Opini: Mencetak Takwa dengan Puasa Ramadhan
Mencetak Takwa dengan Puasa Ramadhan
Oleh : Muhammad Irfan, SHI., M. Sy
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Khodim Pondok Pesantren Arafah Lampung
Puasa ramadhan adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam tanpa terkecuali. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi hamba Allah yang bertakwa.
Allah mengawali dengan seruan “Hai orang-orang yang beriman” tentu bukan tanpa sebab mengapa demikian, karena seseorang yang benar akan imannya kepada Allah bukan hanya sebatas merasa terpanggil tetapi lebih dari itu muncul kecintaannya dengan apa yang diserukan oleh Allah.
Imam Al-Ajuriy Rahimahullah berkata:
باب القول بأن الإيمان تصديق بالقلب، وإقرار باللسان، وعمل بالجوارح. لا يكون مؤمنا إلا أن تجتمع فيه هذه الخصال الثلاث
Artinya: Bab Perkataan : Bahwa iman adalah pembenaran dengan hati, yang diikrarkan dengan lisan, dan dilaksankan oleh anggota tubuh. Seseorang tidak menjadi mu’min (beriman) kecuali terkumpul padanya tiga hal tersebut”.
Setelah Allah menyeru dilanjutkan dengan kalimat كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian). Ayat tersebut memberikan informasi juga menyampaikan keadaan bahwa puasa telah ada sejak dahulu. Untuk itu bertakwa dengan jalan puasa bukanlah harapan, cita-cita apalagi angan-angan yang berkepanjangan melainkan bukti nyata dan sudah Allah buktikan melalui umat terdahulu bahwa dengan puasa mampu mencetak seseoang untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa dengan sebenar-benar takwa.
Karena itu semestinya kalimat لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ bukanlah kalimat harapan, meskipun masih ada yang menterjemahkan “semoga”, “supaya”, “agar” atau “mudah-mudahan, tanpa ada tambahan keterangan lain. Jika diperhatikan terjemahan tersebut benar secara bahasa karena dalam ilmu al-Nahwi lafadz لَعَلَّ bermakna Taroji artinya suatu perkara yang dimungkinkan dapat terwujud. Namun ada catatannya bila lafadz tersebut digunakan dari hamba kepada Allah.
Sebaliknya jika Allah yang menggunakan lafadz لَعَلَّ maka terjemahannya adalah “pasti” karena konteks لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ merupakan pernyataan eksplisit dari Allah kepada hamba-Nya. Oleh sebab itu jika terjemahan hanya mengandalkan makna lughawi semata tentu akan menghilangkan aspek Tahqiq (kepastian) yang ada di dalamnya. Padahal sifat tahqiq tidak boleh dihilangkan karena ia berasal dari Allah Swt.
Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir kalimat لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ kurang tepat jika hanya diterjemahkan “supaya kalian atau mudah-mudahan kalian…” saja. Seharusnya kalimat tersebut diterjemahkan “supaya kalian pasti…”, atau kalimat lain yang sepadan dengannya.
Sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Ibnul Atsir karena dalil aqlinya adalah mustahil bagi Allah memiliki sifat ketidakpastian. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah kita yang sudah puasa bertahun-tahun di bulan Ramadhan sudahkah menjadi hamba Allah yang bertakwa, jika belum bagaimana dengan لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ yang terjemahannya adalah “pasti menjadi hamba Allah yang bertakwa”. Menarik untuk dibahas, Insya Allah dilain kesempatan.
Wallahu A’lam.