakan kurikulum pendidikan agama yang inklusif, mereka mengajarkan pentingnya saling menghormati antaragama dan mendorong siswa untuk berpikir kritis tentang perbedaan. Dengan cara ini, Muhammadiyah berkomitmen untuk melahirkan generasi yang tidak hanya paham tentang ajaran agamanya, tetapi juga memahami dan menghargai keyakinan orang lain.

    Tidak kalah pentingnya, ulama Muhammadiyah juga berperan aktif dalam mengatasi isu-isu intoleransi dan ekstremisme yang sering kali mengancam kerukunan antaragama. Dalam berbagai forum, mereka secara tegas menolak penggunaan agama sebagai alasan untuk melakukan kekerasan. Dengan mengedukasi umat tentang ajaran Islam yang damai dan menentang sikap radikal, ulama Muhammadiyah memberikan suara yang kuat dalam mempromosikan perdamaian dan dialog.

    Akhirnya, untuk menciptakan harmoni dalam keagamaan, diperlukan komitmen bersama dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga keagamaan. Ulama harus diikutsertakan dalam proses pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan kerukunan beragama, serta diberi dukungan dalam program-program dialog antar agama. Dengan kolaborasi yang kuat, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif dan damai, dimana perbedaan dihargai dan semua agama dapat hidup berdampingan.

  • Opini: Ulama dan Pendidikan: Membangun Generasi Cerdas dan Berakhlak

    Opini: Ulama dan Pendidikan: Membangun Generasi Cerdas dan Berakhlak

    Ulama dan Pendidikan: Membangun Generasi Cerdas dan Berakhlak

    Dr. KH. Andi Warisno, MM.Pd.
    (Rektor Universitas Islam An-Nur Lampung)

    Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat. Dalam konteks Islam, ulama memiliki peran sentral dalam membentuk karakter dan akhlak generasi muda melalui pendidikan, baik formal maupun non-formal. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai moral dan etika (Intelligent Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient) yang akan membimbing generasi ke depan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

    Peran Ulama dalam Pendidikan :
    Ulama sebagai pemimpin spiritual dan intelektual memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat. Dalam Islam, ilmu pengetahuan dianggap sangat penting, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
    Iqra’ bismi rabbikalladzî khalaq. khalaqal-insâna min ‘alaq.iqra’ wa rabbukal-akram.
    Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha mulia. (QS. Al-Alaq : 1-3 )

    Ayat ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah kewajiban pertama yang diperintahkan kepada umat Islam. Ulama berperan sebagai pengajar yang memfasilitasi (fasilitator) pembelajaran, membimbing siswa tidak hanya dalam hal akademik, tetapi juga dalam membentuk akhlak dan karakter yang baik.

    Membangun Karakter Berakhlak :
    Pendidikan yang dilandasi oleh ajaran agama tidak hanya menciptakan individu yang cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Dalam hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda:
    Innamaa bu’itstu li utammima makarimal akhlaq.
    Artinya : Tidak sekali-kali saya diutus oleh Allah (kecuali) hanya satu untuk menyempurnakan akhlak, (H.R. Al-Baihaqi)

    Hadits ini menegaskan pentingnya akhlak dalam pendidikan. Ulama berfungsi sebagai teladan yang dapat menginspirasi generasi muda untuk mengadopsi nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan tanggung jawab. Melalui pengajaran dan bimbingan, ulama membantu membentuk individu yang tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki integritas dan etika yang baik.

    Pendidikan Holistik :
    Pendidikan yang ideal harus bersifat holistik, mencakup aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Ulama memiliki peran untuk menciptakan kurikulum yang seimbang, mengintegrasikan ilmu pengetahuan umum dengan pendidikan agama. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman :
    Am man huwa qânitun ânâ’al-laili sâjidaw wa qâ’imay yaḫdzarul-âkhirata wa yarjû raḫmata rabbih, qul hal yastawilladzîna ya‘lamûna walladzîna lâ ya‘lamûn, innamâ yatadzakkaru ulul-albâb
    Artinya : (Apakah orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dalam keadaan bersujud, berdiri, takut pada (azab) akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9 )

    Pendidikan yang melibatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan iman akan menghasilkan individu yang mampu berpikir kritis dan memiliki wawasan luas. Ulama, dengan pengetahuan dan kebijaksanaannya, dapat mengarahkan generasi muda untuk memahami dunia sekaligus mendalami ajaran agama.

    Tantangan dalam Pendidikan :
    Meskipun peran ulama dalam pendidikan sangat signifikan, mereka juga menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi membawa dampak positif dan negatif. Generasi muda sering kali terpapar oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, ulama harus aktif dalam memberikan pendidikan yang relevan dan adaptif, serta mendorong siswa untuk memilah informasi yang masuk ke dalam akal dan hati mereka.

    Ulama juga perlu bekerja sama dengan institusi pendidikan untuk menyusun program-program yang mengedepankan nilai-nilai moral dan sosial. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak baik dan memiliki kepedulian sosial.

    Ulama memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan untuk membangun generasi cerdas dan berakhlak. Dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang berpadu dengan nilai-nilai moral, ulama dapat membentuk individu yang tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki karakter yang kuat. Di tengah tantangan globalisasi, ulama harus tetap menjadi garda terdepan dalam pendidikan, memastikan bahwa generasi mendatang dapat menghadapi masa depan dengan integritas dan kepercayaan diri. Melalui upaya bersama dalam pendidikan, kita dapat mewujudkan masyarakat yang beradab dan sejahtera. Wallahu A’lam Bishawab.

  • Opini: Merawat Lingkungan Masjid Menuju Ekologi-Religi

    Opini: Merawat Lingkungan Masjid Menuju Ekologi-Religi

    Merawat Lingkungan Masjid Menuju Ekologi-Religi
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Masjid adalah tempat ibadah bagi umat Islam, sehingga keberadaan masjid sesuai dengan namanya yaitu tempat untuk bersujud, beribadah kepada Allah Ta’ala. Sebagai tempat yang suci, seyogyanya masjid dibangun dengan keikhlasan dan dan penuh keindahan serta keteduhan. Untuk mewujudkan sebuah keteduhan dalam suatu bangunan, masjid hendaklah dibangun di tanah non sengketa, hasil wakaf atau hibah resmi, sehingga tidak akan adanya problem pada kemudian hari, selain itu juga masjid dibangun di lokasi yang strategis, sehingga kegiatan masjid tidak menganggu jalan misalnya atau rumah warga, namun jika hal itu disepakati bersama karena sebuah kebersamaan adalah hal yang maklum selama tidak adanya konflik, dan lazim disekitar kita dibangun sebuah bangunan masjid yang dengan lokasi yang terbatas.

    Selain lokasi bangunan, seyogyanya masjid juga dibangun dengan indah sehingga akan senantiasa meneduhkan seperti ukiran kayu jati atau kaligrafi dan khat yang memukau juga kubah-kubah yang indah memancar ke langit. Keindahan tersebut bagian dari ekologi abiotik, dan keindahan adalah sesuatu yang diajarkan Rasulullah, sebagaimana sabdanya “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai sesuatu yang indah-indah”.

    Masjid yang dilengkapi dengan karpet atau sejenisnya juga merupakan unsur utama yang dapat digunakan untuk menjalankan ibadah haruslah tetap terjaga kebersihannya, terhindar dari debu dan segala kotoran yang mungkin menempel, maka penting kiranya untuk dibersihkan setiap saat agar senantiasa terawat dan tidak menyebabkan bentuk atau gatal dan lainnya. Yang paling utama adalah suci, terhindar dari segala bentuk najis.

    Kamar mandi juga merupakan bagian urgen dari masjid, selain sebagai tempat untuk berwudhu (menghilangkan dari hadast kecil) juga kerap kali dimanfaatkan untuk buang air kecil, sehingga nya harus benar-benar terjaga dan terawat kebersihannya. Kerap kali ketika kita datang ke kamar mandi masjid tertuliskan “Kebersihan adalah bagian dari iman”. Iman adalah akhlak sehingga orang yang berakhlak tidak akan pernah sembarangan terhadap kebersihan. Slogan atau kata mutiara dalam konteks di atas seyogyanya sama-sama kita indahkan, sehingga kerap kali terdapat kelalaian haruslah sesama kita mengingatkan agar kita dan saudara kita sama-sama bersih dan nyaman beribadah.

    Hal lain yang perlu kiranya untuk diperhatikan adalah bagaimana masjid ramah pada anak, sehingga takmir masjid menyiapkan orang khusus yang dapat membantu anak-anak beribadah, karena anak-anak keberadaannya di masjid hari ini adalah generasi masa depan yang akan meneruskan kita sebagai ahli ibadah, jika anak-anak kita jauhkan dari masjid maka dampak buruk yang akan terjadi pada moral dan perilaku generasi kita mendatang, namun membiarkan anak-anak liar di masjid terutama pada saat ibadah juga akan kerap kali mengganggu ibadah, sehingga yang paling lazim adalah terdapat satu penjaga anak-anak untuk tetap dapat ikut di masjid namun kondisi ibadah dan kegiatan masjid tetap kondusif.

    Masjid yang juga menjadi tempat ibadah kerap kali juga memiliki serambi yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan keagamaan seperti rapat dan diskusi ringan atau kajian-kajian, sehingga kondisi masjid harus tetap bersih dan nyaman. Mengingat bahwa atribut dan sarana masjid yang lumayan banyak dan beragam maka seyogyanya harus tetap terjaga dan terawat karena itu semua adalah wakaf yang dititipkan seyogyanya juga dijaga dengan penuh ikhlasan.
    Halaman masjid juga tidak kalah urgen untuk diperhatikan secara seksama, sehingga halaman masjid juga menjadi perhatian bersama kebersihannya, bukan hanya dalam masjid melainkan juga lingkungan luar masjid, dan yang lebih lazim juga parkir kendaraan yang layak juga menjadi tugas bersama, dan yang juga tidak kalah penting, setiap masjid minimal memiliki taman atau tanaman, atau sekedar pohon yang juga akan membantu ekologi, karena pohon sangatlah penting bagi keseterilan udara dan radiasi jahat yang akan menganggu aktivitas manusia. Mari kita bangun ekologi masjid dengan baik, agar kita dapat beribadah dengan nyaman dan khusyu.