Artificial Intelligence, Hidupnya Ulama, Hilangnya Kepakaran

Artificial Intelligence, Hidupnya Ulama, Hilangnya Kepakaran
Dr. Agus Hermanto, MHI
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Disadari atau tidak, bahwa kita saat ini dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi yang terus berkembang. Untuk itu, seyogyanya kita tetap konsisten pada suatu keseimbangan antara akal dan akhlak, mengingat bahwa teknologi adalah hasil rekayasa manusia dan sangat membantu segala lini kehidupan manusia, hingga manusia pada titiknya telah mencapai lifestyle, bahwa teknologi adalah sesuatu yang bersanding dalam segala lini kehidupan manusia, saat inilah yang disebut era society 5.0, dengan segala konsekuensinya. Sehingga tidak lazim meninggalkan sama sekali dan tidak juga lazim menggunakannya sama sekali, melainkan teknologi adalah alat bantu yang dapat memudahkan segala aktivitas manusia.
Era 5.0 atau Society 5.0 adalah konsep yang menggabungkan teknologi dengan kepentingan manusia untuk menyelesaikan masalah sosial dan meningkatkan kualitas hidup. Konsep ini pertama kali muncul dalam acara CeBIT, perhelatan Teknologi Informasi terbesar di dunia, pada tahun 2017.
Pada era society 5.0 ini, selain kita dapat memanfaatkan segala ragam teknologi untuk dapat membantu aktivitas kita, juga kita kenal AI sebagai alat untuk dapat membantu kita berselancar menemukan pemahaman dan pengetahuan tentang khazanah segala ilmu, terutama ilmu agama. Dengan bantuan AI ini kita sejatinya akan dimudahkan menemukan segala informasi dan memudahkan pula bagi kita untuk memahami khazanah seperti bahtera ilmu yang sangat luas. Hal ini menunjukkan bahwa hari ini Allah Ta’ala tunjukkan kepada umat manusia bahwa ulama tidaklah mati, artinya dengan karya ilmiahnya, para ulama meskipun secara jasad telah meninggal ratusan bahkan ribuan tahun lamanya, ilmunya dapat kita pelajari, pahami hingga jadikan pedoman dan kita kembangkan dalam kontek saat ini.
AI adalah singkatan dari Artificial Intelligence, yang mengacu pada kemampuan mesin untuk meniru kecerdasan manusia, termasuk pembelajaran, penalaran, dan pemecahan masalah.
ChatGPT adalah program komputer yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk berinteraksi dengan manusia melalui percakapan. ChatGPT merupakan bagian dari keluarga GPT (Generative Pre-trained Transformer) yang dilatih untuk memahami dan merespons bahasa alami. ChatGPT dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti; Pertama, Menjawab pertanyaan, Kedua, Memberikan informasi, Ketiga, Menerjemahkan bahasa, Keempat, Menulis artikel, Kelima, Memberikan saran, Ke-enam, Membuat tulisan panjang seperti esai, lamaran kerja, dan email. Namun demikian, karena ChatGPT adalah rekayasa manusia, sehingga ChatGPT memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya; Pertama, ChatGPT tidak dapat memberikan informasi dengan konteks kejadian yang terjadi setelah 2021. Kedua, memberikan alat untuk menunjukkan teks yang ditulis kecerdasan buatan, namun alat ini mungkin menghasilkan banyak hasil positif dan negatif palsu.
Dari realita ini, maka sesungguhnya IA hanya dapat kita gunakan sebagai alat bantu untuk mendapatkan informasi mengenai hal penting yang kita inginkan, hingga AI dapat membuktikan kepada kita atas khazanah keilmuan yang begitu luas, yang tentunya seirama dengan pemahaman agama bahwa ilmu Allah yang maha luas tiada batas, sehingga jika pohon-pohon menjadi penanya dan lautan menjadi tintanya tidak akan habis untuk menulis keluasan ilmu Allah Ta’ala.
Satu hal yang perlu untuk kita renungkan dalam paragraf akhir ini, hadirnya AI kerap kali mencetak para literatur-literatur instan, sehingga membuat matinya kepakaran, karena dengan bantuan AI kerap kali seorang yang tidak pakar dalam bidangnya kerap kali mampu menghasilkan sebuah literasi, yang dianggap itu adalah hasil pemikirannya, jika bisa dikatakan bahwa AI kerap merampas para jurnalis untuk berkarya, para akademisi untuk berinspirasi dan para ulama untuk berfatwa. Untuk itu, keseimbangan dalam memanfaatkan teknologi menjadi hal yang tidak dapat dielakkan, sehingga kita akan dapat memanfaatkan sesuai kapasitas kita berselancar menemukan informasi dan memahami hingga mengembangkannya sesuai kepakarannya, karena jika sebaliknya justru lahirnya literasi-literasi baru yang tanpa adanya novelty.