Category: Opini

  • Opini: Tahqiqul Manath, Zakat Mal Hasil Bumi/Pertanian

     Tahqiqul Manath, Zakat Mal Hasil Bumi/Pertanian

    Oleh Abdul Aziz, S.Pd, MH
    (Sekretaris Umum MUI Kota Bandar Lampung)

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
    Artinya :
    Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al Baqarah : 267)

    Hasil bumi/pertanian terjemahan dari kata Al Zuru’, satu dari sekian jenis harta kekayaan yang terbebani secara imperatif agar dikeluarkan zakatnya, walau masih ikhtilaf seputar alasan hukumnya (illatnya) dan ruang lingkup hasil bumi/pertaniannya. Perbedaan pada illat ini membawa konsekuensi pada perbedaan dalam menentukan hasil bumi/pertanian apa saja yang terbebani pungutan zakat.

    Tahqiqul Manath adalah sebuah tawaran metodologis untuk meneliti kembali secara tajam dan komprehensif agar mampu menangkap substansi – hakiki sebuah illat, Syekh Rasyid Ridla dalam Tafsir Al Qur’an Al Hakim (Al Manar) mendefinisikan Al Zuru’ sebagai tumbuhan yang ditanam manusia, mencakup seluruh tumbuhan yang ditanam, baik berupa makanan pokok seperti biji – bijian atau buah – buahan seperti kurma dan anggur. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa setiap tanaman yang ditumbuhkan bumi, baik berupa makanan atau lainnya wajib dikenai pungutan zakat.

    Perbedaan pendapat terjadi pada jenis apa saja hasil bumi yang terbebani pungutan zakat, perbedaan ini muncul karena perbedaan illat (alasan hukum), illat secara terminologis adalah sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, yang kemudian saya sederhanakan menjadi “alasan hukum”, illat hasil bumi yang terbebani pungutan zakat adalah jenis makanan pokok yang merupakan hasil budidaya manusia, jelas pendapat ini merefer hadis Nabi Muhammad SAW yang hanya memungut zakat dari hinthah, sya’ir, tamar dan zabib. Apakah betul illatnya karena makanan pokok pada saat itu, atau karena bernilai ekonomi sehingga menjadi penopang hidup sehari – hari.

    Ketika hanya sebatas makanan pokok, dalam konteks Indonesia yang terbebani pungutan zakat, berarti hanya gabah, beras, jagung, sagu, singkong, ubi dan pisang. Lebih spesifik lagi, dan ini yang menjadi kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia hanyak mengeluarkan zakat mal hasil bumi dari beras dan jagung saja. Bagaimana dengan hasil bumi berupa tebu, porang, kapulaga, cengkeh, teh, kakau, kopi, tembakau, kedelai, bawang, buah naga, semangka, melon, durian, kelapa, sawit dan lain sebagainya, dan seterusnya, yang hasilnya sering melebihi dari padi dan jagung, artinya lebih bernilai ekonomi.

    Ibnu Arabi memberikan penjelasan bahwa makanan itu merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia, maka dengan makanan tersebut, manusia dapat membangun suatu kehidupan dan menyempurnakannya, oleh karena itu jangan lupa mengeluarkan hak – haknya. Ibu Arabi menggunakan term “dengan makanan tersebut manusia dapat membangun kehidupannya”, artinya sebagai penopang kehidupan manusia. Kalau ini yang dijadikan illat-nya, maka seluruh hasil bumi/pertanian yang bernilai ekonomi menjadi terbebani oleh pungutan zakat mal.

    Kesimpulannya, Al Zuru’ adalah semua hasil bumi/pertanian yang merupakan tanaman produktif yang mempunyai nilai ekonomi terbebani oleh pungutan zakat mal karena hasil bumi/pertanian tersebut sebagai penopang kehidupan manusia (illat hukumnya). Wallahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab

  • Opini: Apakah Benar Corona Tentara Allah Swt?

     

    Apakah Benar Corona Tentara Allah Swt?
    Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
    Pengurus MUI Lampung
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Tidak ada satupun yang mengetahui secara pasti, berapa jumlah tentara Allah swt dan seberapa besar kekuatan yang dimilikinya, kecuali Dia Sang Pemiliknya (Q.S. Al Muddatstsir: 31). Alam semesta, baik yang ada di atas langit, di daratan maupun di lautan yang semuanya merupakan ciptaan-Nya, dapat difungsikan sebagai tentara-Nya kalau Dia berkehendak (Q.S. Al Fath: 4). Seperti: banjir bandang yang menenggelamkan kaumnya nabi Nuh as (Q.S. Al Anbiya’: 77), angin yang sangat kencang yang membinasakan kaum `Ad (Q.S. Fushshilat: 16), sambaran petir yang meluluhlantakan kaum Tsamud (Q.S. Fushshilat: 17), hujan batu yang menimbun negeri Shadom (Q.S. Hud: 82), lautan yang menenggelamkan Fir`aun dan tentaranya (Q.S. Al Isra’: 103), dan bumi yang menelan Qarun dan hartanya (Q.S. Al Qashash: 81).

    Ketika Allah swt mengirimkan tentaranya, seperti pada kisah diatas, dapat dipastikan kemenangan akan diraih (Q.S. Ash Shaffat: 173) dan tepat sasaran dan tidak mungkin mengenai orang-orang yang baik dari hamba-hamba-Nya yang beriman, karena ini merupakan sebuah kezhaliman, dan mustahil bagi Allah swt sekecilpun melakukan kezhaliman atas hamba-Nya (Q.S. Yunus: 44). Atas dasar itulah, kenapa Allah swt terlebih dahulu memerintahkan nabi Nuh as untuk menaikkan orang-orang yang beriman ke dalam bahteranya sebelum menurunkan banjir bandang (Q.S. Hud: 40), memerintahkan nabi Luth as untuk mengajak keluar kaumnya yang beriman dari negeri Shadom sebelum mengirimkan hujan batu (Q.S. Hud: 81), dan memerintahkan nabi Musa as untuk membawa keluar kaumnya yang beriman dari negeri Mesir untuk diselamatkan dari kejaran Fir`aun dan tentaranya, sebelum laut menenggelamkan mereka (Q.S. Ad Dukhan: 23).

    Rahmat Allah swt sangat luas, mencakup seluruh makhluk-Nya, dan rahmat-Nya jauh lebih luas dibandingkan dengan murka-Nya, dikarenakan rahmat-Nya merupakan sifat bawaan-Nya, sedangkan murka-Nya tergantung kepada kedurhakaan makhluk-Nya (Q.S. Al A`raf: 156). Tidak mungkin Allah swt mengirim tentara-Nya, kecuali apabila makhluk-Nya sudah melampaui batas dalam kedurhakaan (Q.S. Al A`raf: 81).

    Berdasarkan firman-firman Allah swt diatas, seputar murka-Nya yang diwujudkan dengan pengiriman tentara-Nya, virus Corona yang mengenai hampir seluruh belahan bumi saat ini, dan menjangkiti orang yang beriman dan tidak beriman, orang yang baik dan yang tidak baik, dalam hemat kami jauh untuk dikatagorikan sebagai tentara Allah swt, melainkan ia sebatas musibah dan ujian, yang dengannya Allah swt hendak menguji keimanan dan ketaatan hamba-hamba-Nya, dengan alasan:

    Pertama, tidak selalu yang menyusahkan dan menyedihkan identik dengan adzab dan murka Allah swt. Dalam sebuah ayat, Allah swt tegaskan bahwasannya Dia sesekali menguji manusia dengan musibah, sesekali lain dengan kenikmatan, agar terlihat siapa diantara manusia yang bersyukur dan ingkar, dan siapa diantaranya yang bersabar dan berputus asa (Q.S. Al Anbiya’: 35).

    Kedua, sosok nabi Ayyub as merupakan sosok nabiyullah yang patut diteladani dalam menanamkan kesabaran dalam menghadapi sejumlah musibah. Ia sabar ketika Allah swt mengujinya dengan kemiskinan. Ia sabar ketika Allah swt mengujinya dengan kematian anak keturunannya. Ia pun sabar ketika Allah swt mengujinya dengan penyakit yang tidak kunjung sembuh, sampai-sampai dia ditinggalkan oleh keluarganya, bahkan kaumnya mengganggapnya sebagai sosok yang diadzab oleh Tuhannya dengan penyakit yang dideritanya. Disaat itulah dia berdoa kepada Tuhannya untuk kesembuhannya, sebagai pembuktian bahwa penyakit yang dideritanya bukanlah dikarenakan adzab Tuhan yang ditimpakan kepadanya (Q.S. Al Anbiya’: 83).

    Ketiga, secara kasat mata, yang menjadi korban virus Corona banyak juga orang-orang baik dan tulus dari kalangan orang yang beriman. Dan Allah swt tidak mungkin mengirim bala tentaranya untuk menyerang orang-orang baik dan tulus dari kalangan orang-orang yang beriman. Diantara alasan kenapa adzab tidak jadi diturunkan atas umatnya nabi Yunus as, padahal adzab tersebut sudah dihadapan mata mereka, adalah ketulusan pernyataan keimanan mereka. (Q.S. Yunus: 98).

    Keempat, banyak dari yang orang yang sudah dinyatakan positif terpapar virus Corona, setelah melalui proses isolasi dan perawatan intensif, mereka dinyatakan negatif dan sembuh. Fenomena ini menguatkan keyakinan kami bahwasannya orang yang terinfeksi virus Corona tidak bisa dipastikan bahwasannya yang bersangkutan adalah orang yang dimurkai oleh Allah swt, sebagaimana fenomena ini juga menguatkan keyakinan kami bahwasannya Corona bukanlah tentara Allah swt, karena kalau benar itu adalah tentara Allah swt dapat dipastikan tidak ada satupun pasien yang sudah dinyatakan positif terpapar virus Corona akan sembuh dan selamat dari murka Allah swt, ketika Allah swt telah mengirimkan tentara-Nya kepadanya (Q.S. Hud: 33).

    Demikian, mudah-mudahan Allah swt mengangkat derajat kita dengan musibah dan ujian Corona yang dikenakannya kepada kita, dengan menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang lebih pandai menanamkan kesabaran, keridhaan, keimanan dan ketawakkalan kepada-Nya, amin.

  • Opini: Keutamaan Bulan Sya’ban

    Keutamaan Bulan Sya’ban
    Dr. Agus Hermanto, MHI

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Bualan Sya’ban adalah salah satu bulan yang keberadaannya berada sebelum belan ramadhan dan setelah bulan Rajab. Pada saat inilah kita berlatih untuk memperbanyak puasa, khusunya kita yang pada bulan ramadhan tahun lalu memiliki hutang puasa.

    Sehingga dikatakan,
    ذلك شهرٌ يَسغَلُ الناسُ عنه بين رجبٍ ورمضان وهو شهرٌ تُرفعُ فيه الأعمالُ إلى ربِّ العالمينَ فأحبُّ أن يُرفَعَ عملى وأنا صائمٌ
    Pada bulan itu, manusia pada libuk (lupa, terlena) yang mana bulan tersebut berada di antara bulan Rajab dan Bulan Ramadhan yang mana pada bulan tersebut diangkatlah setiap amal perbuatan manusia oleh Allah swt., maka saya sangat senang ketika amal ibadahku diangkat dan aku masih dalam kondisi berpuasa (HR. al-Nasa’i dan Ahmad).

    Sya’ban berasal dari lima huruf, yaitu sya’, ‘ain, ba’, alif dan nun. Sya’ yang berarti al-Syaraf yang berarti kemulyaan, ‘ain yang berarti al-‘uluwwu yang artinya derajat dan kedudukan, ba’ yang berarti al-birr yang berarti kebaikan, alif yang berarti al-alfah yang artinya kasih sayang dan nun yang artinya al-nur maknanya adalah cahaya.

    Adapun amalan yang baik jika dilakukan di bulan Sya’ban adalah berdo’a, berdzikir, puasa, membaca al-Qur’an.
    Rasulullah saw., selalu berpuasa pada bulan Sya’ban:
    ومَا رأيتُ رصول الله صلّى الله عليه وسلّم استَكملَ صيَام شهر قطّ إلاَّ رمضان ومارأيته أكثر صياماً منه فى الشعبان
    Aku tidak melihat Rasulullah Saw., puasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan dan aku tidak melihat beliau banyak puasa kecuali pada bulan sya’ban (HR. Bukhari).

    Dalam hadits lain dikatakan oleh Aisyah ra.
    رأيتُ رسولَ الله صلّى الله عليه وسلّم استكمل صيامَ شهرٍ إلاَّ رمضان وما رأيته أكثر صياما منه فى الشعبان
    Terkadang Rasulullah puasa beberapa hari sampai kami katakana bahwa beliau tidak pernah tidak puasa, dan terkadang beliau tidak puasa terus sehingga kami katakana beliau tidak melakukan puasa, dan saya tidak pernah melihat nabi berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering di bulan Sya’ban (HR. Bukhari dan Muslim).

    Dan Nabi tidak pernah berpuasa yang lebih banyak pada bulan lain pada umumnya selain Ramadhan kecuali di bulan Sya’ban,
    لمْ يكُنِ النبيّ صلّى الله عليه وسلّم يصومُ شهراً أكثرَ من شعبانَ فإنّه كان يصوم شعبان كلُّهُ
    Nabi saw., tidak pernah puasa pada bulan lainnya yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, terkadang beliau puasa di bulan Sya’ban selama satu bulan peneuh (HR. Bukhari dan Muslim)

    Bahkan Rasulullah saw., dikatakan pernah berpuasa Sya’ban sampai satu bulan penuh ketika tidak melihat hilal pada awal ramadhan,
    كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يَتَحَفَّظُ من هلالِ شعبَانَ مالا يتحفَّظُ من غيرهِ ثمّ يصومُ لِرؤيةِ رمضان فإنْ غُمَّ عليه عدَّ ثلاثينَ يومًا
    Nabi memperhatikan hilal tidak seperti bulan-bulan lainnya, kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan, jika tidak melihat hilal atau hilal tidak terlihat beliau genapkan puasa Sya’ban sampai tiga puluh hari. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i)
    عن النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم أنّهُ لم يكُنْ يصومُ من الشهرِ شهرا تامًّا إلاّ شعبانُ ويَصلُ به رمضان
    Dari Nabi saw., bahwasannya beliau tidak pernah puasa satu bulan pada hari bulan lain secara keseluruhan kecuali pada bulan Sya’ban sampai pada bulan Ramadhan (HR. Nasa’i).

    Malam nisfu sya’ban sering juga di sebut lailatul bara’ah.
    إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا يومها
    Apabila tiba malam nisfu sya’ban maka beribadahlah pada malamnya dan dan berpuasalah pada harinya (HR. Ibnu Majah).
    خَمسُ ليَالٍ لا تُردُّ فيهنَّ الدَّعوةُ أوّلُ ليلةٍ من رجبَ وليلةُ النصفِ من شعبانَ وليلة الجمعةِ وليلتَي العيدينِ
    Ada lima malamyang mana doa tidak akan tertolak pada malam itu, yaitu awal malam bulan Rajab, dan malam nisfi sya’ban, dan malam jum’at, dan malam idul fitri dan malam idul adha.
    من أَحىَ ليلةَ العيدينِ وليلةِ النصفِ من شعبَانَ لم يَمتْ قَلبهُ يومَ تموتُ القلوبُ
    Barang siapa yang menghidupkan dua malam hari raya dan malam nisfu sya’ban, niscaya tidaklah akan mati hatinya pada hari dimana pada hari itu semua hati menjadi mati.

    Peristiwa besar yang terjadi pada bulan Sya’ban adalah peralihan arah kiblat, dari masjidil Aqsa Palestina menjadi Ka’bah, Arab Saudi turunnya surat al-Baqarah ayat 144 dan surat al-Ahzab ayat 56. Wallah ‘a’lam.

  • Opini: Zakat, Covid-19, dan Teriakan Kaum Papa

    Zakat, Covid-19, dan Teriakan Kaum Papa
    Miftahus Surur

    Wakil Ketua PW Lazisnu Provinsi Lampung

    Kurang lebih empat bulan Covid-19 melanda negeri ini. Dampaknya pun kian terasa; perekonomian mulai surut, pelayanan publik tampak carut-marut, dan berbagai kegiatan sosial pun terlihat kalang-kabut.

    Masyarakat kota yang mulai kehilangan asupan penghasilan pun mulai terlihat pulang ke desa. Sementara masyarakat desa pun mulai limbung karena tidak mudah menjual hasil panen mereka. Kini, bukan hanya Indonesia, dunia pun ramai-ramai berkeluh kesah.

    Dari sekian banyak pihak yang berteriak, terdapat satu golongan yang sangat merasakan dampak dari deraan Covid-19 ini, yaitu mereka yang berada pada garis kemiskinan atau dibawah itu. Jika biasanya mereka harus bekerja untuk mencari penghidupan, kini untuk sekedar bekerja pun sulit dikarenakan lapangan kerjanya semakin menyusut.

    Di kota-kota besar, para buruh atau pekerja serabutan lain yang berpenghasilan pas-pasan mulai merasakan kecemasan akibat potensi hilangnya income. Lalu di pedesaan, tidak sedikit para petani gurem yang bingung menyiasati penjualan hasil panen ketika para pembelinyapun tidak dapat diprediksi.

    Belum lagi ditambah dengan adanya kenyataan bahwa para tengkulak yang enggan mengambil barang dagangan karena khawatir dan takut terserang Covid-19 jika harus keluar rumah.

    Di tengah-tengah situasi serba galau seperti ini mulai muncul seruan-seruan di berbagai media agar kita dapat saling bantu membantu meringankan beban saudara se tanah air. Dimana-mana berhembus optimisme, semangat, dan harmoni. Bencana atau wabah yang melanda ini tak perlu pula digugat, juga tak perlu ada kemarahan. Tokh kita semua sadar bahwa keadaan seperti ini tak dapat ditolak.

    Yang paling penting untuk saat ini adalah membangun kebersamaan – sampai titik darah penghabisan – untuk saling peluk dan memberikan apa yang kita miliki untuk meringankan beban sesama.

    Dalam konteks ini, Islam memiliki perangkat yang sangat ampuh, yaitu zakat. Salah satu pilar Islam ini tampaknya harus diposisikan pada ranah itu, yaitu ranah pembantuan dan kebersamaan.

    Petuah bahwa “didalam harta kita terdapat hak orang lain” tak tepat lagi di pajang di buku-buku khutbah, melainkan harus dimunculkan dalam laku keseharian. Zakat dan juga infaq serta shadaqah sudah pada gilirannya mengambil peran membebaskan yang lemah dan mengangkat yang sedang lunglai.

    Ragam kajian dan hasil penelitian tentang zakat di Indonesia selalu memaparkan sisi yang menggembirakan bahwa potensi zakat kita mampu menembus angka 200 trilyun per tahun. Ah, tampaknya terlalu indah gambaran itu. Tak usahlah terlalu jauh. Cukup kita galang keyakinan bahwa harta yang kita miliki tidak akan membawa berkah jika ditumpuk, dimakan dan dinikmati sendiri.

    Seperti orang yang sedang bersantap, kebersamaan di meja makan akan selalu lebih indah dan memuaskan tinimbang menyuapkan nasi ke mulut sendiri tanpa ada yang menemani.

    Itulah hakikat zakat. Rukun Islam yang satu ini tampak dengan sengaja diluncurkan oleh Allah swt untuk menjadi katup penyelamat bagi masyarakat sekaligus mengikis sikap “pleonoxia”, yaitu suatu penyakit kejiwaan yang membuat seseorang selalu ingin lebih dan lebih lagi.

    Kita harus menjatuhkan diri pada posisi sebagai ‘kaum papa, kaum tak berpunya’, sehingga dengan itu kita tidak lagi memantik rasa sayang yang berlebihan terhadap benda-benda duniawi yang kita miliki.

    Ayo tunaikan zakatmu kawan! Jangan biarkan harta yang kita tumpuk akan menggerogoti dan melenyapkan rahmat Allah swt. Bukankah kita semua mengerti bahwa yang terpenting dari adanya harta bukan pada banyaknya, melainkan pada keberkahannya?

    Dan ingatkah kita bahwa ibadah pribadi (individual) seberapapun hebatnya tidak akan membuat Allah swt tercengang? Justru sebaliknya, Allah swt akan melimpahkan kasih-sayang-Nya sejauh kita juga menghamparkan kasih sayang kita untuk sesama.

    Sesaat lagi memasuki bulan Ramadhan, kawan. Jangan biarkan saudara kita, kawan kita, atau tetangga kita larut dalam kesedihan, ratap, dan hanya mampu menatap jajanan serta lauk-pauk yang dipajang di pinggir pasar, sementara kita begitu asyik menumpuk ragam menu makanan di atas meja sebagai santapan sahur dan berbuka. Jadikan zakatmu sebagai kebahagiaan dan senyum saudaramu!!

  • Opini: Srigaluh, Sisi Lain tentang Covid-19

    Srigaluh: Sisi Lain tentang Covid-19
    Miftahus Surur

    Nusantara hiruk. Kabar berhembus demikian cepat dari sebuah dusun yang googlemaps saja ‘sulit’ menemukannya. Srigaluh, namanya. Dusun ini sedang ramai dibicarakan banyak orang dengan penuh kekaguman, mungkin juga keharuan atau puja-puji, karena keterbukaan sikap warganya yang dengan hati terbuka menerima “kepulangan” salah-satu anggotanya setelah seminggu berjibaku melawan gerogotan Covid-19.

    Konon, sang jenazah dipaksa dibawa pulang untuk disemayamkan di kampung halaman setelah terdapat kabar adanya ketidakterterimaan dari beberapa warga masyarakat kota. Warga masyarakat Srigaluh yang mendengar warta itu tanpa berpikir dua kali langsung menyatakan siap menerima jasad yang “berpenyakitan” itu. Ada apa dengan Srigaluh?

    Sebelumnya, dan ramai unggahan yang menyebut nama Sekincau, sebuah Desa dimana persemayaman itu dilaksanakan. Tentu tidak salah dengan itu, terlebih jika melihat bahwa Srigaluh adalah salah satu dusun yang merupakan bagian dari dalamnya.

    Tetapi Sekincau tentu saja ragam. Beberapa hari sebelum peristiwa itu, di sebuah dusun lain di Sekincau juga berduka karena salah satu warganya “berpulang”. Tiada satu pun tetangga yang melongok, tiada saudara yang berkumpul melafadzkan tahlil, dan tiada pula handai-taulan yang tergopoh-gopoh membawakan keranda. Sebuah kicauan merenda: “sang jenazah mati diduga karena terjangkit Covid-19.”
    Srigaluh lain.

    Kini, kedatangan jasad bervirus di Srigaluh itu tak pernah ditampik. Beberapa orang juga tampak bersemangat menggalikan liang kubur sebagai tempat persemayaman terakhir sang”syahid”. Bahkan tampak pula beberapa tetangga yang menyaksikan pengebumian itu secara langsung, meskipun harus dari jarak jauh, sebagaimana anjuran dari kuasa kebijakan.

    Tentu, penerimaan bumi Srigaluh itu bukan karena warganya tidak keder dengan rongrongan Covid-19, juga bukan karena tidak ciut dengan kemungkinan akan tertular atau terjangkit virus Wuhan itu. Tetapi, ada yang lebih dari sekedar khawatir dan takut yang mendera, yaitu kemanusiaan. Ya, kemanusiaan yang meluluhlantakkan sekat dan tembok tebal nalar kelas menengah. Kemanusiaan yang terwujud dari suatu pergumulan panjang warganya dengan spiritualitas yang terus-menerus dibatinkan.

    Warga Srigaluh bukanlah deretan tubuh dan sosok penuh gelar. Mereka warga kampung kebanyakan. Bahkan, dari sekitar 70-an Kepala Keluarga yang ada, tidak lebih dari 10 orang didalamnya yang bergelar sarjana. Kondisi keseharian mereka pun bersahaja dengan rata-rata petani kopi dan sayur-mayur, serta sedikit pedagang eceran.

    Tapi justru, dengan kesederhanaan itu, mereka sangat sadar bahwa menghargai manusia adalah juga menghargai Sang Pencipta. Itulah yang setiap saat mereka batinkan melalui sujud dan kalimat suci yang ditasbihkan, serta kajian sufistik yang telah menjadi rutin.

    Spiritualitas yang dibatinkan itu menimbulkan rasa kehinaan diri sebagai makhluk yang kemudian meletupkan keyakinan bahwa kematian – dengan cara apapun dan melalui washilah apapun – bukanlah sesuatu yang menakutkan.

    Mereka tidak lagi peduli apakah jasad itu meninggal dengan cara “wajar” atau tidak. Yang mereka tahu, setiap manusia memiliki kewajiban terhadap manusia yang lain.

    Pada akhirnya, Srigaluh ingin meraungkan sebuah sabda bahwa kemanusiaan itu lebih penting dari segalanya. Gotong-royong, kerjasama, bahu membahu, atau apapun namanya hanya mungkin dapat dihamparkan ketika kemanusiaan itu menjadi ruh, atau mengutip Bergson (1930-an) sebagai elan vital, Jalaluddin Rumi menyebutnya dengan istilah Isyq, kaum santri menyebutnya al-Hubbu (cinta), yaitu dorongan hidup yang terus-menerus mengalir dan tumbuh, dimana ilmu pengetahuan yang disusun para intelektual (kaum nalar), tidak akan mampu memahaminya. Covid-19 boleh saja menakutkan, tetapi yang lebih menakutkan adalah matinya kemanusiaan itu sendiri.

    Lereng Gunung Sekincau, Subuh 06 April 2020

  • Opini: Meneladani Rasulullah Saw dalam Memuliakan Jenazah

    Meneladani Rasulullah Saw dalam Memuliakan Jenazah
    Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A
    Pengurus MUI Lampung
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Virus Corona telah banyak memakan korban, fenomena penolakan jenazah korban virus Corona pun marak terjadi di banyak daerah. Sebuah fenomena yang memilukan, lebih lagi bagi keluarga korban. Padahal proses pengurusan dan pemakaman jenazah tersebut sudah sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku.

    Penting bagi kita untuk meneladani rasulullah saw dalam memuliakan seorang jenazah, bahkan jenazah dari seseorang yang tidak ada sedikitpun keimanan dalam dirinya, dan ketika hidupnya pun ia kerap kali menyakiti beliau, keluarga, dan umatnya.

    Dikisahkan bahwasannya ketika Abdullah bin Ubay meninggal, datang menemui rasulullah saw putranya, memohon agar rasulullah saw memberikan bajunya untuk dijadikan kain kafan bagi jenazah bapaknya. Rasulullah saw pun memberikannya. Kemudian, putranya kembali memohon agar rasulullah saw menshalati jenazah bapaknya, maka rasulullah saw pun berdiri berkehendak untuk menshalatinya, walupun sayyidina Umar bin Khaththab berupaya keras untuk melarang rasulullah saw, dengan berkata: wahai rasulullah saw, apakah engkau akan menshalatinya, bukankah Tuhanmu telah melarangmu untuk menshalati orang munafikin? Rasulullah saw menjawab: apa yang sudah diturunkan kepadaku oleh Tuhan-ku, memungkinkanku untuk memilih, karena Tuhanku berkata: Istaghfir Lahum Aw Lâ Tastaghfir Lahum In Tastaghfir Lahum Sab‘îna Marratan Falan Yaghfirrallâhu Lahum ((sama saja) engkau (Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka) (Q.S. At Taubah: 80). Dan aku akan menambahkan lebih dari tujuh puluh kali, agar dia diampuni, kata rasulullah saw kepada sayyidina Umar.

    Disaat rasulullah saw hendak menshalati jenazah Abdullah bin Ubay, Allah swt menegur rasulullah saw, dan melarangnya untuk menshalatinya, mendoakannya atau menziarahinya, karena semuanya itu pertanda rahmat dan Abdullah bin Ubay adalah sosok yang tidak pantas mendapatkan rahmat baginda rasulullah saw, karena kemunafikannya (Q.S. At Taubah: 84).

    Pasca turunnya ayat diatas, sebagai teguran langsung dari Allah swt kepada dirinya, rasulullah saw pun mengurungkan niat untuk menshalati jenazah Abdullah bin Ubay, hal ini dilakukan oleh rasulullah saw bukan karena desakan sayyidina Umar, karena sisi kemanusiaan yang melekat dalam diri rasulullah saw jauh lebih besar melebihi sebatas desakan dari sayyidina Umar, akan tetapi lebih karena teguran langsung dari Allah, dan tidak ada pilihan bagi seorang manusia, termasuk nabi, dihadapan perintah Allah swt.

    Teguran Allah swt atas nabi Muhammad saw pada ayat diatas, bukan berkaitan dengan proses penguburannya, melainkan berkaitan dengan proses penshalatan dan permohonan doa untuknya, sebuah proses yang dilarang keras dilakukan oleh seorang yang beriman kepada seorang yang tidak beriman. Sebagaimana dulu nabi Ibrahim as pun ditegur oleh Allah swt, ketika dia berupaya untuk memohonkan ampun untuk bapaknya yang bernama Azar yang tidak beriman (Q.S. Al Mumtahanah: 4).

    Kami yakin membaca kisah diatas, rasulullah saw akan sedih ketika beliau melihat jenazah dari umatnya ditolak untuk dikebumikan, bukankah dia bagian dari orang yang beriman? bukankan pula jenazahnya sudah melalui protokol kesehatan yang berlaku? sehingga tidak ada alasan sedikitpun bagi jenazah tersebut untuk ditolak, apalagi oleh sesama umat nabi Muhammad saw. karena hak orang yang beriman pasca kewafatannya, adalah dimuliakan oleh saudaranya yang beriman, dengan cara mengurus jenazahnya dan mendoakannya (Q.S. Al Hasyr: 10).

  • At Takalluf Dalam Menafsirkan Waqarna Sebagai Isyarat Al Qur’an Tentang Virus Corona

    At Takalluf Dalam Menafsirkan Waqarna

    Sebagai Isyarat Al Qur’an Tentang Virus Corona

    Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.

    Pengurus MUI Lampung

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    At Takalluf dalam sebuah penafsiran adalah upaya pemaksaan dalam mengaitkan ayat dalam Al Qur’an dengan sebuah fenomena yang terjadi, padahal baik secara denotasi bahasa maupun konteksnya, sama sekali tidak ada yang bisa dikaitkan antara ayat dengan fenomena tersebut.

    Virus Corona yang sekarang ini melanda hampir di seluruh penjuru dunia, menuntut kita untuk merujuk kepada Al Qur’an, sebagai satu-satunya kitab suci yang tersisa yang diperuntukkan untuk semua umat manusia, dan berlaku untuk sepanjang zaman semenjak diturunkannya. Ada banyak ayat yang bisa memberikan tuntunan kepada kita dalam bagaimana memahami dan menyikapi virus Corona yang terjadi. Akan tetapi mencari ayat dalam Al Qur’an yang membahas secara langsung tentang virus Corona, dalam hemat kami adalah bagian dari pemaksaan diri dalam berinteraksi dengan Al Qur’an. Karena tidak berarti bahwasannya kandungan Al Qur’an mencakup segala sesuatu, semua fenomena yang terjadi di alam semesta ini ada pembahasannya secara langsung dalam teks Al Qur’an.

    Baru-baru ini sempat viral di medsos, bahwasannya perintah menetap diri di dalam rumah guna memutus mata rantai penyebaran virus Corona, telah diisyaratkan oleh Al Qur’an dalam surah Al Ahzab: 33, yang berbunyi Wa Qarna Fî Buyūtikunna (dan hendaklah kamu tetap di rumahmu).

    Dalam hemat kami, mengaitkan potongan ayat diatas dengan fenomena virus Corona, jelas-jelas merupakan bagian dari At Takalluf dalam menafsirkan teks Al Qur’an. Pertama, secara bahasa asal kata Qarna adalah Iqrarna, karena keberadaan dua huruf Ra memberatkan secara pelafazhan, dibuanglah huruf Ra pertama, dan harakatnya berpindah ke huruf Qaf sebelumnya, maka jadilah Qarna yang berarti: menetap di satu tempat. Sedangkan Corona sebagai sebuah virus, bukanlah berasal dari bahasa Arab, sebagaimana Al Qur’an berasal, hal ini dibuktikan penulisan Corona dalam bahasa Arab, tidak ditulis dengan huruf Qaf melainkan dengan huruf Kaf, yakni: كورونا .

    Kedua, Al Qur’an ditulis dengan menggunakan bahasa Arab, dengan bahasa Arab, Al Qur’an ditafsirkan, dan tidak bisa ditafsirkan dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.

    Ketiga, perintah pada ayat diatas ditujukan untuk para istri nabi, agar mereka menetap di rumah dan tidak bersikap sebagaimana kebanyakan para wanita yang kerap keluyuran keluar rumah, bukan untuk sebuah keperluan yang penting, apalagi sampai menimbulkan fitnah di tengah kaum lelaki.

    Keempat, para istri nabi yang diperintahkan pada ayat diatas, walaupun perintah ini juga berlaku atas para wanita muslimah lainnya, sebagai sebuah penghormatan bagi mereka dan agar mereka menjadi suri tauladan bagi para wanita muslimah yang lain.

    Kelima, perintah diatas sama sekali bukanlah sebuah larangan yang bersifat permanen bagi para wanita untuk keluar rumah, melainkan bersifat kondisional, dimana larangan itu tidak berlaku bagi mereka dikarenakan ada sebuah kebutuhan dan kemaslahatan, tentunya dengan tetap menjaga kehormatan mereka.

    Keenam, yang lebih menguatkan bahwasannya ayat diatas tidak ada kaitannya sama sekali dengan virus Corona, bahwasannya yang diminta untuk menetap di rumah dalam kasus virus Corona bukan saja kaum wanita, melainkan juga kaum lelaki, sedangkan konteks ayat diatas hanya diperuntukkan untuk kaum wanita saja. dikarenakan mereka secara karakter penciptaannya lebih pas untuk mengurusi urusan rumah tangga, seperti: mengurus suami dan anak-anaknya. Sebaliknya kaum lelaki yang lebih pas untuk keluar rumah, mencari karunia Allah swt, guna menafkahi keluarganya.

  • Koin Muktamar PCNU Pringsewu dan Way Kanan Raih Belasan Juta

    Lampung: Dalam upaya menyukseskan Muktamar NU yang tidak lama lagi, PCNU di Provinsi Lampung terus bergerak mengalang dana melalui koin muktamar.

    Terbaru, dua PCNU melaporkan hasil gerakan koin muktamar di group WhatApps Lazisnu se Lampung beberapa hari yang lalu.

    Pertama, laporan pendapatan koin muktamar PCNU Prigsewu dengan total koin muktamar sebanyak Rp. 9.636.000. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif LAZISNU Pringsewu Kabul Muliarto, jumlah total tersebut hasil dari penggalangan pada konfercab PCNU Rp 3.646.000, penggalangan pada jihad pagi di bukit toursina Rp 1.000.000, penggalangan jihad pagi di bendungan Rp 1.175.000, penggalangan di SMK Ma’arif keputran Rp 931.000 dan penggalangan pada pelantikan PCNU Rp 2.887.000. “Jadi totalnya sementara Rp 9.639.0000,” ujarnya.

    Kedua, gerakan koin muktamar, yang dilakukan PCNU Way Kanan menghasilkan koin sebesar Rp. 4.730.000. Hal ini disampaikan Candra Kurniawan. Ia mengungkapkan, jumlah tersebut hasil dari penggalangan pada Rapat LAZISNU di Kantor PCNU Rp 2.600.000, penggalangan pada Reses DPR-RI di Way Tuba Rp 750.000, pengalangan di pelantikan Fatayat Banjit Rp 1.050.000, dan penggalangan di pengajian di Bumi Baru Rp 330.000. “Jumlah sementara Rp 4.730.0000,” ujarnya. (AQJ)

  • Corona dalam Sorotan Al Qur’an

    Corona dalam Sorotan Al Qur’an
    Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.

    Pengurus MUI Lampung

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Tidak dapat dipungkiri bahwasannya saat ini Corona menjadi musibah yang menimpa bukan saja warga Indonesia, melainkan juga warga yang tinggal di hampir seluruh belahan bumi ini. Ayat-ayat Al Qur’an yang berbicara tentang musibah lebih dari cukup untuk memberikan tuntunan bagi semua lapisan masyarakat, lebih lagi bagi lapisan masyarakat yang mengimaninya, dalam bagaimana bersikap dalam menghadapi musibah semacam ini.

    Berkaitan dengan musibah, Al Qur’an mengajarkan kepada kita bahwasannya musibah apapun yang menimpa manusia adalah bagian dari qadha dan qadar Allah swt. ketika musibah ini diyakini terjadi atas izin dan kehendak-Nya, akan terasa ringan manusia menghadapinya, bahkan Allah swt akan menuntunnya untuk bersikap ridha dan sabar dalam menghadapinya. Disinilah, keyakinan manusia diuji, dan Allah swt pun Mengetahui siapa dari hamba-Nya yang benar-benar meyakini qadha dan qadar-Nya dan siapa yang tidak meyakininya (Q.S. Ath Thaghabun: 11).

    Al Qur’an, bukan saja mengingatkan kita bahwasaannya musibah adalah bagian qadha dan Qadar Allah swt. Dalam konteks bagaimana menghadapi musibah, Al Qur’an pun memberikan tips bagaimana cara menghadapinya, salah satunya adalah yang kita baca pada kelanjutan ayat berikutnya, yakni: pentingnya menanamkan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya (Q.S. Ath Thaghabun: 12).

    Bentuk kongkrit dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya dapat diwujudkan dengan mematuhi apa yang disampaikan oleh rasulullah saw dari firman-firman Allah swt dalam Al Qur’an, dan lagi-lagi firman-firman Allah swt dalam Al Qur’an, lebih dari cukup untuk memberikan tuntunan kepada kita dalam bagimana menghadapi dan menyudahi setiap musibah yang menimpa kita, termasuk musibah corona yang menimpa umat manusia saat ini.

    Merujuk kepada pendapat para pakar, dalam kasus corona tentunya yang paling kredibel untuk dijadikan rujukan adalah pendapat para pakar medis (Q.S. An Nahl: 43). Dimana dalam banyak kesempatan mereka mengingatkan kita pentingnya menjaga pola makan yang halal dan baik (Q.S. Al Baqarah: 168), juga pola hidup yang sehat (Q.S. Al Qashash: 73), dan menghindarkan diri dari segala hal yang berpotensi menimbulkan kemudharatan, seperti: pentingnya penerapan “Social Distancing” guna menghambat terjadinya penularan virus corona dalam aktifitas sehari-hari (Q.S. Al Baqarah: 195).

    Dalam hemat kami, mendengarkan dan mematuhi saran dan pandangan para pakar medis tersebut merupakan bagian dari ketaatan kita kepada Allah dan rasul-Nya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat Ath Thaghabun: 12 di atas.

    Di samping ketaatan kepada kebijakan yang diambil oleh Ulul Amri (pemerintah) dalam menuntaskan merebaknya wabah corona di tengah masyarakatnya (Q.S. An Nisa’: 59). Dan tentunya tidak kalah pentingya, ketaatan terhadap anjuran para pemuka agama untuk banyak berdoa, berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah swt, lebih-lebih lagi di tengah musibah yang sedang melanda, berharap curahan rahmat-Nya (Q.S. Al A`raf: 56).

    Perintah untuk bertawakkal kepada Allah swt, yang kita baca pada kelanjutan ayat berikutnya (Q.S. Ath Thaghabun: 13), sangatlah tepat dan bijak untuk disampaikan kepada orang-orang yang beriman dengan qadha dan qadar Allah swt. Seraya terus berbaik sangka dengan qadha dan qadhar-Nya, karena sering sekali manusia salah dalam menilai fenomena yang terjadi di alam semesta ini, apa yang dianggapnya buruk, sering sekali terkandung dibaliknya banyak hikmah dan kebaikan (Q.S. An Nisa’: 19).

  • Banjir dalam Prespektif al Quran

    Banjir dalam Prespektif al Quran

    Oleh M. Luqmanul Hakim H
    Khodimul Bait Tahfidzul Quran “al Quds”

    Banjir merupakan sebuah fenomena alam raya yang natural. Terjadinya banjir akibat dari sistem drainase yang buruk dan tata kelola ruang dan tempat yang tidak memperhatikan aturan. Indikasi banjir biasa terjadi pada musim hujan dengan intensitas hujan yang sangat tinggi dan bumi tanah tidak mampu menampung air sebagai resapannya krn telah tertutupi oleh bangunan dan hal lainnya.

    Banjir, kekeringan (kemarau), hujan, gempa, tsunami, dan lain sebagainya, semua terjadi berdasarkan ketentuan Sunnatullah Sejak zaman azali “min Qabli An Nabra;aha”. Tidak satu pun yang akan terjadi di alam raya ini kecuali atas izin dan kehendak-Nya. Meskipun, perlu diingat bahwa kehendak-Nya tercermin pada hukum-hukum alam yang diciptakan-Nya. Apabila seseorang tidak menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya yang tercermin dalam hukum-hukum alam itu, dia pasti mengalami kesusahan kesulitan serta kesukaran. Dia akan mengalami bencana, baik pada dirinya maupun sekitarnya.

    Di dalam Al Quran, banjir pernah menelan korban jiwa kaum ‘Ad, negeri Saba’ dan kaumnya Nabi Nuh. Peristiwa ini dapat kita telaah dalam beberapa ayat di antaranya Surah Hud ayat 32-49, Surah al-A’raf ayat 65-72, dan Surah Saba ayat 15-16. Secara teologis, awal timbulnya banjir tersebut karena pembangkangan umat manusia pada ajaran Allah swt yang coba disampaikan para nabi. Bentuk sebuah pengingkaran terhadap ayat-ayat kebenaran Allah swt. Namun, secara ekologis, bencana tersebut bisa diakibatkan ketidakseimbangan dan disorientasi manusia ketika memperlakukan alam sekitar.

    Mengambil Hikmah rentetan fenomena demi fenomena yang terjadi, pastinya dapat direnungi sebagai hasil perbuatan daripada tangan manusia. Allah SWT berfirman: “Bukanlah Kami yang menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, (disebabkan) citra (kondisi) lingkungan mereka tidak mampu menolong di saat banjir, bahkan mereka semakin terpuruk dalam kehancuran”. (Q.S. Hud: 101).

    Musibah banjir ini hanya wasilah agar kita semakin ingat dengan-Nya. Adakalanya Allah azza wa jalla memanggil kita dengan ayat-ayat QauliyahNya namun kita tak bergeming, tak mengindahkan, dan tak menggubrisNya. Hati ikan enggan dan acuh memahami dan memikirkannya Dan ketika di turunkan Ayat Kauniyah Allah Swt kita langsung berfikir bermuhasabah dan mendadak responsif tentunya dengan berbagai macam tipe. Ada manusia yang langsung menyalahkan pemimpin dan alam semesta, dan pula yang diam dan terus berdzikir kepasa Allah sambil terus mawas diri untuk kehidupannya kelak..

    Maka mari menjadikan musibah yang menimpa sebagai jalan untuk kembali kepada Allah SWT dan jangan mengabaikan tanda-tanda kehadiran Allah dalam musibah yang menjadikan hati gersang dan kacau, dan mengundang jauhnya rahmat Allah. Mari kita berhenti saling menyalahkan dan menghujat sesama terutama pemimpin. Mari kita doakan pemimpin kita semoga Allah berikan kekuatan untuk menjalankan amanah dan tanggung jawabnya. Dan kita bersama sama muhasabah instropeksi diri bahwa semua itu hnya dunia. Didunia ini tak ada yang penting kecuali hnya manusia dengan jiwa jiwa yang tenang lagi bersih. Manusia berkualitas Imannya serta bertambah terus keyakinannya kepada Allah swt itulah nilai esensial dari Semua musibah..