Breaking NewsOpini

Riwayat Hidup dan Corak Pemikiran Imam As-Syatibi

Islam mengalami kemunduran pada abad 6 H/ 13 M sampai 11 H/ 18 M. Meskipun sementara orang menyebut fase ini adalah priode jumud (beku), namun pada kenyataannya dalam fase ini para fuqoha cukup aktif mendalami, mengkaji, menganalisa, mengolah, dan mengkritik pendapat-pendapat fuqoha sebelumnya, walaupun pendapat tersebut dicetuskan oleh imam madzhabnya sendiri, seperti yang dapat terlihat dalam al-Mustasfa dan Ihya ‘Ulumiddin karya Ghazali, dsb. Fuqoha sangat giat meneliti dan mengklasifikasikan permasalahan fiqih, memperdebatkannya dalam forum-forum ilmiah, mengadakan diskusi-diskusi, sehingga jelas mana diantara pendapat yang disepakati, dan yang diperselisihkan, lalu mereka bukukan di dalam kitab-kitab yang bermutu, seperti al-Inshaf karya al-Bathliyusi, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Ruyd, dan salah satunya al-Muwafaqat karya Imam as-Syatibi.[1] Walaupun Imam as-Syatibi muncul dalam masa kemunduran umat Islam secara keseluruhan, namun Imam as-Syatibi dapat melahirkan karya monumentalnya. Akibat dari pengalaman yang mendasar pula, fase tersebut telah dapat memperkaya khazanah ilmu fiqih dengan berbagai macam bentuk kitab fiqih yang dapat dijadikan standar bagi berbagai macam bidang disiplin ilmu dalam fiqih Islam.

Meskipun Imam as-Syatibi menguasai berbagai disiplin keilmuan, namun ia lebih dikenal sebagai pakar ilmu ushul fiqih yang memiliki analisis dan ketajaman pandangan. Pada masa sebelumnya, ushul fiqh lebih banyak menguraikan aspek bahasa dengan kaidahnya dan sedikit sekali membahas persoalan maqasid al-syari’ah (tujuan pensyariatan). Di tangan Imam as-Syatibi, pembahasan ushul fiqh lebih konprehensif, dan tajam mengeni aspek maqasid al-syariah. Menurut Imam as-Syatibi, secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan dalam bidang hukum, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudkannya tujuan hukum tersebut.[2] Oleh karenanya, Imam as-Syatibi hampir selalu muncul di setiap wacana pembaharuan hukum Islam.

Sejarah Hidup Imam as-Syatibi

Imam as-Syatibi memiliki nama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Gharnathi yang lebih dikenal dengan Imam as-Syatibi. Al-Gharnathi adalah penisbatan pada tempat kelahirannya, yakni Granada, Spanyol. Nama Imam as-Syatibi adalah penisbatan pada tempat kelahiran Ayahnya di Sativa, Spanyol Timur. Imam as-Syatibi dilahirkan pada tahun 730 H dalam kondisi keluarga yang sederhana dalam masa transisi Cordova menuju tahap kehancuran.[3] Ia dijuluki sebagai al-Imam allamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), al-muhaqqiq (yang memiliki kemampuan untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberikan solusi), al-hafidz (yang telah menjaga dan menghafal ribuan hadits), al-qudwah (yang pantas diikuti), dan al-mujtahid (yang mampu mendaya gunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum).[4]

Sejak kecil ia adalah seseorang yang tekun belajar. Ia menekuni berbagai ilmu pengetahuan, baik ulumul wasail wa ulumul maqoshid (metode maupun esensi dan hakikat). Ia mulai menimba ilmu dengan belajar dan mendalami bahasa Arab. Pelajaran bahasa Arab ia terima dari Abu Abdillah Muhammad Ibn Fakhkhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad Ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al-Saqwari. Ulama terakhir ini mengajarkan kepada Imam as-Syatibi kitab Sibawaih dan Alfiah Ibn Malik di Granada.[5]

Pelajaran tentang hadits ia terima dari Abu al-Qasim Ibn Bina dan Syamsudin al-Tilimsani. Melalui al-Tilimsani, ia mempelajari al-Jami’ al-Sahih al-Bukhari dan al-Muwattha’. Sedangkan ilmu kalam dan falsafah diperolehnya dari Abu Ali Mansur al-Zawawi dan ilmu ushul fiqih diperolehnya dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Miqarri dan dari imam ternama madzhab Maliki di Spanyol, yakni Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al-Tilimsani. Disamping itu, ia mendalami pula bidang filsafat dan kalam yang diperolehnya dari Abu Ali al-Mansur al-Masyzali. Dibidang teologi dan kalam diperolehnya dari Abu al-Abbas al-Qabab dan Abu Abdullah al-Hifar. Selain itu juga, ia pelajar bidang falak, mantiq, debat dan sastra. Pengetahuan sastra diperolehnya dari Abi Bakar al-Qarsyi al-Hasymi. [6]

Imam as-Syatibi merupakan seorang ulama Malikiyah yang populer dengan rumusan lengkap maqashid al-syari’ah yang tertuang dalam karya monumentalnuya Al-Muwafaqot. Bahkan sejumlah ulama mengukuhkannya dengan sebutan Bapak Maqosid As-Syari’ah. Imam as-Syatibi telah banyak menulis berbagai macam kaya-karya yang berharga baik hanya mencakup teori maupun koreksian terhadap kitab-kitab penting dan bermanfaat. Karya-karya Imam as-Syatibi diantaranya sebagai berikut:

  1. Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah
  2. Al-I’tisham, yaitu kitab yang mengemukakan uraian secara mendalam tentang bid’ah
  3. Al-Ifadat wa al-Irsyadat, yaitu kitab yang berisi tentang catatan Imam as-Syatibi dalam berbagai masalah termasuk yang dihimpun dari guru-guru dan teman-teman dari kalangan ulama Spanyol dan kumpulan syair-syair dengan berbagai kandungan
  4. Syarh Jalil ‘ala al-Khulasah fi al-Nahw
  5. Khiyar al-Majalis
  6. Syarh Rajz Ibn Malik fi al-Nahw
  7. Inwam al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq
  8. Ushul al-Nahw[7]

Terdapat beberapa kitab yang telah dimusnahkan sendiri oleh Imam as-Syatibi, diantaranya Syarh Jalil ‘ala al-Khulasah fi al-Nahw dan Syarah empat madzhab.

Imam as-Syatibi hidup di masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum Imam as-Syatibi. Dari aspek politik, perubahan sosial yang terjadi pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa kekacauan pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah Timur Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian Muhammad Khalid Mas’ud, keberhasilan Sultan Muhammad V dalam menciptakan stabilitas politik dapat dipahami dari dua faktor. Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar negerinya, sejumlah kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika Utara, dengan cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik dalam istana, friksi-friksi yang berlomba-lomba mencuri kekuasaan. Kedua, selalu memegang kendali kekuatan militer di internal kerajaan. Stabilitas politik ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam dunia keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan evaluasi dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya karya-karya masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah  mengkaji ilmu politik dan teori hukum, di Persia, al-‘Iji meresistematisir teologi Sunni, dan di Spanyol, Imam as-Syatibi memproduksi sebuah karya bersama dua Imam (al-Qabab dan Ibnu Arafah) dalam ilmu tasawuf serta karya di bidang lainnya.

Imam as-Syatibi wafat pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790 H/ 1388 M. Maka, dengan bserakhirnya era Imam as-Syatibi tersebut, studi tentang ushul fiqih mengalami kemerosotan yang sangat memprihatinkan pada aspek substansi dan metodologi. Pada waktu yang sangat lama, tradisi ekplorasi pemikiran spekulatif dalam bidang studi hukum Islam tidak muncul.[8]

Metode Ijtihad Imam as-Syatibi

Seluruh kaum muslimin, dari madzhab apapun, mengakui bahwa al-Qur’an adalah pokok asasi syari’at Islam dan sumber hukumnya, yang darinya diambil segala pokok syari’at dan cabang-cabangnya. Darinya juga dalil-dalil syar’i bersumber. Imam as-Syatibi mengatakan bahwa al-Qur’an adalah himpunan syari’at tiang agama, sumber hikmah, mu’jizat kerasulan, dan cahaya bagi mata kepala dan mata hati setiap muslim.[9]

Sebagaimana para ahli hukum yang lain, Imam as-Syatibi mengusulkan kepastian (qat’iy) sebagai dasar epistimologi sumber-sumber hukum. sebaliknya, sumber-sumber tersebut tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan karena apabila sumber-sumber hukum tersebut diwarnai oleh sesuatu yang mengurangi kepastiannya, maka seluruh bangunan hukum yang dibentuknya menjadi dapat dipertanyakan, dan bahkan diragukan.Imam as-Syatibi mengusulkan bahwa semua premis fundamental dalam teori hukum haruslah sesuatu yang jelas kenyataannya. Premis-premis tersebut dapat berupa wahyu, rasional dan konvensional.Imam as-Syatibi memiliki ide yang sama dengan para ahli hukum yang lain. Dasar-dasar epistimologi dari teori dikemukakannya kemudian didasarkan bukan lagi pada hadits mutawatir atau naskh al-Qur’an, melainkan pada penelitian yang komperhensif kepada seluruh dalil, baik dalam bentuk teks ataupun yang lainnya. Sumber hukum yang dijadikan rujukan oleh Imam as-Syatibi ialah al-Qur’an, Sunnah, hingga ijma’, qiyas, dan bukti-bukti kontekstual (qara’in al-ahwal). Ketika sejumlah dalil digabungkan untuk mengklarifikasi sebuah persoalan atau prinsip, pengetahuan akan persoalan atau prinsip tersebut akan menyatu dalam pikiran manusia dan menjadikannya sebuah keyakinan.  Imam as-Syatibi secara jujur mengakui dan hal ini penting bahwa cara mempertahankan dalil tersebut merupakan dasar dari metodenya dalam membangun teori argumentasi yang dikemukakann dalam al-Muwafaqat.[10]

Sebagai pendahuluan bagi penjelasan tentang doktrin maqoshid-nya, Imam as-Syatibi menyatakan bahwa ajaran ini berdasarkan premis yang umumnya disepakati, yang berasal dari teologis. Premis ini menyatakan bahwa Tuhan melembagakan syari’at (hukum-hukum) demi mashalih (kemanfaatan, kebaikan) manusia, baik yang bersifat segera maupun untuk masa yang akan datang. Doktrin Imam as-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah adalah upaya untuk menegakkan maslahah sebagai unsur pokok tujuan hukum. Tujuan pokok Sang Pembuat Hukum adalah maslahah manusia. Kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi mashalih manusia.[11]

Secara bahasa, maqashid al-syari’ah berarti maksud dan tujuan disyari’atkannya hukum Islam.[12] Kaidah yang disyari’atkan oleh Allah dengan mensyaratkan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin yakni agama yang memberi rahmat bagi dunia dan akhirat yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan manusia.Imam as-Syatibi membagi maqasid atau mashalih menjadi 3 yakni yang bersifat dharuri (mesti), hajiy (diperlukan), dan tahsini. Tujuan dari masing-masing kategori tersebut adalah untuk memastikan bahwa kemaslahatan kaum muslimin baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang terbaik karena Tuhan membuat syari’ah demi kebaikan hamba-Nya.[13]

Dharuriyyat (secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak) dikatakan mesti/harus karena mutlak diperlukan dalam memelihara mashalih din (agama dan akhirat) dan dunia, dalam pengertian bahwa jika mashalih tersebut rusak, maka stabilitas mashalih dunia pun rusak. Kerusakan mashalih mengakibatkan terputusnya kehidupan dunia dan di akhirat yang mengakibatkan hilangnya keselamatan dan rahmat. Kategori mashlahah dharury  terdiri dari lima bidang, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[14] Kelima prinsip tersebut telah diterima secara universal sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam as-Syatibi. Contohnya ibadah, bertujuan untuk mempertahankan agama dan hukum sesuai dengan keimanan dan aspek-aspek ritualnya, seperti shalat, puasa, haji, dsb.

Hajiyyat (secara bahasa kebutuhan) adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang. Hajiyyat dapat dikatakan sebagai kebutuhan skunder yang mana apabila tidak terpenuhi tidak sampai mengancam keselamatan. Adapun mashalih hajiyyat dinamakan demikian karena dibutuhkan untuk memperluas tujuan maqashid dan menghilangkan keketatan makna harfiah yang menerapkannya membawa kepada rintangan dan kesulitan dan akhirnya kerusakan maqashid. Jadi, jika hajiyyat tidak dipertimbangkan bersama dengan dharurat, maka manusia secara keseluruhan akan mendapati kesulitan. Akan tetapi, rusaknya hajiyyat tidaklah merusak mashalih sebagaimana halnya dharury. Contoh dalam mashalih hajiyat seperti dalam keringanan shalat dan puasa dalam keadaan sakit maupun dalam perjalanan.

Tahsiniyyat (secara bahas berarti hal-hal penyempurna) merujuk pada aspek-aspek hukum seperti anjuran untuk memerdekakan budak, bersedekah kepada orang miskin, dsb. Selain itu, dapat pula berarti mengambil apa yang sesuai dengan kebiasaan (adat) yang paling baik dan menghindari cara-cara yang tidak disukai atau dapat diartikan sebagai tingkat kebutuhan tersier yang apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi dari lima pokok kategori daruriyyat  dan tiadk menimbulkan kesulitan. Mashalih jenis ini meliputi kebiasaan-kebiasaan yang baik (etika, moral). Contoh jenis ini seperti dalam hal ibadah, kesucian (thaharah), atau kesopanan dalam menutup aurat, adab makan dan minum.[15]

Imam as-Syatibi memandang pembagian mashalih tersebut sebagai struktur yang terdiri dari tiga tingkatan yang saling berkaitan. Ia mengungkapkan bahwa terdapat dua aspek yang saling berhubungan satu sama lain. Pertama, setiap tingkatan secara terpisah menuntut kaitan unsur-unsur tertentu dalam menambah dan melengkapi tingkatan tersebut. Kedua, setiap tingkatan dikaitkan dengan yang lain.

Imam as-Syatibi kelihatan sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural dan politik dalam menerapkan suatu hukum. Disinilah letak kelebihannya dari para ahli ushul lainnya sehingga ada ungkapan bahwa jika as-Syafi’i telah meletakkan dasar yang kukuh bagi ushul fiqih, maka Imam as-Syatibi adalah pengembangnya.[16]

Pengaruh Corak Pemikiran Imam as-Syatibi dalam Perkembangan Ilmu Fiqih

Pada masa Imam as-Syatibi, teori hukum telah mencapai pada tingkat kematangan yang sedemikian tinggi sehingga telah tersusun secara utuh, sementara pada saat yang bersamaan ia mempertahankan fungsi tradisionalnya dalam menggali hukum dan mengatur proses pembentukan secara terus-menerus dan dalam batas-batas tertentu dalam mengfungsikannya. Disamping menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap suatu realitas sosial yang umum, teori Imam as-Syatibi juga memiliki pengaruh yang penting dalam pembentukan hukum modern.[17]Imam as-Syatibi dianggap mewakili semangat kebebasan Islam, yaitu dengan menjadikan teori maqashid as-syar’ah sebagai dasar utama dan teori tersebut dapat dikatakan sebagai aliran pembaharu modern.[18]

Pada dunia keilmuan, Imam as-Syatibi lebih dikenal sebagai pakar ushul fiqih yang memiliki ketajaman pandangan tersendiri. Ciri khas dari ushul fiqihnya terletak pada ketajaman menganalisis setiap persoalan hukum. Jika ushul fiqih sebelumnya lebih banyak menguraikan aspek bahasa dengan kaidah-kaidahnya dan sedikit sekali membahas maqosid as-syari’ah (tujuan yang hendak dicapai dalam mensyari’atkan hukum), maka Imam as-Syatibi muncul dengan pembahasan yang lebih luas, komperhensif, dan tajam mengenai aspek maqosid as-syari’ah tersebut.[19]

Pendekatan maqosid as-syari’ah Imam as-Syatibi mengalami kematangan ketika intelektualisme muslim berada dalam kemunduran. Walaupun teori tersebut memiliki potensi besar untuk melakukan sistematisasi aturan-aturan syari’ah, tidak dikembangkan oleh atau diimplementasikan oleh sarjana-sarjana muslim setelahnya, bahkan diabaikan hingga ditemukan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad ibn Asrus lebih dari satu abad kemudian. Melalui Imam as-Syatibi para pemikir muslim modern menemukan momen kontinuitas yang penuh harapan terhadap eksistensi ushul fiqih.[20]

‘Ilm al-maqasid merupakan penyempurna dari berbagai model ushul fiqh dan sekaligus menjadi model final  ilmu ushul fiqh.  Ia muncul dari kebutuhan model ushul fiqih klasik yang dilakukan aliran-aliran fiqih yang memfokuskan energinya pada qiyas dalam penerapan-penerapan hukum syari’ah. Hal ini bisa dikatakan bahwa ilmu tersebut adalah model pencerahan yang merupakan bentuk revolusi atas model-model klasik. Model ini mengakibatkan ledakan kuantitas produktivitas fiqih Islam yang selanjutnya berubah menjadi landasan epistimologi kokoh dalam perkembangan, kemajuan, dan interaksi syari’ah dengan realitas-realitas baru.[21]

Muwafaqat karya Imam as-Syatibi mencerminkan sebuah contoh teori hukum yang dibawa untuk berhadapan dengan sebuah kultur tertentu dan persoalan-persoalan hukum tertentu. Metode induksi logis jelas telah mengalami kemajuan sebelum masa Imam as-Syatibi. Namun teori induksi yang dipakai oleh Imam as-Syatibi, yang menggunakan berbagai sumber syari’ah, dan bergantung pada penyempurnaan tujuan dan semangat hukum tanpa membatasi dirinya terhadap nash-nash tertentu membuatnya menarik perhatian para pemikir modern yang tugas utamanya ialah untuk membebaskan pikiran umat Islam dari pengekangan yang berbentuk pemahaman sesat, atau mungkin membelenggu terhadap nash-nash al-Qur’an.[22]

Imam as-Syatibi merupakan tokoh yang mampu mengangkat suatu teori yang dahulu tidak menjadi fokus dalam pembahasan fiqih dan ushul fiqih. Ia salah satu dari sekian banyak ulama’ yang teorinya menjadi alasan dalam perkembangan produktivitas fiqih. Revolusi yang diunggah kepermukaan membantu mempermudah dalam menangani persoalan-persoalan yang terjadi di zaman modern. Upayanya dalam mencari ilmu tidak pernah ia batasi pada satu cabang ilmu dengan mengabaikan ilmu yang lain serta tidak memisahkannya sesuai dengan tuntutan masa dan tempat,telah menjadikannya  sebagai ulama’ yang ikut andil dalam pembentukan hukum modern. Sehingga, ia mampu membuat karyanya dapat diakui.

Penulis Anik Khoiriyah (Alumni Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung)
Editor  

                [1] Rachmat Djatnika, dkk, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 1986, hlm. 45

                [2] Imam Mustofa, Ijtihad Kolektif-Integratif, Ekspos Karya Ilmiah, Metro, 2013, hlm. 31

[3] Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Purna Siwa Aliyyah, Kediri, 2004, hlm. 424

                [4]As-Syatibi,Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi, Al-I’tisham, Salahudin Sabki, Azzam, Jakarta, 2006, hlm. xvii

[5] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqoshid Syari’ah, Rajawali Press, Jakarta, 1996, hlm. 23

[6]Ibid.

[7] Asfari Jaya Bakri, Ibid., hlm. 25

                [8] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 234

                [9] Ahmad Azhar Basyir, dkk, Ijtihad dalam Sorotan, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 127

                [10]Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theories, Kusnadiningrat, dan Abdul Haris bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 243-245

                [11] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, Pustaka, Bandung, 1996, hlm. 239-241

                [12] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 123

                [13]Hallaq, Wael B, Op.Cit., hlm. 248

                [14]Ibid., hlm. 245

                [15]Ibid., hlm. 245-246

                [16] Abdul Azis Dahlan, dkk, Loc.Cit., hlm. 1700

                [17] Wael B. Hallaq, Op.Cit, hlm. 239-240

                [18] Ahmad Al-Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial, Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 116

                [19] Abdul Azis Dahlan, dkk, Loc.Cit., hlm. 1700

                [20] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 233-234

                [21] Ahmad Al-Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut, Op.Cit, hlm. 72

[22] Hallaq, Wael B, Op.Cit, hlm. 306

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button