Breaking NewsOpini

Perkembangan dan Peranan Politik Hukum Islam di Indonesia

Indonesia adalah religious nation state atau negara kebangsaan yang beragama jika ditinjau secara yuridis-konstitusional. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum Islam di Indonesia adalah the living law (hukum yang hidup) hal ini ditandai dengan banyaknya pertanyaan dan permasalahan mengenai hukum dalam masyarakat yang diajukan kepada para ulama, media massa, dan organisasi sosial keagamaan Islam (Said Agil Munawar, 2004: 29).

Untuk mewujudkan anggapan tersebut, maka dibutuhkan aktualisasi hukum Islam itu sendiri, agar tetap urgen menjadi bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Aktualisasi hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk yakni pertama, upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang berlaku khusus bagi umat Islam. Kedua, upaya menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional (Warnoto, 2008: 23).

Prosedur legislasi hukum Islam harus mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan politik hukum Islam yang merupakan produk interaksi kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar. Inilah latar belakang yang menjembatani munculnya politik hukum Islam di Indonesia.

Adapun politik hukum Islam adalah istilah yang dalam kajian fiqih lazim disebut siya>sah syar’iyyah, berasal dari dua suku kata bahasa Arab yaitu siya>sah artinya politik dan syar’iyyah artinya hukum. Kata siya>sah yang berasal dari kata sasa berarti mengatur, mengurus, dan memerintah atau pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan (Ibnu Manzur, 1968: 108). Maka secara terminologis, politik hukum Islam adalah arah hukum Islam yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama.

Dengan demikian, hukum Islam dan politik adalah dua sisi mata uang (two faces or a coin) dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam untuk diterapkan (Abdul Halim, 2000: 12-14).

Pasang surut pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dapat menjelaskan perkembangan politik hukum Islam di Indonesia berdasarkan visi masing-masing politik penguasa juga berakar pada kekuatan sosial budaya yang pada akhirnya merumuskan teori-teori pemberlakuan hukum Islam yaitu:

Zaman pemerintahan kolonial Belanda (VOC) tahun 1602-1880. Hukum Islam terutama hukum perdata Islam (Civiele Wetten der Mohammeddaansche) telah mendapatkan legalitas pemberlakuannya secara positif melalui Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760 (Supomo, 1955: 8). Saat itu kumpulan hukumnya hanya berisi hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang disebut Compendium Freijer  (Arso Sastroatmodjo, 1975: 11-12), dipergunakan di pengadilan VOC khusus untuk orang Indonesia, yang tersebar di Cirebon, Semarang, dan Makasar (Sajuti Thalib, 1985: 6). Sedangkan pemberlakuan hukum Islam dilaksanakan berdasarkan dua kebijaksanaan (teori) yang saling berlawanan yaitu:

Teori Receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam. Alasannya, karena dia telah memeluk agama Islam, sehingga berhak menjalankan agamanya, walaupun diketahui dalam praktiknya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan ajarannya (Ictijanto, 1990: 27). Teori ini dipelopori oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christiaan Van den Berg (1845-1927) yang merupakan kesimpulan dari penelitiannya mengenai hukum Islam di Indonesia. Misi teori ini dilegislasikan dalam Reglement op het beleid der Regering van Indie-Nederlandsch (RR) yang dimuat dalam Stbl. Belanda 1854: 129 atau Stbl. Hindia Belanda 1855 Nomor 2 (Sajuti Thalib, 1985: 4-6).

Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya hanya berlaku hukum adat; hukum Islam hanya bisa berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat (Ictijanto, 1990: 32). Teori ini merupakan antitesis dari teori yang diutarakan Van den Berg dan dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) yang dikembangkan oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan Bertrand Ter Haar Bzn. Van Vollenhoven memperjuangkan misi teorinya agar memperoleh legitimasi yuridis dengan cara melakukan perubahan Pasal 25 dan 109 RR Stbl. 1855 No. 2, sehingga teori ini berhasil dikukuhkan dengan Pasal 134 ayat (2) IS (Indische Staatsregeeling) tahun 1929.

Nampaklah, bahwa di satu sisi politik hukum Islam pra Indonesia merdeka berada dalam posisi yang tidak pasti atau peripheral, karena terdorong kepentingan-kepentingan kolonialisme dan negara jajahan belum menemukan sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada di masyarakat. Namun, di sisi yang lain di Indonesia, pendalaman arti, fungsi, dan cita-cita hukum Islam mengalami proses yang sesuai dengan ajaran Islam. Pada zaman penjajahan Belanda, hukum Islam telah mendapat kedudukan terhormat di dalam peradilan. Para ulama sebagai priesterrad (musyawarah para ulama) merupakan satu kelompok dalam peradilan yang dimintai pertimbangan hukum Islam. Ini menandakan bahwa hukum Islam telah berperan dalam arti yang baik, mendamaikan, konstruktif, dan memenuhi keperluan para pencari keadilan dalam hukum privat, telah berlaku di Jawa sejak 100 tahun lebih (A. Timur Djaelani, 1996: 142).

Zaman pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, peran politik hukum Islam “dimanfaatkan” oleh pemerintah untuk mengambil hati penduduk muslim Indonesia. Dibentuklah semacam bagian urusan agama (shuumubu) sebagai pengganti urusan agama di Departemen Pengajaran dan Urusan Agama (Departement van Onderwijs en Eredienst), cabangnya seperti di Yogyakarta (Koci Zimu Kyoku) dan di provinsi lainnya. Dalam kemiliteran terbentuk barisan Hizbullah (tentara Allah) yang terdiri dari pemuda muslim. Para ulama dan pimpinan Islam dilibatkan sebagai daidancho (komandan batalyon) dan chuudancho (perwira menengah) di Peta (tentara Pembela Tanah Air).

Menjelang kemerdekaan Indonesia, lahirlah “Piagam Jakarta” sebagai cetusan cita-cita mendasarkan negara Indonesia pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun, hal tersebut direspon sebagai bentuk diskriminatif dan merugikan persatuan bangsa, maka dikenallah rumusan sila pertama yang diajukan oleh Ki Bagus Hadikusumo, yang menjabat Ketua Pusat Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah dengan bunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian Bung Hatta mencoret kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan demikian maka lahirlah Pancasila yang dapat menjadi dasar negara dan menjadi sumber undang-undang dasar dan produk-produk hukum lain di Indonesia, dan UUD 1945 yang dengan tegas mengakui keberadaan hukum Islam, melahirkan counter theory atas teori-teori kolonial yaitu sebagai berikut:

Teori receptie exit dikemukakan oleh Hazairin dalam bukunya Tujuh Serangkai tentang Hukum. Ia menyatakan bahwa teori receptie harus exit (keluar) dari teori hukum nasional Indonesia, karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul (Hazairin, 1974: 116).

Sayuti Thalib mengembangkan teori receptio a contrario, isinya menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya, hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama (Sajuti Thalib, 1985: 58-63).

Ichtijanto dalam bukunya Hukum Islam dan Hukum Nasional mempertegas dan mengeksplisitkan teori sebelumnya dengan teori yang dinamakan eksistensi, yakni mengokohkan keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional, ia merumuskan bahwa hukum Islam adalah Ada (exist) dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional; Ada (exist) dalam arti dengan kemandiriannya dan kekuatan wibawanya, ia diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional; Ada (exist) dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional; Ada (exist) dalam arti sebagai bahan utama dan sumber utama hukum nasional (Ictijanto, 1990: 86-87).

Pada masa Alamsyah Ratu Perwiranegara menjabat Menteri Agama, lahirlah apa yang dinamakan “Tiga Kerukunan Antar Umat Beragama”, yaitu (1) kerukunan di kalangan pemeluk satu agama, (2) kerukunan di antara pemeluk agama-agama yang berlainan, dan (3) kerukunan di antara pemeluk semua agama dan pemerintah. Tiga kerukunan antar umat beragama ini adalah inti kerukunan nasional dan persatuan bangsa Indonesia yang aktif dan kreatif bersifat dinamis dan berdasarkan Pancasila.( Ictijanto, 1990: 143).

Masa Orde Baru, politik lebih mengakui dan membenarkan eksistensi hukum Islam atas hukum adat dan menjadi bagian integral dari hukum nasional. Kemudian politik lebih menguntungkan pengembangan hukum Islam baik secara struktural maupun kultural, dan legal formal maupun informal daripada sebelumnya. Hal ini nampak ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan secara konstitusional juridis dan melalui pembagian wilayah peradilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kemudian lahirlah peraturan perundangan yang materi hukumnya sebagian besar dari kitab fiqih dan telah disahkan antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Namun, kemajuan eksistensial hukum Islam dalam kerangka ius constitutum barulah dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. KHI disusun bertujuan memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam memutus  perkara dalam lingkup Peradilan Agama yaitu peradilan khusus untuk orang Islam (Mahsun Fuad, 2005: 57), hanya saja belum sepenuhnya mendapatkan political will dari aparat negara, masih dipersimpangan jalan dan wilayah hukumnya hanya sebatas hukum kewarisan, perkawinan, perwakafan, wasiat, hibah, dan s}adaqah, tidak seberapa dengan kapabilitas hukum Islam yang sesungguhnya (das sollen) (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 87).

Era reformasi, kompetensi peradilan agama semakin meluas dan menyebabkan semakin banyak lahirnya peraturan perundang-undangan yang mendukung dan menguatkan hukum Islam yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZTS); Undang-Undang Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam diikuti dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di Nangroe Aceh Darussalam; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agarna; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara; dan Undang-Undang  Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.

Dalam konteks politik hukum Islam di Indonesia, maka negara memiliki kewajiban konstitusional untuk mengakomodasi dan menjadikan hukum Islam sebagai referensi hukum nasional. Dengan demikian, maka semua produk perundang-undangan yang dilahirkan oleh negara harus sejalan dengan substansi nilai-nilai universal Islam dan nilai-nilai hukum Islam atau sekurang-kurangnya peraturan perundang-undangan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam yang diyakini mayoritas masyarakat dan bangsa Indonesia (Abdul Halim, 2000: 268).

Pada zaman kemajuan iptek, komunikasi, informasi, dan globalisasi saat ini, kalangan cendekiawan muslim menyadari bahwa Islam mencakup tiga kawasan akademik yakni humaniora (ilmu kemanusiaan), ilmu kemasyarakatan (social sciences), dan ilmu alam (natural sciences). Adapun aspek politik hukum Islam mencakup segi nilai dan tujuan hukum sesuai dengan kriteria dan pedoman Allah Yang Maha Sempurna. Sehubungan dengan itu, maka perundangan tentang Peradilan Agama dan Perundangan tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan mendidik manusia berkualitas, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa.

Keadilan, keagungan, dan keharmonisan hukum Islam merupakan peran politik yang meninggikan dan memuliakan martabat bangsa dan segenap masyarakat, juga meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga, peranan politik hukum Islam dalam mendamaikan kehidupan sosial-politik serta secara kreatif melestarikan lingkungan hidup di Indonesia. Meskipun hanya menggunakan istilah Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan (tanpa kata Islam), aspek politik hukum Islam memungkinkan terbentuknya ketunggalan keadaan kehidupan yang bhineka. Falsafah tauhid yang dirumuskan sebagai “Ketuhanan Yang Maha Esa” ternyata mampu mencakup segala masalah hukum di bidang humaniora, kemasyarakatan, dan kealaman (anthropological, social, dan natural laws problems) (Abdul Halim, 2000: 144).

Kemudian, untuk mencapai tujuannya maka politik hukum Islam di Indonesia harus memenuhi kriteria-kriteria yaitu pertama, sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam; kedua, meletakkan persamaan (al-musa>wah) kedudukan manusia di depan hukum dan pemerintahan; ketiga, tidak memberatkan masyarakat yang akan melaksanakannya (‘adam al-hara>j); keempat, menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat (tahqiq al-‘ada>lah); dan kelima, menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudaratan (jalb al-masa>lih wa daf’u al-mafa>sid).

 

Penulis Indah Dian Sari

Alumni Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung

Editor

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button