Category: Breaking News

Et ullamcorper sollicitudin elit odio consequat mauris, wisi velit tortor semper vel feugiat dui, ultricies lacus. Congue mattis luctus, quam orci mi semper

  • Opini: Qona’ah dalam Keberkahan Ramadhan

    Qona’ah Dalam Keberkahan Ramadhan
    Dr. Efa Rodiah Nur, MH
    Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

    Bulan ramadhan yang penuh keberkahan dan kemulyaan, sehingga disebut syahrun mubarok, dan syahrun karim. Marhaban ya ramadhan. Semoga kita semua senantiasa dalam keberkahan dan kemulyaannya. Di antara hakekat puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, tidak hanya sebatas makan dan minum saja, melainkan juga syahwat dan keinginan yang lebih, termasuk keinginan yang berlebihan jika tidak dibarengi dengan nilai keagamaan dan kontrol diri, akan mengakibatkan sikap yang kurang baik, hingga masuk dalam wilayah (ghulluw) yaitu berlebihan, bisa juga tergolong (syubhat), yaitu tidak mampu mengontrol antara yang hak dengan yang bathil, sehingga menjadi orang yang serakah, tentunya hal ini dilarang oleh agama Islam.

    Ada sebuah ungkapan bijak, “innalhayaata lan tu’thiyaka kullamaa tuhibbu, walakinna al-qonaa’ata taj’aluka tuhibbu maa tamliku” sesungguhnya kehidupan ini tidak akan pernah memberikan atas segala apa yang kamu sukai, namn dengan berqona’ah (yaitu menerima atas apa yang telah dianugrahkan kepadanya), maka akan tercapainya rasa cinta atas segala apa yang kamu miliki. Sebagai hamba yang paling mulia adalah ketika ia selalu bersyukur atas segala apa yang ia dapatkan, karena itu adalah anugrah yang terbaik, janji Allah swt., barang siapa yang bersyukur kepada Allah, pasti Allah akan menambah kenikmatan yang telah ia berikan, namun jika ia kufur, maka sesungguhnya adzab Allah amatlah pedih.

    Manusia termasuk melekat pada dirinya sikap yang tiada puas pada dirinya, contoh yang paling ringan ialah ketikabmemiliki sepeda, menginginkan motor, begitu juga ketika motor sudah ia miliki, ia menginginkan mobil, begitu juga ketika rumah sudah dimiliki ingin istana dan seterusnya, begitulah sikap manusia yang tiada puas dengan hal yang melekat kepadanya yaitu berupa kenikmatan-kenikmatan dari Allah swt.

    Di tengah keinginan manusia yang tiada batas, terkadang keinginan kita untuk memiliki sesuatu, namun Allah tidak mengabulkan sesuatu tersebut sesuai keinginan kita, yakinlah bahwa apa yang Allah anugrahkan kepada kita adalah hal yang terbaik, yaitu baik menurut Allah, walaupun terkadang belum baik menurut angan-angan kita, seperti halnya ketika seseorang mengharapkan kupu-kupu yang indah nan elok, ternya beberapa hari kemudia terdapat ulat yang sangat banyak di sekitar rumahnya, ia marah karena seakan-akan doa dan harapannya tidak tercapai, karena ia mengaharapakan kupu-kupu yang indah nan elok namun justru ulat yang menjijikkan yang mendatanginya, tanpa iab sadari beberapa hari kemudian, ternyata ulat yang menjijikakan tersebut lamban laun menjadi kepompong dan kemudian menjadi kuku-kukupu yang begitu indah berwarna-warni, ia baru sadar bahwa anugrah Allah swt, diberikan kepada kita, terkadang berbeda dengan keinginan kita, dan sejatinya itulah yang terbaik untuk kita.

    Ketika seseorang menginginkan bepergian dengan memesan tiket kereta api atau pesawat yang berangkat di pagi hari, katakan pukul 07.00 wib karena ia akan ada kepentingan yang sangat genting pada siang harinya, namun ternyata pesawat atau kereta itu harus menunggu beberapa lama hingga dua sampai tiga jam, maka kemudia anda marah, jengkel terhadap keadaan yang ada, tamun beberapa saat kemudian, pusat suara di stasiun kereta atau bandara pesawat tersebut memberikan informasi bahwa pada saat ini pesawat atau kereta yang berangkat beberapa saat tadi (yaitu kereta yang seharusnya ia kendarai), terdapat kecelakaan, maka anda baru sadar bahwa Allah swt, memberikan yang terbaik kepada anda karena adanya kemogokan sehingga terlambat berangkat, mungkin jika ia tetap berangkat bersama pesawat atau kereta tersebut anda sudah berakhir usianya.

    Contoh lain adalah Ketika ada seorang laki-laki duduk di bawah pohon salam, seraya ia berprotes pada Allah swt, denngan mengatakan “Allah swt, tidak adail, masa pohon salam yang besar ini hanya memiliki buah yang kecil, namun pohon labu yang pohonnya kecil tenyata buahnya sebesar kepala, Allah swt, memang tidak adil” setelah beberapa saat kemudian, ada buah salam yang jatuh dan menjatuhi kepala seseorang tadi, maka seseorang tadi baru menyadari, ternyata Allah swt, maha Adil, hanya pikiran kita yang kurang tadabbur, kurang berfikir, kurang menghayati, coba jika pohon sebesar ini (pohon salam) buahnya sebesar labu, waduh, bisa pecah kepala saya, begitulah kenikmatan yang Allah swt berikan, sehingga dikatakan janganlah engkau cintai sesuatu secara berlebihan, karena sesungguhnya apa yang anda cintai belum tentu mendapatkan cinta dari Allah, dan janganlah engkau membenci sesuatu berlebihan, karena bisa jadi apa yang anda benci tersebut adalah yang Allah cintai dan harapkan dan itu adalah yang terbaik untukmu.

    Di bulan ramadhan yang suci ini, kita sejatinya dituntut untuk memiliki keinginan banyak dalam kebaikan, dan bahkan dituntut untuk berlomba-lomba dalam segala kebaikan, baik dalam hal puasanya, shalat malamnya, tadarus al-Qur’annya, i’tikafnya, dzikir tasbih, tahmid, takbir dan tahlilnya, serta bentuk-bentuk shadaqah dan zakatnya, serta segala kebaikan lainnya adalah hal yang positif yang justru akan membawa kearah iman dan taqwa kepada-Nya. Qona’ah adalah dalam wilayah yang membawa kebaikan, misalnya dalam hal harta dan kepemilikan, atau berupa kenikmatan, namun dalam hal ibadah dan amal shalih, setidaknya kita tetap harus berpacu dalam spirit meraih iman dan takwa serta keberkahan ramadhan. Wallahu ‘A’lam.

  • Opini: Peringatan Nuzulul Qur’an sebagai Media Muhasabah

    Peringatan Nuzulul Qur’an sebagai Media Muhasabah
    Dr. Agus Hermanto

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Di tengah semaraknya bulan ramadhan yang penuh keberkahan, dimana setiap orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menunaikan puasa dan shalat pada malam-malamnya, peringatan malam Nuzulul Qur’an merupakan ciri khas masyarakat Nusantara yang selalu mewarnai hari-hari besar Islam, termasuk peringatan Nuzulul Qur’an.
    Peringatan Nuzulul Qur’an dilaksanakan di masjid-masjid, dengan banyak corak kegiatan yang dilakukan untuk menyemarakkan nya. Mulai dari tausiyah yang diisi oleh para Alim Ulama dan Mubaligh, ada juga yang mengekspresikan nya dengan syukuran bersama (genduri) atau sekedar berdoa bersama, terdapat juga kegiatan meriah lainnya, yang semua itu adalah spirit untuk melaksanakan peringatan Nuzulul Qur’an, dengan senantiasa mengharapkan pemahaman dan keberkahan ramadhan.
    Nuzulul Qur’an, berasal dari dua kata, Nuzulul dan al-Qur’an. Nuzul yang berarti dipindahkan atau diturunkan, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) berupa wahyu. Terkait dengan kapan dilaksanakan kegiatan peringatan Nuzulul Qur’an, sebagian masyarakat Islam di Nusantara melaksanakannya pada malam ketujuh belas, dinisbatkan pada terjadinya Perang Badar, di tanggal 17 Ramadhan, walaupun sebagian ulama berpendapat di tanggal 18, 21 ada juga yang di tanggal 24, namun demikian, yang terpenting bukan pada tanggal kapan jatuhnya Nuzulul Qur’an, tapi semangat untuk menelaah hari besar sebagai tonggak sejarah Nuzulul Qur’an itulah yang terpenting, sehingga kita tahu bahwa al-Qur’an diturunkan dengan sejarah panjang yang melatarbelakangi nya dan menjadi pelajaran besar bagi umat Islam.
    Sebagian lain bertanya tanya tentang perbedaan Nuzulul Qur’an dengan lailatul Qodar, karena dalam Syarat al-Qodr juga dipaparkan turunnya al Qur’an. Malam lailatul Qodar adalah malam kemulyaan yang terjadi di bulan ramadhan, dimana dikisahkan bahwa pada malam lailatul Qodar, Allah menurunkan al-Qur’an kelauhil mahfudz yang kemudian diteruskan ke baitul izzah yaitu sama’ul ardh, atau langitnya bumi secara keseluruhan dari ayat-ayat al-Qur’an secara utuh. Sedangkan turunkan al-Qur’an adalah setiap saat dimana sesuai dengan asbab al-nuzul dan sebagian tidak terdapat asbab. Namun ayat yang pertama diturunkan yaitu di bulan ramadhan yang kemudian menjadi sejarah peringatan Nuzulul Qur’an, dimana pada saat itu Nabi Muhammad saw, berada di Guwa Ghira dan turunlah ayat pertama yang disampaikan oleh ruhul amin yaitu Malaikat.
    Berbicara tentang al-Qur’an, tentunya berbicara tentang adanya ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah. Ayat Makiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Makkah, sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah yang diturunkan di Madinah, ciri kedua biasanya ayat Makiyah turun sebelum Hijrah dan ayat-ayat Madaniyah turun setelah Hijrah, dan yang ketiga ayat-ayat Makiyah ciri-cirinya menggunakan lafadz “ya ayyy hal ladziina aamanuu” Sedangkan ayat-ayat Madaniyah biasanya menggunakan lafadz “ya ayyuhannas”. Walaupun demikian juga terkadang harus dilihat konteksnya, yaitu mana ayat-ayat yang relevan dengan masyarakat Makkah dan Madinah.
    Sesungguhnya peringatan Nuzulul Qur’an adalah upaya untuk muhasabah, menyadarkan diri untuk selalu ingat malam diturunkan nya kitab Agung yaitu al-Qur’an yang merupakan pedoman bagi kita semua, semoga kita semua di bulan ramadhan (syahrul Qur’an) ini senantiasa diberikan keberkahan amin.

  • Ai’syiyah Lampung Utara Gelar Puncak Milad Ke-105 Tahun Ai’syiyah

    Lampung Utara: Ai’syiyah Kabupaten Lampung Utara gelar Tausiyah dan Bakti Sosial dalam rangka memperingati Milad Ai’syiyah Ke-105 Tahun dengan mengusung Tema ‘Perempuan Pengusung Peradaban Utama’ di ruang Aula UMKO.

    Listaria, Ketua Ai’syiyah Kabupaten Lampung Utara, menyampaikan kegiatan ini merupakan puncak dari rangkaian kegiatan milad Ai’syiyah yang beberapa hari lalu telah dilaksanakan pembagian takjil bagi masyarakat yang melintasi Tugu Payan Mas.

    “Hari ini Ai’syiyah menghadirkan dr. H. Hary Sulistyanto sebagai narasumber untuk menyampaikan tausiyiah berkaitan dengan ‘Tetap Fit, Sehat, dan maksimal beribadah 10 hari terakhir dibulan Ramadhan’ dan membagikan 85 paket sembako serta uang kepada Kepsek dan Guru TK dan SD Ai’syiyah serta petugas dan satpam kampus UMKO.” Jelas Listaria, Jumat (15/4/2022).

    Zainal Abidin, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lampung Utara, mengapresiasi dan mendukung sepenuhnya yg telah dilakukan ortonom Aisyiyah.

    “Kami yakin ibu-ibu Aisyiyah mampu dalam mengelola tatanan kehidupan sehingga mampu terbentuk peradaban akhlak yang baik bagi penerus bangsa ini. Teruslah Ai’syiyah menjadi contoh minimal suri tauladan di rumahnya. Sehingga kaum ibu mampu menjadi teladan bagi putra-putri menjadi gairah dalam memperbanyak membaca quran.” Ungkapnya.

    Sementara, Endah Sulastri, Ketua PKK Kabupaten Lampung Utara, mengucapkan selamat Milad Ai’syiyah Ke-105 Tahun. “Semoga dengan meningkatnya usia, semakin meningkatkan peran positif dan kontribusi pada pembinaan akhlak dan moralitas, serta pemberdayaan masyarakat khususnya bagi kaum perempuan di Kabupaten Lampung Utara baik lewat pendidikan, gerakan dakwah, mauoun kegiatan sosial masyarakat.” Harapnya.

    Kemudian, Ia juga mengatakan kita harus mampu menjadi perekat dan pemersatu umat. “Serta menjadi bagian terdepan dalam menciptakan kondisi masyarakat yang rukun dan damai.” Tutupnya.

    Tampak hadir; Ibu Persit Kartika Candra Kodim 0412 LU; Ibu Bhayangkari Polres LU; Ketua MCCC LU; Ketua BKMT LU; Ketua Muslimat LU; Wakil Rektor 2 UMKO; dan Jajarang Pengurus Ai’syiyah LU. (Ramdan)

  • Opini: Kidung Cinta Ditengah Kekerasan

    Kidung Cinta Ditengah Kekerasan
    Oleh: H. M Soffa Ihsan
    Pengurus MUI Pusat Komisi Ukhuwah Islamiyah
    Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

    Ketika dunia digebrak dan teror sadis digelar untuk sebuah tujuan absurd. Ketika bom pemusnah menyemburkan api kematian, lalu sepakat; War Againts Terrorism. Tapi kegilaan terus menderu atau-seperti kata Julia Kristeva-terus memerangkap manusia dalam kebinatangan dan fantasi kekejaman, bercak darah dan kematian. Maka jagad manusia tak pernah sepi dari nyinyir darah, tubuh yang terarak oleh massa, lebam, berceraiberai, muka-muka garang eksekutor, atau muka-muka pasi keluarga korban.

    Kaum pemuja kekerasan berpijak pada suatu ideologi yang menjadikan mereka separatis, anarkhis, pemberontak, nasionalis, revolusioner atau pemeluk agama yang  radikal. Rata-rata, mereka terpincuk oleh fanatisme yang kuat. Tetapi, apapun dasar pijakannya, sebagai teroris mereka ditandai oleh tindakan kekerasan yang ditujukan kepada penduduk biasa atau non-combatting, yang tak dipersenjatai dengan sasaran mencapai khalayak yang lebih luas. Dengan cara ini, mereka berharap memperoleh pengaruh politik yang jauh lebih besar, diakui keberadaannya oleh masyarakat. Seperti digambarkan oleh Albert Camus dalam sandiwaranya Les Justes bahwa karena tujuan mereka hanyalah memberikan gangguan dimana saja, sampai tujuan politik mereka dikabulkan.

    Kidung Cinta

    Kaum sufi-kata Abul Husein al-Nuri-adalah manusia yang paling bijak di antara seluruh umat manusia. Ketika banyak orang memburu karunia Tuhan, sang sufi justru merindukan keintiman dengan Tuhan. Ketika semua orang mengejar dan memuaskan diri dengan sifat-sifat, sang sufi mencari esensi  ilahiah dan tak menjunjung tinggi apapun kecuali esensi itu. Ketika banyak orang menampilkan kekuatannya, sang sufi menyendiri seraya berdoa, memohon kasih bagi mereka. Ketika banyak orang berlomba untuk dipuji, sang sufi justru melahiriahkan keburukan dirinya (malamatiyah). Ketika sufi Bayazid al-Busthami dipukul anak muda dengan seruling, ia justru mengganti kerusakan seruling dengan sejumlah uang dan makanan. Ketika Abu Hasan Busanji ditinju oleh seseorang, ia justru memaafkannya. Ketika Abu Ali Rudbari dipukul kepalanya oleh seseorang dengan kendi, ia malah menghiburnya, hingga orang itu lupa akan rasa malunya dan kembali riang.

    Bagi kaum sufi, tidak melakukan perlawanan memiliki dua aspek. Pertama, tersinggung adalah sifat eksistensi diri dan egosentris, sedangkan sufi adalah “tanpa ego”. Jadi barangsiapa yang kesal dan melakukan kekerasan, masihlah ia seorang yang sadar akan identitas dirinya terpisah dari Tuhan. Lebih jauh, ia malah orang yang menyekutukan yang lain dengan Tuhan, bukannya seorang yang bertauhid. Kedua, sufi adalah seorang yang berpasrah diri kepada Tuhan dan berpuas diri dengan kehendak-Nya. Apapun penderitaan dan kehinaan menimpanya, ia justru menganggapnya sebagai kiriman ilahi.

    Semua itu dimungkinkan, karena jalan yang ditempuh kaum sufi adalah “jalan cinta”. Jalan cinta ini bukan melalui pemikiran, melainkan jalan penghayatan dan pengamalan jiwa yang bergerak tiada batas (la nihayata lah). Tuhan didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat ilahi, intimasi (al-uns) bersamanya bisa tercapai. Dalam sufisme, cinta dan pengetahuan tidak bakal pernah benar-benar bisa dipisahkan.

    Masing-masing tarekat sufi hanya menekankan satu segi tanpa pernah menafikan segi lainnya. Sesungguhnya cinta sufi (‘syq) dipahami kaum sufi sebagai realisasi aspek gnosis (ma’rifah). Metafisika paling murni, jika hanya bercorak teoritis adalah kecil dibandingkan dengan realisasinya dalam jiwa manusia. Ia adalah sejenis cinta yang dikawinkan dengan gnosis serta mengantarkan pada keesaan Allah (tauhid) yang akan mengatasi semua bentuk dualitas, bahkan dualitas yang ada antara sang pecinta dan kekasih. Dari sini, bisa dipahami bila al-Ghazali menempatkan al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami sebagai orang yang telah mencapai puncak hakikat tauhid (khawash al-khawash).

    Para guru sufi senantiasa berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan (khidmah) kepada sesama umat manusia tanpa beda serta mendukung perkembangan kualitas-kualitas yang tersimpuh dalam potensi setiap individu. Seperti yang terungkap secara herois dan tulus dalam kata-kata Abu Hasan al-Kharaqani:”sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia, sehingga aku tidak perlu menunggu kematian”.

    Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual atau yang disebut dengan “futuwwah” yakni segebung kualitas positif dari kepribadian manusia seperti kejujuran, keterusterangan dan kejernihan fikiran. Qani’i Thusi menggambarkan bahwa permata mahkota tubuh adalah kebajikan (muruwwah) dan kebajikan adalah tanda etika (futuwwah). Etika ini tidak menyebabkan sakit hati, membiarkan diri congkak dan memandang orang lain hina, membuat hati jauh dari kedengkian, tidak pernah merusak diri dengan perbuatan salah serta berharap dunia damai dan unggul.

    Jalan yang dipilih sufi adalah pancaran dari kepekaan intuisi. Bagi sufi, sebuah pilihan rasional sesungguhnya hampa secara spiritual dan bisa menyeret kegamangan secara moral dan sosial. Jalaluddin Rumi menggambarkan bahaya ini dalam kisah perdebatan antara pencuri buah aprikat dan pemilik kebun. Keduanya saling beradu alasan dalam mendukung tindakannya. Maka antara tindakan mencuri dan penyiksaan pemilik kebun terhadap si pencuri itu menjadi kabur, tertelikung oleh alasan rasional.

    Periskiran terhadap aspek nalar bukan berarti sufisme kemudian menjadi larut dalam “gula-gula esoterisme” yang terpancang pada rasa manis estetika yang subtil dan memberantakkan kebutuhan aktivisme. Dengan melukar penalaran yang formalis, sufisme justru hendak membelalakkan mata atas kekerdilan cara pandang yang hanya menekuri sisi-sisi skriptural dalam agama. Sufisme hendak mencairkan upaya reduksionisme pola pikir yang dualistik yang hanya akan memantik ekstrimisme.

    Dalam tilikan sejarah, justru sufisme  klasiklah yang menunjukkan gerak aktivisme melawan segala bentuk ekstrimitas. Sufisme bergerak secara oposisif terhadap praktik-praktik kepicikan pemahaman keagamaan yang berwujud pada pembedakan radikal atas umat manusia atau pemberangusan terhadap kemanusiaan. Gerakan oposisi yang dilokomotifi oleh Hassan Bashri adalah sebuah contoh gerakan tasawuf yang paling fasih menentang despotisme politik pemerintahan dinasti Umawiyah di Damaskus. Gerakan sufisme  yang demikian adalah replika suatu gerakan yang berhimpitan (interwoven) dengan universalisme empati kemanusiaan.

    Tentu sangat berbeda, bila gerakan keagamaan merekah dari sudut pandang keagamaan yang formal-ideologis seperti pada gerakan Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban, al-Qaedah atau gerakan ektrem dan puritan lainnya yang saat ini tengah mekar bak cendawan di musim hujan. Gerakan-gerakan seperti ini akan mudah terjungkang pada kerangkeng ekstrimisme yang justru ditangkis oleh sufisme, karena mencanangkan penafsirannya lebih pada teks-teks kitab suci secara dzahiri. Sebaliknya, kaum sufi lebih memahami teks-teks suci secara isyari dan ta’wili.

    Nah, dalam situasi apapun, tasawuf tetaplah abadi sebagai penjaga gawang “kesucian” dengan mekanisme dasarnya yaitu pengendalian diri. Bagi sufi: “hasrat tidak dapat dilawan dengan hasrat, melainkan dengan hati yang berbinar (nur al-qudsi).

  • Opini: Sahabat Sejati di Bulan Ramadhan

    Sahabat Sejati di Bulan Ramadhan
    Dr. Agus Hermanto
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Sahabat berasal dari kata Shaahib yang juga memiliki istilah lain seperti shadiiq, khaliil, dapat diartikan kawan, sahabat, kekasih atau istilah lain yang serupa, yang menunjukkan adanya hubungan ukhuwwah antara satu dengan yang lainnya, sahabat tidak mesti dalam pengertian saudara, namun juga orang lain yang dianggap ada hubungan dekat yang tidak mesti dalam hubungan kekasih, seperti Rasulullah dengan para sahabatnya, misalnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan beberapa para sahabat lainnya yang hidup semasa dengan Nabi atau pernah membersamai Nabi dalam perjuangan menyebarkan ajaran Islam.

    Istilah shaahib terdapat dalam beberapa kalimat, misal sabda Rasulullah saw, “Iqra’uu al-Quran, liannahu ya’tii yaum al-qiyaamah syaafii’an liashaabihi (HR. Bukhari Muslim) yang artinya, ” Bacalah al-Quran, karena dia akan datang pada hari kiamat nanti sebagai penolong bagi yang membacanya”. Dalam kalimat lain misalnya “Khair al-Ashaabi maa yadulu ‘alaa khairin” yang artinya (sebaik-baiknya sahabat adalah yang menunjukkan kepadamu pada sesuatu yang baik. Selain dari istilah tersebut juga digunakan dalam kalimat-kalimat lain. Walaupun kata sahahiib juga berarti pemilik, misalnya shahiibul bait”

    Penggunaaan kalimat shadiiq digunakan dalam kalimat “Shdiiquka man abkaaka walaa man adhaakaka” (Sahabat sejatimu adalah mereka yang membuatmu menangis bukan yang membuatmu ketawa)

    Sedangkan penggunaan istilah khaliil digunakan dalam beberapa istilah termasuk ketika Allah memberikan gelar kepada Nabi Ibrahim as, “kaliilullah” (Kekasih Allah), sebagai gelar atas kesabarannya dalam menerima segala ujian dan musibah yang menimpanya, dalam istilah lain misalnya ungkapan yang digunakan oleh Syaikh Al-Mas’uud Najm, “Lam ara khaliilan yarfa’u qadra khaliil ihi ka al-Quran, fatuubaa limanittakhada al-Quran khaliilan” (Saya belum melihat seorang sahabat yang mengangkat derajat sahabatnya seperti dia mengangkat (memulyakan) al-Quran, maka beruntunglah orang-orang yang menjadikan al-Quran sebagai sahabatnya. Begitu mulianya al-Quran, sehingga akan menjadi petunjuk dan penolong.

    Bulan Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan, bukan tarbiyah, bulan al-Quran dan nama baik lainnya yang disandarkan kepadanya. Allah swt, akan senantiasa menjadikan pahala yang berlipat ganda dibandingkan ibadah di bulan lainnya. Untuk itu, marilah kita jadikan al-Quran sebagai sahabat baik kita, yang sehingganya akan memberikan pertolongan kelak, dalam suatu hikam dikatakan “khairu jaliisin fi al-zamaani kita abun” (Sebaik-baiknya teman duduk adalah kitab), di bulan Ramadhan yang suci nanti mulia ini, mari kita jadikan al-Quran sebagai sahabat baik kita, yang memberi manfaat, dan nilai pahala di dalamnya, bukan pada setiap kalimat atau ayatnya nilai pahala yang kita baca, namun pada setiap hurufnya, wallahu ‘alam.

  • Opini: Iman Sebagai Kokohnya Taqwa

    IMAN SEBAGAI MODAL KOKOHNYA TAQWA
    Dr. Efa Rodhiyah Nur, M.H.
    Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

    Bulan ramadhan adalah wadah kebaikan, dan merupakan lahan bagi setiap insan unuk berlomba-lomba dalam melakukan amal shalih. Dalam hal ini Allah swt., firmannya: “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana puasa itu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (al-Baqarah: 183). Ayat ini mengisyaratkan kepada seluruh umat Islam untuk meneguhkan keimanannya, dengan sapaan “wahai orang-orang yang beriman” sapaan ini seharusnya dirasakan oleh seluruh umat Islam yang beriman, namun senyatanya, kualitas keimanan tidaklah sama.

    Berbicara tentang keimanan seseorang, maka nabi Muhammad saw, bersabda dalam suatu hadis “Iman seseorang naik dan turun, iman naik disebabkan karena ketaatan dan turun karena kemaksiatan”(al-Hadis). Menelaah hadis tersebut, bahwa keimanan seseorang akan istiqqamah dan senantiasa konsisten, sehingga secara serentak hatinya menerima seruan tersebut dan melaksanakan atas inti dari perintah untuk menjalankan suatu kewajiban, yaitu ibadah puasa.

    Namun di sisi lain, iman seseorang juga mengalami masa mengurang, bila mana selalu menjalankan bentuk-bentuk kemaksiatan, yang sehingganya akan dapat menutup relung hatinya, dan bahkan mengikis spirit keagamaannya serta melemahnya aktivitas ibadah yang seharusnya dilakukan, termasuk dalam hal menjalankan ibadah puasa, sehingga mengabaikan dan mengingkari atas kebenaran dari perintah tersebut dengan meninggalkannya.

    Spirit ibadah puasa sejatinya adalah tercapainya derajat ketaqwaan kepada Allah swt. Ibadah puasa juga merupakan salah satu syari’at yang telah diperintahkan kepada para umat terdahulu (syar’u man qablana), dan kemudian syari’at ini diperintahkan kembali kepada umat Nabi Muhammad untuk menjalankan iadah puasa, sebagaimana termaktub dalam ayat “kutiba ‘alaikum al-shiyam” lafadz kutiba yang bermakna adalah diwajibakan, artinya perintah tersebut telah termaktub pada kitabnya para Nabi terdahulu “kama kutiba ‘alaikum al-shiyam” sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian.

    Target dari ibadah puasa yang merupakan jihad, sekaligus ujian bagi orang-orang yang benar-benar beriman akan dibuktikan dengan melaksanakan atau tidaknya ibadah puasa, padahal ibadah puasa sejatinya untuk menjadi orang yang bertaqwa ,”la’allakum tattaquun”.

    Maka sesungguhnya taqwa bukanlah menjadi jaminan bagi orang yang berpuasa kecuali ia berpuasa dengan sungguh-sungguh, yang dibarengi dengan rasa keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barang siapa yang berpuasa ramadhan dengan penuh rasa keimanan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang akan datang dan yang telah lalu” (HR. Bukhari Muslim). Puasa yang benar akan terpenuhinya target, yaitu terjaga dari kemaksiatan, menjadi lemah syahwatnya, serta dapat terhindar perbuatan yang dilakukan oleh umat-umat sebelum kita. Semoga kita selalu mendapatkan bimbingan Allah dan dapat tercapai ketaqwaan di bulan suci Ramadhan ini. Amin.

  • Opini: Ramadhan Sarana Melatih Akhlak

    Ramadhan Sarana Melatih Akhlak
    Oleh: Prof. Wan Jamaluddin, M. Ag., Ph. D
    Rektor UIN Raden Intan Lampung

    Ramadhan sering disebut sebagai bulan yang penuh keberkahan karena pada bulan ramadhan Allah swt, melipat gandakan pahala pada siapa saja yang mengerjakan amal shalih, tidak hanya pada ibadah puasanya dan shalat malamnya, namun juga segala kebaikan yang kita lakukan akan Allah lipat gandakan dibulan yang penuh keberkahan ini. Menyegerakan dalam berbukan merupakan fadhilah, dan melaksanakan sahur di malam harinya juga merupakan fadhilah. Lebih dari itu, puasa ramadhan yang dilakukan oleh setiap orang yang beriman, senantiasa tidak terasa berat, walaupun dikerjakan selama satu bulan lamanya, hal itu tentunya atas dasar spririt untuk menggapai ridha Allah, yaitu nilai derajat tertinggi di sisinya adalah ketaqwaan.

    Selain banyaknya keberkahan di bulan tersebut, bulan ramadhan juga kerap disebut sebagai bulan al-Qur’an (syahrul qur’an) yaitu bulan diturunkannya al-Qur’an. Karena pada bulan ramadhan tersebut diturunkannya al-Qur’an, pada saat Rasulullah saw menyendiri di sebuah gua Hira, yang merupakan tradisi yang dilakukan oleh para nenek moyang tersebut, maka ketika itulah Allah mengutus Malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu pertama, yaitu surat al-Alaq. Nabi bergetar hatinya antara sadar dan penuh rasa ketakutan diajarilah oleh Malaikat Jibril untuk melafadzkan wahyu Allah tersebut.

    Bulan ramadhan acap dikenal juga dengan bulan penuh ampunan (syahrun maghfirah), hal itu karena Allah swt., senantiasa mengampuni dosa setiap hamba yang senang menyambut datangnya bulan ramadhan dan menjalankan ibadah puasa penuh dengan keimanan kepada Allah swt. hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad saw, Barang siapa menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan, maka Allah akan mengampuni dosanya yang akan datang” (HR. Bukhari Muslim)

    Bulan ramadhan juga sering disebut bulan persaudaraan (syahrul ukhuwwah), yang mana pada bulan ramadhan kaum muslimin diharapkan untuk dapat menjaga persaudaraan dengan cara memberikan zakat, dan bersama-sama melestarikan tradisi shalat tarawih bersama dengan dipandu oleh para muadzin serta bersama-sama bertadarus al-Qur’an serta bersilaturahmi sebagai upaya untuk meraih keberkahan.

    Di bulan ramadhan yang suci dan penuh kemuliaan, umat Islam senantiasa berlomba-lomba untuk melaksanakan ibadah, sehingga kerap kali disebut sebagai bulan ibadah (syahrul ibadah), yaitu bulan yang membuka peluang bagi kaum muslimin untuk beribadah sebanyak-banyaknya, karena Allah akan senantiasa melipat gandakan segala pahala dari ibadah hamba-Nya pada bulan ramadhan, bahkan orang yang membaca al-Qur’an akan mendapatkan nilai pahala, bukan hanya pada setiap kalimat atau ayatnya, bahkan setiap huruf mendapatkan nilai pahala di dalamnya, masya Allah.

    Menjalankan ibadah puasa berarti mengalami suatu ujian yaitu menahan dari lapar dan dahaga serta segala yang membatalkannya, sehingga membutuhkan keseriusan, dan kesungguhan, yang kemudian disebut sebagai bulan jihad (Syahrul Jihad), artinya bahwa puasa merupakan jihad untuk menahan hawa nafsu, menjaga dari lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dan dari segala hal yang membatalkannya. Sayhrut tarbiyah, bahwa bulan ramadhan merupakan bulan untuk melatih diri kita dan anak-anak kita agar belajar berpuasa, beribadah, membaca al-Qur’an, berdzikir dan sebagainya.

    Pada bulan ramadhan ini ada satu kemuliaan dimana pada bulan tersebut lebih mulai daripada seribu bulan, malam itu disebut sebagai lailatul qadr. Pada bulan ini juga dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka, hal ini senagaimana disampaikan oleh hadist Rasulullah saw., “Apabila ramadhan datang maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syaithan-syaithan dibelenggu” (HR. Bukhari). Dalam hadist yang lain dikatakan “Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan yang penuh barakah”(HR. Nasa’i dan Ahmad).

    Semoga kita semua senantiasa diberikan kesehatan, kekuatan untuk senantiasa menjalankan ibadah dibulan ramadhan dengan ikhlas, khusyu dan penuh kepasrahan secara totalitas, sehingga dengan inilah nilai ketaqwaan akan senantiasa kita dapati. Wallahu ‘alam.

  • Opini: Menyongsong 10 Hari Kedua Bulan Ramadhan Penuh Maghfirah

    Menyongsong 10 Hari Kedua Bulan Ramadhan Penuh Maghfirah

    Dr. Hj. Siti Nurjanah, M. Ag

    Rektor IAIN Metro

    Bulan ramadhan terdiri dari beberapa fase, fase pertama disebut rahmah yaitu Allah swt, memberikan kasih sayangnya kepada hamba dalam segala lini. Terlebih adalah orang-orang yang beriman, yang secara khusus mendapatkan perintah agung dan mulia sekaligus menguji dengan rasa kasih sayangnya dengan sapaan yang penuh perhatian, yaitu sebutan khusus yaitu “wahai orang-orang yang beriman”. Pada fase sepuluh hari kedua ini, adalah fase transisi setelah Allah menurunkan rahmat-Nya, kemudian Allah memberikan maghfirah dengan dijanjikannya dalam sebuah hadis nabi Muhammad saw, “Barang saiap yang berpuasa dengan penuh rasa keimanan, maka Allah akan senantiasa mengampuni dosa-dosanya yang akan datang” (HR. Bukhari Muslim).

    Pada fase pertama biasanya masjid, mushala dipenuhi dengan jama’ah shalat tarawih, mereka berbondong-bondong untuk berangkat menuju tempat-tempat ibadah dengan ukhuwah islamiyyah dan hati yang tulus ikhlas yang dibarengin dengan rahmah Allah yang Maha Kasih dan Sayang. Fase pertama ini memberikan peluang kepada kaum muslimin untuk diuji keimanannya sehingga mampu memasuki fase kedua yang juga mengandung nilai ibadah yang tinggi hasilnya

    Kemudian masuklah pada fase kedua, yakni suatu fase pengampunan (maghfirah), maksudnya adalah barang siapa yang dapat melewati fase sepuluh hari kedua, maka Allah swt., senantiasa akan memberikan maghfirahnya kepadanya. Betapa mulianya Allah sang Maha Pengampun, yang berkehendak mengampuni setiap hamba-Nya, bahkan dikatakan oleh baginda Rasulullah, bagi siapa saja yang bahagia dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah senantiasa mengharamkan jasadnya untuk masuk kedalam api neraka. Begitu mulianya ramadhan, rasa bahagia menyambut datangnya bulan ramadhan saja Allah mengharamkan jasad seorang hamba yang bahagia menyambutnya masya Allah.

    Sebagai manusia yang secara filosofi berasal dari kata nasia yansa, yaitu selalu melekat pada dirinya dosa dan kesalahan, atau dalam filosofi Jawa disebut menungso (menus-menus isine doso), yaitu makhluk yang penuh dengan dosa, bahkan dikatakan setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya kesalahan adalah mereka yang bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat, bahkan Rasulullah mengajari kepada kita untuk memperbanyak istighfar, sebagai ikhtiar hamba untuk menghapus segala kesalahan dan dosa. Dan pada saat inilah Allah membuka peluang besar bagi hamba-Nya untuk senantiasa masuk dalam lingkaran keimanan yang menjadi bekal untuk dapat menjalankan ibadah puasa yang merupakan washilah untuk menggapai ketaqwaan di sisi-Nya.

    Semoga dengan spirit iman, amal dan taqwa ini Allah swt, senantiasa memberkahi kita di bulan nan suci dan mulia ini yaitu keberkahan yang tiada berhenti, karena Dialah satu-satunya pemilik kemulyaan dan barang siapa yang mengharapkan kemulyaan, hendaklah mengharapkan dari-Nya. Agar kita semua dapat menjalani fase kedua dengan selamat dan mendapat maghfirah dariNya, sehingga dapat menggapai fase ketiga, yaitu dijauhkan dari siksa api neraka, sehingga kita pada akhirnya mendapatkan kemenangan berupa Idul fitri.

  • Opini: Puasa Dan Ketaqwaan

    Puasa Dan Ketaqwaan

    Oleh : Ahmad Muttaqin, M.Ag

    Pengurus PKMB UIN Raden Intan Lampung

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

    Firman Allah SWT diatas merupakan ayat yang menunjukkan pensyaria’atan puasa ramadhan bagi umat Islam. Tujuan puasa yang disyari’atkan Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa kewajiban puasa bukanlah perintah yang tidak bermakna apa-apa, tujuan dari perintah kewajiban puasa pada akhirnya adalah agar tercapainya derajat taqwa bagi yang melaksanakannya.

    Ayat diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah puasa memiliki korelasi dalam pencapaian derajat taqwa, artinya terdapat banyak kandungan hikmah dan penempaan ruhani yang dapat dicapai dalam pelaksannaan ibadah puasa, hingga title taqwa, orang-orany muttaqin bias diraih, orang-orang yang layak mendapat ganjaran Syurga.

    Puasa dalam bahasa arab disebut dengan lafald al-ṣaum/ al-ṣiyām. yang memiliki makna dasar “Menahan dari sesuatu atau, sebagaimana yang kita pahami dalam tuntunan syariat. Yakni, menahan dari segala sesuatu yang awalnya diperbolehkan oleh syariat, dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.

    Para ahli hikmah menyebutkan adanya tingkatan dalam ibadah puasa. Puasa tidak hanya sekedar dimaknai hanya sebagai menahan dari rasa haus dan lapar, atau menahan dari gairah seksual saja. Yakni: ada puasanya ahli syariat. Ada puasanya ahli tarekat. Demikian juga, ada puasanya ahli hakikat.  Mengutip  pesan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, Puasa memiliki tiga tingkat. Yakni puasanya orang awam, puasanya orang khusus ‎dan puasa khusus buat orang khusus.

    Puasa level pertama disebut sebagai shaumul umum atau puasanya orang awam. Level puasa ini adalah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang atau sudah menjadi kebiasaan umum. Praktik puasa yang dilakukan di level ini sebatas menahan haus dan lapar serta hal-hal lain yang membatalkan puasa secara syariat.

    Kedua disebut sebagai shaumul khushus atau puasanya orang-orang spesial. Mereka berpuasa lebih dari sekadar untuk menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan. Tapi mereka juga berpuasa untuk menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat. Mulutnya bukan saja menahan diri dari mengunyah, tapi juga menahan diri dari menggunjing, bergosip, apalagi memfitnah.

    Adapun level yang paling tinggi menurut klasifikasi Imam Al-Ghazali, disebut shaumul khushusil khushus. Inilah praktik puasanya orang-orang istimewa, excellent, Mereka tidak saja menahan diri dari maksiat, tapi juga menahan hatinya dari keraguan akan hal-hal keakhiratan. Menahan pikirannya dari masalah duniawiyah, serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah.  Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah, seperti cenderung memikirkan harta dan kekayaan dunia. Bahkan, menurut kelompok ketiga ini puasa dapat terkurangi nilainya dan bahkan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat keraguan, meski sedikit saja, atas kekuasaan Allah. Puasa kategori level ketiga ini adalah puasanya para nabi, shiddiqin dan muqarrabin, sementara di level kedua adalah puasanya orang-orang shalih.

    Fase-fase tingkatan yang diungkapkan oleh al-Ghazali, tetntu saja bukanlah tingkatan yang didapat begitu saja, melainkan melalui penempaan ruhani, terus bermujahadah melatih daya ruhani, oleh karena itu sangat dianjurkan mengisi bulan ramadhan dengan ibadah-ibadah sunnah lainnya, seperti berzikir, tadarus, tarawih dan sebagainya, sehingga ruhani memilik kemampuan mengontrol dan mengendalikan nafsu agar lebih terarah dan tidak terbawa pada arus nafsu rendah.

    Adapun Taqwa, Secara etimologi takwa berasal dari kata waqa – yaqi – wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari dan menjauhi. Sedangkan pengertian takwa secara terminologi, takwa adalah takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Menurut Quraish Shihab, taqwa, terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi atau menjaga diri. Jadi orang yang bertaqwa adalah orang yang menghindari, menjauhi atau menjaga diri. Atau dengan kata lain; taqwa adalah upaya sungguh-sungguh untuk memelihara, menjauhkan diri dari siksaan atau adzab Allah dengan cara menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

    Dengan demikian takwa atau sifat ketakwaan, secara ruhani menyiratkan kemampuan untuk menahan, menghindari ataupun menjauhi dari desakan nafsu-nafsu rendah, atau nafsu buruk bahkan lebih terdorong pada  dorongan kebaikan. Watak yang mampu menguasai dan mengontrol dirinya dari keburukan-keburukan, sehingga seseorang tidak jatuh dalam kenistaan dan kehancuran diri.

    Dari sini kita bias mengambil benang merah korelasi antar puasa dan ketaqwaan itu sendiri. Ada ungkapan, ‘ berapa banyak manusia yang hancur kehidupan dirinya karena tidak mampu mengontrol keinginan-keinginannya”,.  Dengan puasa kita dilatih untuk menahan dari keinginan-keinginan yang berlebih, bahkan yang halal sekalipun, . upaya melatih ruhani kita, emosi dan nafsu kita, sehingga menjadi pribadi yang penuh mawas diri, mampu mengontrol dirinya, bukan hanya dari nafsu atau keinginan buruk tapi juga keinginan-keinginan duniawi lainnya yang berlebihan, dan hanya mengarahkan seluruh hidupnya hanya pada Allah SWT.  pribadi muttaqin, pribadi Ketaakwaan.

    Wallahul Muwafieq ila aqwith thariq

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

  • PMII Kota Metro, Lampung Tolak Kenaikan Harga Sembako

    Metro: Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Metro, Provinsi Lampung, akan turunkan massa menolak kebijakan pemerintah yang membuat masyarakat tersiksa. Tolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tolak kenaikan harga bahan pokok, sampai tolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

    “Saya rasa melihat kondisi hari ini, sudah sangat kongkrit untuk mahasiswa turun kejalan”, terang Amanda Wijaya, Ketua PC PMII Kota Metro, Jum’at (8/4/2022) siang.

    Keterpurukan ekonomi masyarakat akibat Pandemi Covid-19 belum terselesaikan. Pimpinan PC PMII Kota Metro, Amanda Wijaya menganggap Pemerintah seharusnya dapat membuat kebijakan pro-rakyat untuk membuat kebijakan yang dapat memulihkan perekonomian nasional.

    “Dalam Kondisi Seperti ini Pandemi Covid 19 bukanya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang pas malah membuat kebijakan yang imbasnya tidak berpihak kepada rakyat,” ungkapnya.

    Lebih lanjut, Amanda Wijaya memandang masuk bulan April akan jauh lebih baik dari pada sebelumnya, tetapi nyatanya makin diperparah dengan kenaikan harga di berbagai sektor yang terus bermunculan.

    “Pada awal bulan April sendiri kita di sambut dengan Kenaikan BBM yang sebelumnya 9.600 menjadi 12.750, Kenaikan Harga Bahan Pokok, Kenaikan PPN 10% Menjadi 11%,” tambahnya.

    Amanda Wijaya juga menyoroti akan kegagalan pemerintahan dalam prinsip Good Governance.

    “Melihat kondisi seperti ini artinya suatu kegagalan bagi Pemerintah dalam melihat realitas sosial yang ada,” tegasnya.

    Seruan menolak kenaikan BBM, Menolak kenaikan harga bahan pokok dan menolak kenaikan PPN sudah dilontarkannya melalui media sosial. Ia juga akan turun bersama mahasiswa yang tergabung di PC PMII Kota Metro untuk aksi turun ke jalan baik di daerah maupun di pusat nantinya.

    “Disini saya Amanda Wijaya Ketua Umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Metro Menolak Kenaikan BBM, Menolak Kenaikan Harga Bahan Pokok, menolak kenaikan PPN dan menolak perpanjangan masa jabatan Presiden Republik Indonesia” Pungkasnya. (Akhmad Syarief Kurniawan)