Mathla’ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah Perspektif Mazhab Maliki
Penentuan awal bulan Hijriyah sering menimbulkan polemik dikarenakan setiap golongan mempunyai keyakinan dan pemahaman tersendiri dalam menentukan awal bulan Hijriyah khususnya bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah yang ada hubungannya dengan kegiatan ibadah. Adanya perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriyah selain disebabkan adanya perbedaan metode dan sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan batas geografis keberlakuan rukyat atau disebut Approach/mathla’. Adanya perbedaan Approach/mathla’ ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada Approach Global dan Approach Parsial. Persoalan Approach/mathla’ juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Mazhab menurut bahasa berasal dari kata dzahaba yang berarti pergi atau dapat juga berarti pendapat. Adapun menurut istilah mazhab artinya adalah metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa. Mazhab juga merupakan sistem pemikiran atau pendekatan intelektual. Secara khusus, istilah ini digunakan untuk sesuatu yang berkaitan dengan aliran-aliran dalam fiqh. Selain itu, mazhab juga diartikan sebagai jalan dan keyakinan yang diikuti. Para pakar syari’at mendefinisikan mazhab sebagai sekumpulan pemikiran mujtahid di bidang hukum-hukum syari’at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci (tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan sebagai satu kesatuan. Dalam arti lain bahwa yang dimaksud dengan mazhab adalah ushul dan fiqhnya seorang mujtahid.
Mazhab Maliki ialah sekumpulan pemikiran Imam Malik di bidang hukum-hukum syari’at. Dalam arti lain bahwa yang dimaksud dengan mazhab Maliki adalah ushul dan fiqhnya Imam Malik. Imam Malik dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M). Imam Malik sepanjang umurnya hidup di Madinah hingga ia wafat dalam usian 86 tahun. Berdasarkan pendapat yang masyhur ia wafat di Madinah, yaitu pada tanggal 14 bulan Rabi’ul Awwal tahun 179 H. dan di makamkan di tanah perkuburan Al-Baqi’. Imam Malik sama sekali tidak pernah meninggalkan Madinah selain untuk menunaikan ibadah haji atau umrah. Imam Malik dianggap sebagai seorang pemimpin (imam) dalam ilmu hadits. Sandaran-sandaran (sanad) yang dibawa olehnya termasuk salah satu dari sanad yang terbaik dan benar. Karena beliau sangat berhati-hati dalam mengambil hadits-hadits Rasulullah saw. Ia adalah orang yang dipercaya adil dan kuat ingatannya, cermat serta halus dalam memilih pembawa hadits (rawi) singkatnya Imam Malik tidak diragukan lagi dalam hal ini.
Mengenai pemikirannya Imam Malik mendasarkan mazhabnya pada Al-Qur’an, Hadits Rasul yang dianggap sahih,’Amal Ahlul Madinah, Al-Qiyas dan maslahah al-mursalah. Dalam menghadapi kasus-kasus yang tidak terdapat hukumnya didalam nash, ia dipengaruhi oleh pemikiran gurunya Imam Ja’far ash-Shadiq yaitu bersandar pada kemampuan akal pikiran, bahkan ia memperbaharui semangatnya. Metode yang ditempuh Imam Malik dalam menetapkan ketentuan hukum fiqh yang tidak terdapat nashnya didalam Al-Qur’an dan Sunnah, memang sedikit berlainan dengan metode yang di tempuh oleh para imam ahli fiqh lainnya. Ia lebih mengutamakan ijma’ para sahabat Nabi saw. dari pada qiyas. Bila belum juga dapat memecahkan suatu kasus, ia melihat apa yang diamalkan oleh kaum Muslim penduduk Madinah, karena mereka itulah yang paling banyak menerima dan mendengar hadits-hadits. Jika belum terpecahkan barulah ia malakukan qiyas. Akan tetapi, jka hasil qiyas itu ternyata bertentangan dengan kemaslahatan umum, baginya lebih baik menetapkan keputusan hukumnya atas dasar prinsip kemaslahatan umum. Menurutnya itulah yang terbaik. Jika masih tidak ditemukan pemecahan hukumnya, maka kasus tersebut dipecahkan berdasarkan tradisi dan adat kebiasaan masyarakat. Dengan syarat adat kebiasaan itu tidak bertentangan dengan syara’.
Setelah Imam Malik wafat, fiqhnya tumbuh dan berkembang diikuti dan diperkaya oleh banyak ahli pikir, para mujtahid, dan para ahli fiqh. Diantara mereka adalah seorang filosof ternama dari Andalus Ibn ar-Rusyd. Namun, sebagian dari para ahli fiqh yang hidup sezaman dengannya menantang keras dan menyalahinya. Bahkan beberapa orang dari sahabat-sahabat serta murid-muridnya mengkritiknya, seperti Al-Layts ibn Sa’ad (ahli fiqh dari Mesir) dan Asy-Syafi’i. Adapun sebagian besar orang yang datang kepada Imam Malik adalah orang-orang Mesir dan Maghribi dari Afrika dan Andalusia, merekalah orang-orang yang menyebarluaskan mazhab Maliki diseluruh Afrika Utara dan Andalusia. Kemudian mazhab itu muncul di Basrah, Baghdad, dan Khurasan, dengan perantaraan ulama.
Mathla’ Perspektif Mazhab Maliki
Mathla’ menurut mazhab Maliki ‘Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu ‘Ala Madzhabil Arba’ah menjelakan bahwasannya apabila telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah, maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh. Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah, semua penduduk di muka bumi diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa Mazhab Maliki mereka berpendapat bahwa rukyat di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri lain. Sehingga perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh terhadap penentuan masuknya bulan baru Hijriyah. Dan tanpa perlu mempertimbangkan jarak qashar shalat (masafah al-qasr). Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karangan seorang filosof ternama dari Andalus Ibn ar-Rusyd (Malikiyah) yang mengikuti dan memperkaya fiqh nya Imam Malik, bahwasannya Ibnul Qasim meriwayatkan dari Imam Malik apabila di suatu wilayah orang-orang belum berpuasa, kemudian ada berita bahwa di wilayah lain orang-orang sudah berpuasa karena melihat hilal, mereka yang tidak berpuasa itu wajib mengqadha puasanya untuk hari tersebut. Dalam kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘Alas Syarhil Kabir bahwasannya rukyat di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri lain. Baik negeri yang dekat ataupun negeri yang jauh dari negeri berhasilnya rukyat. Sehingga perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya bulan baru Hijriyah. Dan tanpa perlu mempertimbangkan jarak qashar shalat (masafah al-qasr). Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya fiqhul ‘ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mazhab Maliki menetapkan perbedaan mathla’ tidak berpengaruh, yaitu bila penduduk suatu negara melihat hilal Ramadhan, seluruh negara Islam wajib berpuasa bersamaan dengan penduduk yang melihat hilal. berdasarkan keumuman hadits Rasulullah saw.
حَدِيْثُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا . أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ . وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوُهُ . فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقدُرُوْا لَهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya: “Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. bahwasannya Rasulullah Saw, menyebut Ramadhan, kemudian beliau bersabda:”janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (bulan sabit), dan janganlah kamu berhari raya sehingga kamu melihatnya, apabila tertutup oleh mendung maka perkirakanlah.” (H.R. Bukhari)
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ(رَوَاهُ الْبُخَارِيْ)
Artinya: “Dari abu hurairah r.a. berkata: nabi saw. Bersabda: berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan), maka sempernukanlah hitungan bulan Sya’ban itu menjadi tiga puluh hari.” (H.R. Bukhari)
Berdasarkan hadits diatas bahwasannya lafadz صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِه ”berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal”. Sasaran (khitab) yang dituju adalah seluruh ummat Islam di dunia, yaitu apabila salah seorang mereka menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi mereka semua. Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwasannya hadits Abu Hurairah diatas menunjukkan bahwa wajibnya berpuasa bagi seluruh kaum muslimin berkenaan erat dengan rukyat yang tidak terikat (mutlak). Oleh sebab itu, rukyat dapat diterima atau terpenuhi baik dari orang banyak (jama’ah) maupun dari seseorang yang kesaksiannya diterima.
Wallahu A’lam bis Shawwab.
Penulis | Meri Fitri Yanti / Mahasiswa FSH IAIN Raden Intan Lampung |
Editor | – |