Opini: Integrasi Pemikiran Islam dan Sains Hingga lahirnya Teori al-Nârajîl

Integrasi Pemikiran Islam dan Sains Hingga lahirnya Teori al-Nârajîl
Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Gagasan pokok yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah pemikiran tentang integrasi keilmuan. Istilah integrasi popular dibicarakan secara ilmiah dan bahkan menjadi mata kuliah khusus tentang integrasi Islam dan sains di lingkungan PTKIN sebagai konsekuensi pergeseran dari IAIN menuju UIN, hingga kemudian diformulasikan oleh perguruan tinggi masing-masing dengan kecenderungan masing-masing. Maka dalam hal ini, penulis mencoba menawarkan konsep al-Nârajîl sebagai penalaran falsafi dalam memahami integrasi Islam dan sains sebagai disiplin ilmu yang dapat dipadukan tanpa adanya dikotomi.
Integrasi yang dalam tertentu disebut reintegrasi adalah kritik terhadap realitas keilmuan yang berkembang di dunia Islam dan lebih spesifik lagi apa yang sedang terjadi di lingkungan pensisikan Islam Indonesia. Dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler kerap kali dituduh sebagai biang kerok kemunduran Islam. Padahal dalam catatan sejarah, Islam pernah menjadi lokomotif peradaban dunia yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di pusat peradaban Islam. Seperti halnya Baghdad dan Cordoba. Banyak para ilmuan yang mengintegrasikan antara ilmu agama dan sains, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Khawarizmi, Ibnu Haitsam dan lainnya.
Sejarah telah mengatakan beda, hingga keilmuan itu tidak berjalan lama, hingga dikatakan bahwa peradaban Islam mengalami kemunduran. Dunia ilmu pengetahuan hingga kemajuan teknologi terkesan tidak berkembang pada dunia Islam. Hal ini berkaitan dengan sebuah paradigma dengan anggapan bahwa ilmu agama adalah ilmu yang paling tingga, yang dapat menghantarkan hamba menuju ukhrawi, sebaliknya ilmu pengetahuan adalah ilmu yang tidak begitu urgen. Pada sudut lain dunia Barat menilai bahwa peradaban yang berkembang pada keilmuan mereka telah mendatangkan nilai empirik yang terukur, sehingga mereka menganggap ilmu agama tidak begitu ilmuah dan bersifat abstrak, sehingga tidaklah dapat diukur keilmiahannya.
Padahal, lahirnya keilmuan berakar pula pada integrasi ilmu agama dan sains secara berkesinambungan dalam bentuk integrasi-interkoneksi, sehingga umat Islam tidak lagi boleh mendikotomi dua keilmuan tersebut. Prestasi ilmuan muslim klasik seharusnya menjadi inspirasi hingga memantik para ilmuan modern untuk mengembangkannya. Hadirnya PTKIN terutama UIN telah membuka wacana-wacana baru yang membuka peluang para pemikir Islam modern untuk mengintegrasikan keilmuan tersebut hingga mendapatkan wawasan al-Qur’an sebagai kitab suci sebagai sumber inspirasi yang berkenaan dengan sains modern.
Integrasi Islam dan sains modern dapat dilakukan dengan berbagai model, seperti halnya saintifikasi Islam, yaitu memperkokoh ajaran agama dengan bukti ilmiah, tahapan selanjutnya mengislamisasi sains, yaitu memperkuat sains dengan landasan al-Qur’an, Hadits, dan pemikiran ulama muslim, selanjutnya juga pembudayaan sains Islam, yaitu dilakukan oleh ilmuwan yang ahli di bidang agama dan sains, hingga selanjutnya juga mengintegrasi Islam dan sains modern dapat dilakukan dalam berbagai bidang. Integrasi ini dapat membantu mengatasi krisis modern dan menjembatani kesenjangan nilai.
Maka penulis ingin menawarkan teori al-Nârajîl dalam kajian ini untuk dapat memformulasikan integrasi sains dan Islam sebagai kesatuan yang berkesinambungan dan tanpa adanya dikotomi, hingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru dan lahirnya ilmuan-ilmuan baru dalam bidang agama dan sains. Lebih lanjut para ilmuan dimaksud adalah lahirnya ilmuan yang menguasai ilmu agama dan juga ilmu pengetahuan, seperti halnya Ibnu Sina yang mampu menguasai ilmu kedokteran dan menjadikan ilmu tauhid sebagai ilmu yang lahir di atas ilmu pengetahuan.
Beberapa manfaat integrasi Islam dan sains modern, di antaranya adalah dapat memperkuat keyakinan, memperluas kemungkinan pemahaman atas kehidupan dan semesta, menjembatani kesenjangan antara kapasitas teknis manusia modern dengan kematangan moral dan spiritualnya. Pandangan Islam terhadap sains dan teknologi, bahwa Islam tidak pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern. Peradaban Islam memiliki ciri-ciri yang menonjol yaitu rasa ingin tahu yang bersifat ilmiah dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang sistematis. Integrasi Islam dan sains berarti berupaya untuk memadukan ilmu Islam dan sains dalam pembelajaran. Memadukan bukan berarti menyatukan, karena keduanya memiliki ciri khas yang berbeda yang dapat diintegrasikan untuk menghasilkan suatu gagasan yang baru.
Agama Islam menekankan pentingnya menuntut ilmu dan mendorong para pengikutnya untuk mempelajari karya-karya Tuhan dalam semua bidang kehidupan. Hubungan antara Islam dan sains dimulai pada abad ke-8 selama periode yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam, yang berlangsung dari abad ke-8 hingga abad ke-13. Pada hakikatnya perkembangan sains dan teknologi tidak bertentangan dengan agama Islam, karena agama Islam adalah agama rasional yang lebih menonjolkan akal dan dapat diamalkan tanpa mengubah budaya setempat. Umat Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat menakjubkan. Dalam ensiklopedi tematis dunia Islam, pemikiran dan peradaban disebutkan bahwa perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari tiga landasan, yakni landasan agama, filsafat, dan kelembagaan.
Karena mereka bukan bagian dari alam, entitas supranatural tidak dapat diselidiki oleh sains. Dalam pengertian ini, sains dan agama terpisah dan membahas aspek-aspek pemahaman manusia dengan cara yang berbeda. Upaya untuk mengadu domba sains dan agama menciptakan kontroversi yang sebenarnya tidak perlu ada. Meskipun sains dan agama mempunyai wilayah yurisdiksinya masing-masing, namun keduanya dapat saling berbagi. Sains dan agama bisa menjadi mitra dalam menginterpretasikan alam semesta dengan berbagai metodenya yang saling melengkapi.
Hal yang paling pokok dari persamaan dari agama dan sains adalah sama-sama bertujuan untuk mencari kebenaran. Keduanya menghampiri kebenaran dengan karakteristik masing-masing. Nilai-nilai Islam menyatakan bahwa pengetahuan tentang realitas tidak didasarkan pada akal saja, tetapi juga pada wahyu dan ilham. Sebuah bagian dalam al-Qur’an mendorong kesesuaian dengan kebenaran yang dicapai oleh sains modern, maka keduanya harus sesuai dan selaras dengan temuan sains modern.
Islam menekankan keharmonisan antara agama dan sains. Umat muslim diajarkan untuk tidak melihat sains sebagai musuh agama, namun sebagai sarana untuk lebih memahami kebesaran Allah saw, melalui ciptaan-Nya. Islam tradisional adalah cara hidup yang lengkap di mana konvensi sosial dan kepercayaan agama terintegrasi erat. Saat ini, Islam bergerak ke arah posisi yang lebih mirip dengan agama Barat, dengan pemisahan gereja dan negara. Hal ini tercermin dalam pendidikan.
Sains modern adalah suatu bagian tahapan perkembangan kehidupan manusia yang hadir di masa kini. Adanya produk telepon genggam, komputer, internet, televisi, kendaraan bermotor, dan lain-lain menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sudah menjadi ketergantungan. Bagi Islam, sains dan teknologi adalah termasuk ayat-ayat Allah yang perlu digali dan dicari keberadaanya. Ayat-ayat Allah yang tersebar di alam semesta ini merupakan anugerah bagi manusia sebagai khalifatullah di bumi untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ini adalah cara pertama Islam memfilter perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dikehidupan manusia, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah saw.
Secara Bahasa, kata integrasi berasal dari bahsa Inggris, yaitu integration yang berarti menggabungkan. Adapun dalam Bahasa Indonesia, kata integrasi memiliki arti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Integrasi juga dapat diartikan perpaduan antara dua hal atau lebih. Integrasi adalah proses penggabungan atau penyatuan beberapa bagian menjadi satu kesatuan yang utuh. Sedangkan sains meliputi semua bidang pengetahuan, baik sains sosial maupun eksak, keduanya harus berintegrasi dengan Islam.
Integrasi dalam pandangan Poerwadaminta dapat dipahami sebagai perpaduan, penyatuan dan perkembangan dua objek atau lebih. Integrasi dapat terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, matematika, teknologi, dan bisnis. Dalam konteks disiplin ilmu ini seperti halnya; Pertama, Integrasi nasional adalah proses penyatuan berbagai kelompok sosial dan budaya menjadi satu kesatuan yang utuh. Kedua, Integrasi politik adalah proses penyatuan berbagai kelompok atau faksi politik ke dalam satu sistem pemerintahan. Ketiga, Integrasi ekonomi adalah proses pengurangan atau penghapusan hambatan perdagangan antar negara atau wilayah. Keempat, Integrasi dalam bidang bisnis dapat menghasilkan peningkatan efisiensi, pengurangan redudansi, dan peningkatan daya saing. Kelima, Integrasi dapat berjalan lancar dan baik jika sesama individu saling menghargai, memahami, dan menghormati.
Integrasi Islam dan sains adalah upaya untuk memadukan ilmu Islam dan sains dalam pembelajaran. Integrasi ini dilakukan tanpa menghilangkan identitas asli dari masing-masing ilmu. Integrasi Islam dan sains bertujuan untuk; Pertama, Mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa ilmuwan Islam di masa lampau, Kedua, Menghilangkan dikotomi antara agama dan sains, Ketiga, Membangun kepribadian Islam mahasiswa. Keempat, Merangsang mahasiswa untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat Islam.
Beberapa model integrasi Islam dan sains, di antaranya adalah saintifikasi Islam, islamisasi sains, pembudayaan sains Islam berbasis wahyu, penggabungan antara beberapa model. Dalam pembelajaran biologi, integrasi Islam dan sains dapat dilakukan dengan model integrasi al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dan sumber konfirmasi. Integrasi Islam dan sains berarti berupaya untuk memadukan ilmu Islam dan sains dalam pembelajaran. Memadukan bukan berarti menyatukan, karena keduanya memiliki ciri khas yang berbeda yang dapat diintegrasikan untuk menghasilkan suatu gagasan yang baru.
Sejak ribuan tahun silam, dunia telah diramaikan oleh pemikiran para filsuf tentang ketuhanan atau teologi. Mereka sering terlihat dalam wcana tentang asal usul alam semesta dan ilmu pengetahuan (sains). Sepanjang pencarian Tuhan manusia ada yang beruntung menemukannya dan ada yang kurang beruntung. Mereka yang tidak beruntung akan mundah terlena dalam impian yang absurd. Pada fase selanjutnya mereka akan mengembara pada belantara metafisika, terjebak pada epeptisisme, atau bahkan eteisme. Kemudian dampak yang mungkin terjadi ialah perseteruan antara agama dan sians dalam wujud skularisasi. Namun agama tidak mendekati sains dengan perspektif skularisme Barat. Sebab, skularisme Barat akan mengaburkan dan menafikan peran dari masing-masing disiplin ilmu tersebut.
Agama (Islam) telah berpegang pada teks al-Qur’an dan hadist yang telah memberikan system sempurna dalam mencakup aspek kehidupan manusia termasuk kegiatan ilmiah dan penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuan dan cendikiawan. Keduanya dapat memebrikan manfaat bagi manusia dalam poros masing-masing. Oleh karena itu, kajian ilmuan merupakan bagian yang terintegrasi dengan system agama.
Sains adalah sekumpulan ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis, objektif dan dapat diterima kebenarannya. Selain itu, sains harus dan dapat diteliti Kembali guna mendapat sesuatu yang lebih baru dari temuan sebelumnya, sehingga temuan yang didapat akan mendekati kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran Yang Maha Benar.
Integrasi agama dan sians adalah penerapan nilai-nilai Islam dan sains melalui ilmu ekonomi, sosiologi, anstronomi, psikologi, geologi, manajemen dan disiplin ilmu lain, sehingga tidak terjebak dalam skulerisme, skeptisisme, dan ateisme yang kemudian mengaburkan kebenaran dari yang seharusnya. Ilmuan seharusnya tidak perlu gelisah dengan adanya pengintegrasian tersebut. Iklmu haruslah memiliki sifat kokoh karena berperan sebagai fondasi, sehingga agama harus lebih fleksibel agar mudah masuk keberbagai ranah keilmuan lain. Sebab, integrasi ilmu merupakan fondasi dari integrasi agama dan sains Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap integrasi ilmu untuk memperkokoh fondasinya.
Menurut Nurcholish Madjid, agama (Islam) adalah suatu keadaan jiwa, dimana keadaan jiwa ini dapat digambarkan sebagai perasaan yang terletak di atas adanya keyakinan kepada keserasian antara diri kita kepada kemampuan untuk menemukan cara yang paling efektif dan efesien untuk melaksanakan dorongan untuk berbuat baik. Barang kali sudah menjadi kesepakatan semua orang bahwa setiap agama, termasuk dengan sendirinya adama Islam, berakar tunjang pada sikap percaya yang sungguh-sungguh dan tulus. Disamping pendekatan empiris yang dapat dilakukan untuk menguji kebenaran suatu nilai keagamaan, dasar kebenaran suatu nilai keagamaan tidak terutama terletak dalam verifikasi empiris, tapi dalam kepercayaan terhadap wahyu.
Sains dalam pandangan Nurchalish Madjid adalah pelengkap kemampuan untuk menemukan cara yang paling efektif dan tepat untuk melaksanakan dorongan untuk berbuat baik. Beliau mengatakan bahwa peradaban mutakhir ialah teknologi. Teknologi pada gilirannya ditopang oleh suatu system kognitif yang dilandasi oleh empirisme, yang kemudian disebut dengan ilmu pengetahuan modern.
Melihat pemaparan Nurcholish Madjid mengenai integrasi sains dan Islam merupakan bentuk perpaduan antara keduanya. Agama sebagai primer dan sains sebagai skunder. Artinya bahwa agama sebagai modal utamanya dan sains sebagai penyempurna dari agama. Karena agama dan sains saling melangkapi bahkan dalam al-Qur’an terdapat 750 an ayat yang secara khusus menggambarkan peran sians dalam mengenal Tuhan. Di antara itu adalah Surat al-Baqarah ayat 164, Surat al-An’am ayat 2 dan Surat al-Ankabut ayat 19-20. Pada tradisi, kebiasaan, prosedur, prilaku atau sanksi dan hukum, sehingga kepatuhan hanya kepada Allah, yaitu kepatuhan akan kebenaran din al-haq sesuai dengan landasan surat al-Taubat ayat 9 dan surat al-Fath ayat 28 dan surat al-Shaff ayat 9. Jalaluddin mengatakan bahwa agama dan Islam adalam sinonim, sehingga agama menjadi sikap ikhlas dan tunduk.
Sedangkan menurut Jalaluddin Rakhmat, agama adalah kepatuhan dan kepasrahan. Al-Din artinya sama dengan Islam secara etimologi, diartikan sebagai tunduk, berserah diri serta menyerahkan atau menyampaikan. Secara denotative din menunjukkan kepatuhan. Agama adalah jalan untuk menundukkan hamba kepada Tuhan secara psikologis, sedangkan hal tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sosial. Maka sangat wajar ketika agama mengajarkan kepada umatnya untuk menjalankan secara konsisten dan berkelanjutan. Atau dapat digaris bawahi bahwa agama adalah sikap tunduk dan patuh pada tradisi, kebiasaan, prosedur prilaku atau sanksi dan hukum Allah. Sedangkan sians berefleksi pada hukum-hukum alat dan menemukan hukum tersebut. Sedangkan objek agama adalah mengembangkan penghatan tentage tika, sebagai seorang muslim tentu kita menjatuhkan pilihan kepada etika Islam. Hal ini bukan karena konsekuensi iman saja, tetapi karena etika Islam sanggup menjawab tantangan kehidupan modern.
Jalaluddin memahami bahwa ketauhidan bukan hanya sekedar teori atau konsep ritual kepercayaan yang terefleksikan melalui peribadatan. Tapi katauhidan juga berlaku bagi kehidupan berbangsa atau dikenal dengan tauhidul ummat, sehingga teori beriringan dengan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat yang majmuk. Tauhid tersebut merupakan esensi dari iman, sebab makna iman itu adalah berikrar dengan hati, berucap dengan lisan dan mengamalkannya dengan seluruh anggota tubuh. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa kejadian Isra dan Mi’raj adalah peristiwa penting yang hanya dijalnkan oleh Rasulullah saw., sedangkan hijrah rasulullah dari Makkah ke Madinah adalah cara yang harus dilakukan oleh umatnya, sebab hijrah adalah sunah nabi yang harus diikuti dan diteladani oleh umatnya, hijrah adalah cara yang manusiawi, karena dapat dilakukan oleh manusia. Termasuk merencanakan strategi dan operasional. Dapat dilihat bagaimana Nabi Muhammad mengumpulkan umatnya baik dari golongan muda, dan tua dalam menyampaikan informasi itu adalah bentuk strategi. Hal ini menunjukkan bahwa beragama itu tidak cukup hanya iman dan tawakkal saja, melainkan bahwa untuk menegakkan Islam membutuhkan sains dan teknologi.
Dalam konteks ini, maka perlu adanya keseimbangan yang harus tetap dijaga secara konsisten. Keseimbangan itu adalah; Pertama, keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, Kedua, keseimbangan antara akal dan akhlak, Ketiga, Keseimbangan antara kenyataan yaitu kemajuan teknologi yang tidak dapat dibendung dengan control diri dalam memanfaatkannya, sehingga tidak mengabaikan secara penuh dan juga tidak memenfaatkan secara utuh.
Dari pemaparan tersebut di atas, maka dapat dipahami secara komprehensif, bahwa agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan lingkungannya, baik yang bersifat fisik, sosial ataupun budaya. Agama menyediakan tolak ukur kebeanaran sians, yang menelusuri asal muasal sains dan tujuan keberadaan sains.
Ketika agama sebagai penyedia tolak ukur kebenaran sians, menelusuri dari mana sians berasal, serta tujuan-tujuan kenapa sains ada. Maka sains yang ada tidak akan keluar dari koridor agama. Dengan demikian, para ilmuan secara subjektif tidak akan terjerumus dalam kesesatan, sebab selain terhidar dari kesesatan, sains yang lahir dari induk agama akan menjadi sians yang objektif.
Agama dan sains adalah dua hal yang sulit untuk ditemukan, sebab keduanya memiliki wilayah masing-masing, baik dalam objek formal dan material, metodologi dan kreteria kebenaran, sampai teori-teorinya. Akan tetapi bukan keduanya tidak dapat diintegrasikan sehingga dalam pelaksanaannya integrasi agama dan sains menurut Nurcholis madjid dan Jalaluddin Rakhmat dalam hal ini memiliki dua misi utama, yaitu keseimbangan antara al-aqlu al-diniy (nalar keagamaan) dan al-aqlu al-falsafiy (nalar sains). Keduanya harus beriringan dan satu irama, agar tidak terpisahkan. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Abid al-Jabiri, dalam Islam, epistimologi dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu bayani, irfani dan burhani.
Dikotomi ini sejatinya muncul karena adanya penalaran yang tidak seimbang, sehingga kerap kali pemahaman tersebut hanya berdasarkan pada (al-aql al-diniy) penelaran keagamaan, sehingga kerap kali kajian keislaman bersifat normatif dan tidak membumi, mengingat al -Quran yang bersifat universitas dan syumul (komprehensif), namun dalam kajiannya kerap melupakan (al-aql al-falsafiy) penalaran sains, sehingga secara metodologi tidak inklusif. Pendekatan yang ditawarkan Muhammad Abid al-Jabiry, yaitu bayani (tekstual), irfani (penalaran hati), dan burhani (kontekstual) kerap kali terlupakan, hingga terkesan adanya anggapan bahwa agama sebagai ajaran yang mutlak namun tidak kemudian mau memadukan dengan pendekatan sains dalam hal integrasi keilmuan.
Pada kekinian ini penulis menawarkan sebuah pemikiran dari sebuah teori al-Nârajîl sebagai upaya penalaran sains (al-aql al-falsafiy). Al-Nârajîl diambil dari bahasa Arab yang berarti kelapa. Gagasan yang dituangkan dalam teori ini adalah konsep integrasi agama dan sains dengan tanpa adanya dikotomi. Dalam buah narajil terdapat tiga lapisan, pada lapisan pertama adalah kulit luar yang halus, yang mencakup dua lapisan dalamnya, menunjukkan bahwa Islam bersifat syumul (komprehensif), yang mencakup secara keseluruhan dan menyeluruh, disinilah makna Islam rahmatan lil alamin, tidak hanya pada ruang cakupannya, juga pada wilayah keberuntukannya.
Pada lapisan kedua sangatlah tebal dan memiliki banyak serat, yang menunjukkan sesungguhnya kajian agama dapatlah dilakukan dengan ragam teori dan pendekatan, baik dalam hal interdisipliner maupun transdisipliner. Sedangkan pada lapisan ketiga adalah tempurung yang sangat kuat, menunjukkan bahwa asas mengambil manfaat dan mencegah kemudharatan adalah tujuan utama dari ajaran agama (Islam) sehingga orang yang mempelajari haruslah benar-benar kompeten dan memiliki ilmu yang cukup dan basis ilmu yang mumpuni. Karena jika hal tersebut tidak dimiliki akan berdampak fatal, hingga tidak mengetahui batas-batas mana yang dapat dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dalam konteks ini, maka seorang yang mengkaji tentang hubungan agama dan sains haruslah dapat dipastikan kualitas keilmuan yang dimiliki.
Pada bagian dalam terdapat dua isi, yaitu kelapa dan air, hal ini menunjukkan bahwa kajian dan sains tidaklah dapat dipisahkan dan harus beriringan tanpa adanya pemisahan dan apalagi dikotomi antara keduanya. Secara implementasi, peserta didik dalam hal ini mahasiswa khususnya haruslah memahami bahasa Arab dengan benar, bahasa Inggris, mantiq, ilmu sosial dan menggunakan teknologi secara benar, sehingga dapat mampu mengejar target yang diinginkan. Maka program asrama dan PPI, BBQ dan matrikulasi bahasa bahkan makhad al-Jamiah menjadi proses pembiasaan mereka untuk dapat menguasai kriteria ilmuan tersebut, agar mereka benar-benar menjadi agent perusahaan yang intelektual namun menguasai keilmuan agama yang menginspirasi mereka, seperti halnya Ibnu Sina yang menjadi ilmuan dalam bidang Tauhid dan bahkan menjadikan Tauhid sebagai sumber dari keilmuan lainnya juga pada sisi lainnya ahli dalam bidang kediktatoran.