Author: muilampungdigital

  • Opini: Tafsir Fisabilillah Guru Ngaji Berhak Menerima Zakat ?

    Opini: Tafsir Fisabilillah Guru Ngaji Berhak Menerima Zakat ?

    Tafsir Fisabilillah Guru Ngaji Berhak Menerima Zakat ?
    Dr. H. Abdul Aziz, SH., MH
    Wakil Ketua BAZNAS Kota Bandar Lampung/Sekretaris Umum MUI Bandar Lampung

    Allah Swt. Berfirman dalam Al Qur’an;
    اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَالۡمَسٰكِيۡنِ وَالۡعٰمِلِيۡنَ عَلَيۡهَا وَالۡمُؤَلَّـفَةِ قُلُوۡبُهُمۡ وَفِى الرِّقَابِ وَالۡغٰرِمِيۡنَ وَفِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَابۡنِ السَّبِيۡلِ‌ؕ فَرِيۡضَةً مِّنَ اللّٰهِ‌ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَكِيۡمٌ

    Artinya;
    Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. At Taubah : 60)

    Yang berhak menerima zakat dalam ayat ini ada 8 golongan (الاصناف الثمانية), sebagaimana berikut;

    Pertama, fakir, yaitu orang yang tidak mempunyai sumber penghasilan, tidak punya harta sehingga tidak tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

    Kedua, miskin, yaitu orang yang mempunyai sumber penghasilan, mempunyai harta, masih bisa berusaha untuk mendapatkan penghasilan, namun pendapatannya/hartanya tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

    Ketiga, amil zakat, yaitu orang-orang yang ditugaskan atau diberi wewenang oleh pemerintah yang sah untuk mengelola (merencanakan, mengumpulkan, mendistribusikan/mendayagunakan, mengevaluasi dan melaporkan) harta benda zakat.

    Keempat, Muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam dan perlunya dikuatkan hatinya agar tetap istiqomah dalam Islam.

    Kelima, usaha membebaskan perbudakan dengan cara yang bijaksana, disediakan dana yang diambil dari zakat yang dipergunakan untuk membeli budak dan membebaskannya atau diberikan kepada seorang budak yang telah mendapat jaminan dari tuannya untuk melepaskan dirinya dengan membayar sebanyak harta yang ditentukan.

    Keenam, orang yang terlilit hitang, baik untuk kepentingan hidup sehari-hari maupun untuk kepentingan umum, sepanjang tidak untuk maksiat kepada Allah Swt.

    Ketujuh, sabilillah, yaitu orang-orang yang secara suka-rela menjadi tentara melakukan jihad fi sabilillah, termasuk juga semua bentuk perbuatan yang bersifat mashlahatul ummah untuk mendapatkan keridaan Allah Swt.

    Kedelapan, Ibnu sabil, orang yang sedang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan meskipun ia mempunyai kekayaan di negerinya, selama tujuan perjalananya tidak untuk maksiat kepada Allah Swt.

    Kaitan dengan term fisabilillah, ada perbedaan ulama dalam menafsirkannya. Rasulullah Muhammad Saw. Bersabda;

    عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين، فمن أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات.

    Artinya:
    Dari Ibnu Abbas Ra. beliau berkata: Rasulullah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan yang keji dan memberi makan kepada orang miskin, maka barang siapa yg melaksanakan sebelum shalat hari raya itu adalah zakat yg diterima, jika melaksanakan setelah shalat itu adalah shadaqah dari beberapa shadaqah. (HR. Abu Daud)

    Imam Malik dan Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa hadist ini sangat tegas dan jelas, kepada siapa zakat fitrah itu harus diberikan, yaitu kepada fakir miskin, hadist ini takhshishul ‘Aam atau mengkhususkan dari keumuman ayat zakat.

    Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat babwa hadits tersebut bukan takhshishul ‘aam, dalam hadits tersebut nabi menyebut zakat fitrab dengan nama zakat ( زكاة مقبولة) ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat fitrah include dalam keumuman ayat zakat, sementara kata طعمة للمساكين itu hanya menunjukkan skala prioritas atau keutamaan saja, artinya zakat fitrah lebih utama diberikan kepada fakir miskin, tidak berarti, tidak boleh ditasharrufkan kepada ashnaf yang lain.

    Jika melihat pendapat dari imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, al asnaf al tsamaniyah atau delapan golongan semuanya bisa menjadi mustahiq/orang yang berhak menerima zakat fitrah dan zakat mal. sedangkan sabilillah dalam intern Madzhab Imam Syafi’i terjadi perbedaan pendapat tentang pemaknaannya. menurut Imam Syafi’i sendiri Sabilillah hanya tertentu kepada orang-orang yang berjihad dengan cara berperang di jalan Allah Swt.

    Sedangkan Imam Ar Rozi dalam kitab mafatihul ghoib mengutip pedapat imam Al Qoffal berpandangan bahwa kata Sabilillah bisa diarahkan kepada seluruh hal-hal yang baik atau untuk kebaikan.

    ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻇﺎﻫﺮ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻮﺟﺐ ﺍﻟﻘﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ، ﻓﻠﻬﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻧﻘﻞ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﻓﻲ »ﺗﻔﺴﻴﺮﻩ « ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺃﻧﻬﻢ ﺃﺟﺎﺯﻭﺍ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﺇﻟﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻣﻦ ﺗﻜﻔﻴﻦ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻭﺑﻨﺎﺀ ﺍﻟﺤﺼﻮﻥ ﻭﻋﻤﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ، ﻷﻥ ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻞ .

    Artinya:
    Ketahuilah bahwa dhohirnya ayat في سبيل الله tidak bisa hanya dikhususkan kepada orang-orang yg berperang di jalan Allah semata, berdasarkan pemahaman inilah imam Qoffal meriwayatkan pendapat sebagian ahli fiqh yang membolehkan memberikan zakat kepada seluruh jalan-jalan kebaikan seperti mengkafani mayat, membangun benteng, dan masjid. Karena lafadz Sabilillah adalab lafadz umum. ( tafsir Ar Rozi juz 16 hal 87 )

    Hal ini senada dengan pendapat musthofa Imaroh dalam kitab Jawahirul Bukhori, bahwa kata في سبيل الله tidak hanya terbatas kepada orang-orang yang berperang;

    ﺍﻫﻞ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻯ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ ﺍﻟﻤﺘﻄﻌﻮﻥ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺍﻏﻨﻴﺎﺀ ﺍﻋﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻃﻠﺒﺔ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺭﻭﺍﺩ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻃﻼﺏ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻣﻘﻴمو ﺍﻻﻧﺼﺎﻑ ﻭﺍﻟﻮﻋﻆ ﻭﺍﻻﺭﺷﺎﺩ ﻭﻧﺎﺻﺮو ﺍﻟﺪﻳﻦ الحنيف. ﺍﻩ

    Artinya:
    Sabilillah adalah orang-orang yang berperang dan berjihad dengan sukarela walaupun mereka kaya, karena untuk membantu jihad. Dan masuk dalam kategori Sabilillah yaitu orang-orang yang mencari ilmu, orang-orang yang menyampaikan kebenaran, orang-orang yang menegakkan keadilan, serta orang-orang yang membela agama yang lurus (Islam). (Jawahirul Bukhori Syarh Al Qostholani hal 106)

    Artinya guru ngaji dan santrinya juga berhak menerima zakat (mustahik zakat), baik zakat fitrah maupun zakat mal, apalagi ditambah statusnya fakir miskin.

    والله تعالى اعلم بالصواب

  • Membangun Wawasan Kebangsaan yang Kuat di Era Globalisasi

    Membangun Wawasan Kebangsaan yang Kuat di Era Globalisasi

    Bandar Lampung, MUI Lampung Digital

    Dalam upaya memperkuat pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan, anggota DPRD Kota Bandar Lampung Hj. Wiwik Anggraini SH menggelar kegiatan pembinaan yang berlangsung di Sepang Jaya, Bandar Lampung pada Selasa (25/03/2025). Acara ini dihadiri oleh sekitar 150 peserta dari warga sekitar yang antusias mengikuti setiap sesi.

    Kegiatan ini menghadirkan dua akademisi sebagai narasumber, yaitu H. Suryani M. Nur dari Universitas Tulang Bawang (UTB) Bandar Lampung, dan Widya Rizki Eka Putri dari Universitas Lampung. Acara dipandu oleh Ratna Wilis SH selaku moderator.

    Kegiatan diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, menciptakan suasana yang penuh semangat dan nasionalisme. Selanjutnya, acara dibuka secara resmi oleh Hj. Wiwik Anggraini SH yang dalam sambutannya menekankan pentingnya membangun kesadaran kebangsaan di tengah tantangan zaman. Dikatakan Wiwik Anggraini bahwa kegiatan PIP WK ini diharapkan dapat memperkuat rasa kebangsaan di tengah masyarakat serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Para narasumber menyampaikan materi terkait implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari serta peran masyarakat dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Penyampaian materi yang interaktif membuat peserta semakin antusias, terutama dalam sesi tanya jawab, dimana mereka dapat langsung berdiskusi dan mengutarakan pandangan mereka mengenai isu-isu kebangsaan.

    Narasumber Suryani menjelaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara harus menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut Suryani menjelaskan tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. “Dalam era globalisasi yang penuh tantangan, masyarakat harus tetap menjaga rasa persaudaraan, menghindari perpecahan, serta menghormati perbedaan suku, agama, dan budaya”, ujarnya.

    Narasumber kedua Widya Rizki Eka Putri dalam pemaparannya lebih menekankan tentang perlunya memperkuat oendidikan karakter dan moral bangsa. “Generasi muda perlu dibekali dengan pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai kebangsaan agar memiliki sikap yang berintegritas, disiplin, dan bertanggung jawab” ujar Widya. Lebih lanjut disampaikan Widya perlunya sikap bijak dalam menggunakan teknologi dan media sosial di era digital. “Masyarakat harus mampu menyaring informasi, menangkal hoaks, serta menggunakan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai positif dan membangun wawasan kebangsaan”, pungkasnya.

    Dalam closing acara, Hj. Wiwik Anggraini mengapresiasi antusiasme warga dalam mengikuti kegiatan ini. “Semoga ilmu yang diperoleh bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan semakin memperkokoh rasa cinta terhadap tanah air,” ujarnya seraya menutup acara dengan penuh optimisme. Acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama sebagai bentuk kebersamaan dan komitmen dalam membangun bangsa yang lebih baik. (Nabila Noval/Rita Zaharah)

  • Opini: Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

    Opini: Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

    Aplikasi Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, MH
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Kajian tentang hukum perkawinan selalu dinamis beriring perkembangan pola dan tren yang terjadi pada masyarakat modern. Lifestyle (pola hidup) dan perkembangan teknologi disinyalir menjadi pengaruh utama arus perkembangan yang saat ini dihadapi. Persoalan tentang pernikahan yang saat ini hangat adalah tentang “marriage is scary” menikah adalah menakutkan. Isu ini sangat populer dimasyarakat kita, khusunya bagi generasi muda saat ini. Jika merujuk pada persoalan tentang pernikahan itu menakutkan sejatinya telah terjadi banyak pada kalangan perempuan akibat korban psikis yang terjadi hingga menyebabkan trauma yang mendalam, seperti kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang pernah dilakukan oleh ayah kepada ibunya yang disaksikan pada masa kecil hingga tertanam pada benaknya bahwa menikah itu menakutkan dan suami itu jahat, sehingga perempuan adalah korban kekerasan dalam sebuah rumah tangga.

    Teori pembanding adalah sebuah teori yang menganalisis sebuah persoalan dengan penalaran Al-Narajil. Adapun nalar Al-Narajil itu sendiri adalah sebuah metode berpikir yang sistematis pada pemanfaatan lapisan demi lapisan yang menjadi tahapan dalam proses penelusuran hukum secara deduktif.

    Jika dihadapkan dengan persoalan marriage is scary, maka tahapan pertama adalah kembalikan persialan juz’i pada persoalan yang kulli, artinya persoalan marriage is scary adalah persoalan juz’i yang merupakan bagian dari persoalan kulli yaitu pernikahan. Hal yang urgent adalah bahwa pada lapisan pertama, hukum Islam (dalam hal ini hukum perkawinan) memiliki prinsip taisir (memudahkan), pernikahan yang menakutkan bukanlah hal yang masuk dalam unsur memudahkan, karena orang yang takut menikah akan mengalami masa yang justru lebih menakutkan pada usia 40 hingga 60 tahun. Prinsip kedua adalah al-adlu (keadilan), pernikahan itu menakutkan bukanlah unsur yang relevan dengan keadilan, karena seseorang yang takut menikah hingga enggan untuk menikah berarti mengeneralkan laki-laki dengan anggapan bahwa semua laki-laki jahat, padahal tidak meski semua demikian. Prinsip syura (demikrasi), pernikahan itu menakutkan tentunya hanya sepihak bagi yang memiliki prinsip ini, padahal ia hidup tidak sendiri, ada saudara, keluarga, sahabat yang semua itu akan dapat juga memberikan wawasan lain tentang pentingnya pernikahan bagi keberlangsungan hidup. Prinsip musawah (persamaan), menikah adalah menakutkan berarti menyalahi aturan kesamaan, padahal dengan menikah seseorang akan mendapatkan perilaku dari pasangan hidupnya hingga hal ini akan memberikan kemenangan.

    Pada lapisan kedua adalah perlunya menilik kembali pada persoalan marriage is scary dengan pendekatan yang dilakukan, pada umumnya marriage is scary adalah pendekatan psikologis, padahal perlu ditinjau ulang, bagaimana marriage is scary dengan pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, sosiologis, antropologis, historis, bahkan medis, artinya marriage is scary akan dianggap boleh jika memang secara psikologis-medis memang layak untuk diberikan rukshashah hukum. Namun jika tidak layak, maka sesungguhnya marriage is scary tidak dapat digeneralkan hukum kebolehannya, meskipun dengan alasan hak asasi manusia.

    Pada tahapan ketiga, suatu statement bahwa marriage is scary harus dilihat pada tujuan hukum yang diinginkan, dalam konsep maqasid syariah, bahwa tujuan hukum adalah li jalbil mashalih wa lidaf’il mafasid (mengambil kemaslahatan dan menolah kemudharatan), ada tujuan yang primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat), dan tersier (tahainiyat). Pada prinsip utama dalam maqasid syariah adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Jika kita tilik pada tujuan hukum syara’ maka marriage is scary lepas landas dari tujuan syara’ kecuali rukhsah bagi perorangan karena ganguan psikis atau karena sakit. Pada prinsip utama adalah menjaga agama, norma agama menganjurkan seseorang untuk menikah, bahkan suatu hari seorang yang tidak punya apa-apa dalam hal rizki Rasulullah bolehkan menikah agar mendatangkan rizki, maka takut dalam menikah hingga tidak menikah secara otomatis bertentangan dengan sunah Rasulullah. Kedua adalah menjaga jiwa, takut menikah berarti tidak berpikir panjang akan masa depan hidupnya, yang secara siklus, manusia akan juga semakin lemah dan membutuhkan orang lain, dan orang yang paling dekat adalah pasangan hidup. Ketiga adalah menjaga akal, secara logika sehat bahwa seseorang menikah adalah fitrah, sehingga ketika ada seseorang yang takut menikah hingga tidak melakukannya maka sesungguhnya tidak logis dan bertentangan dengan akal sehat. Keempat menjaga nasab, takut untuk menikah hingga tidak menjalankannya adalah sikap egois yang tidak berpikir regenerasi, kecuali memang gangguan psikis atau medis yaitu childless. Kelima adalah menjaga harta, seseorang hidup tentunya akan mempertahankan hidupnya, dan kebutuhan primer nya adalah sandang, pangan dan papan, itu semua adalah harta, dan jika seseorang mengumpulkan harta lalu tidak dijaga hingga tidak bermanfaat bahkan ketika meninggal tidak punya ahli waris, alangkah mirisnya kehidupan.

    Pada lapisan ke empat adalah pelaku yang berprinsip marriage is scary perlu dilihat pada latar belakang lifestyle (pola hidup), atau bahkan paradigma yang ada pada benaknya, sehingga marriage is scary sehingga enggan menikah tidak boleh digeneralkan hukumnya.

    Pada lapisan kelima adalah nash dan konteks. Dalam Nash baik al-Quran maupun al Sunnah menganjurkan seseorang untuk menikah, memiliki keluarga harmonis, memiliki keturunan dan seterusnya, sedangkan konteks yang terjadi, di Indonesia yang merupakan negara non sekuler, tidak pernah ada larangan menikah bahkan larangan memiliki anak, program KB hanya anjuran dan bukan paksaan, sehingga tidak juga bisa dengan alasan hak asasi manusia lalu melupakan esensi agama.

    Pada prinsip Tauhid, yaitu sumbu yang menghubungkan seluruh lapisan, hendaklah suatu keputusan hukum berbasis pada nilai Tauhid, bahwa yang tidak berpasangan dan tidak berketurunan hanyalah Tuhan, sehingga hamba Allah fitrahnya adalah berpasangan. sehingga dari titik inilah teori pembanding sejatinya ingin menawarkan sebuah metode filter yaitu menganalisis sebuah fatwa, putusan hukum bahkan paradigma yang mungkin telah mengajar dengan meninjau unsur-unsur yang ada pada nalar Al-Narajil sebagai kerangka analisis yang digunakan.

  • GANAS ANNAR MUI Lampung Gelar Buka Puasa dan Rapat Koordinasi dalam Pemberantasan Narkoba

    GANAS ANNAR MUI Lampung Gelar Buka Puasa dan Rapat Koordinasi dalam Pemberantasan Narkoba

    Bandar Lampung, MUI Lampung Digital

    Dalam suasana yang penuh kebersamaan di bulan suci Ramadhan, Pimpinan Wilayah Gerakan Nasional Anti Narkoba (GANAS ANNAR) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung menggelar acara buka puasa bersama sekaligus rapat koordinasi di Soeltan Luxe Hotel Lampung pada Ahad, (23/03/2025). Kegiatan ini bertujuan untuk mempererat silaturahmi antar pengurus dan membahas langkah-langkah strategis dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Lampung.

    Acara yang dihadiri oleh sejumlah pengurus ini dibuka oleh Ketua PW GANAS ANNAR MUI Lampung, dr. Hj. Zam Zanariah Sp.S., M.Kes. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan pentingnya bulan Ramadhan sebagai waktu untuk merenung, memperbaiki diri, serta memperkuat komitmen dalam menjalankan kewajiban agama. “Ramadhan adalah bulan penuh berkah yang mengajarkan kita tentang kesabaran, kedisiplinan, dan pengendalian diri. Di bulan yang suci ini, kita diingatkan untuk menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan, termasuk penyalahgunaan narkoba yang dapat merusak moral dan kesehatan kita,” ujarnya.

    dr. Zam Zanariah juga menekankan pentingnya rapat koordinasi ini sebagai wadah untuk memperkuat sinergi antara berbagai lembaga dalam pemberantasan narkoba yang semakin meresahkan masyarakat. “Rapat koordinasi ini menjadi langkah penting untuk menyatukan persepsi dan meningkatkan kolaborasi dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Lampung. Kami berharap semua pihak dapat bekerja sama dengan lebih baik dalam menangani permasalahan ini,” lanjutnya.

    Sebagai penutupan, beliau menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat memberi dampak positif tidak hanya dalam mengatasi masalah narkoba, tetapi juga dalam memperkokoh ukhuwah Islamiyah di kalangan umat. “Semoga kita diberkahi dengan kekuatan dan semangat untuk melawan segala bentuk ancaman, khususnya narkoba, yang dapat merusak generasi penerus bangsa. Bersama-sama, kita pasti lebih kuat,” tutupnya.

    Acara buka puasa bersama ini menjadi momen penting untuk mempererat tali persaudaraan dan membangun komitmen bersama dalam menciptakan lingkungan yang sehat, bersih dari narkoba, serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan sosial di Provinsi Lampung. (Rita Zaharah)

  • Opini: Prinsip-Prinsip Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

    Opini: Prinsip-Prinsip Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil

    Prinsip-Prinsip Teori Pembanding Pada Nalar Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, MH
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Semakin berkembangnya pola hidup masyarakat, hingga disebut era modern, maka semakin banyak pula persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Tantangan itu diantaranya disebabkan karena semakin banyak kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, sehingga solusi hukum lama seakan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Pada sisi lain, para ulama sebagai pewaris para Nabi, harus senantiasa berijtihad untuk memberikan solusi-solusi yang solutif sesuai tantangan zaman.

    Usul fikih yang pada eranya menjadi salah satu metode istinbath dan ijtihad hukum, terkesan tidak lagi mampu menjawab persoalan zaman, jika usul fikih tidak revitalisasi, karena kajiannya yang terlalu luas sehingga tidak spesifik. Sedangkan untuk menghasilkan produk hukum Islam baru yang kontemporer haruslah menggunakan metode ijtihad baru, terlebih menghadapi suatu persoalan yang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana kedudukan Nash yang dapat dipahami secara makna dari isi teks dan juga analogi teks dengan cara qiyas, dengan terpenuhinya empat rukun, yaitu asl, hukmul asl, far’ dan ”illat. Maka yang dibutuhkan selanjutnya untuk menjawab persoalan baru adalah harus melakukan pembaruan metode ijtihad, ibarat suatu metode adalah mesin, maka mesin lama tidak lagi mampu mengolah bahan-bahan baru yang dibutuhkan untuk menjawab produk pasar yang dibutuhkan saat ini, maka tidak ada solusi kecuali menambah kapasitas mesin atau menggantinya. Untuk itu kemudian para ulama modern berupaya dengan nalar sehatnya untuk menyiapkan metode baru dalam menjawab persoalan baru yang dihadapi oleh masyarakat kontemporer yang terus berkembang seiring perkembangan pola hidup masyarakat dan perkembangan iptek yang begitu pesat.

    Pasca lahirnya rekonstruksi ushul fikih dalam perjalanan panjang menjawab persoalan zaman, maka sebagian ulama juga melakukan dikonstruksi metode ijtihad dengan penalaran hukum, dengan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Bermula dari situlah kemudian produk hukum Islam semakin progresif dan corak hukum Islam (fikih) semakin masif dan fleksibel. Namun demikian, tidak juga cukup mengembangkan metode baru atau menggantinya hingga menghasilkan produk hukum yang lebih responsif dan progresif, karena penalaran yang tanpa dibarengi filter syara’ sebagai batas ratio legis akan juga menghasilkan produk hukum yang liberal tanpa landas dan batas, dan demi alasan hak asasi manusia hingga tuntutan gender yang over limits akan juga lepas dari frame syara’ yang diinginkan.

    Untuk itu, perlu adanya kontrol metodologi ijtihad, yaitu kontrol terhadap proses lahirnya fikih yang bercorak baru. Lahirnya teori pembanding pada nalar Al-Narajil menawarkan metode baru untuk mengontrol metode ijtihad baru hingga dapat menghasilkan sebuah hukum yang lebih maslahat dan bernilai kemaslahatan yang lebih rajih. Teori pembanding pada nalar Al-Narajil adalah sebuah analisis hukum dengan menganalisis pada lapisan demi lapisan pada Al-Narajil. Lapisan itu ada lima dan masing-masing dari lima lapisan itu memiliki prinsip-prinsip tersendiri yang menjadi bahan perbandingan dalam penemuan hukum. Lapisan pertama adalah sifat hukum Islam bersifat komprehensif, mencakup prinsip hukum yang taisir (memudahkan), adl (keadilan), syura (demokrasi), dan musawah (persamaan). Lapisan kedua, kajian hukum Islam bersifat inklusif, artinya dapat dilakukan dengan banyak pendekatan, seperti pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, psikologis, sosiologis, antropologis, historis, dan medis untuk melihat rukhsah (keringanan hukum).

    Lapisan ketiga, tujuan hukum (maqasid syari’ah), yang terpenuhinya kebutuhan primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat), tersier (tahainiyat). Pada prinsip primer mencakup lima asas hukum yaitu menjaga agama (hifdzu al-din), menjaga jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga akal (hifdzu al-aql), menjaga nasab (hifdzu al-nasl), dan menjaga harta (hifdzu al-mal).

    Pada lapisan ke empat adalah kualitas mujtahid yang mencakup penguasaan bahasa Arab, mengahafal al-Quran dan hadis, memahami ulumul Quran, memahami ulumul hadis dan hal lain yang menjadi syarat mujtahid.

    Lapisan kelima, yaitu bahan atau objek kajian baik pemahaman Nash atau pemahaman madah yang dihadapi. Dan terakhir adalah sumbu yang menghubungkan lapisan satu sampai kelima adalah Tauhid yaitu ketuhanan atau keimanan.

    Cara kerja teori pembanding adalah menelusuri hukum dengan cara melihat pada lapisan-lapisan yang ada dalam nalar Al-Narajil, yang disebut prinsip-prinsip dalam teori pembanding. Adapun prinsip dari teori pembanding adalah sebagai berikut, pertama, kembalikan perkara yang juz’i pada perkara yang kulli, contohnya jika kajian poligami, maka lihatlah pada kajian hukum perkawinan secara utuh, apakah keinginan poligami yang diinginkan telah memenuhi syarat dari sifat komprehensif. Apakah poligami sudah sesuai dengan prinsip taisir, adl, syura, dan musawah?

    Prinsip kedua adalah tilik kembali pendekatan yang digunakan dalam penentuan hukum poligami, apakah sudah sesuai dengan pendekatan ilmiah yaitu pendekatan teologis, filosofis, epistemologis, psikologis, sosiologis, antropologis, historis hingga medis?

    Pada prinsip ketiga adalah pastikan tujuan hukum yang diinginkan dalam poligami telah sesuai dengan tujuan syara’ dan tidak bertentangan dengan kebutuhan perkawinan yang bertujuan mewujudkan keluarga sakinah, baik secara primer, sekunder dan tersier, yang mencakup lima asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta?
    Prinsip ke empat yaitu lihat kembali kualitas dan kapasitasnya mujtahid, apakah telah benar memahami bahasa, memahami tafsir ayat, hadis dan ilmu ulumul quran dan hadis dan lainnya?

    Prinsip kelima adalah bahasan atau objek, telusuri secara benar ayat, hadis dan juga persoalan poligami yang terjadi, dan terakhir adalah sumbu dari nalar Al-Narajil, sehingga penting dipastikan keimanan mujtahid, karena hukum untuk mukallaf sehingga tidak layak jika mujtahid itu adalah orientalis atau orang yang lemah imannya apalagi tidak beriman.

    Bertitik dari analisis ini maka perlu disimpulkan hukum poligami tersebut, untuk mendapatkan nilai kemaslahatan yang rajih.

  • Kolaborasi dengan Pemprov Lampung, PW Muslimat NU Lampung Beri Santunan Anak Yatim dan Gelar Pasar Murah

    Kolaborasi dengan Pemprov Lampung, PW Muslimat NU Lampung Beri Santunan Anak Yatim dan Gelar Pasar Murah

    Bandar Lampung, MUI Lampung Digital

    Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat NU Provinsi Lampung memeberikan santunan untuk anak yatim dan menggelar pasar murah, Minggu (23/3/2025). Kegiatan dilaksanakan di Masjid Nurul Iman, Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

    Kegiatan ini dihadiri Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela, Jajaran pengurus PW Muslimat NU Lampung, PC Muslimat NU Bandar Lampung, PC Muslimat Lampung Selatan dan ratusan warga.

    Ketua PW Muslimat NU Lampung Fita Nah dia dalam sambutannya mengatakan, dimanapun berada Muslimat harus bermanfaat bagi masyarakat. “Dimanapun, Muslimat NU harus bermanfaat. Apalagi selama ramadhan semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya, mari kita terus berlomba berbuat kebaikan, ” ujarnya.

    Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela dalam sambutannya mengatakan, selama 5 tahun ke depan Pemerintah Provinsi Lampung akan bersinergi dengan PW Muslimat NU Lampung. “Kami mengucapkan terimakasih kepada PW Muslimat NU yang telah memberikan santunan kepada anak yatim dan memfasilitasi pasar murah di Natar, ” ujarnya.

    Ketua Yayasan Kesejahteraan Muslimat Lampung Khalida mengatakan, bingkisan yang diberikan berjumlah 100 paket. Sedangkan pasar murah merupakan hasil kerja sama antara PW Muslimat NU Lampung dengan Pemerintah Provinsi Lampung. “Kami menyediakan sembako seperti beras, telur, tepung terigu, daging dibawah harga pasar, ” ujar Khalida. (Uni)

  • TPA Fitrah Insani gelar Dauroh Qur’an : Bangun Kebiasaan Hidup Bersama Al-Qur’an

    TPA Fitrah Insani gelar Dauroh Qur’an : Bangun Kebiasaan Hidup Bersama Al-Qur’an

    Bandar Lampung, MUI Lampung Digital

    TPA Fitrah Insani menggelar kegiatan Dauroh Qur’an spesial bulan Ramadhan dengan program memperbanyak tilawah. Kegiatan ini berlangsung pada (20-21/03/2025)

    Sebanyak 29 peserta mengikuti program ini dengan tujuan memperbanyak tilawah dibulan mulia ini sekaligus membangun kebiasaan hidup bersama Al-Qur’an.

    Dalam sambutannya, Lindawati sebagai ketua pelaksana menyampaikan “Dauroh Qur’an tahun ini berbeda dari sebelumnya, jika sebelumnya menambah hafalan tetapi untuk tahun ini program nya memperbanyak tilawah, mudah mudahan menjadi kebiasaan kita sampai seterusnya walaupun daurohnyaa sudah selesai”

    Sementara itu Desna Tri Handayani sebagai Ketua TPA Fitrah Insani memberikan motivasi kepada peserta supaya berlomba lomba menjadi peserta yang terbaik dan jalin silaturahim yang baik antar teman teman.

    Ia menambahkan bahwa program Dauroh Al-Qur’an dirancang agar menyenangkan dan berkesan bagi peserta.

    “Kami ingin peserta merasa nyaman dan berkesan dengan kegiatan ini, supaya program ini membuat peserta bahagia dan senang berinteraksi dengan Al-Qur’an bukan menjadi beban, ” Tambahnya

    Hari pertama Dauroh diisi dengan ustad Muhammad Thoiril Anam, beliau menyampaikan bahwa sebagai seorang muslim pasti kita mencintai Allah dan RasulNya, jika kita mencintai Allah dan RasulNya kita juga harus menciptakan Al-Qur’an sebagaiman Rasul mencintai Al-Qur’an”

    Dan pahala membaca Al-Qur’an itu satu huruf itu sepuluh kebaikan, dan dibulan Ramadhan pahala kebaikan Allah lipatgandakan, maka gunakanlah Ramadhan ini dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, tambahnyaa

    Kegiatan Dauroh dilaksanakan selama 2 hari 1 malam, diharapkan para peserta semakin mencintai Al-Qur’an serta mengamalkan nilai nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. (Sabita/Rita Zaharah)

  • Opini: Ramadhan dan Tradisi

    Opini: Ramadhan dan Tradisi

    Ramadhan dan Tradisi
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Kemulian bulan ramadhan yang kita imani sebagai bulan penuh keberkahan sesuai ajaran agama yang kita yakini. Suatu bulan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbanyak ibadah kepada Allah Ta’ala, baik dalam ibadah puasanya, maupun segala sunah yang dianjurkan. Secara norma agama bahwa segala kewajiban dan sunah itu adalah anjurkan yang dipererintahkan dalam Nash, yaitu al-Quran dan Sunnah secara mu’tabarah. Pemahaman atas norma-norma agama itulah yang menjadi motivasi umat Islam untuk mengekspresikan ghirah untuk memuliakan ramadhan dengan harapan untuk mendapatkan keberkahan dengan penuh keimanan sesuai tradisi masyarakat masing-masing. Tradisi sendiri adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Mengingat bahwa Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang beragam, sehingga ekpresi kebahgiaan menyambut datangnya bukan ramadhan hingga memeriahkannya dibarengi dengan ragam budaya dan tradisi lokal masing-masing. Tradisi itu yang ikut mewarnai kegiatan-kegiatan ramadhan bukan merupakan ajaran agama baru yang datang dari tradisi, meskipun agama Islam datang bukan di ruang yang kosong, melainkan sangat dipengaruhi oleh tradisi lokal masyarakat Makkah dan Madinah, meskipun tradisi itu tidak semua ter-cover dalam agama Islam, ada yang dikokohkan dengan penguatan Nash, namun ada tradisi yang dirubah bahkan dihapus oleh Nash. Berbeda tentunya dengan tradisi lokal yang ada di lingkungan kita, bahwa tradisi lokal yang ada adalah ikut mewarnai norma agama, hingga lahirnya paham Islam tradisi. Jika dikaitkan dengan pemahaman bid’ah yang diyakini oleh sebagian orang bahwa makna darinya adalah suatu ajaran baru atau amaliyah baru yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, maka akan menjadi salah kaprah jika tradisi lokal yang kita lakukan pada masyarakat kita dianggap bid’ah, karena hal yang baru dari tradisi yang ada pada masyarakat kita adalah ekspresi yang datang dari agama yang merupakan inspirasi bukan kegiatan baru yang dianggap oleh sebagian orang mengada-ada dan meyakini bahwa hal itu adalah ajaran agama, melainkan yang benar adalah ekspresi atas ajaran agama yang dilakukan oleh masyarakat sesuai tradisi yang sudah ada, sehingga yang dirubah bukan norma agamanya, tapi adalah tradisinya diambil, dan norma agamanya diterima, dan itulah yang disebut inkulturasi agama, memasukkan nilai agama pada sebuah tradisi dengan tanpa membuang tradisi yang ada, tapi tidak mengurangi nilai agama apalagi merubahnya.

    Pada bulan Ramadhan, telah banyak tradisi ramadhan yang dilakukan oleh masyarakat kita, seperti unggahan, adalah sebuah ekspresi kebahagiaan yang dilakukan oleh masyarakat kita untuk menyambut datangnya bukan ramadhan, jadi bukanlah ajaran baru yang dibuat-buat dalam agama, melainkan ekpresi atas norma agama yang dilakukan sesuai tradisi yang ada. Hal lain ialah ziarah kubur adalah ekspresi terhadap norma agama, pertama sebagai bentuk birrul walidaini, orang tua, nenek-kakek atau sanak keluarga yang telah meninggal dunia, dan kedua adalah mengingat bahwa adanya kita karena orang tua dan sesepuh kita, sehingga diekspresikan oleh tradisi yang diindahkan oleh masyarakat dengan tanpa keluar dari koredor norma agama.

    Selain dua tradisi itu juga masih banyak tradisi lokal yang diindahkan hingga kita, seperti tradisi mudik, tadarusan di masjid dengan speaker, budaya tarawih dengan Bilal, tradisi peringati malam Nuzulul Quran, lebaran keliling dari rumah ke rumah, dan masih banyak lagi yang lainnya, semua itu tidak lain adalah ekspresi dan juga inkulturasi agama yang mereka lakukan sesuai tradisi lokal yang ada, indah dan memiliki nilai seni dan budaya yang tinggi, tidak ada di negara lain kecuali di bumi Pertiwi, negara Indonesia yang terbentang dengan pulau-pulau dan ragam budaya, tradisi, ras, dan bahasa yang beragam.

  • Opini: Rahasia di Balik Nuzulul Qur’an

    Opini: Rahasia di Balik Nuzulul Qur’an

    Rahasia di Balik Nuzulul Qur’an
    Prof. Dr. H. A. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Ketua LP2M UIN Raden Intan Lampung
    Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Lampung

    Nuzulul Qur’an merupakan peristiwa penting dalam sejarah Islam yang merujuk pada turunnnya wahyu pertama, di mana peristiwa ini terjadi pada malam kemuliaan yang jatuh pada malam ke-17 bulan Ramadhan. Nuzulul Qur’an merupakan titik awal dimulainya penyampaian wahyu pertama yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang berisi tentang perintah untuk membaca dan mempelajari berbagai ilmu yang datang dari Allah SWT. Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi umat manusia yang di dalamnya terkandung aqidah/tauhid, ibadah, akhlak, muamalah, hukum, sejarah dan lain sebagainya. Allah SWT menurunkan al-Qur’an tidak sekaligus, tetapi secara bertahap dalam waktu kurang lebih 23 tahun sesuai dengan kebutuhan umat dan kondisi masyarakat saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki kedalaman makna yang dapat disesuaikan dengan perkembangan umat manusia.

    Bulan Ramadhan disebut juga bulan al-Qur’an (Syahrul Qur’an), karena pada bulan Ramadhan Al-Qur’an itu diturunkan, yang oleh masyarakat kemudian dikenal dengan nama Nuzulul Qur’an. Peringatan Nuzulul Qur’an tentunya jangan hanya dianggap sebagai kegiatan rutinitas saja, melainkan yang paling penting adalah bagaimana kita mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu salah satu amalan Ramadhan yang disukai Allah dan Rasul-Nya adalah membaca al-Qur’an (tilawatil qur’an). Mengapa demikian, karena al-Qur’an memiliki banyak keistimewaan yang luar biasa, di antara keistimewaan itu adalah al-Qur’an bisa menjadi penerang dan obat hati, bahkan al-Qur’an bisa menjadi penyelamat (penolong) dan mendatangkan  pahala bagi yang membacanya. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang artinya “Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya al-Qur’an itu akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya“.

    Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi umat manusia. Al-Qur’an juga merupakan sarana ibadah kepada Allah dan cahaya di bumi. Ingat hadis Rasulullah SAW yang artinya “Hendaklah kalian membaca al-Qur’an, sebab ia merupakan cahaya di bumi dan simpanan di langit”. Oleh karena itu hendaklah kita selalu membaca al-Qur’an, apalagi dengan memahami dan mengamalkannya, tentunya itu lebih utama.

    Lantas sudah berapa banyak ayat suci al-Qur’an yang kita baca, pahami dan amalkan,  serta sudah berapa kali kita menghatamkan al-Qur’an? Tentunya hanya kita masing-masing yang bisa tahu. Mengenai hal ini Rasulullah SAW telah menjelaskan dalam sebuah hadis yang artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an ini merupakan jamuan/hidangan Allah, maka terimalah jamuan/hidangan itu sesuai dengan kemampuan”. Ini artinya bahwa Rasulullah SAW senantiasa menganjurkan kepada kita untuk selalu mambaca al-Qur’an, baik tiga hari sekali khatam, lima hari sekali khatam, sepuluh hari sekali khatam, lima belas hari sekali khtaman, maupun sebulan sekali khatam, tentunya itu semua sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

    Adapun keistimewaan al-Qur’an adalah: Pertama, sebagai petunjuk bagi  seluruh umat manusia, ingat firman Allah yang artinya “Bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya al-Qur’an di mana ia sebagai petunjuk bagi manusia”. Kedua, sebagai  pembeda antara yang hak dan yang batil, antara yang halal dan yang haram. Ketiga, sebagai obat hati, sebab dengan membaca al-Qur’an, hati akan menjadi tenang dan tentram. Keempat, sebagai sumber hukum, ini artinya bahwa al-Qur’an sebagai petunjuk yang digunakan dalam menetapkan hukum dan aturan dalam kehidupan umat manusia, baik yang diperbolehkan maupun yang dilarang. Kelima, sebagai sumber ilmu pengetahuan, sebab semua ilmu pengetahuan hakekatnya selalu bersumber kepada al-Qur’an, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, pertanian, kedokteran, saintek, dan lain sebagainya. Keenam, sebagai sumber dari segala sumber kehidupan. Ini artinya bahwa al-Qur’an bisa menjadi sumber dari segala aspek kehidupan.

    Mengingat kedudukan dan fungsi al-Qur’an yang luar biasa, maka jangan pernah kita jauh dengan al-Qur’an, apalagi meninggalkan al-Qur’an. Tetapi kita harus selalu dekat dan berinteraksi dengan al-Qur’an. Ingat hadis Rasulullah SAW yang artinya “Bacalah al-Qur’an, dan beramallah dengan al-Qur’an, dan jangan jauhi al-Qur’an”. Berdasarkan hadis ini jelas bahwa: Pertama: Kita senantiasa diperintahkan untuk selalu membaca al-Qur’an, sebab dengan membaca satu huruf saja dari al-Qur’an, kita akan mendapatkan sepuluh kebaikan, apalagi jika al-Qur’an itu kita baca di bulan suci Ramadhan, tentunya akan lebih istemewa. Kedua, kita senantiasa diperintahkan untuk selalu bertutur kata, berbuat, bersikap dan bertingkah laku berdasarkan al-Qur’an, sebab dengan selalu berpedoman kepada al-Qur’an, niscaya semua ucapan, perbuatan, sikap dan tingkah laku kita akan terjaga, sehingga kita akan mendapatkan keselamatan. Ketiga, kita dilarang  jauh dengan al-Qur’an, sebab jauh dengan al-Qur’an berarti kita dapat kehilangan akan keberkahannya, sebaliknya kita harus selalu dekat dengan al-Qur’an, sehingga kita akan senantiasa mendapatkan akan nilai-nilai keistimewaan dan keberkahannya.

    Dengan demikian jelas bahwa al-Qur’an memiliki keistimewaan dan keajaiban yang luar biasa bagi kehidupan manusia, sehingga tidak heran kalau orang non Islam pun banyak yang mempelajari al-Qur’an. Untuk itu dalam rangka memuliakan dan menhidupkan al-Qur’an, marilah kita tingkatkan kecintaan terhadap al-Qur’an, tentunya dengan senantiasa berinteraksi dengan al-Qur’an dan selalu hidup bersama al-Qur’an, yaitu dengan cara mengimani, membaca, menghafal, memahami, mengamalkan dan mendakwahkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita akan menjadi insan-insan qur’ani yang senantiasa akan mendapatkan keberkahan dan keselamatan dunia maupun akhirat. Wallahua’lam Bishawab.

  • Opini: Pendekatan Pada Teori Pembanding pada Nalar Al-Narajil

    Opini: Pendekatan Pada Teori Pembanding pada Nalar Al-Narajil

    Pendekatan Pada Teori Pembanding pada Nalar Al-Narajil
    Dr. Agus Hermanto, MH
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Pendekatan dan teori bagi sebagian orang kerap kali salah mengartikan dan bahkan sulit membedakan, sehingga teori dianggap sebagai pendekatan dan sebaliknya pendekatan dianggap sebagai teori. Dalam sebuah ilustrasi, apabila objeknya kuda, maka teori adalah bagaimana seseorang memelerlakukan kuda, sedangkan pendekatan adalah bagaimana kuda diperlakukan oleh seseorang tapi juga memberikan manfaat bagi yang memperlakukan. Artinya bahwa teori bersifat pasif karena menganalisis, sedangkan pendekatan aktif karena bukan hanya sebagai objek tapi juga memberikan timbal balik bagi pelakunya.

    Dalam konteks hukum, maka teori adalah alat atau pisau untuk menganalisis sebuah perkara yang membutuhkan solusi hukum, sedangkan pendekatan adalah sebuah peran untuk menganalisis suatu perkara dengan memanfaatkan pendekatan tersebut. Contoh dari teori adalah misalnya penggunaan teori gender dalam menganalisis sebuah hal, maka teori gender akan berperan aktif dalam mengkaji sebuah hal tersebut dengan prinsip-prinsip yang melekat padanya seperti keadilan, persamaan, demokrasi, dan muasyarah bil makruf. Cara kerjanya adalah bagaimana sebuah prinsip-prinsip dalam teori ini dapat menganalisis sebuah hal, apakah memenuhi kriteria tersebut atau tidak. Sedangkan pendekatan adalah sebuah cara yang dilakukan dalam menganalisis hal tersebut dengan segala sudut pandang, seperti pendekatan historis, sosiologis, antropologis, psikologia, epistemologis, bahkan medis. Artinya kedudukan pendekatan ini adalah kreteria yang dimanfaatkan untuk melihat suatu hal tersebut.

    Dalam penerapan teori pembanding ini, tidak lah jauh berbeda dengan pendekatan yang digunakan dalam teori-teori lainnya. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologis, untuk memastikan bahwa peneliti dalam hal ini harus dipastikan beriman, karena hukum Islam berlaku bagi orang mukallaf yang beriman, sehingga yang berijtihad atau menemukan hukum haruslah orang yang beriman, kecuali sebagai data sekundernya, misalnya kaitan dengan kompetensi tertentu yang membutuhkan informasi dari orang yang tidak beriman, tapi buku proses ijtihad nya.

    Kedua, pendekatan filosofis, karena analisis pada teori pembanding ini secara metodologi menggunakan nalar Al-Narajil, sehingga pendekatan filosofis digunakan untuk mencari kebenaran yang diinginkan. Ketiga, pendekatan epistemologis, dalam teori ini, pendekatan ini bermanfaat untuk mengukur ratio legis yang digunakan dan relevansi dalil atau kaidah yang dibutuhkan sebagai sandaran, sehingga terukur secara logis dan ilmiah. Keempat, pendekatan psikologis, dalam teori ini berguna untuk melihat kapasitas seorang peneliti atau kaositas seorang mujtahid dan hasil ijtihadnya untuk diterapkan.

    Kelima, pendekatan sosiologis, dalam penelitian dalam teori ini berguna untuk melihat dari sisi sosial masyarakat yang menyebabkan terjadinya suatu perkara dan penerapan hukum (putusan hukum yang bernilai kepastian hukum, berkeadilan dan bermanfaat). Inikah pendekatan yang digunakan dalam teori pembanding pada nalar Al-Narajil, guna menganalisis suatu hukum secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum kepada yang khusus.