Category: Opini

  • Benarkah Amalan Puasa Hanya untuk Allah Swt

    Nindia Puspitasari

    Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Swt berfirman kecuali, amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah)

    Setiap kewajiban ibadah harus dilakukan setulus mungkin dengan hanya mengharap pahala dan balasan dari Allah Swt. Begitu pula dengan kewajiban berpuasa, yang jika dilihat dari hadist di atas telah mengindikasikan bahwasanya memang benar berpuasa itu hanyalah untuk Allah Swt. Hadist tersebut dengan terang menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan ibadah puasa dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.

    Amalan puasa tidak dilipatgandakan sebatas sepuluh kebaikan atau tujuh ratus kebaikan saja, melainkan untuk amalan puasa ini tidak dibatasi lipatan pahalanya. Oleh karena itu, amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah Swt hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangannya. Kenapa bisa demikian ? Ibnu Rajab Alhambali mengatakan “Karna orang yang menjalani puasa berarti menjalani kesabaran”. Dan mengenai ganjaran orang yang bersabar ini, Allah Swt berfirman ; “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (QS. Az-Zumar : 10)”

    Kemudian, kenapa Allah Swt menyandarkan amalan puasa hanya untuk-Nya ? (Hanya untuk Allah ?), sebab puasa adalah rahasia antara seseorang hamba dengan Rabbnya yang tidak tampak dalam lisan maupun gerakan perbuatan sehingga tidak ada pula orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa ini berasal dari niat dalam hati, hanya Allah saja yang mengetahuinya dan dalam amalan puasa ini terdapat bentuk meninggalkan berbagai syahwat yang dapat membatalkan puasa. Hakikat puasa tidak hanya sekedar mengosongkan perut dan menahan diri dari syahwat kelamin, tetapi juga mengendalikan hati, pikiran dan seluruh anggota tubuh.

    Hanya untuk Allah, bermakna bahwa amalan puasa termasuk ibadah yang paling Allah Swt cinta dan paling mulia di sisi-Nya. Dengan berpuasa kita mengharap ridha dan ampunan dari Allah Swt meski semua hikmahnya kembali pada diri masing-masing. Inilah letak perbedaan keistimewaan puasa, sholat, zakat dan ibadah lainnya. Sholat hikmahnya kembali pada diri sendiri, zakat hanya dirasakan orang lain. Sementara untuk puasa istimewa di hadapan Allah Swt, karena memiliki dimensi timbal balik yang tidak saja dirasakan sendiri tetapi juga pengaruhnya dalam membina kepedulian sosial.

    Menghayati hikmah amalan puasa, tidak hanya berhenti sebatas menahan diri dari makan, minum dan berhubungan badan di siang hari. Amalan puasa juga memberi isyarat pentingnya melanjutkan kesucian hati dengan turut merasakan penderitaan orang lain dalam kehidupan sosial. Ketika berpuasa, kesucian hati seseorang menjadi tidak berguna sama sekali jika ia tidak memiliki kepedulian kepada orang lain yang hidup di sekitarnya.

    Seseorang dapat disebut manusiawi dan berprikemanusiaan manakala ia memiliki kesadaran penuh dan tulus untuk menjadi bagian dari yang lain. Sebagaimana pepatah; “Senasib sepenanggungan, duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi”. Inilah corak kehidupan seorang muslim. Penderitaan orang lain akan dirasakan oleh dirinya pula. Ibarat anggota tubuh, rasa sakit yang menimpa salah satunya, dirasakan oleh semuanya.

    Amalan puasa menjadi upaya menghadirkan Allah Swt dalam diri. Tidak ada yang luput satu pun perbuatan manusia dari pengawasan Allah Swt. Hal ini mendidik kita untuk selalu memurnikan keikhlasan hanya untuk Allah Swt. Akhirnya, barangsiapa  melakukan sesuatu yang istimewa pada waktu yang istimewa seperti berpuasa di bulan Ramadhan ini, niscaya dia akan diperlakukan istimewa pula oleh Allah Swt. Kita perlu mengistimewakan bulan Ramadhan apabila kita ingin mendapatkan efek-efek hikmah yang istimewa. Wallahu A’lam Bishawab

     

  • Ramadhan

    Disisi Saidi Fatah

    Laskar Santri Nusantara Prov.Lampung

    Bulan suci ramadhan adalah bulan dimana beribu kenikmatan akan Allah berikan. Bukankah kita sudah ketahui bersama bahwa Allah SWT selalu memberikan kita beribu kenikmatan yang tifak bisa kita sebutkan, tidak bisa kita jelaskan, tidak bisa kita jabarkan, tidak bisa kita hitung, bahkan kita juga tidak mampu membalas kenikmatan Allah sampai hari ini.

    Lalu, apakah kita sudah mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan? Kita bisa mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah berikan, dengan cara beriman kepada nya, menjalankan perihtah dan meninggalkan larangan nya. Diantara nikmat Allah yang harus kita syukuri antara lain; yang pertama adalah nikmat islam, jika  kita tidak termasuk orang islam mungkin kita tidak akan pernah tahu kenikmatan dibulan suci ramadhan, kita tidak akan tahu nikmatnya pahala, serta nikmatnya kebarokahan. Inilah nikmat dari Allah yang paling berharga.

    Lalu yang kedua adalah nikmat umur yang panjang, jika kita tidak Allah berikan umur yang panjang, mungkin kita tidak akan berjumpa pada ramadhan tahun ini, kita tidak bisa berkumpul dengan saudara dan keluarga, kita tidak akan bisa bertatap muka dengan orang yang kita sayang, bahkan para pembaca tidak akan pernah bisa membaca tulisan yang saya tulis ini, begitupun saya demikian tidak akan bisa menulis jika Allah tidak memberikan saya umur yang panjang sampai hari ini bahkan detik ini.

    Dan yang ketiganya adalah nikmat sehat. Umur yang panjang, jika tidak memiliki kesehatan itu tidak sempurna, tapi dengan kemurahannya (Allah) berikan kita kesehatan. Jika tidak mungkin hari ini kita tidak bisa melaksanakan perintahnya, kita tidak bisa berpuasa, sholat, bahkan mungkin kita sedang berbaring di tempat tidur atau bahkan kita sedang di rawat di rumah sakit. Maka bersyukurlah kita telah Allah berikan kenikmatan yang tiada tara, dan masih banyak kenikmatan-kenikmatan yang tidak bisa kita sebutkan dan tidak bisa kita jabarkan.

    Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surah Ar Rahman ayat 13:

    فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

    “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

    Lalu bagaimana caranya kita mensykuri nikmat yang telah Allah berikan? Diantaranya adalah dengan cara menjalankan perintah dan meninggalkan larangannya. Dengan cara beribahan yang sungguh-sungguh pada bulan suci
    ramadhan. Semoga kita semua bisa menayukuri nikmat yang Allah berikan dan termasuk hambanya yang bersukur. Aamiin Allahumma Aamiin

  • Hidup Di Dunia Hanya Sementara, Maka Bangkitlah

    Hidup Di Dunia Hanya Sementara, Maka Bangkitlah

    Oleh: Nindia Puspitasari

    Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    “Setiap orang di dunia adalah seorang tamu, dan uangnya adalah pinjaman.

     Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman

    itu haruslah dikembalikan.”(Ibnu Mas’ud)

    Hidup di dunia hanyalah sementara. Usia seseorang tentunya berbeda-beda. Ada yang meninggal saat masih kecil, ada pula yang sampai berusia tua barulah ia menemui ajalnya. Hidup sementara menurut orang jawa direpresentasikan dengan istilah “Urip iku mung koyo mampir ngombe” (hidup ini seperti orang yang singgah untuk minum). Mampir (singgah) itu tentu sebentar bukan ?, jika lama-lama itu namanya menginap. Minum pun juga seperlunya, karna jika minum kebanyakan perut pun bisa jadi kembung, dalam istilah Jawa (kelempokan).

    Jika dilihat dari kata Ibnu Mas’ud pada pembukaan artikel ini, maka kita ini ibarat tamu yang hanya singgah sebentar. Tamu yang dipinjami uang oleh si pemilik rumah dan kita wajib mempertanggung jawabkannya. Sang pemilik rumah dunia ini hanyalah Allah SWT. Kita manusia ini, telah dipinjami banyak hal oleh Allah. Mulai dari mata, tangan, kaki, tenaga, waktu, harta, kesempatan dan lainnya. Begitu banyak yang harus kita pertanggung jawabkan bukan ?

    Kesadaran kefanaan seperti hal ini harus ditanamkan sedini mungkin, sehingga dapat menjadi laku sosial yang mengurat akar bagi kita. Dengan kesadaran tersebut akan dapat mencegah kita dari sifat wahn “cinta dunia dan takut mati”. Bukankah bila kita mati tidak membawa apa-apa ? hanya amal kebaikanlah yang menyertai. Harta benda, rumah, istri, suami, anak, sanak saudara semuanya akan ditinggalkan J J

    Maka pelajaran terpenting yang bisa diambil adalah hidup dengan sederhana, hidup secukupnya, tidak terlalu bernafsu memburu harta benda. Karena hadirnya harta hanya menyita waktu kita. Pikiran dan perhatian kita akan tercuri oleh harta yang melimpah. Energi terkuras untuk melindungi harta agar tidak berpindah tangan atau hilang dicuri orang. Sikap hidup tawadhu inilah yang patut kita terapkan dalam kehidupan kita.

    Sebagaimana dikisahkan :

    “Seorang raja menerima tamu dari negara lain. Sebagaimana tuan rumah yang baik, sang raja mempersilahkan tamunya duduk dan beristirahat, lalu menjamu sebagaimana mestinya. Melihat kondisi  dan keadaan rumah sang raja, tamu ini terheran-heran. Sejauh pengamatannya, tak ada satu pun benda berharga menghiasi rumah sang raja. Maka ia pun bertanya, “Wahai raja, mengapa rumahmu begitu sederhana, tak ada benda-benda yang berharga layaknya seorang raja ?

    Raja pun menjawab, “Di dunia ini saya hanyalah tamu, sebagaimana Anda tamu di rumah saya. Anda mampir hanya sebentar, tidak membawa apa-apa, karena terlalu banyak benda yang dibawa akan menjadi terlalu repot saat pulangnya. Begitulah saya. Ujar sang raja”.

    Mendengar jawaban sang raja seperti itu, tamu tersebut tertunduk. Ia mengakui kedalaman ilmu dan kebijaksanaan raja.

    Senada dengan hal itu, Rasulullah SAW bersabda “Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menaiki kendaraan, lalu berteduh dibawah pohon, beristirahat setelah itu meninggalkannya.” (HR. Ibnu Majah).

    Cerita tersebut menggambarkan, tentang kesederhanaan seorang raja yang bijaksana. Kita sebagai manusia dituntut untuk tidak sombong hanya karena harta dan kedudukan tinggi, tidak boleh minder karena miskin dan hina. Karena kita semua hanyalah tamu dan semua yang kita miliki hanyalah pinjaman J J

    Tetaplah Rendah Hati seberapapun tinggi kedudukan kita. Tetaplah Bersabar seberapapun ujian dan rintangan yang datang pada kita. Hanya satu kepunyaan kita yang bukan termasuk pinjaman yaitu Amal Shaleh. Hanya dengan itulah yang akan bisa mempertanggung jawabkan kehidupan kita nanti. Nikmati saja hidup ini dan Berbahagialah dengan apa yang kita punya, terus berucap Syukur dan Terimakasih kepada sang Pencipta. J J

    Bangkit dan Berkarya

    Kehidupan sementara dengan jaminan kenikmatan dari Allah ini, harus digunakan dengan baik. Momen Hari Kebangkitan Nasional ini kita gunakan sebagai motivasi kehidupan kita untuk terus bangkit dari keterpurukan, kehinaan, kemalasan, kekerasan, kerusuhan menuju kehidupan yang jaya dan damai.

    Semangat Kebangkitan Nasional yang sejak lama menitis kepada generasi penerus bangsa Indonesia, harus kita jaga dengan baik. Melestarikan semangat Kebangkitan Nasional, itu artinya kita melestarikan persatuan, perdamaian dan memupuk persaudaraan antar sesama umat manusia dalam bidang apapun. Kehidupan yang sementara ini, harus selalu dimanfaatkan dengan menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa untuk selalu memikirkan kebangkitan dari persoalan-persoalan yang ada.

    Dengan harapan, kehidupan umat Islam di Indonesia ini selalu bisa membangkitkan berbagai bidang yang sedang mengalami keterpurukan, baik dalam diri sendiri maupun negara Indonesia. Kebangkitan umat Islam dalam berbagai bidang, sangat bisa menghasilkan karya-karya yang bagus bagi perkembangan dan kemajuan negara. Skill umat Islam di Indonesia tidak diragukan lagi dalam bidang apapun, ditambah lagi dengan semangat kebangkitan, tentunya umat Islam di Indonesia bisa berkarya dengan baik dan meningkatkan kualitas individu dan negara.

  • Halal Life Style

    Dr. H. Khairuddin Tahmid, M.H

    Ketua Umum MUI Lampung

    “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Baqarah: 168).”

    Pemaknaan halal dimaksudkan sebagai sesuatu yang boleh dilakukan, digunakan atau dikonsumsi menurut hukum Islam. Sedangkan thoyyib bermakna baik, yang mencakup keselamatan, kesehatan, lingkungan, keadilan, serta keseimbangan alam. Istilah halal sejatinya hanya dimiliki oleh ajaran Islam. Makna kata halal, selama ini lebih sering dihubungkan dengan makanan dan minuman. Padahal, kata halal memiliki makna yang luas, mencakup segala hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Singkat kata, makna halal merupakan suatu gaya hidup atau life style. Dengan kata lain halal life style  dapat diterjemahkan dengan gaya hidup halal.

    Halal adalah brand (merk) dan identik dengan kebaikan, sehingga sejumlah negara Asia yang sebagian besar penduduknya non Muslim, seperti Thailand, Jepang, Korea dan Australia tidak ragu mengembangkan halal tourism (pariwisata) sebagai brand.. Bahkan mereka memiliki panduan wisata Muslim untuk menunjukkan pelayanan yang lebih baik.

    Adapun yang dimaksud gaya hidup yakni mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan. Sedangkan cakupan  halal dapat  diperluas ruang lingkupnya tidak hanya menyangkut makanan dan minuman melainkan juga melampaui bahkan merefleksikan semua aspek dalam kehidupan kita.

    Mengkonsumsi produk halal, yang terbayang adalah bahwa apapun yang  kita makan harus barang yang murni, bersih secara higienis, menyehatkan, baik  atau toyyib dan dapat dibenarkan secara moral, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 168 di atas. Dalam konteks halal sebagai gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan atau aktivitas yang halal, minat dan kecenderungannya dalam membelanjakan uangnya untuk makan, minum, dan kesenangan lainnya secara halal dan bagaimana mengalokasikan waktu juga secara halal.

    Label halal memang merupakan tindakan duniawi dan ukhrawi, bertujuan untuk menjamin bahwa yang dimakan sesuai dengan syariat Islam. Serta merupakan upaya perlindungan kepada masyarakat Muslim. Label halal merupakan tindakan keagamaan.

    Pemerintah mempunyai kewajiban mengadakan sebuah prosedur dan mekanisme yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan produk halal. Peranan label halal sama dengan baju yang dipakai manusia. Ia dapat membentuk dan mencantumkan citra diri pemakainya. Setiap keluarga Muslim sudah semestinya  membiasakan diri memakan makanan halal dengan cara memperhatikan ada atau tidak adanya label halal pada kemasan makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetik.

    Perkembangan dunia, saat ini tengah memutar jam kehidupan menjadi tren global yang menarik, yakni fenomena tren industri halal dunia. Terminologi halal tidak lagi menjadi monopoli hak paten  Islam. Halal, hari ini sudah menjadi bagian gaya hidup masyarakat dunia. Banyak negara di berbagai belahan dunia tengah berupaya menerapkan sistem halal life style dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata yang berupaya menerapkan halal life style tidak hanya dari kalangan masyarakat negara Muslim saja yang konon selama ini memiliki jargon halal life style. Tetapi negara-negara yang berpenduduk mayoritas non Muslim juga tengah berupaya keras ingin menerapkan halal life style dalam kehidupan mereka. Kini, kesadaran masyarakat terhadap sesuatu yang berkaitan halal semakin meningkat. Pemahamannya tidak lagi hanya dalam hal makanan dan minuman, namun kini sudah berkembang  lebih luas lagi.

    Setidaknya, ada sepuluh sektor gaya hidup halal yang memberikan konstribusi besar dalam perekonomian dunia, yaitu makanan dan minuman, keuangan, biro perjalanan, kosmetik, pendidikan, mode, rekreasi, farmasi, kesehatan, serta seni dan budaya. Kenyataan ini menunjukkan, industri halal berkembang pesat di dunia.

    Bisnis yang berbasis pada sistem ekonomi Islam itu bukan hanya dikembangkan oleh negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi juga negara-negara yang sebagian penduduknya non-Muslim. Industri halal dianggap sebagai peluang besar yang menjadi kebutuhan dan gaya hidup (halal life style).

    Sekalipun, kesadaran masyarakat dunia terhadap suatu yang halal terus meningkat, namun sayangnya, Indonesia sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia belum menjadikan industri halal sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Peringkat pertama diduduki Malaysia, kemudian berturut-turut, Uni Emirat Arab, Bahrain, Arab Saudi, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Yordania dan Indonesia.

    Sejatinya, beberapa ayat al-Qur’an telah menegaskan soal eksistensi industri halal ini, di antaranya, “Katakanlah: berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (Q.S. al-An’am: 11). Demikian pentingnya melakukan perjalanan di muka bumi ini (berwisata) dengan tujuan mencari pelajaran dan hikmah. Oleh karena, masih diperlukan penguatan legalitas. Allah SWT menyebutkan kembali dalam ayat yang berbeda, “Katakanlah: berjalanlah kamu (di muka bumi), lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa”. (Q.S. an-Naml: 69).

    Berdasarkan dua ayat di atas, menunjukkan bahwa substansi makna ayat 11 surah al-An’am adalah bahwa Allah SWT menganjurkan manusia agar melakukan perjalanan di muka bumi ini guna menemukan jawaban dan bukti bahwa orang-orang yang mendustakan kebenaran Tuhan ditimpa azab yang pedih. Sementara pada ayat berikutnya, ayat 69 surat an-Naml menunjukkan bahwa Allah menganjurkan manusia untuk melakukan perjalanan guna menemukan jawaban dan bukti bahwa orang-orang yang berdosa berakhir dengan malang. Dengan bahasa lain, pariwisata atau berwisata sesungguhnya memiliki tujuan spiritual, yakni untuk meningkatkan keimanan kepada Allah SWT dan mengakui kebesaran-Nya.

    Tidak hanya untuk mencari hikmah kehidupan, pariwisata dianjurkan oleh Islam dengan tujuan untuk mengagumi keindahan alam, supaya jiwa menjadi tenang. Wisata dalam Islam adalah sebuah safar atau traveling untuk merenungi keindahan ciptaan Allah SWT, menikmati keindahan alam untuk menguatkan keimanan dan memotivasi diri untuk terus menunaikan kewajiban hidup. Refresing sangat diperlukan oleh jiwa agar selalu tumbuh semangat baru. Pendek kata, wisata syari’ah tidak sekedar memberikan pemenuhan kesenangan ragawi, tetapi juga memberikan ketenangan dan kebahagiaan batin. Hal ini karena, dalam wisata syari’ah juga terkandung nilai-nilai Islam yang harus diperhatikan sebagai salah satu instrumen penting pengembangan wisata syari’ah. Contoh kongkritnya, semua produk yang dikosumsi sudah bersertifikasi halal, tidak boleh merusak lingkungan, memperhatikan kebersihan dan kedisiplinan, termasuk disiplin dalam beribadah dalam perjalanan.

    Pariwisata syariah sejatinya sudah lama berkembang di Indonesia. Hal itu dapat ditelusuri sejak berjalannya paket-paket wisata religi, wisata ziarah, dan wisata spiritual. Dalam konteks wisata relegius terkait erat dengan agama sebagai motif seseorang dalam melakukan perjalanan rekreasi atau melancong. Tentu saja, setiap orang memiliki motif yang berbeda dalam melakukan perjalanan rekreasi tersebut. Apabila niat dalam hatinya terbesit tujuan-tujuan Islami yang diridhoi Allah dan sejalan dengan agama, maka perjalanannya tersebut dapat disebut wisata relegius. Apalagi objek-objek yang dituju adalah objek-objek yang bersejarah dan berkaitan erat dengan keislaman.

    Masyarakat Indonesia selama ini lebih mengenal istilah wisata relegius (untuk kalangan Muslim) dan wisata rohani (biasanya untuk kalangan non Muslim). Wisata rohani biasa dijalankan oleh umat non Muslim, dengan mengunjungi objek-objek bersejarah agama mereka seperti rumah ibadah, makam orang-orang yang dianggap suci oleh mereka, serta dengan menapaki jejak nilai sejarah dengan maksud untuk lebih mendalami nilai agama meraka.

    Ada kalangan yang lebih suka menyebut dengan nama ‘wisata Islam’ atau ‘wisata Muslim’. Wisata Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep wisata religius. Dasar, tujuan, dan niatnya tidak lain sesuai dengan yang digariskan oleh prinsip maupun ajaran Islam. Sedangkan wisata Muslim dalam konteks pengembangan wisata, secara keseluruhan, lebih merujuk pada subjek, yakni pelaku (orang Islam). Jika konsep ini yang dipakai, maka akan terbentur pada pembatasan objek, yakni pelakunya yang beragama Islam. Karena itulah, istilah wisata Muslim kurang tepat disebabkan alasan-alasan yang disebutkan di atas, selain dari sisi objek wisata yang sifatnya universal.

    Sementara itu ada pula yang berpendapat, wisata halal dapat mewadahi atau mewakili apa yang dimaksud dengan wisata Islam tersebut. Namun, istilahnya pun kurang tepat karena adanya soal objek, yakni halal, yang berarti ada lawannya, yakni haram. Dengan konsep halal haram, tujuan dan target yang ingin didapat menarik ibroh, hikmah serta nilai sejarah yang besar dari keagungan ciptaan Allah, menjadi kurang mengena.

    Setelah diurai wisata religi, wisata rohani, wisata Muslim dan wisata halal, maka dalam konteks pengembangan pariwisata secara umum yang terkait langsung dengan nilai dan prinsip Islam, istilah yang lebih tepat digunakan adalah ‘wisata syariah’. Dalam kehidupan beragama, Islam membagi tiga hal, yakni tauhid, syariah, dan akhlak. Jika tauhid lebih menitik beratkan pada kehidupan peribadatan makhluk kepada al-kholiq-Nya (Allah), akhlak memberikan prioritas atauran pada kehidupan sosial (muamalah), maka syari’ah mengatur pada alur kehidupan secara lebih luas, termasuk di dalamnya masalah halal/haram, dan interaksi sosial (muamalah), baik hubungan internal sesama Muslim, hubungan antar penganut agama, maupun dalam hubungan antara umat beragama dengan negara.

    Wisata syariah dapat didefinisikan sebagai upaya perjalanan atau rekreasi untuk mencari kebahagiaan yang tidak bertentangan dan menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam, serta sejak awal diniatkan untuk mengagungi kebesaran ciptaan Allah. Selain itu, perjalanan dengan tujuan tertentu juga diniatkan sebagai sebuah perjalanan syiar, setidaknya dengan melafalkan ayat-ayat suci, atau bertasbih mengagumi keindahan alam sekitar, dan amalan positif lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam serta memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia dan lingkungan sekitar.

    Tegasnya, bukan saja target dan tujuan wisata syariah tercapai, tapi juga menunjukkan, khususnya pada kalangan non Muslim, bahwa syariat Islam memiliki prinsip-prinsip yang universal dan menentramkan banyak kalangan. Syariat Islam tidaklah seperti anggapan sementara pihak, terutama kalangan dunia Barat yang menggambarkan sebagai hukum yang kejam dan tidak manusiawi. Justru syariat Islam melindungi dan memberikan rahmat bagi sekalian alam.

    Wisata syariah sesungguhnya dapat dikatakan sebagai bentuk lain dakwah soft dan modern melalui produk-produk halal dan tindakan nyata yang sesuai dengan syariat Islam. Dakwah soft ini penting karena langsung dibuktikan dengan tindakan dan contoh nyata. Selain itu, produk halal sangat penting bukan hanya persoalan label, tapi yang jauh lebih penting adalah adanya jaminan keselamatan dan kesehatan terhadap produk yang kita konsumsi.

    Life style dalam bidang kuliner, di mana kini banyak permintaan sertifikasi halal yang legalkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sejak tanggal 6 Januari 1989 berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep./18/MUI/I/1989, mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan kosmetika (LPPOM). Tugas LPPOM MUI adalah menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk seperti pangan, obat–obatan dan produk kosmetika aman dikonsumsi. Baik dari segi kesehatan maupun ajaran agama Islam, sehingga umat Islam akan mendapat ketenangan dalam mengonsumsi produk-produk tersebut.

    Posisi LPPOM MUI diperkuat dengan ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan  dan MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.

    LPPOM MUI merupakan lembaga di bawah MUI yang salah satu tugasnya melakukan pemeriksaan dan pengkajian halal. Selain LPPOM MUI, MUI juga memiliki lembaga lain, yakni Komisi Fatwa MUI yang menetapkan fatwa berdasarkan hasil pemeriksaan LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksa.  Tugas auditor LPPOM MUI sesuai dengan tupoksinya adalah memeriksa produk halal yang merupakan kepanjangan tangan (wakil sekaligus pelaksana tugas ulama) dalam mengkaji, menganalisis titik kritis kehalalan suatu produk dengan berbasis sains dan teknologi. Hasil pengkajian dan analisis ini yang kemudian dilaporkan kepada Komisi Fatwa MUI untuk dikaji dalam suatu sidang fatwa berdasarkan pertimbangan syar’i. Fatwa produk halal ini dinyatakan dalam bentuk sertifikat halal (fatwa tertulis).

    Pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI senantiasa bekerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia.

    Kegiatan sertifikasi halal ini dimaksudkan untuk mendapatkan jaminan produk halal.  Proses sertifikasi halal dilakukan dengan cara penelusuran mendalam untuk mengetahui secara pasti apakah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk pangan serta proses produksinya telah terjamin halal dan konsisten atau tidak. Hasil sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal bila telah memenuhi syarat yaitu pernyataan halal atas suatu produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan berdasarkan hasil audit dan kajian fatwa. Adanya sertifikat halal dimaksudkan agar konsumen Muslim terlindungi dari produk-produk yang tidak halal.

    Berkembang pula life style di bidang fashion, di mana semakin banyak model hijab, jilbab dan busana Muslim/Muslimah yang akhir-akhir ini semakin menjadi tren kehidupan. Di bidang akomodasi dan perhotelan juga berkembang ke arah yang baru, yakni munculnya hotel-hotel berlabel syariah, di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Lampung.

    Sesungguhnya jika kita mampu menerapkan konteks halal dalam segala aktivitas kehidupan, maka akan sangat banyak manfaat yang akan diperoleh. Pertama, membawa ketenangan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dapat menjaga kesehatan jasmani maupun rohani. Ketiga, mendapat perlindungan dari Allah. Keempat, semakin teguhnya iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Kelima, tercermin kepribadian yang jujur dan sikap apa adanya dalam hidup. Keenam, rezeki yang diperolehnya mendapat barokah dunia akhirat.  Wallahu A’lam.

     

  • Penguatan Ajaran Aswaja di Tengah Pertarungan Idiologi Trans-Nasional

    Penguatan Ajaran Aswaja di Tengah Pertarungan Idiologi Trans-Nasional

    Dr. KH. Khairuddin Tahmid, MH

    Ketua Umum MUI Lampung

    Pemahaman agama yang hanya didasarkan pada manthuq an-nash saja akan menimbulkan kekakuan dalam beragama. Karena agama Islam diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai agama terakhir, sehingga apapun peristiwa dan permasalahan yang muncul seiring dengan perkembangan zaman dapat dicarikan jawabannya dalam agama. Dalil/nash keagamaan (nushush syar’iyah) terbatas pada ayat quraniyah dan sunnah nabawiyah, sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul seiring dengan perkembangan zaman. Sehingga apabila pemahaman agama didasarkan hanya pada tekstual dalil (munthuq an-nash) saja maka boleh jadi agama tidak akan bisa menjawab permasalahan yang muncul, karena tidak semuanya termaktub secara jelas di dalam dalil/nash al-Quran dan Hadis. Suatu hal yang tidak mungkin menjawab semua persoalan yang muncul hanya terpaku dengan tekstual dalil al-Quran dan hadis, karena sangat terbatas sedangkan persoalan yang terjadi terus menerus berkembang. Sebagaimana ungkapan para ulama:

    لأَنَّ النُّصُوْصَ مَحْدُوْدَةٌ وَلَكِنَّ اْلحَوَادِثَ وَالنَّوَازِلَ غَيْرُ مَحْدُوْدَةٍ أَوْ لِأَنَّ النُّصُوْصَ تَتَنَاهِى وَلَكِنَّ اْلحَوَادِثَ وَالنَّوَازِلَ لَا تَتَنَاهِى.

    “Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang muncul tidaklah terbatas. Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”

    Ajaran agama yang tidak disebutkan dalilnya secara eksplisit di dalam al-Quran dan Hadis biasanya dirumuskan melalui tata cara ijtihad. Imam al-Haramain, seorang ulama besar mazhab Syafi’iyah menyatakan:

    فَإِنَّ مَعْظَم الشَّرِيْعَةِ صَدْرٌ مِنَ اْلإِجْتِهَادِ

    “Sesungguhnya sebagian besar dari ajaran agama (syari’ah) berasal dari hasil ijtihad”

    Cara memahami nash yang hanya menggunakan pendekatan tekstual dan parsial inilah yang menyebabkan para pelaku tekstualis bersikap eklusif dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an maupun al-hidts.

    1. Aswaja dan Paradigma Islam Wasathiyah

    Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an:

    وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

    “Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)

    Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا   dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya

    وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

    “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”(QS.Al-Isra’:29).

    Dalam firman-Nya yang lain :

    وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا“

    Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’: 110).

    Sementara dalam hadits dikatakan,

    خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا

    “Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”

    Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat:

    وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِى

    “Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”

    Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman;

    وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

    “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

    Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. (b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. (c).  Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat,  antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.

    Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.

    Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:

    1. Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas;
    2. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermadzhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermadzhab secara qauli.

    Pola bermadzhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut: (a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik ibn Anas, madzhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. (b). Di bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan madzhab Imam Abu Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan madzhab Imam Abu Hamid al-Ghazali;

    1. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna;
    2. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa;
    3. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir;
    4. Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa);
    5. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut;
    6. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah;
    7. Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU;
    8. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

    1. Beberapa Qoidah Penuntun

    Paradigma Islam Wasathiyah harus bisa menjadi faham keagamaan mainstream umat Islam di Indonesia. Hal ini dipandang penting seiring dengan semakin kuatnya indikasi bergesernya gerakan keislaman di negeri ini ke kutub ekstrim, baik yang ke kiri ataupun yang ke kanan. Pergeseran ke kutub kiri memunculkan gerakan liberalisme, pluralisme dan sekularisme dalam beragama. Sedangkan pergeseran ke kutub kanan menumbuhkan radikalisme dan fanatisme sempit dalam beragama.

    Pergerakan kedua kutub ini disadari atau tidak, diakui atau tidak, merupakan gambaran pertarungan ideologi global yang menerjang Indonesia. Dampaknya pertarungan tersebut telah memporak-porandakan bangunan keislaman yang selama ini telah dibangun oleh para ulama terdahulu di negeri ini.

    Islam wasathiyah sebenarnya merupakan ajaran ulama nusantara yang selama ini dianut dan diamalkan oleh umat Islam di Indonesia. Namun setelah terjadinya revolusi teknologi informasi, di mana semua faham keagamaan bisa diakses dengan mudah dan bebas oleh masyarakat, maka mulailah ajaran keagamaan yang awalnya tidak dikenal di Indonesia dan berkembang di negara lain, mulai masuk dan diajarkan di Indonesia, termasuk ajaran keagamaan yang radikal yang bisa membimbing pemeluknya melakukan tindakan teror. Karena itu merupakan hal yang sangat penting untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran ulama nusantara. Antara lain dengan mengembalikan pemahaman Islam wasathiyah.

    Yang dimaksud Islam wasathiyah (Islam tengahan, moderat) ialah pemahaman ajaran Islam yang menggunakan kaidah-kaidah sbb; pertama, santun, tidak keras dan tidak radikal (لَيِّنًا لَا فَظًّا وَلَا غَلِيْظًا), kedua, kesukarelaan, tidak memaksa dan tidak mengintimidasi (تَطَوُّعِيًا لَا إِكْرَاهًا وَلَا اِجْبَارًا), ketiga, tolerans, tidak egois dan tidak fanatis (تَسَامُحِيًّا لَا أَنَانِيًّا وَلَا تَعَاصُبِيًّا). Prinsip dalam membangun hubungan antara muslim dan non muslim harus menggunakan kaidah (لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ), artinya : bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Sedangkan prinsip dalam membangun hubungan dengan sesama muslim harus menggunakan kaidah (لَنَا مَذْهَبُنَا وَلَكُمْ مَذْهَبُكُمْ), artinya : bagi kami adalah sesuai madzhab kami, dan bagi kamu adalah sesuai madzhab kamu. Keempat, saling mencintai, tidak saling bermusuhan dan membenci (تَوَدُّدِيًّا لَا تَخَاصُمِيًّا وَلَا تَبَاغُضِيًّا). Dalam hal ini perlu dikembangkan persaudaraan antar sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan antar sesama warga bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah).

    Paradigma yang dikembangkan mengacu pada beberapa qoidah;

    المخافضةعلى القديم الصالح

    Pemeliharaan terhadap nilai-nilai terdahulu yang baik.

    والاخدبالجديدالاصلح

    Mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.

    الإصلاح إلى ما هو الأصلح ثم الأصلح فالأصلح

    Melakukan perbaikan umat pada kondisi yang lebih baik, semakin lebih baik, dan semakin lebih baik lagi”.

    تقديم الاصلح الاصلح

    Memprioritaskan apa yang lebih baik atas apa yang baik.

                                                                                          Bandar Lampung, 29 April 2017

     

  • Hoax dan Perbaikan Mental

    Hoax dan Perbaikan Mental

    Oleh: Arief Rifkiawan Hamzah

    Alumnus Pondok Pesantren Al-Hikmah Benda, Sirampog, Brebes dan Mantan Koordinator Kajian dan Pers BEM-FAI Unissula Semarang

    Berita dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalahcerita, kabar, keterangan, laporan, pemberitahuan atau pengumuman mengenai peristiwa-peristiwa yang masih baru.Berita mengenai apapun yang terjadi di Indonesia, bisa disampaikan melalui dua cara, yaitu secara lisan dan tertulis.

    Meningkatnya kebutuhan berita bangsa Indonesia mengenai perkembangan pendidikan, keagamaan, politik, kebudayaan dan ekonomidi daerah-daerah lainnya, menuntut adanya pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga saat ini bangsa Indonesia bisa membaca berita apapun melalui teknologi terbaru yang berupa internat dan smartphonesecara cepat. Berita yang tertuang di media online iniberupa berita yang disampaikan secara lisan, seperti di video-audio dan tertulis.

    Hidup di zaman yang serba canggih ini, seharusnya bangsa Indonesia bisa memiliki pengetahuan yang lebih baik, karena berita-berita lokal dan mancanegara bisa dibaca setiap hari secara cepat. Namun pada kenyataannya,sebagian bangsa Indonesia telahteracuni oleh berita-berita yang dibacanya. Mereka telah terpengaruh dan berubah menjadi bangsa yang fanatik dan merasa benar sendiri, serta mudah memberi klaim kafir terhadap sesamanya.

    Hal tersebutterjadi karenaalazon-alazon dari kelompok radikalismetelah membuat berita-berita benar menjadi berita hoax, berita toleransi menjadi berita intoleransi, berita damai menjadi berita kekerasan. Tanpa disadari, bangsa Indonesia membaca berita-berita dan opini-opini alazon-alazon tersebut dengan sangat khusyu’.

    Jika hal tersebut terus dilakukan tanpa memperhatikan konten-konten berita yang beredar, maka mental bangsa Indonesia akan semakin terpuruk, yang mengakibatkankeamanan dan keselamatan bangsa Indonesia terancam.Mental yang rusak akan banyak menimbulkan perseteruan antar individu atau kelompok, sentimen antar kelompok lebih tinggi dan perdamaian akan mudah terkikis dari bumi pertiwi ini.

    Aleksiabangsa Indonesia yang cenderung meningkat,membuat dirinya kurang jeli dan bahkan cenderung tidak peduli akan konsumsi beritanya setiap hari.Maka untuk menyembuhkanmental bangsa dari aleksia dan menyembuhkanberita dari penyakit ini, bangsa Indonesia harus melakukan operasi secara besar-besaran terhadap berita-berita yang ada di setiap media. Mengoperasi berita adalah membedah kabar-kabar terbaru maupun yang sudah lama, tujuan dari operasi berita ini sama dengan operasi yang dilakukan dalam bidang kesehatan, yaitu mengobati. Dalam konteks ini, berita-berita yang telah banyak ditulari penyakit hoax, intoleransi, dan kekerasan, diobati kemudian disembuhkanmelalui operasi yang berkala terhadapnya.

    Memperbaiki Mental

    Istilah revolusi mental merupakan kata kunci untuk memperbaiki dan melindungi masa depan bangsa Indonesia dari penyakit-penyakit radikalisme.Merevolusi mental bangsa Indonesia bukanlah perkara yang mudah, program ini harus benar-benar memiliki konsep dan teknis pelaksanaan yang matang.Mentalitas yang sudah teracuni oleh berita-berita negatif, harus segera ditindaklanjuti agar tidak terlarut dalam racun yang ada.

    Operasi berita merupakan agenda penting, karena berita-berita tersebut merupakan konsumsi atau input utama bangsa Indonesia.Hal utama yang harus dilakukan untuk merevolusi mental adalah mengonsumsi berita yang telah dioperasi tersebut. Artinya input yang didapatkan harus baik dan terbebas dari virus-virus hoax maupun radikalisme.

    Jika input yang didapatkan berupa hal baik, maka hal tersebut akan menyatu di dalam diri bangsa Indonesia sebagai kebiasaan sehari-hari. Sehingga hasil dari kebiasaan tersebut bisa terbentuk mentalitas yang baik dan jernih dari virus-virus kebencian maupun kekerasan.

    Mentalitas yang baik, bisa menuntun dirinya ke jalan yang baik, yang dibantu oleh petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Maka bangsa Indonesia tidak boleh bosan untuk terus meminta tuntunan dan petunjuk Tuhan agar memiliki ketajaman berpikir dan ketajaman hati. Sehingga selalu bisa mengoperasi berita-berita yang terkena penyakit dan bisa merevolusi mental diri pribadi ataupun bangsa Indonesia secara umum.

     

  • Riwayat Hidup dan Corak Pemikiran Imam As-Syatibi

    Islam mengalami kemunduran pada abad 6 H/ 13 M sampai 11 H/ 18 M. Meskipun sementara orang menyebut fase ini adalah priode jumud (beku), namun pada kenyataannya dalam fase ini para fuqoha cukup aktif mendalami, mengkaji, menganalisa, mengolah, dan mengkritik pendapat-pendapat fuqoha sebelumnya, walaupun pendapat tersebut dicetuskan oleh imam madzhabnya sendiri, seperti yang dapat terlihat dalam al-Mustasfa dan Ihya ‘Ulumiddin karya Ghazali, dsb. Fuqoha sangat giat meneliti dan mengklasifikasikan permasalahan fiqih, memperdebatkannya dalam forum-forum ilmiah, mengadakan diskusi-diskusi, sehingga jelas mana diantara pendapat yang disepakati, dan yang diperselisihkan, lalu mereka bukukan di dalam kitab-kitab yang bermutu, seperti al-Inshaf karya al-Bathliyusi, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Ruyd, dan salah satunya al-Muwafaqat karya Imam as-Syatibi.[1] Walaupun Imam as-Syatibi muncul dalam masa kemunduran umat Islam secara keseluruhan, namun Imam as-Syatibi dapat melahirkan karya monumentalnya. Akibat dari pengalaman yang mendasar pula, fase tersebut telah dapat memperkaya khazanah ilmu fiqih dengan berbagai macam bentuk kitab fiqih yang dapat dijadikan standar bagi berbagai macam bidang disiplin ilmu dalam fiqih Islam.

    Meskipun Imam as-Syatibi menguasai berbagai disiplin keilmuan, namun ia lebih dikenal sebagai pakar ilmu ushul fiqih yang memiliki analisis dan ketajaman pandangan. Pada masa sebelumnya, ushul fiqh lebih banyak menguraikan aspek bahasa dengan kaidahnya dan sedikit sekali membahas persoalan maqasid al-syari’ah (tujuan pensyariatan). Di tangan Imam as-Syatibi, pembahasan ushul fiqh lebih konprehensif, dan tajam mengeni aspek maqasid al-syariah. Menurut Imam as-Syatibi, secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan dalam bidang hukum, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudkannya tujuan hukum tersebut.[2] Oleh karenanya, Imam as-Syatibi hampir selalu muncul di setiap wacana pembaharuan hukum Islam.

    Sejarah Hidup Imam as-Syatibi

    Imam as-Syatibi memiliki nama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Gharnathi yang lebih dikenal dengan Imam as-Syatibi. Al-Gharnathi adalah penisbatan pada tempat kelahirannya, yakni Granada, Spanyol. Nama Imam as-Syatibi adalah penisbatan pada tempat kelahiran Ayahnya di Sativa, Spanyol Timur. Imam as-Syatibi dilahirkan pada tahun 730 H dalam kondisi keluarga yang sederhana dalam masa transisi Cordova menuju tahap kehancuran.[3] Ia dijuluki sebagai al-Imam allamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), al-muhaqqiq (yang memiliki kemampuan untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberikan solusi), al-hafidz (yang telah menjaga dan menghafal ribuan hadits), al-qudwah (yang pantas diikuti), dan al-mujtahid (yang mampu mendaya gunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum).[4]

    Sejak kecil ia adalah seseorang yang tekun belajar. Ia menekuni berbagai ilmu pengetahuan, baik ulumul wasail wa ulumul maqoshid (metode maupun esensi dan hakikat). Ia mulai menimba ilmu dengan belajar dan mendalami bahasa Arab. Pelajaran bahasa Arab ia terima dari Abu Abdillah Muhammad Ibn Fakhkhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad Ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al-Saqwari. Ulama terakhir ini mengajarkan kepada Imam as-Syatibi kitab Sibawaih dan Alfiah Ibn Malik di Granada.[5]

    Pelajaran tentang hadits ia terima dari Abu al-Qasim Ibn Bina dan Syamsudin al-Tilimsani. Melalui al-Tilimsani, ia mempelajari al-Jami’ al-Sahih al-Bukhari dan al-Muwattha’. Sedangkan ilmu kalam dan falsafah diperolehnya dari Abu Ali Mansur al-Zawawi dan ilmu ushul fiqih diperolehnya dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Miqarri dan dari imam ternama madzhab Maliki di Spanyol, yakni Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al-Tilimsani. Disamping itu, ia mendalami pula bidang filsafat dan kalam yang diperolehnya dari Abu Ali al-Mansur al-Masyzali. Dibidang teologi dan kalam diperolehnya dari Abu al-Abbas al-Qabab dan Abu Abdullah al-Hifar. Selain itu juga, ia pelajar bidang falak, mantiq, debat dan sastra. Pengetahuan sastra diperolehnya dari Abi Bakar al-Qarsyi al-Hasymi. [6]

    Imam as-Syatibi merupakan seorang ulama Malikiyah yang populer dengan rumusan lengkap maqashid al-syari’ah yang tertuang dalam karya monumentalnuya Al-Muwafaqot. Bahkan sejumlah ulama mengukuhkannya dengan sebutan Bapak Maqosid As-Syari’ah. Imam as-Syatibi telah banyak menulis berbagai macam kaya-karya yang berharga baik hanya mencakup teori maupun koreksian terhadap kitab-kitab penting dan bermanfaat. Karya-karya Imam as-Syatibi diantaranya sebagai berikut:

    1. Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah
    2. Al-I’tisham, yaitu kitab yang mengemukakan uraian secara mendalam tentang bid’ah
    3. Al-Ifadat wa al-Irsyadat, yaitu kitab yang berisi tentang catatan Imam as-Syatibi dalam berbagai masalah termasuk yang dihimpun dari guru-guru dan teman-teman dari kalangan ulama Spanyol dan kumpulan syair-syair dengan berbagai kandungan
    4. Syarh Jalil ‘ala al-Khulasah fi al-Nahw
    5. Khiyar al-Majalis
    6. Syarh Rajz Ibn Malik fi al-Nahw
    7. Inwam al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq
    8. Ushul al-Nahw[7]

    Terdapat beberapa kitab yang telah dimusnahkan sendiri oleh Imam as-Syatibi, diantaranya Syarh Jalil ‘ala al-Khulasah fi al-Nahw dan Syarah empat madzhab.

    Imam as-Syatibi hidup di masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum Imam as-Syatibi. Dari aspek politik, perubahan sosial yang terjadi pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa kekacauan pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah Timur Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian Muhammad Khalid Mas’ud, keberhasilan Sultan Muhammad V dalam menciptakan stabilitas politik dapat dipahami dari dua faktor. Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar negerinya, sejumlah kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika Utara, dengan cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik dalam istana, friksi-friksi yang berlomba-lomba mencuri kekuasaan. Kedua, selalu memegang kendali kekuatan militer di internal kerajaan. Stabilitas politik ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam dunia keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan evaluasi dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya karya-karya masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah  mengkaji ilmu politik dan teori hukum, di Persia, al-‘Iji meresistematisir teologi Sunni, dan di Spanyol, Imam as-Syatibi memproduksi sebuah karya bersama dua Imam (al-Qabab dan Ibnu Arafah) dalam ilmu tasawuf serta karya di bidang lainnya.

    Imam as-Syatibi wafat pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790 H/ 1388 M. Maka, dengan bserakhirnya era Imam as-Syatibi tersebut, studi tentang ushul fiqih mengalami kemerosotan yang sangat memprihatinkan pada aspek substansi dan metodologi. Pada waktu yang sangat lama, tradisi ekplorasi pemikiran spekulatif dalam bidang studi hukum Islam tidak muncul.[8]

    Metode Ijtihad Imam as-Syatibi

    Seluruh kaum muslimin, dari madzhab apapun, mengakui bahwa al-Qur’an adalah pokok asasi syari’at Islam dan sumber hukumnya, yang darinya diambil segala pokok syari’at dan cabang-cabangnya. Darinya juga dalil-dalil syar’i bersumber. Imam as-Syatibi mengatakan bahwa al-Qur’an adalah himpunan syari’at tiang agama, sumber hikmah, mu’jizat kerasulan, dan cahaya bagi mata kepala dan mata hati setiap muslim.[9]

    Sebagaimana para ahli hukum yang lain, Imam as-Syatibi mengusulkan kepastian (qat’iy) sebagai dasar epistimologi sumber-sumber hukum. sebaliknya, sumber-sumber tersebut tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan karena apabila sumber-sumber hukum tersebut diwarnai oleh sesuatu yang mengurangi kepastiannya, maka seluruh bangunan hukum yang dibentuknya menjadi dapat dipertanyakan, dan bahkan diragukan.Imam as-Syatibi mengusulkan bahwa semua premis fundamental dalam teori hukum haruslah sesuatu yang jelas kenyataannya. Premis-premis tersebut dapat berupa wahyu, rasional dan konvensional.Imam as-Syatibi memiliki ide yang sama dengan para ahli hukum yang lain. Dasar-dasar epistimologi dari teori dikemukakannya kemudian didasarkan bukan lagi pada hadits mutawatir atau naskh al-Qur’an, melainkan pada penelitian yang komperhensif kepada seluruh dalil, baik dalam bentuk teks ataupun yang lainnya. Sumber hukum yang dijadikan rujukan oleh Imam as-Syatibi ialah al-Qur’an, Sunnah, hingga ijma’, qiyas, dan bukti-bukti kontekstual (qara’in al-ahwal). Ketika sejumlah dalil digabungkan untuk mengklarifikasi sebuah persoalan atau prinsip, pengetahuan akan persoalan atau prinsip tersebut akan menyatu dalam pikiran manusia dan menjadikannya sebuah keyakinan.  Imam as-Syatibi secara jujur mengakui dan hal ini penting bahwa cara mempertahankan dalil tersebut merupakan dasar dari metodenya dalam membangun teori argumentasi yang dikemukakann dalam al-Muwafaqat.[10]

    Sebagai pendahuluan bagi penjelasan tentang doktrin maqoshid-nya, Imam as-Syatibi menyatakan bahwa ajaran ini berdasarkan premis yang umumnya disepakati, yang berasal dari teologis. Premis ini menyatakan bahwa Tuhan melembagakan syari’at (hukum-hukum) demi mashalih (kemanfaatan, kebaikan) manusia, baik yang bersifat segera maupun untuk masa yang akan datang. Doktrin Imam as-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah adalah upaya untuk menegakkan maslahah sebagai unsur pokok tujuan hukum. Tujuan pokok Sang Pembuat Hukum adalah maslahah manusia. Kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi mashalih manusia.[11]

    Secara bahasa, maqashid al-syari’ah berarti maksud dan tujuan disyari’atkannya hukum Islam.[12] Kaidah yang disyari’atkan oleh Allah dengan mensyaratkan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin yakni agama yang memberi rahmat bagi dunia dan akhirat yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan manusia.Imam as-Syatibi membagi maqasid atau mashalih menjadi 3 yakni yang bersifat dharuri (mesti), hajiy (diperlukan), dan tahsini. Tujuan dari masing-masing kategori tersebut adalah untuk memastikan bahwa kemaslahatan kaum muslimin baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang terbaik karena Tuhan membuat syari’ah demi kebaikan hamba-Nya.[13]

    Dharuriyyat (secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak) dikatakan mesti/harus karena mutlak diperlukan dalam memelihara mashalih din (agama dan akhirat) dan dunia, dalam pengertian bahwa jika mashalih tersebut rusak, maka stabilitas mashalih dunia pun rusak. Kerusakan mashalih mengakibatkan terputusnya kehidupan dunia dan di akhirat yang mengakibatkan hilangnya keselamatan dan rahmat. Kategori mashlahah dharury  terdiri dari lima bidang, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[14] Kelima prinsip tersebut telah diterima secara universal sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam as-Syatibi. Contohnya ibadah, bertujuan untuk mempertahankan agama dan hukum sesuai dengan keimanan dan aspek-aspek ritualnya, seperti shalat, puasa, haji, dsb.

    Hajiyyat (secara bahasa kebutuhan) adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang. Hajiyyat dapat dikatakan sebagai kebutuhan skunder yang mana apabila tidak terpenuhi tidak sampai mengancam keselamatan. Adapun mashalih hajiyyat dinamakan demikian karena dibutuhkan untuk memperluas tujuan maqashid dan menghilangkan keketatan makna harfiah yang menerapkannya membawa kepada rintangan dan kesulitan dan akhirnya kerusakan maqashid. Jadi, jika hajiyyat tidak dipertimbangkan bersama dengan dharurat, maka manusia secara keseluruhan akan mendapati kesulitan. Akan tetapi, rusaknya hajiyyat tidaklah merusak mashalih sebagaimana halnya dharury. Contoh dalam mashalih hajiyat seperti dalam keringanan shalat dan puasa dalam keadaan sakit maupun dalam perjalanan.

    Tahsiniyyat (secara bahas berarti hal-hal penyempurna) merujuk pada aspek-aspek hukum seperti anjuran untuk memerdekakan budak, bersedekah kepada orang miskin, dsb. Selain itu, dapat pula berarti mengambil apa yang sesuai dengan kebiasaan (adat) yang paling baik dan menghindari cara-cara yang tidak disukai atau dapat diartikan sebagai tingkat kebutuhan tersier yang apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi dari lima pokok kategori daruriyyat  dan tiadk menimbulkan kesulitan. Mashalih jenis ini meliputi kebiasaan-kebiasaan yang baik (etika, moral). Contoh jenis ini seperti dalam hal ibadah, kesucian (thaharah), atau kesopanan dalam menutup aurat, adab makan dan minum.[15]

    Imam as-Syatibi memandang pembagian mashalih tersebut sebagai struktur yang terdiri dari tiga tingkatan yang saling berkaitan. Ia mengungkapkan bahwa terdapat dua aspek yang saling berhubungan satu sama lain. Pertama, setiap tingkatan secara terpisah menuntut kaitan unsur-unsur tertentu dalam menambah dan melengkapi tingkatan tersebut. Kedua, setiap tingkatan dikaitkan dengan yang lain.

    Imam as-Syatibi kelihatan sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural dan politik dalam menerapkan suatu hukum. Disinilah letak kelebihannya dari para ahli ushul lainnya sehingga ada ungkapan bahwa jika as-Syafi’i telah meletakkan dasar yang kukuh bagi ushul fiqih, maka Imam as-Syatibi adalah pengembangnya.[16]

    Pengaruh Corak Pemikiran Imam as-Syatibi dalam Perkembangan Ilmu Fiqih

    Pada masa Imam as-Syatibi, teori hukum telah mencapai pada tingkat kematangan yang sedemikian tinggi sehingga telah tersusun secara utuh, sementara pada saat yang bersamaan ia mempertahankan fungsi tradisionalnya dalam menggali hukum dan mengatur proses pembentukan secara terus-menerus dan dalam batas-batas tertentu dalam mengfungsikannya. Disamping menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap suatu realitas sosial yang umum, teori Imam as-Syatibi juga memiliki pengaruh yang penting dalam pembentukan hukum modern.[17]Imam as-Syatibi dianggap mewakili semangat kebebasan Islam, yaitu dengan menjadikan teori maqashid as-syar’ah sebagai dasar utama dan teori tersebut dapat dikatakan sebagai aliran pembaharu modern.[18]

    Pada dunia keilmuan, Imam as-Syatibi lebih dikenal sebagai pakar ushul fiqih yang memiliki ketajaman pandangan tersendiri. Ciri khas dari ushul fiqihnya terletak pada ketajaman menganalisis setiap persoalan hukum. Jika ushul fiqih sebelumnya lebih banyak menguraikan aspek bahasa dengan kaidah-kaidahnya dan sedikit sekali membahas maqosid as-syari’ah (tujuan yang hendak dicapai dalam mensyari’atkan hukum), maka Imam as-Syatibi muncul dengan pembahasan yang lebih luas, komperhensif, dan tajam mengenai aspek maqosid as-syari’ah tersebut.[19]

    Pendekatan maqosid as-syari’ah Imam as-Syatibi mengalami kematangan ketika intelektualisme muslim berada dalam kemunduran. Walaupun teori tersebut memiliki potensi besar untuk melakukan sistematisasi aturan-aturan syari’ah, tidak dikembangkan oleh atau diimplementasikan oleh sarjana-sarjana muslim setelahnya, bahkan diabaikan hingga ditemukan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad ibn Asrus lebih dari satu abad kemudian. Melalui Imam as-Syatibi para pemikir muslim modern menemukan momen kontinuitas yang penuh harapan terhadap eksistensi ushul fiqih.[20]

    ‘Ilm al-maqasid merupakan penyempurna dari berbagai model ushul fiqh dan sekaligus menjadi model final  ilmu ushul fiqh.  Ia muncul dari kebutuhan model ushul fiqih klasik yang dilakukan aliran-aliran fiqih yang memfokuskan energinya pada qiyas dalam penerapan-penerapan hukum syari’ah. Hal ini bisa dikatakan bahwa ilmu tersebut adalah model pencerahan yang merupakan bentuk revolusi atas model-model klasik. Model ini mengakibatkan ledakan kuantitas produktivitas fiqih Islam yang selanjutnya berubah menjadi landasan epistimologi kokoh dalam perkembangan, kemajuan, dan interaksi syari’ah dengan realitas-realitas baru.[21]

    Muwafaqat karya Imam as-Syatibi mencerminkan sebuah contoh teori hukum yang dibawa untuk berhadapan dengan sebuah kultur tertentu dan persoalan-persoalan hukum tertentu. Metode induksi logis jelas telah mengalami kemajuan sebelum masa Imam as-Syatibi. Namun teori induksi yang dipakai oleh Imam as-Syatibi, yang menggunakan berbagai sumber syari’ah, dan bergantung pada penyempurnaan tujuan dan semangat hukum tanpa membatasi dirinya terhadap nash-nash tertentu membuatnya menarik perhatian para pemikir modern yang tugas utamanya ialah untuk membebaskan pikiran umat Islam dari pengekangan yang berbentuk pemahaman sesat, atau mungkin membelenggu terhadap nash-nash al-Qur’an.[22]

    Imam as-Syatibi merupakan tokoh yang mampu mengangkat suatu teori yang dahulu tidak menjadi fokus dalam pembahasan fiqih dan ushul fiqih. Ia salah satu dari sekian banyak ulama’ yang teorinya menjadi alasan dalam perkembangan produktivitas fiqih. Revolusi yang diunggah kepermukaan membantu mempermudah dalam menangani persoalan-persoalan yang terjadi di zaman modern. Upayanya dalam mencari ilmu tidak pernah ia batasi pada satu cabang ilmu dengan mengabaikan ilmu yang lain serta tidak memisahkannya sesuai dengan tuntutan masa dan tempat,telah menjadikannya  sebagai ulama’ yang ikut andil dalam pembentukan hukum modern. Sehingga, ia mampu membuat karyanya dapat diakui.

    Penulis Anik Khoiriyah (Alumni Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung)
    Editor  

                    [1] Rachmat Djatnika, dkk, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 1986, hlm. 45

                    [2] Imam Mustofa, Ijtihad Kolektif-Integratif, Ekspos Karya Ilmiah, Metro, 2013, hlm. 31

    [3] Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Purna Siwa Aliyyah, Kediri, 2004, hlm. 424

                    [4]As-Syatibi,Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi, Al-I’tisham, Salahudin Sabki, Azzam, Jakarta, 2006, hlm. xvii

    [5] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqoshid Syari’ah, Rajawali Press, Jakarta, 1996, hlm. 23

    [6]Ibid.

    [7] Asfari Jaya Bakri, Ibid., hlm. 25

                    [8] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 234

                    [9] Ahmad Azhar Basyir, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 127

                    [10]Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theories, Kusnadiningrat, dan Abdul Haris bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 243-245

                    [11] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, Pustaka, Bandung, 1996, hlm. 239-241

                    [12] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 123

                    [13]Hallaq, Wael B, Op.Cit., hlm. 248

                    [14]Ibid., hlm. 245

                    [15]Ibid., hlm. 245-246

                    [16] Abdul Azis Dahlan, dkk, Loc.Cit., hlm. 1700

                    [17] Wael B. Hallaq, Op.Cit, hlm. 239-240

                    [18] Ahmad Al-Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 116

                    [19] Abdul Azis Dahlan, dkk, Loc.Cit., hlm. 1700

                    [20] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 233-234

                    [21] Ahmad Al-Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut, Op.Cit, hlm. 72

    [22] Hallaq, Wael B, Op.Cit, hlm. 306

     

  • Bantuan Hukum Islam dalam Perspektif Maqāșid al-Syariʻah  

    Al-Qurˊan maupun al-hadis yang berkaitan dengan tolong-menolong, mencerminkan salah satu dasar adanya bantuan hukum. Bantuan hukum dalam istilah literatur hukum Islam disebut dengan al-muhāmy  (المُحَامِى)yang berasal dari kata  حَامَى)yang berarti membela, mempertahankan, melindungi).[1] Hal tersebut dikarenakan istilah bantuan hukum yang terkait dengan profesi advokat. Makna al-muhāmy dalam hukum Islam setara dengan pengacara (lawyer).[2] Jika dilihat dari konteks sejarah hukum Islam, istilah al-muhāmy juga dekat dengan peran kalangan penegak hukum pada zaman awal perkembangan hukum Islam, yaitu hakam, muftī, dan juru damai (mushālaih ‘alaih).[3] Selain kata al-muhāmy, bantuan hukum juga dikonotasikan dengan wakālah. Wakālah  (الوَكَالَة)merupakan pemberian kuasa dari seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang diperkenankan oleh syariat.[4] Wakālah secara bahasa bermakna  الَتَفْوِيْض(penyerahan), juga dapat bermakna pemeliharaan seperti dalam surat Ali Imrān ayat 173. (more…)

  • Ulama dan Umara: Juru Kunci Perdamaian Bangsa

    Rusak Budi Bangsa Binasa

    (Negeri yang sejahtera pun akan bisa rusak jika masyarakatnya tidak berbudi pekerti baik)

    (Peribahasa Indonesia, KBBI: 987) (more…)

  • Pilihan Kemanusiaan Kita

    Tahun 2016 sudah berlalu, berbagai peristiwa banyak yang terjadi baik dalam maupun luar negeri, baik itu peristiwa politik tanah air, bencana Aceh, atau mengatasnamakan agama hingga merenggut nyawa manusia seperti di Ronghiya. Sesungguhnya peristiwa itu mengusik sisi kemanusiaan kita, sampai sejauh mana sudah kita sebagai manusia bermanfaat bagi makhluk lain? (more…)