Opini: Pamit, Sebuah Etika dalam Komunikasi

Pamit, Sebuah Etika dalam Komunikasi
Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Pamit adalah istilah yang biasa digunakan pada masyarakat kita, terutama masyarakat Jawa. Pamit memiliki makana yang sangat halus, karena pamit bukan berarti ijin atau apalagi permisi. Jika ijin identik pada harapan seorang anak pada orang tuanya, misalnya ijin mengikuti kegiatan renang atau ijin menikah, yang kalimat ini membutuhkan respon jawaban “ia” dan “tidak” yaitu diberi ijin berarti dibolehkan dan jika tidak diijinkan berarti tidak boleh. Sedangkan permisi adalah sebuah ungkapan yang kerap kali digunakan pada saat ingin bertanya atau meminta ijin untuk sekedar lewat didepan seseorang, meskipun pada konteks lain dua istilah (ijin dan permisi) kerap kali bermakna luas.
Kata pamit dalam istilah yang dipahami disini adalah sebuah ungkapan sopan dan bermakna etika seseorang ketika misalnya ingin keluar rumah sekedar ingin membeli barang atau berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah. Kalimat ini sangatlah sopan digunakan oleh seorang suami atau istri yang hendak keluar rumah atau bahkan anak, sehingga dengan adanya “pamit” akan membuat keluarga merasa tenang atas keberangkatannya ke suatu tempat yang dituju. Namun sebaliknya, di masyarakat kerap kali, kalimat pamit atau sejenisnya kerap terlupakan, sehingga membuat orang tua atau keluarga menunggu atau sekedar memastikan kepergiannya yang tanpa tujuan.
Dalam dunia modern, kalimat pamit ini seharusnya juga tetap dijaga oleh anak muda sebagai etika dan sopan santun yang harus dijaga dan dipelihara, sehingga ketika hendak bepergian seyogyanya memberikan informasi kepada keluarga agar keluarga mengerti tujuan dan arah dimana keberadaannya. Terlebih dunia digital sangat memudahkan kita untuk berkomunikasi, sehingga tidaklah dianggap memberatkan jika seorang anak ketika keluar dari rumah sekedar pamit misalnya “ma, saya mau belajar kelompok” misalnya, maka dengan sekedar memberikan informasi ringan seperti ini orang tua menjadi tahu keberadaan seorang anaknya yang sedang mau belajar, dan tentunya jika waktu itu adalah siang, mungkin dalam waktu sore belajar itu telah berakhir, karena secara logika bahwa belajar tidak akan mungkin dilakukan oleh anak dalam waktu sampai larut malam, sehingga jika ternyata anak di luar rumah sampai larut malam berarti ada kecurigaan yang harus diwaspadai, terlebih jika anak keluar rumah tanpa pamit, hal ini akan mengakibatkan keresahan orang tua, karena tidak jelasnya keberadaan anak tersebut.
Pamit bukanlah intervensi, artinya ketika pamit seorang anak pada orang tuanya lantas menunjukkan bahwa orang tua kepo dan selalu ingin tahu, tapi orang tua selazimnya memang harus selalu mengontrol anaknya agar tidak lepas dalam pergaulan misalnya, terlebih misalnya bagi anak yang sudah remaja atau bahkan dewasa, katakan bujang misalnya. Jika kalimat ini biasa dilakukan dalam sebuah rumah tangga, maka sejatinya akan melatih untuk membangun komunikasi aktif antar mereka, sehingga kecurigaan dan kekhawatiran dalam jumlah anggota keluarga yang ada akan terminimalisir, karena bagi masyarakat tertentu ketika ada salah satunya keluar dari rumah tanpa memberikan informasi kepergiannya berarti ia “minggat” yaitu keluar diam-diam dari rumah dengan tujuan buruk, sehingga kepergiannya tidak ingin diketahui, atau meskipun tidak ingin melakukan keburukan, tapi merasakan bahwa apa yang akan dilakukannya tidak ingin diketahui oleh orang lain, seperti aktivitas yang kerap dilakukan oleh sebuah keluarga yang tidak bertanggungjawab, misalnya keluar rumah sampai larut malam tanpa kesan, mencari hiburan sampai larut malam atau sepanjang siang, sekedar bersama kawan atau mancing misalnya, sangat sederhana, namun ketika kebiasaan ini biasa kita lakukan, maka sejatinya akan melatih etika dan sopan santun serta membangun komunikasi aktif dalam keluarga. Wallahualam.