Opini: Idul Fitri di Tengah Pandemi

Idul Fitri di Tengah Pandemi
Oleh: Taufiq Kurohman
Santri PP. Darul A’mal Metro Lampung

Umat Islam Indonesia sebagai penduduk mayoritas di negara ini sebentar lagi akan merayakan sebuah moment penting yang bahkan juga dirayakan oleh pemeluk agama lain di Indonesia, yaitu Idul Fitri atau Lebaran atau Halal bi Halal dengan rangkaian kegiatan pendukungnya.

Idul Fitri secara Bahasa artinya kembali suci secara lahir maupun batin. hal ini dikarenakan sebelumnya ummat islam telah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh di mana dalam bulan Ramadhan banyak sekali amalan-amalan yang diyakini dapat menghapus dosa-dosa manusia yang telah lalu. Disamping juga terdapat hadits fadhoilul a’mal yang membagi bulan Ramadhan dalam 3 fase, yaitu fase 10 hari pertama sebagai rahmat atau kasih sayang, fase sepuluh hari kedua sebagai maghfiroh atau ampunan, dan sepuluh hari terakhir sebagai fase itqun minan naar atau pembebasan dari api neraka.

Belum lagi adanya salah satu malam di bulan Ramadhan sebagai lailatul qadar, malam yang statusnya khairun min alfi syahr, lebih bagus dari seribu bulan. Jika dihitung maka ibadah pada malam lailatul qadar lebih bagus dari beribadah selama delapan puluhan tahun, umur yang cukup panjang bagi manusia saat ini pada umumnya.
Jadi wajar jika di ujung Ramadhan, ummat islam khususnya di Indonesia merayakannya dan menyebutnya dengan istilah Idul Fitri sebagai luapan kegembiraan telah kembali suci, suci lahir dan batin.

Istilah lain dari Idul Fitri adalah Lebaran. Kata ini mempunya beberapa makna, ada yang memaknai sebagai Pembebasan yang maksudnya bebas dari dosa baik dosa kepada Allah maupun dosa sesama manusia, ada yang memaknai lebaran sebagai kelapangan dada kita saling memaafkan antar sesama, ada pula yang memaknainya sebagai leburan, meleburnya sifat-sifat kesombongan karena telah berhasil melewati godaan selama ramadhan, dan sebagainya.

hal ini ditandai ketika lebaran masyarakat Indonesia biasanya merayakannya dengan saling bersalam-salaman, saling mengunjungi sesama sanak family, bahkan yang berada di luar kota, yang sedang merantaupun berusaha sekuat tenaga mengumpulkan dana untuk sekedar mudik dan merayakan lebaran di rumah atau di kampung halaman.

Nah.. budaya mudik ini pulalah yang hamper pasti menyebabkan kemacetan lalu lintas yang luar biasa, berbagai kendaraan baik kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat serta kendaraan umum memadati jalanan. Maka arus mudik dan arus balik menjadi perhatian serius pemerintah khususnya aparat kepolisian dan Kementerian Perhubungan agar para pemudik bias lancar selama perjalanan sehingga bisa berlebaran di kampung halaman, sungkem dan bermaaf-maafan dengan orang tua dan handai taulan, dan kemudian bisa dengan aman kembali ke perantauan untuk melanjutkan pekerjaannya.

Istilah lain atau yang merupakan rangkaian dari Idul Fitri adalah Halal bi Halal, yaitu upaya meminta halal atau meminta maaf dan memaafkan Antara anak dan orang tua, sanak family, serta handai taulan dan sanak kerabat.
Semua istilah di atas nyaris hanya ditemui di negeri ini, tidak ada Idul Fitri, tidak ada lebaran, dan tidak ada Halal bi Halal semeriah di Indonesia.

Namun, Idul Fitri tahun ini dipastikan akan beda dari tahun-tahun sebelumnya, Yaa kita akan merayakan Idul Fitri di tengah Pandemi Covid 19. Pemerintah dan para tokoh agama sudah mengeluarkan kebijakan dan himbauan larangan mudik, larangan sholat Ied di masjid, dan larangan anjuran untuk silaturrahim secara daring, setelah sebelumnya juga mengeluarkan larangan sholat tarawih di masjid sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid19 yang masih massif di Indonesia. Hal ini tentu akan menjadi hal yang baru bagi masyarakat Indonesia.
Lantas bagaimana sebaiknya kita merayakan Idul Fitri di tengah Pandemi?

Terdapat sebuah maqolah dari Ibnu Rajab dalam Kitab Lathaiful Ma’arif yang sangat masyhur tentang Idul Fitri yang berbunyi
ليس العيد لمن لبس الجديد؛ إنما العيد لمن طاعاته تزيد ليس العيد لمن تجمل باللباس والركوب؛ إنما العيد لمن غُفرت له الذنوب
Idul Fitri bukanlah bagi orang yang bisa memakai baju baru, tetapi idul fitri sebenarnya bagi orang-orang yang bertambah ketaqwaannya kepada Allah, Idul Fitri bukanlah bagi orang-orang yang berbagus-bagus dalam berpakaian dan kendaraan, tapi Idul Fitri adalah bagi mereka yang diampuni dosa-dosanya.

Maqolah tersebut sangatlah tepat, karena acapkali momen mudik dan silaturrahim saat idul fitri dijadikan sebagai panggung unjuk kepemilikan, dan kebaruan, masyarakat berlomba-lomba membagusi rumahnya dengan warna-warni cat, orang tua akan merasa bangga jika anaknya mudik dengan membawa jenis kendaraan tertentu, dengan membawa serta anak cucu yang lucu-lucu, anak pun akan merasa bangga jika ketika Idul Fitri tiba bisa memarkir kendaraannya berderet di depan rumah orang tuanya di kampung, memakai baju dengan model terbaru ala artis-artis top ibukota tempatnya bekerja, dan seterusnya.

Hal ini yang dikhawatirkan akan menyinggung perasaan orang lain, kaum papa dan dhu’afa, yang jangankan kendaraan, baju pun mereka memakai baju lebaran tahun lalu, kue pun mereka mengolah hasil bumi apa adanya di sekitaran rumahnya seperti keripik singkong dan saudara-saudaranya.

Maka momen Pandemi Covid 19 ini mestinya menjadi sarana kita untuk secara benar memaknai Idul Fitri, lebaran, dan halal bi halal, kita giatkan lagi semangat berbagi, merasakan apa yang dirasakan orang-orang miskin disekitar kita, gembiranya yang kaya tidak menyakiti yang nestapa dengan tidak pamer baju dan kendaraan baru, toh kita berlebaran di rumah saja bahagianya keluarga besar dengan puluhan anak cucu tidak menyedihkan mereka yang sebatang kara dan seterusnya, karena tahun ini tidak ada mudik bersama, kita semua sama, merayakan Idul Fitri di rumah saja, berbagi makanan dengan yang terdekat saja, tidak perlu berkendara dan berbaju baru, tidak sibuk memikirkan aneka makanan dan menu baru, dan semoga Covid19 ini segera berlalu, atau paling tidak mari kita siapkan diri menuju kehidupan kenormalan yang baru.

Ciputat, 27 Ramadhan 1441 H

Comments

Leave a Reply