Kemerdekaan Indonesia Warisan yang Tidak Boleh Didiamkan
Bandar Lampung: Kemerdekaan, ujar penggiat Gusdurian Lampung, Gatot Arifianto, di Bandar Lampung, Jumat (11/11) adalah warisan besar yang diberikan pahlawan kepada masyarakat bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, budaya dan profesi. Pahlawan telah nyata melakukan harakah (gerakan), bahkan menumpahkan darah bagi NKRI. Bagaimana dengan kita?
“Dalam konteks terkini, setiap anak bangsa wajib meneladani pahlawan dengan melakukan harakah positif bagi bangsa mengingat masih banyaknya persoalan bangsa sejak memproklamasikan diri sebagai bangsa merdeka 17 Agustus 1945,” ujarnya.
Gatot memaparkan banyak kisah orang-orang kaya meninggalkan warisan tidak sedikit bagi anak-anaknya. Bagi yang cerdas, produktif dan tidak diam, warisan tersebut bertumbuh. Sebaliknya, bagi yang hanya diam tidak ada gerakan dan hanya bangga, bertepuk dada memiliki warisan besar, banyak kisah yang menegaskan hasil kebangkrutan atau berkurangnya warisan atas sikap semacam itu.
“Maka, ketika warisan-warisan pahlawan pendiri bangsa seperti Pancasila, Bhineka Tunggal Ika yang dikagumi bangsa lain seperti Mesir tidak kita jaga. Kita tahu dan bahkan sedang merancang bagaimana yang terjadi dengan Indonesia mendatang,” tegas Gatot yang juga bergiat di Jaringan Islam Anti Diskriminasi itu.
KH As’ad Syamsul Arifin yang Alhamdulillah pada tahun ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional menegaskan: “Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara harus ditaati, harus diamalkan, harus dijaga dan dipertahankan kelestariannya”.
“Sebagai warga Indonesia dan NU, saya melihat dawuh (perintah) tersebut patut rawuh (datang) ke dalam diri dan dilanjutkan melalui harakah, bukan sekedar teriakan Pancasila jaya. Karena tidak semua sila akan tuntas dirampungkan seorang diri, pelaksanaan Pancasila sebagai salah satu warisan pahlawan bangsa harus dilakukan bersama-sama anak bangsa dengan jalan positif,” imbuhnya.
Karena itu, kata Ketua PC GP Ansor Way Kanan itu melanjutkan, bergerak memberi kontribusi positif dan berarti bagi bangsa melalui kemampuan masing-masing adalah cara sederhana meneladani pahlawan.
“Benarkah kita menjaga Persatuan Indonesia dengan saling hantam, menyebarkan benci kepada anak bangsa?” ujar dia lagi.
Ia menegaskan, darah pahlawan yang tumpah bukan pengorbanan murah, hargailah dengan harakah positif yang meriah, salah satu, tidak mengobral fitnah di media, namun memberi gagasan inspiratif sebagai solusi.
“Menggerakkan hati, jari dengan menulis yang baik untuk dikonsumsi public adalah cara sederhana merayakan hadiah kemerdekaan dari pahlawan. Anak-anak muda NU harus mengisi ruang tersebut,” demikian Gatot Arifianto. (Cyber Santri)