Category: Opini

  • Opini: Barokah Buka dan Sahur

     

    Barokah Buka dan Sahur
    Oleh: Dharmayani, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Puasa melatih diri kita untuk hidup disiplin, pada saat puasa kita diuji untuk dapat melatih jasmani kita untuk tetap bertahan, karena pada hari biasa, jasmani pencernaan kita misalnya digunakan untuk bekerja keras memproses makanan dan minuman, namun pada saat puasa kita dilatih untuk dapat merasakan bagaimana rasanya para fakir miskin menjalani hidupnya yang penuh dengan keterbatasan.

    Pada saat puasa kita dilatih untuk bersabat, baik sabar dengan ketaatan (al-shabru bi altha’ah), karena jika kita menjalani puasa tanpa ketaatan tidak akan pernah terjalani dengan ikhlas, sabar dengan menjaga dari kemaksiatan (al-shabru an al-ma’shiyat) karena dengan puasa kita diuji agar dapat menahan syahwat sehingga mampu menghindarkan dari kemaksiatan, sabar dari musibah (al-shabru an al-musibah) dengan wabah corona atau covid 19 yang merupakan musibah sekaligus ujian, kita sedang berada di bulan yang mulia, sehingga kita juga teruji dari musibah dan wabah namun tetap selalu senantiasa beribadah kepada Allah dengan khusu’.

    Ketika kita berpuasa, waktu makan dan minum kita serta kegiatan kita menjadi berpindah, bergeser dan tidak sama dengan waktu pada umumnya. Waktu makan pagi kita di awalkan, yaitu sebelum terbitnya fajar, dan waktu makan siang kita diundur pada sore hari setelah terbitnya matahari.

    Puasa pada dasarnya menahan dari makan dan minum dan syahwat seksual serta dari segala yang membatalkannya, mulai terbitnya wajar sampai terbenamnya matari di sore hari. Daka dalam ibadah puasa yang mulia ini, pola hidup sehat dan disiplin harus tetap di jaga dan dilestarikan dengan mengikuti tuntunan syari’at yang benar.

    Ketika sahur, dianjurkan bagi kita untuk memperbanyak makan sayuran dan nasi, karena sangat berfungsi untuk mempertahankan energy kita selama satu hari penuh, berkaitan dengan sahur juga sangat dianjurkan bagi baginda Rasulullah saw., sebagaimana sabdanya: ”Bersahurlah, sesungguhnya ketika kita bersahur ada sebuah barokah”. Barokah adalah “ziyadatul khair” yaitu bertambahnya kebaikan, sehingga jika sahur ini kita laksanakan dengan disiplin serta baik, akan adanya sebuah kenikmatan yang kita rasakan di bandingkan hari-hari yang lainnya.

    Selain sahur juga dianjurkan bagi kita untuk menyegerakan berbuka, sebagaimana anjuran Rasulullah saw., karena sesungguhnya berbuka tersebut akan mengembalikan tenaga dan kekuatan kita selama satu hari penuh tidak makan dan tidak minum. Maka sangat dianjurkan bagi kita ketika berbuka untuk memperbanyak minum yang manis, karena hal ini sangat berfungsi untuk mengembalikan dan memulihkan tenaga kita, selain itu juga kita dianjurkan untuk disiplin, karena esok lagi akan kita jalani hal yang serupa samapi sebulan penuh lamanya. Namun demikian agama juga melarang bagi kita untuk berlebih-lebihan, sebagaimana firman Allah swt., “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. Berlebih-lebihan “tasyaruf” biasa dilakukan oleh orang yang berbuka, karena selama satu hari penuh berpuasa merasa lapar dan dahaga, sehingga ketika waktunya berbuka, segala makanan dan minuman serta hidangan yang lain yang begitu banyak ia konsumsi semuanya, sehingga lambung kita tidak dapat mencerna dengan baik, dan pada akhirnya terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan.

    Semoga kita selalu dijaga dan diberi keehatan dan kekuatan, agar dapat menjalankan ibadah puasa dengan sempurna dan menjadina iman kita bertambah serta ketaqwaan kita dapat sempurnya, karena sesungguhnya Allah swt., memerintahkan ibadah puasa agar kita menjadi orang yang bertaqwa. Wallahu A’lam.

  • Opini: Hadits Tentang Akhir Zaman (Tanggapan atas postingan Video Huru Hara di 15 Ramadhan 2020)

    Hadits Tentang Akhir Zaman
    (Tanggapan atas postingan Video Huru Hara di 15 Ramadhan 2020)
    Oleh: Dr. H. Abdul Malik Ghozali, Lc., M.A.
    Komisi Fatwa MUI Lampung
    Dosen Hadits FUSA UIN Lampung

    Akhir-akhir ini media sosial dihebohkan dengan postingan video dari Islamic Foundation Channel di Youtube dengan judul Sabda Nabi Akan Terjadi, Asteroid Akan Jatuh Pada 15 Ramadhan 2020. Dalam tayangan video berduarsi 7 menit 52 detik, dinarasikan tentang peristiwa huru-hara di 15 ramadhan 1441 denga mengutip sebuah hadits yang dinukil dari kitab al-Fitan Nua’im bin Hammad dan penjelasannya mengkaitkantkan data dari pihak NASA dan lainnya. Meskipun di akhir narasi narrator menyerahkan kepada penyimak untuk menyimpulkan sendiri. (Untuk lebih detail, lihat https://youtu.be/u3Dq4d2MgtM) Postingan ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarkat sehingga banyak pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan ke MUI Lampung, khususnya Komisi Fatwa. Maka di sini akan dijelaskan terkait dengan hadits tersebut. Setelah ditelusuri dalam literatur hadits dijumpai teks haditsnya sebagai berikut:
    عن ابن مسعود رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال إذا كانت صيحة في رمضان فإن يكون معمعة في شوال وتميز القبائل في ذي القعدة وتسفك الدماء في ذي الحجة والمحرم وما المحرم يقولها ثلاثا هيهات هيهات يقتل الناس فيها هرجا هرجا قال قلنا وما الصيحة يا رسول الله قال هذه في النصف من رمضان ليلة جمعة فتكون هذه توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العواتق من خدورهن في ليلة جمعة في سنة كثيرة الزلازل فإذا صليتم الفجر من يوم الجمعة فادخلوا بيوتكم واغلقوا أبوابكم وسدوا كواكم ودثروا أنفسك وسدوا آذانكم فإذا حسستم بالصيحة فخروا لله سجدا وقولوا سبحان القدوس سبحان القدوس ربنا القدوس فإن من فعل ذلك نجا ومن لم يفعل ذلك هلك

    Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, dari Nabi Saw. Beliau berkata: Apabila ada suara keras di bulan Ramadhan maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawal. Kabilah-kabilah akan berselisih di bulan Dzulqa’dah, dan akan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzulhijjah dan Muharram. Tahukah kalian apa yang akan terjadi di bulan Muharram? (Nabi SAW mengulanginya hingga tiga kali). Jauh dari pikiran kalian. Manusia akan saling bunuh dengan hiruk pikuk. Ibnu mas’ud melanjutkan ceritanya, Kami bertanya, “Duhai Rasulullah apakah teriakan keras tersebut? Nabi SAW menerangkan, hal tersebut terjadi pada pertengahan Ramadhan malam Jumat. Suara keras yang membangunkan orang tidur, yang berdiri akan duduk, gadis-gadis pingitan berhamburan keluar dari biliknya, pada hari jumat pada tahun terjadi gempa di mana-mana. Apabila kalian selesai tunaikan shalat Subuh pada hari jumat maka segeralah masuk ke dalam rumah. Tutup pintu pintu rumah kalian. Sumbat lubang-lubangnya. Tenangkan diri kalian, sumbat telinga-telinga kalian. Jika kalian merasa mendengarkan suara keras, maka sujudlah dan ucapkanlah: subhaana al-Quddus, subhaana al-Quddus, rabbuna al-qudduus. Siapa saja yang melakukannya niscaya selamat. Siapa saja yang tidak melakukannya niscaya binasa.

    Takhrij dan Kajian Sanad Hadits
    Hadits ini setelah dilakukan takhrij ternyata hanya ditemukan dalam beberapa kitab hadits:

    Pertama, dalam kitab al-Mu’jam al-Kabīr Imam Thabrani, dengan no hadits 15247 (13/271) dari jalur sanad: Ahmad bin Abdul Wahab bin Najdah al-Hawthi, dari Abdul Wahab bin Dhahāk, dari Isma’il bin Ayyāsy, dari Awzā’I dari Abdah bin Abi Lubābah dari Fairuz ad-Daylami. Imam Haitsami dalam Majma’ Zawaid mengomentari bahwa dalam sanad Thabrani dijumpai Abdul Wahab bin Dhahak, ia adalah matrūk, (7/256) yaitu perawi yang ditinggalkan periwayatannya karena tertuduh pendusta.

    Kedua, dalam Kitab al-Āhād wa al-Matsānī Imam Ibnu Abu Āshim dengan nomor hadits 2363 (7/394) jalur sanadnya sama dengan jalur Thabrani, terdapat Abdul Wahhab bin Dhahak, perawi matrūk.

    Ketiga, dalam Kitab al-Fitan Imam Nu’aim bin Hammad al-Marwadzi dengan nomor hadits 638 (hal. 228) melalui jalur sanad: Abu Amr dari Ibnu Luhay’ah dari Abdul Wahab bin Husain dari Muhammad bin Tsabit al-Bunany dari ayahnya dari al-Haris al-Hamadhani dari Ibnu Mas’ud. Imam Suyuti memasukkan hadits riwayat Nu’aim ini dalam kategori hadits palsu (maudhu’) sebagaimana ia jelaskan dalam kitab “al-La’ālī al-Mashnū’ah fī al-Ahādits al-Maudhū’ah.(2/322)
    Keempat, dalam kitab Musnad Syasyi, nomor hadits 772. (2/387) dengan jalur sanad yang sama dengan jalur sanadnya Nua’im bin Hamād.

    Imam Suyuthi mengomentari sanad thabrani, hadits ini tidak shahih (bermasalah) Abdul Wahab matrūk, Isma’il itu dha’if, dan Abdah tidak bertemu dengan Fairuz dan Fairuz tidak pernah bertemu Nabi. Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalur Ghulam Khalil dari Muhammad bin Ibrahim al-Bayadhi dari Yahya bin Sa’id al-Aththar dari Abu al-Muhajir dari al-Awza’i. Ghulam Khalil disepakati sebagai khazzab-pendusta- (Lisan Mizan 1/185). Kesimpulan Syuyuthi bahwa semua jalur sanad hadits ini bermasalah, terdapat perawi pendusta dan terputus sanad. (al-La’ālī al-Mashnū’ah fī al-Ahādits al-Maudhū’ah 2/323). Di sini dapat disimpulkan status hadits ini adalah maudhu’ (palsu) dan terputus sanadnya. Sehingga tidak dapat digunakan sama sekali sebagai dalil atau hujjah, apalagi terkait perkara ghaibiyyāt.

    Kajian Matan Hadits
    Sebenarnya, hadits-hadits Nabi tentang akhir zaman yang sering disebut dengan hadits tanabbu’āt (ramalan/prediksi peristiwa di masa akan datang) dijumpai di beberapa kitab otoritati hadits. Hadits tentang tanabbu’āt ini terbagi menjadi hadits bisyārah (kabar gembira dan hadits fitan (fitnah).Para ulama hadits, menghimpun hadits-hadits Nabi SAW terkait dengan bisyārah dan fitnah ini dalam bab tersendiri dalam kitab-kitab hadits, seperti kitab (kumpulan bab) al-fitan atau al-malāhim. Bahkan tidak sedikit yang membukukannya dalam satu buku hadits, seperti Dalā’il an-Nubuwwah karya Abu Bakar al-Baihaqi; al-Khasāish al-Kubrā, karya Jalaluddin as-Suyuthi.
    Tanabbu’āt Nabi SAW ini terkait peristiwa di masa mendatang, tidak hanya sekedar penyampaian ramalan semata, melainkan ingin membangun kewaspadaan dan kesiapan dari umatnya dalam menghadapi peristiwa ini. Selain itu, umatnya dapat mengambil pelajaran dari semua peristiwa yang terjadi dan dialami. Meskipun sejatinya peristiwa-peristiwa itu terjadi atau tidak, merupakan hak preogratif Allah semata, tapi mempersiapkan diri untuk menghadapinya adalah suatu keniscayaan. Dalam tanabbu’āt yang sering Nabi SAW sampaikan, lebih banyak menekankan kepada pentingnnya berpegang teguh kepada agama Allah, meyakini keimanan kepadaNya, mengamalkan ajaran-ajaranNya di berbagai situasi dan kondisi apa pun. Bahkan bila mampu gunakan berbagai potensi yang dimiliki umat Islam untuk membela dan mempertahankannya, hingga nyawa sekalipun.
    Namun para ulama hadits tetap berpegang teguh pada hadits-hadits shahih untuk meyakini bisyārah atau fitnah yang dikandung dalam hadits. Apalagi hadits-hadits tanabbu’āt ini terkait dengan masalah pemberitaan hancurnya alam (hari akhir) termasuk masalah ghaib (ghaybiyyāt). Dalam teks-teks al-Qur’an dan hadits shahih sudah jelas bahwa tidak ada satupun makhluk yang tahu tentang kapan terjadi hari Akhir sampai Nabi pun tidak mengetahuinya. Misalnya dalam al-Qur’an surat al-An’am: 59, an-Naml:65, dan Hadits Islam, Iman dan Ihsan (Bukhari:50; Muslim:1)

    Matan hadits tentang huru hara di ramadhan ini masuk kategori musykil (bermasalah) selain sanadnya yang sudah jelas sangat lemah/palsu. Ada beberapa hal kejanggalannya:

    Pertama, di sini sebutkan runtutan peristiwa dimulai pertengahan ramadhan yang jatuh pada hari jumat dengan dengan munculnya suara keras (shaihah) di pertengahan ramadhan, dilanjutkan huru-hara di Syawwal, kemudian perselisihan kabilah-kabilah di Dzulqa’dah, dilanjutkan pertumpahan darah pada bulan Dzul Hijjah dan Muharram dan seterusnya. Bila dirangkai dalam logika bahasa, uraian peristiwa ini tidak logis, tidak mungkin keluar dari seorang Nabi yang menjaga kualitas bahasanya. Para ulama hadits menilai salah satu tanda hadits palsu adalah penggunaan bahasa yang rendah dan tidak logis (rikākah lafdzi).

    Kedua, ketika narasi dalam video mejelaskan bahwa Shaihah yang dimaksud adalah suara benturan meteor dengan bagian bumi sesuai data dari NASA, yang berarti bumi akan mengalami kehancuran. Hal ini lebih rumit lagi dipahami, bagaimana mungkin akan terjadi peristiwa-peristiwa selanjutnya yang disebutkan dalam hadits, karena bumi sudah hancur.

    Ketiga, penggiringan opini bahwa pertengahan ramadhan yang jatuh hari jumat itu adalah ramadhan tahun 1441 H./2020, padahal permulaan ramadhan berbeda-beda sesuai ijtihad rukyat maupun hisab di masing-masing negara. Di sisi lain pertengahan ramadhan yang jatuh pada hari jum’at tidak hanya terjadi tahun ini, bisa jadi tahun-tahun sebelumnya. Penjelasan ini terkesan dipaksakan (cocokologi) dan tidak jauh berbeda dengan prediksi NASA pada tahun 2012 yang mengatakan akan terjadi kiamat, karena akan ada benturan meteor yang jatuh ke bumi. Ramalan ini membuat heboh masyarakat dunia, dan ternyata tidak terbukti.

    Oleh karena itu, sejatinya umat Islam tetap berpegang pada prinsip aqidah Islam bahwa hal-hal ghaib itu rahasia Allah. Kemudian meyakini berita ghaib hanya bersumber dari teks-teks agama yang valid, seperti al-Qur’an dan hadits yang shahih baik sanad maupun matan. Sejatinya seorang muslim memperkokoh keimanan dan meningkatkan kualitas diri dengan keshalihan individual maupun sosial. Dan sikap seorang muslim harus bijak, tidak terprovokasi dalam menyikapi berita-berita heboh di media sosial maupun elektronik. Wallāhu’alam bishawāb.

  • Opini: Ramadhan Menggapai Takwa

     

    Ramadhan Menggapai Takwa
    Oleh: Hendriyadi, MHI
    Pengurus MUI Lampung
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Bulan ramadhan adalah bulan yang dimulyakan oleh Allah swt., dan murupakan bulan khusus yang mana Allah akan senantiasa melimpahkan pahala yang berlipat ganda bagi siapa saja yang memperbanyak ibadah kepada-Nya, agar tercapai ketaqwaan kepa-Nya.

    Dalam hal ini Allah swt., firmannya: “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana puasa itu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (al-Baqarah: 183). Ayat ini tergolong sebagai ayat Madaniyah, yang mana ayat ini diturunkan di Madinah dengan ciri khas yaitu diawali dengan lafadz “Ya, ayyuhalladzi na aamanu” wahai orang-orang yang beriman.

    Sebutan orang yang beriman, yaitu untuk meneguhkan keimanan seseorang adapun kreteria orang yang beriman salah satunya adalah percaya kepada kitab-kitab sebelum al-Qur’an, yaitu Zabur, Taurat dan Injil. Lafadz tersebut dengan sengaja karena sangat berkaitan erat dengan lafadz setelahnya yang menggunakan istilah “kutiba ‘alaikum al-shiyam” lafadz ini menggunkan kutiba dan bukan aujaba atau faradha, karena ayat setelahnya menjelaskan “kama kutiba ‘alaikum al-shiyam” sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian. Bahwa perintah puasa sejatinya sudah diwajibkan kepada umat-umat sebelum umatnya Muhammad saw., sehingga tidak akan dimengerti atau dipercayai kecuali oleh orang-orang yang beriman.

    Lalu diteruskan dengan kalimat ,”la’allakum tattaquun” mengandung tiga makna, yaitu; Pertama, adalah agar kita terjaga dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah swt., karena apa yang diharamkan mengandung kemudharatan yang nyata. Kedua, agar kita menjadi lemah, karena dengan kita menjalankan puasa, fisik kita sangat berbeda dengan disaat kita tidak puasa, terasa lemah dan kurang berdaya sehingga kita mudah membimbing diri kita untuk menjadi orang yang bertaqwa. Sebab, ketika kita sedikit makan, maka syahwatnya juga akan lemah, ketika syahwatnya melemah maka makshiyyatnya juga akan sedikit dan mudah dikendalikan. Ketiga, adalah agar kita terjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita, yaitu Yahudi dan Nashrani.

    Harapan dan cita-cita bagi hamba yang beriman adalah adalah tercapainya tingkat ketaqwaan kepada Allah dengan mengaplikasikannya apa-apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilaranya-Nya, baik ketika sedang berpuasa maupun setelahnya. Maka sesungguhnya taqwa bukanlah menjadi jaminan bagi orang yang berpuasa kecuali ia berpuasa dengan sungguh-sungguh, karena puasa yang benar akan terpenuhinya target, yaitu terjaga dari kemaksiatan, menjadi lemah syahwatnya, serta dapat terhindar perbuatan yang dilakukan oleh umat-umat sebelum kita, karena sesungguhnya ibadah puasa merupakan ibadah yang telah disyari’atkan kepada umat-umat terdahulu, dan kemudian disyari’atkan kembali kepada kita umat Muhammad saw. Semoga kita selalu mendapatkan bimbingan Allah dan dapat tercapai ketaqwaan di bulan suci Ramadhan ini. Amin.

  • Opini: Mencetak Takwa dengan Puasa Ramadhan

    Mencetak Takwa dengan Puasa Ramadhan
    Oleh : Muhammad Irfan, SHI., M. Sy
    Dosen UIN Raden Intan Lampung
    Khodim Pondok Pesantren Arafah Lampung

    Puasa ramadhan adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam tanpa terkecuali. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 183

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
    Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi hamba Allah yang bertakwa.

    Allah mengawali dengan seruan “Hai orang-orang yang beriman” tentu bukan tanpa sebab mengapa demikian, karena seseorang yang benar akan imannya kepada Allah bukan hanya sebatas merasa terpanggil tetapi lebih dari itu muncul kecintaannya dengan apa yang diserukan oleh Allah.

    Imam Al-Ajuriy Rahimahullah berkata:
    باب القول بأن الإيمان تصديق بالقلب، وإقرار باللسان، وعمل بالجوارح. لا يكون مؤمنا إلا أن تجتمع فيه هذه الخصال الثلاث
    Artinya: Bab Perkataan : Bahwa iman adalah pembenaran dengan hati, yang diikrarkan dengan lisan, dan dilaksankan oleh anggota tubuh. Seseorang tidak menjadi mu’min (beriman) kecuali terkumpul padanya tiga hal tersebut”.

    Setelah Allah menyeru dilanjutkan dengan kalimat كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian). Ayat tersebut memberikan informasi juga menyampaikan keadaan bahwa puasa telah ada sejak dahulu. Untuk itu bertakwa dengan jalan puasa bukanlah harapan, cita-cita apalagi angan-angan yang berkepanjangan melainkan bukti nyata dan sudah Allah buktikan melalui umat terdahulu bahwa dengan puasa mampu mencetak seseoang untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa dengan sebenar-benar takwa.

    Karena itu semestinya kalimat لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ bukanlah kalimat harapan, meskipun masih ada yang menterjemahkan “semoga”, “supaya”, “agar” atau “mudah-mudahan, tanpa ada tambahan keterangan lain. Jika diperhatikan terjemahan tersebut benar secara bahasa karena dalam ilmu al-Nahwi lafadz لَعَلَّ bermakna Taroji artinya suatu perkara yang dimungkinkan dapat terwujud. Namun ada catatannya bila lafadz tersebut digunakan dari hamba kepada Allah.

    Sebaliknya jika Allah yang menggunakan lafadz لَعَلَّ maka terjemahannya adalah “pasti” karena konteks لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ merupakan pernyataan eksplisit dari Allah kepada hamba-Nya. Oleh sebab itu jika terjemahan hanya mengandalkan makna lughawi semata tentu akan menghilangkan aspek Tahqiq (kepastian) yang ada di dalamnya. Padahal sifat tahqiq tidak boleh dihilangkan karena ia berasal dari Allah Swt.

    Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir kalimat لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ kurang tepat jika hanya diterjemahkan “supaya kalian atau mudah-mudahan kalian…” saja. Seharusnya kalimat tersebut diterjemahkan “supaya kalian pasti…”, atau kalimat lain yang sepadan dengannya.

    Sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Ibnul Atsir karena dalil aqlinya adalah mustahil bagi Allah memiliki sifat ketidakpastian. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah kita yang sudah puasa bertahun-tahun di bulan Ramadhan sudahkah menjadi hamba Allah yang bertakwa, jika belum bagaimana dengan لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ yang terjemahannya adalah “pasti menjadi hamba Allah yang bertakwa”. Menarik untuk dibahas, Insya Allah dilain kesempatan.

    Wallahu A’lam.

  • Opini: Benarkah Syaithan Dibelenggu Pada Bulan Ramadhan

     

    Benarkah Syaithan Dibelenggu Pada Bulan Ramadhan
    Oleh: Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia dan dimuliakan oleh Allah swt., sehingga pada bulan ini syaithan dibelenggu untuk tidak menggoda manusia. Sebagaimana sabda rasulullah saw, “Apabila tiba bulan ramadhan, maka dibukakan pintu-pintu surga, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu” (HR. Bukhari Muslim).
    Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimanakah sejatinya makna setan dibelenggu pada bulan ramadhan?. Ada dua perspektif dalam memahami hal ini, pertama para ulama tekstualis mengatakan bahwa setan terbelenggu adalah pemaknaan secara harfiah, atau secara bahasa, sehingga pintu surga benar benar terbuka, pintu neraka benar benar tertutup dan setan benar benar terbelenggu. Keterangan surga sebagaimana dalam surat al-Shad ayat 37-38, adalah ketika rasulullah saw melakukan Isra’ Mi’raj diperlihatkan kenikmatan surga dan siksa neraka, sehingga benar adanya, adapun setan dibelenggu secara fisik, diikat, ditali, sehingga tidak berkutik sampai akhir ramadhan.

    Kedua adalah pemahaman ulama kontekstual, yang mengatakan bahwa ini adalah ungkapan metaforis, majazi, dan bukan makna haqiqi, sehingga gambaran pintu surga dibuka adalah Allah menjadikan bulan ramadhan sebagai bulan mulia yang memberikan peluang kepada hambanya untuk memperbanyak ibadah di dalamnya, dan memotivasi umat Islam untuk berlomba lomba dalam beribadah, yang mana pahala akan dilipat gandakan.

    Begitu juga gambaran pintu surga ditutup adalah mengambarkan berapa sensitivitas umat Islam terhadap dosa pada bulan itu, sehingga berapa tinggi kesadaran mereka dalam menjauhi kemaksiatan pada bulan ramadhan tersebut. Sehingga pintu pintu neraka tertutup, bukan secara fisik, namun sebagai gambaran manusia agar tidak berbuat maksiat pada bulan ramadhan.

    Sedangkan setan ada dua, yaitu dari jumlah jin dan manusia, setan akan terkunci menggoda manusia, karena ia telah asyik beribadah dengan khusu’ dan tawadhu’ kepada Allah, sehingga tidak ada peluang setan untuk menggoda nya. Sedangkan setan dari jumlah manusia, sejatinya adalah bahwa manusia seharusnya sadar, tidak maksiat, memperbanyak ibadah, sehingga dengan demikian dari jumlah manusia tidak banyak dapat menggoda manusia, baik oleh dirinya maupun orang lain. Sebagaimana dalam surat al An’am ayat 112, dan surat al Isra’ ayat 27.

    Lantas mengapa masih banyak kemaksiatan merajalela dimana mana, apakah setan masih menyusup pada diri manusia, hal itu disebabkan pada kerakusan dan syahwat manusia yang tidak mampu mengendalikan nafsunya, sehingga tetap saja berbuat kemaksiatan. Wallahualam.

  • Opini: Puasa Jadikan Hidup Manusia Lebih Mulia

    Puasa Jadikan Hidup Manusia Lebih Mulia
    Oleh: Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Dosen UIN Raden Intan Lampung
    Pengurus MUI Lampung

    Setiap manusia ingin hidup tenang, tentram, dan bahagia. Dan itu semua tentunya dapat diwujudkan manakala di antara kita saling menjaga, menghormati, menghargai dan saling memahami. Salah satu hal yang dapat  dilakukan dalam rangka mewujudkan itu semua adalah dengan berpuasa secara baik dan benar. Sebab puasa tidak hanya sekedar menahan diri dari rasa haus dan lapar, tetapi lebih dari itu.

    Puasa adalah bagaimana kita mampu menahan lisan kita dari ucapan-ucapan yang tidak baik, bagaimana mampu menahan pandangan mata kita dari hal-hal yang buruk, bagaimana mampu menahan telinga kita dari hal-hal yang tidak baik, bagaimana mampu menahan pikiran kita dari hal-hal yang negatif, bagaimana mampu menahan kaki tangan kita dari hal-hal yang maksiat, bahkan puasa adalah bagaimana kita mampu mengendalikan hati kita dari prasangka-prasangka yang buruk.

    Ingat Rasulullah saw bersabda “ Man Lam  Yada’ qaula al Zur Wa al ‘Amala bihi Wa al Jahla Falaisa Lillahi Hajatun Fi An Yada’a Tha’amahu wa syarabahu”, yang artinya Barangsiapa yang tidak dapat mengendalikan diri dari ucapan yang buruk, perbuatan yang tidak baik, bahkan suka berbuat kebodohan, maka Allah sekali-kali tidak butuh akan puasa-puasa kalian.

    Ini artinya bahwa apabila kita berpuasa tetapi tidak mampu mengendalikan seluruh anggota tubuh (panca indra), maka akan sis-sialah puasa kita, sebaliknya apabila kita mampu mengendalikan panca indra saat berpuasa, nicaya hidup kita akan menjadi mulia, yakinlah itu…. Karena fungsi puasa selain membentuk manusia yang berakhlakul karimah, puasa juga dapat menanamkan kesabaran, kesalehan, dan kemuliaan. Ingat Rasulullah saw bersabda “ Ashiyamu Junnatun”, Puasa itu benteng kehidupan. Artinya bagi seseorang yang sedang berpuasa niscaya hidupnya akan senantiasa terjaga, baik ucapannya, sikap perilakunya, maupun perbuatan atau tindakannya.

    Sehingga ia akan menjadi manusia yang mulia, baik di mata sesama manusia, maupun di mata Allah swt. Dengan demikian apabila seseorang sedang berpuasa, tetapi masih berkata kotor, mudah marah/emosi, bersikap tidak sopan, berperilaku buruk, berperangai jelek, memaki dan menghina orang lain, serta berbuat/bertindak di luar ketentuan agama, berarti puasanya akan sia-sia. Ingat hadis Rasulullah “rubba shaimin laisa lahu min shiyamihi illa alju’ wa rubba qaimin laisa lahu min qiyamihi illa al sahra”, artinya alangkah banyaknya orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan alangkah banyaknya orang yang melakukan qiyamul lail tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya berjaga-jaga (begadang). Wallahua’lam Bishawab.

  • Opini: Hukum Berinfus Saat Puasa

    Hukum Berinfus Saat Puasa
    Oleh: Dr. Agus Hermanto. MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Diantara hal hal yang membatalkan puasa adalah makan dan minum serta bersenggama. Yang menjadi masalah adalah, bagaimanakah hukum berinfus atau menggunakan infus saat sakit, apakah dapat membatalkan puasa?
    Infus sesungguhnya adalah cairan khusus yang digunakan untuk dapat membantu tenaga orang yang sedang sakit, sedangkan penggunaan infus adalah melalui kulit dan tidak melalui tenggorokan atau anggota tubuh yang mengarah pada tenggorokan.
    Jika dilihat dari segi tidak masuknya air infus ke tenggorokan, maka hukum berinfus menjadi tidak batal, namun demikian, fungsi dari infus sendiri adalah mentegarkan tubuh yang hampir sama dengan makan dan minum, dan ini menghilangkan salah satu nilai perjuangan dari puasa itu sendiri.
    Orang yang sakit menggunakan infus sejatinya sakit itu sendiri tidak mewajibkan dia untuk berpuasa, rukhsah walaupun harus mengqadha pada hari lain. Namun jika itu tetap dilakukan, maka pemakaian infus sebagai tindakan darurat,
    الحاجة تنزل منزلة الضرورة
    Kebutuhan mendesak ia dapat menduduki posisi darurat, sebagaimana kaidah fiqih,
    الضرورة تبيح المحظورات
    (Kemudharatan itu dapat menyebabkan dibolehkannya sesuatu yang mulanya dilarang). Namun demikian, orang yang sakit menggunakan infus dari pendapat yang terkuat hukumnya membatalkan puasa, karena fungsi infus adalah untuk menggantikan makanan, minimal puasa yang dilakukan adalah makruh, takalluf ( memaksakan diri di luar kemampuannya), sebagaimana petunjuk dalam surat al Baqarah ayat 286, Allah tidak membebani siapapun di luar kemampuannya “wajarnya”.
    Namun jika yang menggunakan infus adalah orang yang sehat karena mainan, ia ingin menggunakan infus untuk agar tubuhnya segar, maka tentunya membatalkan puasanya.
    Hal ini berbeda dengan hukum suntik saat puasa, yang memang fungsinya bukan untuk kebugaran tubuh, melainkan hanya untuk mengobati, maka masuk dalam ranah, الضرورة تبيح المحظورات
    Dan orang yang sakit seyogyanya tidaklah berpuasa agar lebih maksimal pengobatannya. Wallahualam.

  • Opini: Korona dan Peningkatan Kualitas Interaksi dengan Keluarga

    Korona dan Peningkatan Kualitas Interaksi dengan Keluarga
    Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
    Pengurus MUI Lampung
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Musibah korona yang menimpa kita, mendorong kita untuk merubah dan menyesuaikan aktifitas keseharian kita. Banyak dari orang tua yang selama ini sibuk dengan aktifitas pekerjaannya di luar rumah, selama masa pandemi Korona, dengan diterapkannya kebijakan bekerja dari rumah, otomatis akan banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga di rumah. Disinilah pentingnya menciptakan kondisi rumah yang menenangkan dan menentramkan bagi seluruh penghuninya.

    Musibah Korona yang menimpa kita, menjadikan proses belajar anak-anak, yang selama ini banyak dari orang tua menyerahkan proses belajar mereka sepenuhnya kepada para pendidik di lembaga pendidikan, dengan diterapkannya sistem belajar dari rumah, mengharuskan para orang tua untuk juga terlibat dalam proses belajar anak-anak mereka.

    Bahkan, khususnya di beberapa daerah yang sudah ditetapkan sebagai zona merah dan memberlakukan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) bagi warganya, musibah Korona mengharuskan mereka menjalankan ritual ibadahnya di rumah, bukan di tempat-tempat peribadatan. Kondisi seperti ini juga menuntut para orang tua untuk mengawasi bahkan terlibat langsung dan bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya dalam melaksananakan sejumlah ritual ibadah.

    Fenomena diatas semestinya dijadikan momentum berharga bagi segenap anggota keluarga untuk meningkatkan kualitas interaksi diantara mereka, bukan sebaliknya.

    Terlepas ada atau tidak adanya musibah Korona. Al Qur’an mengingatkan kita bahwasannya rumah yang menjadi tempat tinggal kita adalah bagian dari nikmat yang Allah swt berikan kepada kita. Kenikmatan ini akan sangat terasa ketika kita belum memilikinya, atau ketika kita membayangkan diri kita sebagai gelandangan. Dan bagian dari wujud syukur kita atas nikmat tersebut adalah dengan terus menerus berupaya menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam rumah kita, dan ini sejatinya yang diinginkan oleh Al Qur’an, ketika Al Qur’an menggambarkan rumah sebagai “sakanan” yang secara bahasa berarti: tenang dan tentram, karena rumah itu dibangun dan ditempatinya sejatinya untuk dijadikan sebagai tempat dimana manusia memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa dan fisiknya (Q.S. An Nahl: 80).

    Al Qur’an juga mengingatkan kita pentingnya proses belajar guna menghasilkan generasi yang unggul dan tidak lemah (Q.S. An Nisâʼ: 9), lebih dari cukup untuk menegaskan pentingnya proses belajar dalam Islam, pesan ayat pertama yang diturunkan oleh malaikat Jibril kepada rasulullah saw adalah pentingnya membaca dan menulis, dua media penting dalam sebuah proses belajar (Q.S. Al ‘Alaq: 1-5). Atas dasar itu, musibah Korona tidak boleh dijadikan alasan untuk melemahkan apalagi meniadakan proses belajar, karena disaat berjihad di medan peperangan merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim, Islam pada saat yang sama juga menjadikan proses belajar sebagai kewajiban yang sama bagi muslim lainnya (Q.S. At Taubah: 122), apalagi disaat tidak adanya kondisi yang mewajibkan seorang muslim untuk berjihad di medang peperangan, proses belajar menjadi kewajiban atas seluruh muslim (H.R. Ibnu Majah, No Hadits. 229), dan adanya halangan untuk terselenggaranya proses belajar secara bersama-sama dalam satu ruangan, sebagaimana yang terjadi saat musibah korona ini berlangsung, tidaklah menjadi penghalang untuk terselenggaranya proses belajar di rumah, apalagi kecanggihan tehnik informatika saat ini memungkinkan kita untuk menyelenggarkaan proses belajar bersama secara daring, walaupun kita tidak berada di ruang yang sama.

    Menjadikan rumah sebagai tempat ibadah, ketika ada halangan untuk melakukan ibadah di tempat peribadatan secara terbuka dan ramai, sejatinya sudah terjadi di zaman nabi Musa as. Guna keselamatan orang-orang yang beriman dari kalangan Bani Israil dari kezaliman Fir‘aun dan bala tentaranya, Allah swt memerintahkan nabi Musa as dan saudaranya nabi Harun as agar mengambil satu rumah secara sembunyi-sembunyi, untuk diperuntukkan sebagai tempat bagi mereka untuk beribadah kepada Allah swt (Q.S. Yūnus: 87).

    Sebagaimana tidak ada larangan untuk menjadikan rumah sebagai tempat beribadah, bahkan dianjurkan dalam kondisi tertentu, posisi keluarga hendaknya lebih diperhatikan dalam hal ibadah, makanya Al Qur’an setelah mengingatkan kita untuk menjaga diri kita dari siksa api neraka, Al Qur’an setelahnya mengingatkan kita untuk menjaga juga keluarga kita (Q.S. At Tahrîm: 6). Sebagaimana di awal masa kenabiannya, rasulullah saw sebelum diperintahkan oleh Tuhannya untuk mendakwahi manusia secara keseluruhan, terlebih dahulu beliau diingatkan oleh Tuhannya untuk mendakwahi kerabat dekatnya (Q.S. Asy Syu‘arâʼ: 214).

    Tidaklah berlebihan, untuk kebaikan keluarga, rasulullah saw mengingatkan para orang tua untuk memerintahkan anak-anak mereka untuk menjalankan ibadah shalat disaat mereka masih berumur tujuh tahun dan memukulnya “dengan pukulan yang tidak membekas” ketika mereka enggan untuk melaksanakannya dan mereka sudah berumur sepuluh tahun (H.R. Abu Dawud, No Hadits. 495). Dan musibah Korona yang terjadi dan mengharuskan kedua orang tua untuk selalu berada di tengah anak-anaknya, sejatinya akan lebih memberikan dampak yang lebih positif dan efektif, dibandingkan ketika keduanya berada di luar rumah, dalam rangka mengamalkan pesan ayat dan hadits diatas seputar pentingnya menghadirkan ibadah yang berkualitas di internal keluarga.

    Mudah-mudahan musibah Korona yang terjadi dan mengharuskan kita untuk bekerja, belajar dan beribadah dari rumah, dapat kita jadikan sebagai momentum berharga bagi kita untuk meningkatkan kualitas interaksi kita dengan sesama anggota keluarga yang tinggal serumah dengan kita.

  • Opini: Sekincau Jilid 2 dan Kearifan Ramadhan

    Sekincau Jilid 2 dan Kearifan Ramadhan
    Miftahus Surur
    Wakil Ketua Lazisnu  Lampung

    Tanggal 4 April 2020, Sekincau –lebih tepatnya Srigaluh- menjadi popular. Mungkin seluruh Provinsi Lampung atau bahkan lebih dari itu mengenal nama kampung yang satu ini. Ya, Sekincau mencuat karena warga masyarakatnya mau menerima salah satu jenazah pasien terjangkit Covid-19.

    Tidak lama setelah itu, nama Sekincau mencuat kembali. Hal itu disebabkan adanya satu pasien asal daerah itu yang terjangkit secara positif oleh Covid-19. Masyarakat gaduh. Sekincau menjadi pesakitan. Siapapun yang ditengarai berasal dari Sekincau harus diawasi secara khusus.

    Bahkan saat memasuki bulan Ramadhan, masjid-masjid Sekincau terbilang sunyi karena hampir tidak ada satu pun yang menggelar shalat tarawih berjama’ah di masjid atau musholla.

    Dampak lain juga mulai muncul. Hasil produksi masyarakat dari daerah ini pun mengalami kemacetan. Salah satu pedagang tempe keliling mulai gelisah, karena dagangannya relatif tidak laku karena pembelinya khawatir jika tempe yang ia jajakan mengandung Covid-19. Ia ingin menjerit menangis. Tapi harus marah kepada siapa. Kondisinya memang begini. Tiada siapapun yang dapat menolaknya.

    Tapi, haruskah stigma dan kecemasan itu didiamkan? Kita harus sadar bahwa tiada yang keliru dengan Sekincau, sama halnya tiada yang keliru dengan Jakarta.

    Covid-19 ini tiada memiliki terminal dan stasiun khusus, juga tidak punya pelanggan tetap. Ia bisa menghinggapi siapa saja. Membiarkan, atau bahkan memupuk kecemasan terhadap kehidupan masyarakat Sekincau berarti menyiapkan kehancuran bagi mereka.

    Mengatasnamakan kewaspadaan dan kehati-hatian bukan berarti mengharuskan adanya kecurigaan yang berlebihan, atau mungkin kebencian terhadap warganya.

    Ramadhan kini, dengan ragam kesunyian yang melekat padanya menjadi saat yang tepat bagi kita untuk mendikte diri sendiri. Sudah banyak dalil, juga para pengkhutbah yang menderakan dakwah berkumandang bahwa prasangka harus dijauhi, kebencian harus dihapus, dan kecurigaan harus diretas.

    Ramadhan menyediakan perangkat untuk memperkuat keyakinan diri betapa kasih sayang dan turut merasakan kepedihan sesama itu merupakan sesuatu yang sangat bernilai di hadapan Allah swt.

    Sekincau harus dibuat tegar dan tetap berjalan tanpa terseok-seok. Jika kita mengerti bahwa Covid-19 ini dapat menyerang siapa saja, lalu mengapa takut menjejakkan kaki di wilayah terdingin ini tetapi tidak khawatir ketika berbelanja di swalayan atau di pasar lain? Akankah kita biarkan produsen sayur mayur ini terbaring, sakit, menunggu mati, pelan-pelan?

    Ramadhan ini mengajarkan kita tentang kearifan, bukan semata-mata perlombaan ibadah mengharap pahala berlimpah. Kearifan Ramadhan mengajarkan kita untuk menang atas godaan dan segala sifat selfish; sifat selalu ingin bangga dan menumpuk setiap keinginan untuk kepuasan diri sendiri.
    Sekincau kini, tentu tidak sendirian. Entah berapa banyak “sekincau-sekincau” lainnya yang sedang mengulurkan tangan membutuhkan bantuan.

    Jika kita mau merenung lebih jauh, mengapa zakat itu dianjurkan, mengapa pula infaq dan shadaqah itu dihimbau? Tentu bukan semata-mata agar harta yang kita miliki menjadi bersih. Bukan sekedar itu. Tetapi ada keberbagian disana, yaitu keberbagian materi dan juga rasa.

    Dan keberbagian rasa inilah yang lebih dari segalanya; rasa terhadap kekurangan yang lain, rasa terhadap kelaparan orang lain, juga rasa atas kepedihan hati yang lain. Anekdot Jawa mangan ora mangan sing penting ngumpul itu mengisyaratkan makna penting bahwa rasa kebersamaan yang saling dipersatukan itu jauh lebih dikehendaki daripada tumpukan harta yang tak terbagi.

    Jika masih ada diantara kita yang diam tidak mau bergerak atau menggerakkan apa yang ia miliki untuk membantu sesama, terlebih ketika ia merasa bahwa Ramadhan ini hanyalah momentum untuk menggapai pahala sebanyak-banyaknya bagi dirinya sendiri, maka sesungguhnya ia telah kehilangan Ramadhan yang sesungguhnya.

    Bukankah Hujjatul Islam Imam Ghazali pernah menyampaikan suatu maklumat indah “puasa hamba yang spesial itu terletak pada kemampuannya menghancurkan ketamakan pribadi, bukan karena semata-mata kemampuannya mencegah mulut dari masuknya sepiring nasi dan segelas air”?

    Kawan, mumpung Ramadhan, mari gunakan kearifan yang kita miliki untuk membantu yang lain. Hingga tiba pada waktunya kita mengatakan: “Sekincau, selamat datang kebahagiaan.” Indah, bukan?

    Lereng Gunung Sekincau, 27 April 2020

  • Opini: Korona dan Keniscayaan Akan Perkara Ghaib

    Korona dan Keniscayaan Akan Perkara Ghaib
    Oleh: Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
    Pengurus MUI Lampung
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

     

    Islam merupakan agama yang tidak saja mengajarkan kita untuk mengimani sesuatu yang kasat mata, akan tetapi juga mengajarkan kita untuk mengimani yang tidak kasat mata, atau perkara ghaib.

    Mengimani keberadaan seorang rasul, bagi orang yang hidup sezaman dengannya merupakan bagian dari perintah untuk mengimani sesuatu yang bersifat kasat mata. Al Qur’an dalam surah Al Jumu‘ah: 2, ketika mengajak penduduk kota Makkah untuk mengimani kerasulan Muhammad saw, mengingatkan mereka untuk menggunakan pengetahuan kasat mata mereka berkaitan dengan rekam jejak beliau, bahwasannya nabi Muhammad saw merupakan sosok yang tidak membaca dan tidak menulis, sebagaimana juga mereka, yang sedari lahir berada di tengah-tengah mereka dan tinggal bersama mereka. Beliau merupakan sosok yang tidak pernah terdengar sisi negatif dari kepribadiannya sebelumnya, sebaliknya julukan Al Amîn (sosok yang dapat dipercaya) telah mereka sematkan kepada beliau, jauh sebelum beliau mendeklarasikan dirinya sebagai seorang rasul atas perintah Tuhannya.

    Tuduhan yang disematkan kepada nabi Muhammad saw, bahwasannya dia adalah pembohong (Q.S. Yūnus: 38), penyihir (Q.S. (Q.S. Shâd: 4), penyair (Q.S. Ath Thūr: 30), dukun (Q.S. Al Hâqqah: 42), orang gila (Q.S. Ad Dukhân: 14), dan murid dari orang pintar yang kerap kali mengajarinya baik di waktu pagi maupun di waktu petang (Q.S. Al Furqân: 5), pasca beliau menyampaikan Al Qur’an, sebagai mu‘jizat yang membenarkan dan menguatkan kerasulannya, merupakan tuduhan-tuduhan yang jelas-jelas bertolak belakang dengan pengetahuan yang berlandaskan kasat mata mereka.

    Bukan saja sosok nabi Muhammad saw yang selama ini sudah mereka kenal secara baik, akan tetapi Al Qur’an yang disampaikannya pun diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yakni: bahasa yang mereka gunakan dalam keseharian mereka, agar mereka dapat membaca dan menelaahnya (Q.S. Yūsuf: 2). Kekaguman akan kandungan Al Qur’an terlontar dari sebagian mereka, Al Qur’an pun secara berulang-ulang menawarkan tantangan kepada mereka untuk mendatangkan yang semisal dengannya, guna membuktikan tuduhan-tuduhan mereka. Akan tetapi mereka tidak mampu untuk menjawabnya, sejatinya hati yang sudah tertutup mati dalam kekafiran lah yang telah menghalangi mereka untuk mengimani kerasulan nabi Muhammad saw dan Al Qur’an sebagai mu‘jizat terbesarnya (Q.S. Al Baqarah: 7).

    Islam disamping mengajarkan kita pentingnya keimanan yang berlandaskan kasat mata, Islam juga mengajarkan kita pentingnya keimanan terhadap perkara ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh kasat mata kita, seperti: keimanan akan keberadaan Dzat Allah swt, keimanan akan keberadaan para malaikat, keimanan akan hari kiamat dan keimanan akan qadha dan qadar.

    Al Qur’an mengingatkan kita bahwasannya musibah Korona yang melanda dunia saat ini, merupakan bagian dari qadha dan qadar Allah swt dan terjadi berdasarkan kehendak dan izin-Nya (Q.S. Ath Thaghâbun: 11), bahkan sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh jauh sebelum musibah ini benar-benar terjadi dalam kenyataan (Q.S. Al Hadîd: 22). Itulah Allah swt, Dzat yang mengetahui yang kasat maupun yang tidak kasat mata, Dzat yang mendeklarasikan diri-nya sebagai ‘Allâmul Ghuyūb (Maha Mengetahui segala perkara ghaib) (Q.S. At Taubah: 78).

    Fenomena terbalik terjadi diantara kita sebelum musibah Korona mengenai kita, dimana tidak ada satupun dari kita yang memprediksi bahwasannya tempat-tempat peribadatan akan dibatasi, lembaga-lembaga pendidikan akan diliburkan, pusat-pusat perekonomian akan ditutup, destinasi-destinasi pariwisata akan dijauhi. Sehingga terheran-heranlah kita ketika semua apa yang tidak kita prediksikan sebelumnya ini, terjadi dalam kenyataan hidup kita, di saat musibah Korona ini mengenai kita.

    Semua fenomena diatas yang terjadi dan tidak diprediksi sebelumnya dan dialami oleh kita pasca musibah korona mengenai kita, mengingatkan kita semua akan apa yang diingatkan oleh Allah swt dalam surah Al Kahfi: 23-24, “Janganlah sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “aku pasti melakukan itu besok pagi”, kecuali (dengan mengatakan), “Insyaallah (kalau Allah berkehendak)”.

    Fenomena diatas menyadarkan kita akan keterbatasan pengetahuan yang kita miliki seputar perkara ghaib, seperti: tidak tahunya kita secara pasti apa yang akan kita kerjakan esok hari dan di bagian bumi mana kita akan menemui ajal kematian kita (Q.S. Luqmân: 34). Fenomena diatas juga menyadarkan kita bahwasannya hanya milik Allah swt pengetahuan seputar perkara ghaib (Q.S. Yūnus: 20). Disinilah pentingnya mempercayai perkara ghaib, tentunya yang berlandaskan kepada wahyu Illahi, Al Qur’an pun mengingatkan kita semua, bahwasannya diantara karakter yang hendaknya dimiliki oleh orang yang bertakwa, adalah: hendaknya ia mempercayai perkara ghaib (Q.S. Al Baqarah: 3).