Babak Baru Pilkada Serentak 2024 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024

BABAK BARU PILKADA SERENTAK 2024 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 60/PUU-XXII/2024

Oleh : Muhamad Azmi, M.Pd.
(Sekretaris Lakpesdam PCNU Kota Bandar Lampung)

Tahapan Pendaftaran Calon Kepala Daerah pada Pilkada Serentak 2024 tinggal menghitung hari lagi. Tahapan ini telah dijadwalkan pada 27 – 29 Agustus mendatang. Meski tinggal menghitung hari menuju pendaftaran calon, rekomendasi Partai Politik dan Gabungan Partai Politik di beberapa daerah masih belum tuntas.

Di tengah penantian rekomendasi calon kepala daerah tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah aturan Pilkada Serentak melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan Kepala Daerah yang harus dipenuhi Partai Politik dan Gabungan Partai Politik Pemilu untuk dapat mengusung calon Kepala Daerah baik Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.

Permohonan tersebut diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora ke Mahkamah Konstitusi pada 20 Mei 2024 yang lalu. Pada pokoknya kedua Parpol tersebut menggugat ambang batas (theshold) dalam pencalonan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) tersebut bertentangan dengan Konstitusi (inkonstitusional).

Bunyi Pasal 40 UU Pilkada menyatakan bahwa:
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.
(3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(4) Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan calon.
(5) Perhitungan persentase dari jumlah kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikecualikan bagi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat yang diangkat.

Dalil Para Pemohon
Para pemohon mendalilkan bahwa pada pokoknya merasa dirugikan hak konstitusional
partainya dengan berlakunya Pasal 40 ayat (3) di atas, karena para Pemohon selaku Partai Politik yang telah didirikan secara resmi dan mendapat pengesahan dari Pemerintah serta ditetapkan sebagai peserta Pemilu Tahun
2024 dan memperoleh suara sah dalam Pemilu Tahun 2024, terhalang haknya untuk mengajukan/mendaftarkan pasangan calon kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada. Ketentuan tersebut berbasis pada perolehan kursi di lembaga perwakilan (DPRD) atau berbasis perolehan suara sah dalam Pemilu.

Para Pemohon juga menyatakan bahwa hak-haknya telah terhalang karena berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada bahwa basis pilihan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 ayat (1), hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Batasan tersebut telah menegasikan hak konstitusional para Pemohon.

Pertimbangan Hakim Konstitusi
Hakim Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa ambang batas (threshold) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada di atas bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.

Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan mengenai ambang batas (threshold) perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berdasar dan kehilangan rasionalitas jika syarat pengusulan pasangan calon dimaksud lebih besar daripada pengusulan pasangan calon melalui jalur perseorangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan Pasal 41 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU Pilkada. Oleh karena itu, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan yakni sesuai dengan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2).

Mahkamah menyatakan bahwa penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota.

Amar Putusan
Berdasarkan amar putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah mengubah pasal 40 ayat (1) UU Pilkada, dimana partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut;
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;

Selain itu, Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Keberlakuan Putusan
Selanjutnya, terkait keberlakuan putusan ini sebagaimana tercantum pada bagian penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah kembali pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Kemudian, apabila Pasal 10 Ayat (1) UU MK ditafsirkan secara sistematis, maka terdapat beberapa parameter pokok yang menggambarkan tentang sifat Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. Waktu keberlakuan Putusan MK yang bersifat final ialah terhitung sejak dibacakan atau diucapkan. Dengan kata lain, dapat langsung diberlakukan pada saat itu pula;
2. Sifat final yang dimaksud mengandung konsekuensi hukum berupa tidak tersedianya upaya hukum lanjutan atau tidak adanya mekanisme koreksi atas Putusan tersebut.
3. Sifat “final and binding” dalam Putusan MK mengandung prinsip erga omnes karena menimbulkan akibat hukum berupa kewajiban untuk tunduk terhadap putusan tersebut yang tidak hanya berlaku mengikat para pihak, akan tetapi kepada seluruh elemen kelembagaan negara dan masyarakat.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka putusan ini sejatinya telah berlaku sejak diucapkan dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, semua pihak harus tunduk pada putusan ini termasuk KPU yakni dengan mengubah PKPU terkait persyaratan calon Kepala Daerah sebelum pendaftaran dimulai.

Putusan ini secara tegas telah memberikan hak-hak kepada partai politik untuk dapat leluasa dalam berkontestasi di Pilkada Serentak tahun ini secara demokratis sebagaimana cita-cita konstitusi. Dengan demikian, kemungkinan munculnya calon-calon baru yang sebelumnya terhalang oleh ambang batas (threshold) untuk dapat mengusulkan Pasangan Calon Kepala Daerah akan menepis fenomena calon tunggal di daerah sehingga dapat menghasilkan calon-calon Kepala Daerah yang lebih kompetitif.

Comments

Leave a Reply