Breaking NewsOpini

Mencairkan Teologi Feminis

Mengamati posisi perempuan dalam system teologi Islam, pada dasarnya adalah pemosisian perempuan  dalam dialektika budaya dan agama. Dalam proses dialektika ini inkulturasi terus berlangsung. Di satu sisi inkulturasi telah memperkaya wacana keagamaan, tetapi di sisi lain inkulturasi telah mereduksi pesan-pesan universal agama. Dalam konteks teologi feminis, inkulturasi melahirkan  kunstruk pemikiran bias gender yang terlihat pada dominannya pemikiran kaum laki-laki sehingga memunculkan corak paradigma teologi patriarkhis.

Karenanya tidak mengherankan apabila eksistensi perempuan kurang banyak mendapatkan perhatian dalam diskursus teologis. Kalaupun diangkat menjadi tema-tema pembicaraan teologis, perempuan masih seringkali dipersepsikan dalam kedudukan yang subordinat. Bias gender ini terlihat misalnya pada pemahaman tentang asal kejadian perempuan. Selama ini perempuan selalu disosialisasikan bahwa mereka serba kurang dibanding laki-laki, bahwa perempuan diciptakan dari rusuk Adam, dan rusuk itu adalah rusuk yang bengkok. Mereka telah menjadi penyebab Adam terlempar keluar dari surga dan bahwa mereka diciptakan untuk melayani laki-laki.

Semua itu telah menjadi bagian bawah sadar kaum perempuan, sehingga karenanya amat sulit untuk tidak menjadi inferior, untuk merasa sejajar dan untuk tidak merasa hanya sebagai pelengkap. Dalam hal ini diakui agama memberikan andil besar untuk menempatkan ketimpangan tersebut sebagai realitas objektif yang harus diterima. Mengingat agama menempati posisi sentral dalam kehidupan seseorang, sehingga apapun yang diciptakan atas nama agama akan bersifat mengikat dalam kehidupan manusia.

Keadaan seperti ini tidak saja berakibat pada mandeknya pemikiran teologi, yang semestinya terus dikembangkan untuk mencari rumusan yang konstruktif tentang posisi dan peran perempuan di masa datang. Lebih penting lagi keadaan ini juga telah mengakibatkan adanya berbagai macam penyimpangan yang secara fundamental bertentangan dengan misi Islam sebagai agama yang membebaskan dan mengutamakan kesamaan eksistensial antara sesama makhluk hidup di muka bumi.

Bias gender telah begitu jauh mempengaruhi pemahaman terhadap teks-teks kitab suci yang serta merta menempatkan superioritas laki-laki atas perempuan Sebagaimana dikemukakan Ashgar Ali, bahwa adanya ketimpangan wacana dalam teologi Islam, tidak saja melahirkan perlakuan kurang adil terhadap perempuan dalam kehidupan sosial dan kultural, tapi lebih mendasar lagi secara simultan mengakibatkan terjadinya reduksionisasi nilai-nilai kemanusiaan dalam ajaran Islam. Padahal sejauh yang bisa ditangkap dari pesan-pesan kitab suci, adalah tidak ada perbedaan kualitas penciptaan antara laki-laki dan perempuan. Walaupun al-Qur’an menggunakan istilah dan perumpamaan feminin dan maskulin, namun tidak dimaksudkan untuk memprioritaskan yang satu dan merendahkan yang lainnya. Karena pada dasarnya hakekat penciptaan makhluk secara eksistensial adalah sama

Produk pemikiran teologi feminisme adalah merupakan akumulasi pemahaman terhadap teks-teks ajaran agama yang akan selalu melibatkan faktor antropo-sosiologis yang dalam banyak hal sering memunculkan bias. Hal seperti ini terjadi karena meskipun teologi secara epistimologis berada pada tataran normatif doktrin-doktrin agama, tapi aktualisasi teologi ini adalah kenyataan sosial. Sehingga dalam mengkonstruksi suatu teologi terdapat relasi ganda yang saling mempengaruhi, antara doktrin-doktrin agama yang normatif dan kenyataan sosial yang empiris.  Dalam relasi ganda inilah seringkali memunculkan bias antropo-sosiologis berimplikasikan gender .

Para teolog dan ahli hukum abad pertama Islam pun tetap tidak lepas dari pengaruh-pengaruh sosiologis masa itu. Sehingga formulasi dan interpretasi mereka harus dilihat dari perspektif sosiologis masa itu. Begitu pentingnya memperhitungkan pengaruh-pengaruh sosiologis dalam penafsiran al-Qur’an, karena tidak ada penafsiran sejujur apapun yang bebas dari pengaruh-pengaruh sosiologis tersebut.

Dalam konteks teologi Islam yang ada sekarang umumnya sangat erat berpegang pada patriarkhi, dengan demikian sumber-sumber yang menjadi landasan teologi Islam, terutama al-Qur’an, Hadits dan Fiqih semua ditafsirkan hanya oleh laki-laki, sehingga hanya merekalah yang memiliki otoritas dalam mendefinisikan baik secara ontologis, teologis maupun sosiologis tentang kedudukan perempuan dalam Islam.

Padahal, Al-Qur’an adalah kitab suci pertama yang memberikan banyak hak pada perempuan, dan itu dilakukan pada masa di mana perempuan sangat ditindas, dan dilihat tidak lebih dari sekedar alat penerus keturunan, pengasuh anak dan penghibur suami. Namun kita melihat bahwa para fuqaha banyak menggali adat Arab (tradisi pra Islam) dan menggunakan formulasi-formulasi yang membatasi hak-hak perempuan.

Bias gender yang berakar dari prasangka-prsangka kultural dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan Hadits, terutama berkenaan dengan masalah perempuan, merupakan penyebab utama ketidaksejajaran laki-laki dan perempuan dalam wacana teologi Islam. Walaupun al-Qur’an memperlakukan perempuan dengan penuh martabat serta mamberi mereka status sama dengan laki-laki.

Memahami posisi perempuan dalam dialektika budaya dan agama adalah menelaah proses inkulturasi yang terus menerus berlangsung. Pada proses inkulturasi inilah teologi feminis mengalami titik simpang dan menjauh dari semangat Qur’ani, sehingga pesan-pesan universal agama telah mengalami reduksi nilai-nilai kemanusiaan.

Sejalan dengan upaya mencairkan teologi feminis, maka persoalan bias gender dalam konstruk teologi merupakan agenda intelektual bagi pemikir-pemikir muslim yang  modern dan progresif untuk menghadirkan rancang bangun teologi alternatif  yang lebih liberal-emansipatoris, sebagai rekonstruksi terhadap pemikiran lama yang dianggap kurang memberikan sistem makna yang jelas, tidak membebaskan dan terjebak dalam status quo.

Untuk itu, pemikiran-pemikiran teologis klasik mengenai masalah perempuan tidak dapat diterima tanpa sikap kritis. Pesan-pesan teologis harus dilihat baik dari konteks kulturalnya maupun semangat normatif transendentalnya. Penelitian yang cermat terhadap teks al-Qur’an, literatur Hadits maupun karya-karya tafsir perlu dilakukan, untuk menyusun kembali / merekonstruksi pemikiran teologis sesuai dengan semangatnya yang liberal, humanistik dan progresif.

Terhadap masalah agama yang berdimensi sosial, termasuk relasi gender dalam masyarakat, al-Maraghi seorang mufasir moderat mengatakan bahwa pengaturannya harus diselaraskan dengan perkembangan suatu masyarakat. Secara khusus al-Haitami mengatakan bahwa superioritas laki-laki terhadap perempuan hanya merupakan generalisasi belaka. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak perempuan mempunyai kemampuan yang sebanding dengan laki-laki secara intelektual, professional dan keterampilan.

Untuk itu, perlu dikembangkan suatu pemikiran, bahwa agama merupakan wacana  kemanusiaan yang terbuka dan siap berhadapan dengan persoalan-persoalan baru, dan penafsiran baru pula. Jadi tidak ada suatu wacana keagamaan yang sudah final. Di tengah meningkatnya “harga kemanusiaan” perempuan, maka formulasi teologi feminis klasik  harus dikaji ulang. Dengan cara itu upaya mencairkan teologi feminis akan mengimplikasikan pandangan dunia yang adil dan egaliter, serta Islam akan mampu tampil menjadi ideology yang tetap dinamis yang membawa kesejahteraan semesta.

Nampaknya, kebiasaan untuk berfikir kritis dan segar sesuai dengan konteks pengalaman kekinian dan sesuai dengan nilai-nilai yang benar, dan prinsip-prinsip yang diletakkan oleh al-Qur’an sudah menjadi keharusan. Bukankah al-Qur’an sendiri sering mengkritik mereka yang menolak pesan-pesan Allah hanya lantaran orang tua mereka tidak pernah melakukan hal itu. “Afalam yaddabbarul qaula am jaa’ahum maalam ya’ti aabaa’ahumul awwaliin”.(QS. Al-Mu’minun 68) yang artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenekmoyang mereka dahulu?”.

Konstruksi pemikiran klasik inilah yang selama ini mengungkung perempuan muslim hingga terjebak dalam status quo, dan kemandekan berfikir. Karenanya pemikiran teologis haruslah bersifat dinamis, sebab teologi hanya akan bermakna kalau ia mampu menjawab kebutuhan masyarakatnya. Islam adalah agama yang sarat dengan misi pembebasan, serta mengutamakan kesamaan eksistensial antara sesama manusia di muka bumi. Wallahu a’lam bisshawab

Penulis Siti Masykuroh, M.Sos.I
Editor Abdul Qodir Zaelani

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button