Category: Opini

  • Opini: Fikih Politik

    Fikih Politik
    Oleh: H. M Soffa Ihsan
    Pengurus MUI Pusat
    Wakil LBM PWNU DKI
    Marbot Rumah Daulat Buku (RUDALKU)

    Politik umat sering diidentikkan dengan kehidupan mereka dalam bernegara. Pemahaman ini memunculkan diskursus berkepanjangan mengenai hubungan antara negara dan agama. Hingga saat ini ada dua arus besar, pertama, menginginkan bentuk kekhilafahan sebagai satu-satunya bentuk negara Islam. Kedua, lebih bersikap moderat serta mentolerir semua bentuk negara, sepanjang nilai-nilai (mabadi’) Islam bisa dijalankan dalam negara tersebut.

    Pengalaman Nabi

    Para ulama di masa Islam awal bertolak dari pengalaman Nabi Muhammad di Mekkah dan di Madinah. Periode Makkiyah yang dijalani oleh Nabi selama sekitar 13 tahun merupakan masa yang penuh onak duri. Misi Islam banyak berbenturan dengan para pembesar Quraisy yang merasa kedudukannya sebagai pemimpin bangsa Arab terancam. Pada periode ini, Nabi lebih mencerminkan sebagai seorang pemimpin agama.

    Barulah setelah Nabi hijrah ke Yatsrib, tatanan “bernegara” umat Islam mulai nampak. Kota Yatsrib pun berganti nama menjadi Madinah. Masyarakat kota Yatsrib cukup beragam dan sudah mengenal pluralisme. Ada sejumlah suku dominan yang mendiami kota itu. Suku Aus, Khazraj, Qainuqa’, Quraidlah dan Bani Nadhir. Penduduknya pun menganut beragam agama: Islam, Yahudi, dan sebagian kecil Kristen Najran. Dalam masyarakat Islam sendiri terdapat dua kelompok, yaitu kaum migran (Muhajirin), dan penduduk lokal (Anshar) yang didominasi oleh suku Aus dan Khazraj. Sedangkan kaum Yahudi berasal dari suku Nadhir, Qainuqa dan Quraidlah.

    Di sini, bisa dipahami kalau pada periode Madaniyyah atau pasca hijrah ini, posisi Nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama, tapi juga pemimpin “negara”. Tapi, tentu, istilah negara di sini tidak bisa disamakan dengan negara modern dalam konteks sekarang. Sebut saja, “city-state”.

    Deklarasi berdirinya “negara” tersebut tergambar pada kemunculan  “Piagam Madinah”. Meskipun Madinah saat itu barulah “city state”, harus diakui bahwa tipologi pemerintahan semacam itu merupakan bentuk baru ditengah-tengah menguatnya adikuasa Romawi dan Persia yang feodalistik dan otoriter.

    Pada masa Nabi, masalah politik tidak pernah menjadi persoalan yang cukup menyita perhatian masyarakat Islam. Bahkan, dengan kecakapan dan keahliannya, Nabi berhasil melaksanakan peran politik hingga mampu menyatukan kekuatan politik yang menyebar di beberapa kelompok masyarakat Madinah. Nabi melakukan pengisian jabatan, distribusi peran politik secara adil dan seimbang hingga melaksanakan kebijakan politik. Semua itu dilakukan secara hati-hati dengan mengacu kepada aspirasi masyarakat. Posisi Nabi tidak hanya sebagai seorang pemimpin pemerintahan yang memegang peran besar di bidang politik praktis. Nabi juga memerankan diri sebagai pemimpin keagamaan (ri’asatu al-din wa al-dawlah). Fungsi ganda ini berjalan seimbang.

    Di masa Nabi, syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik syariat Islam, seperti kewajiban puasa, zakat, haji, dan jihad fi sabilillah, baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta ekonomi masyarakat Madinah sudah sampai ke situasi stabil. Kondisi masyarakat yang cukup plural, menginspirasi Nabi untuk mendirikan “Negara Madinah”. Konsep “Negara Madinah” tertuang dalam al-Shahifah atau “Piagam Madinah” yang mengandung nilai universalitas, yaitu keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban,  serta perlakuan yang sama di mata hukum.

    Yang menarik, dalam Piagam Madinah tidak ditemukan teks-teks apapun yang menunjukkan superioritas simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, “ayat al-Quran”, “syariat Islam” atau sesuatu yang menunjukkan perlakuan khusus terhadap umat Islam. Kota Yatsrib yang berganti nama “Madinah”, mengacu pada  kata tamaddun, yang berarti “peradaban”. Maksudnya, kota atau negara yang mencita-citakan tatanan masyarakat berperadaban. Demi mewujudkannya, Nabi mengembangkan konsep “ukhuwah madaniyah”. Yakni, komitmen bersama untuk hidup dalam sebuah kota atau negeri yang berperadaban.

    Nabi Muhammad selalu mengutamakan pemecahan sosio-kultural atas suatu masalah dibanding sanksi hukum yang sifatnya formal. Masyarakat Islam pun selalu dinamis. Melalui pengalaman Nabi di Madinah ini, syariat  Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, mewujudkan keadilan dan kemakmuran.

    Politik Sunni

    Teori politik eksistensinya jauh tertinggal dari kondisi riil politik umat Islam.  Nabi Muhammad memang pernah membangun model negara kota di Madinah, kemudian diteruskan para Khulafa’ Rasyidun, lalu dirombak oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dalam bentuk dinasti. Bentuk dinasti ini berlanjut di era dinasti Abbasiyah.

              Kesulitan ini sama halnya dengan menggagas seputar isu “negara Islam” di kalangan Sunni. Adakah negara Islam di kalangan Sunni? Kalau ada, negara manakah di dunia ini sekarang yang representatif menyandang sebutan negara Islam?

              Sepengetahuan saya, Taqiyuddin Ahmad Ibn Taimiyah (w. 728 H), salah seorang ulama Hanabilah, yang mencuatkan frame pemikiran fikih politik dalam sebuah karya yang utuh, “al-siyasah al-syar’iyah”. Menurut Ibn Taimiyah, sistem khilafah merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan dalam Islam, sehingga wajib hukumnya mendirikan pemerintahan model Khulafaur al-Rasyidun. Karena itu, istilah “ulil amri” (pemerintah atau penguasa) bagi Ibn Taimiyah merupakan kesatuan antara ulama dan umara’.

              Namun, faktanya institusionalisasi agama selalu berdampak pada pen-taqdis-an atau mistifikasi negara. Selain akan menutup pintu transparasi manajemen pemerintahan, mistifikasi ini juga akan membelenggu kreasi dan ekspresi warga. Mistifikasi ini bisa mengarah pada goyahnya kemurnian tauhid seorang muslim, karena mistifikasi tiada lain adalah pen-taqdis-an makhluk Allah (yakni negara). Teori khilafah yang diagung-agungkan Ibn Taimiyah oleh penganutnya justru diganti dengan pola monarki dan lainnya. Disini terjadi pula sentralisasi kekuasaan sehingga rakyat tidak memiliki hak untuk melakukan apapun. Sejarah juga menyingkapkan bahwa kekhilafahan yang pernah ada banyak melahirkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para petinggi kekhalifahan dari penyimpangan politik hingga penyimpangan keagamaan dengan segala bentuknya. Karena kekuasaan terlalu terpusat dan tidak ada kekritisan yang muncul. Inilah bahayanya bila kekuasaan menjadi ‘pujaan’ terlebih dengan mengatasnamakan ‘titah langit’. Fakta-fakta ‘blunder’ dalam kekhalifahan ini tercatat dalam banyak kitab sejarah seperti ditulis Atthabari, Ibnu Atsir, Ibnu khaldun dan lainnya.

    Kita melihat sebagian umat Islam termasuk di negeri kita yang masih terus menginginkan tegaknya khilafah dengan segala bentuk kegiatannya. Kasus Khilafatul Muslimin yang tengah heboh menjadi contoh betapa tantangan idiologis negeri kita masih terpampang jelas dan membutuhkan sikap dan tindakan yang sistemik. Sekaligus ini cerminan bahwa pemikiran politik disebagian umat Islam masih ‘berjalan ditempat’, tidak bersedia menerima hasil penelitian revisionis yang telah membongkar kesejarahan politik umat Islam terdahulu sembari membangun formulasi politik Islam yang lebih elegan, demokratik dan humanistik.

    Visi politik kalangan Sunni sesungguhnya lebih terfokus pada kemaslahatan rakyat. Seperti diungkap dalam kaidah fikih,“Tasharruful imam ala-r-ra’iyyah manuthun bil mashlahah” (Kebijakan pemerintah kepada rakyatnya harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat). Agama diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia, dan negara merupakan instrumen untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat tersebut.

    Untuk mewujudkan cita dan visi yang mulia ini, diperlukan partisipasi rakyat. Jika rumusan kemaslahatan lebih dimonopoli oleh pemimpinnya, maka kemaslahatan rakyat akan banyak mengalami distorsi. Agar rakyat bisa berpartisipasi dalam mengambil keputusan, walaupun harus mengambil mekanisme perwakilan, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu dalam partisipasi. Basis doktrinal dalam fikih politik, seperti terpantul dalam konsep “al-dlaruriyah al-khams”, sangatlah relevan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan wajib dijadikan pegangan bagi kelangsungan kemaslahatan di atas.

    Masyarakat menantikan kedatangan pemimpin yang mampu menunjukkan dirinya secara paripurna, sehingga cita-cita bangsa kita akan tercapai dalam meraih keadilan, kemakmuran, dan pemerataan. Seorang pemimpin harus menunjukkan dirinya sebagai pelayan terbaik terhadap rakyat dan umatnya, seperti kata Nabi,“Sayyidul qaumi khadimuhum” (Seorang pemimpin adalah pelayan bagi kaumnya). Nah, fikih politik sesungguhnya terpaut erat dengan misi Islam, yakni menebar rahmat bagi semua makhluk Tuhan.

  • Opini: Khilafah dalam Diskursus

    Khilafah dalam Diskursus
    Dr. Abdul Aziz
    Sekretaris Umum MUI Kota Bandar Lampung

     

    Diksi khalifah (خليفة) berasal dari akar kata khalafa-yakhlufu-khalfan-khilafatan (خلف يخلف خلفا خلافة), yang memiliki arti pergantian. Jadi, khalifah secara etimologis bermakna pengganti, belakang, perubahan, atau suksesi. Siapapun yang menggatikan peran dan fungsi seseorang, disebut khalifah. Sayyidina Abu Bakar Shiddiq menggantikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai Kepala Negara/Pemerintahan Madinah, disebut atau dipanggil sebagai Khalifah Rasulillah SAW.

    Diksi khalifah secara eksplisit terdapat dalam Al Qur’an;

    وَاِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلٰٓٮِٕكَةِ اِنِّىۡ جَاعِلٌ فِى الۡاَرۡضِ خَلِيۡفَةً

    Artinya :
    Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. (QS. Al Baqarah : 30)

    Dalam konteks surat dan ayat ini, yang dimaksud dengan khalifah adalah Nabi Adam dan anak keturunannya, artinya semua Bani Adam adalah khalifah, pengganti atau wakil Allah SWT di muka bumi, dihadapan makhluk Tuhan yang lainnya adalah pemimpin, termasuk dihadapan dirinya sendiri, yang tugas utamanya adalah memakmurkan bumi dan membangun kemashlahatan bersama, atau setidaknya dalam batas minimalnya adalah memimpin diri sendiri, lebih dari itu memimpin keluarga dan seterusnya, serta akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, tentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jadi, khalifah adalah orangnya, sedangkan aktifitas dan entitas kepemimpinannya disebut khilafah.

    يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلۡنٰكَ خَلِيۡفَةً فِى الۡاَرۡضِ فَاحۡكُمۡ بَيۡنَ النَّاسِ بِالۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الۡهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ‌

    Artinya:
    Wahai Dawud, Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. (QS. Shad : 26)

    Dalam konteks surat dan ayat ini, karena ketaatannya, keadilannya, kebijaksanaannya, dan ilmunya yang luas, Allah SWT. memilih dan menetapkan Nabi Dawud AS. sebagai Khalifah (Penguasa Politik, Kepala Negara, Raja dan Penegak Hukum) di tengah tengah ummatnya. Allah SWT. Menekankan agar membuat keputusan atau kebijakan yang adil, dan jangan mengikuti hawa nafsu. Walaupun ayat ini berbicara khalifah dalam kapasitas Nabi Dawud AS. sebagai pemimpin politik, namun tidak ada perintah atau doktrin mengenai bentuk negara atau sistem pemerintahan secara spesifik.

    Kata Khilafah dan Khalifah memiliki akar kata yang sama, namun secara eksplisit kata Khilafah tidak terdapat dalam Al Qur’an. Dalam definisi yang berkembang dalam diskursus politik Islam, Khilafah sering diartikan sebagai Kekuasaan Politik Islam, Pemerintahan Politik Islam, bahkan Sistem Pemerintahan Islam atau Bentuk Negara Islam. Pijakan normatif satu – satunya adalah karena pernah hadir dalam pentas sejarah perpolitikan umat Islam. Seperti masa Khalafaurrasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah dan Turki Utsmani (Ottoman). Namun fakta dalam sejarahpun, Khalifah sebatas sebutan atau penamaan kepada pemimpin politiknya (orangnya) dan khilafah sebutan atau penamaan kepada pemerintahannya atau kepemimpinan politiknya. Jadi, sama sekali tidak bermakna bentuk negara atau sistem pemerintahan.

    Kalau hari ini muncul doktrin Khilafah yang bermakna Bentuk Negara Islam atau Sistem Pemerintahan Islam atau Sistem Ketatanegaraan Islam, yang kaku dan riqid, tidak bisa ditawar atau didialektikakan, jelas tidak punya pijakan normatif dan historis sama sekali, karena sejatinya, ini adalah ruang ijtihadiyah politik Islam.

    Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara tertentu atau sistem pemerintahan tertentu atau sistem ketatanegaraan tertentu bagi para pemeluknya, sekali lagi, ini adalah ruang ijtihadiyah umat Islam. Kita semua diberi kebebasan dan kewenangan untuk menyepakati, mendesain dan mengatur bentuk negara, sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perkembangan zaman dalam konteks ruang dan waktu yang ada.

    Yang terpenting dan substantif adalah bentuk negara dan sistem pemerintahan yang disepakati dan di ijtihadi harus bisa dan menjamin dengan perlindungan dan kepastian hukum untuk melindungi dan menjamin warganya dalam mengamalkan ajaran agamanya, tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kemashlahatan, kesejahteraan, dan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan.

    والله اعلم بالصواب

  • Opini: Istitha’ah dalam Ibadah Haji Pasca COVID-19

    Istitha’ah dalam Ibadah Haji Pasca COVID-19
    Prof. Wan Jamaluddin, M. Ag., Ph. D
    Rektor UIN Raden Intan Lampung

    Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang kelima, setelah syahadat, shalat, puasa dan zakat. Ibadah haji yang dilaksanakan pada waktu tertentu dan dengan kriteria tertentu pula, hingga tidak dapat dilaksanakan di waktu lain seperti halnya umroh. Ibadah haji adalah ibadah yang diwajibkan bagi setiap muslim yang mampu (istitha’ah), yang merupakan panggilan Ilahi untuk menjalankan kewajiban agama dengan bekal iman kepada Allah.

    Ibadah haji merupakan syar’u man qablana, yaitu syariah yang diajarkan kepada umat terdahulu yang merupakan tapak tilas para Nabiyullah, terutama nabi Ibrahim dan Ismail alaihimassalam. Sejarah panjang perjalanan nabi Ibrahim yang diusia tua dan belum dikarunia anak, hingga dianugrahi oleh Allah anak yang taat kepa-Nya, hingga Allah pun menganugrahi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, termasuk sejarah air zam-zam.

    Dengan ketaatannya kepada Allah ia pun diberi gelar Khalilullah (kekasih Allah). Meskipun ibadah haji merupakan hal yang diwajibkan dalam Islam, namun juga hanya diberlakukan bagi yang mampu, baik secara fisik, finansial maupun keamanan dan bekal yang dimiliki baik selama perjalanan haji dan sepulangnya.

    Dalam ibadah haji Allah SWT mengingatkan kepada hambanya agar tidak melakukan bentuk-bentuk keburukan, ” Walaa jidaala walaa fusuuqa” dengan modal iman itulah hamba Allah akan senantiasa menjaga amanat tersebut dengan teguh, karena hal tersebut jika dilanggar akan mengurangi pahala dan fadhilah haji itu sendiri.

    Ibadah haji adalah Ibadah yang penuh kepasrahan diri, dan bernilai ibadah dan muamalah, karena pada saat itu, setiap muslim dan muslimat menggunakan pakaian yang serba putih dan tanpa berjahit. Hal ini menunjukan sesama hamba dan kedudukannya di hadapan Allah yang Maha Kaya, dan pemilik segalanya.

    Dengan menyeru ” Labbaikkallahumma labbaik” dengan thawaf (mengelilingi Ka’bah) sembari menyeru dan memangil atas kehadirannya dihadapan ka’bah agar senantiasa menjadi haji yang mabrur. Ibadah haji kali ini tentunya sangatlah istimewa, karena dilalui dengan cara yang sangat istimewa penuh kerinduan, setelah beberapa tahun wabah COVID-19 melanda dan menjadikannya terhambat dalam pelaksanaannya. Pada saat inilah kebahagiaan datang untuk dapat memenuhi panggilan Ilahi.

    Untuk itu, meskipun di beberapa negara termasuk Indonesia, wabah corona nyaris terlihat aman, namun perlu untuk diwaspadai, bahwa ibadah haji dilaksanakan oleh umat dari seluruh penjuru dunia, maka menjaga protokol kesehatan merupakan hal yang sangat bijak dan arif, agar kesehatan juga senantiasa dapat tetap dirasakan, semoga Allah swt senantiasa memberkahi dan dijadikannya haji yang mabrur, Aamiin.

  • RESENSI BUKU : Mengurai Problematika Khazanah Transaksi Syariah

    RESENSI BUKU :

    Mengurai Problematika Khazanah Transaksi Syariah
    Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan

    Telah terbit satu buku lagi karya kader muda NU menghiasi khazanah keilmuan di Provinsi Lampung khususnya dan di Indonesia umumnya, khususnya yang meminati kajian ilmu hukum ekonomi Syariah, baik sebagai praktisi maupun akademisi.

    Dr. KH. Andi Ali Akbar, M. Ag selaku anggota dewan pengasuh pondok pesantren Darusy Syafaah, Kotagajah, Lampung Tengah, sekaligus Wakil Ketua Pimpinan Wilayah GP Ansor Propinsi Lampung ini dan Ketua STISDA Lampung Tengah telah menerbitkan buku yang berjudul “ Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syari’ah “.

    Dr. KH. Kiai Andi Ali Akbar, M. Ag menyatakan, hadirnya buku ini adalah bentuk kegelisahan terhadap berbagai problematika ekonomi sebagaimana tertuang dalam contoh kecil dalam masyarakat saat ini, dan oleh karena itu termotivasi mencoba menampilkan kembali dasar pemikiran ulama salaf tentang sistem akad dan aturan transaksi secara Islami, hal. iv.

    Buku karya Sekretaris PC LBM NU Lampung Tengah masa khidmat 2017-2022 ini terdiri empat (4) BAB utama ; 1) Akad. 2) Transaksi Komersial. 3) Transaksi Sosial dan 4) Zakat Bisnis Komersial.

    BAB 1) Akad. Pada bab ini diuraikan materi pokok tentang akad, antaralain; macam-macam akad, rukun akad, ungkapan kesepakatan, hal.1-23.

    BAB 2) Transaksi Komersial (‘uqud mu’awadhat). Pada bab ini dijabarkan secara detail varian-varian transaksi komersial, antaralain; jual beli (bai’), jual-beli system pesan (salam), kerjasama-partnership (syirkah), tanam modal (qiradl), akad sewa (ijaarah), dan sewa jasa (ju’alah), hal. 25-52.

    BAB 3) Transaksi Sosial. Alumnus Doktoral UIN Sunan Ampel ini menjabarkannya dalam delapan (8) materi pokok, yaitu; jasa penitipan (wadi’ah), akad utang (qard), pemindahan tanggungan hutang (hiwalah), gadai (rahn), garansi pembayaran (kafaalah), janji (nadzar), akad pinjam (‘ariyah) dan hibbah, hal. 53-68

    BAB 4) Zakat Bisnis Komersial. Akademisi Pascasarjanan IAIN Kota Metro ini membedah bab ini dalam sembilan tulisannya yang cukup panjang, yaitu; hakikat zakat perniagaan, jenis-jenis barang komoditi (maal tijaarah), syarat zakat harta komoditi, cara mengetahui nisab, metode kalkulasi harta tijaarah, menjual harta dagangan sebelum di zakati, zakat profesi dan zakat harta qirad dan syirkah, hal. 71-81

    Buku ini adalah karya perdana Dr. KH. Kiai Andi Ali Akbar, M. Ag, ia juga menulis buku dalam tema-tema yang lain, seperti; Hukum Kewarisan Islam Aturan dan Tata Cara Pembagian Harta Warisan, diterbitkan oleh STISDA Press, tahun terbit; Maret, 2019. FIQH RAMADHAN ; Kajian Tentang Puasa dan Zakat Fitrah, Mengulas Konsep, dan Standar Hukum Serta Fenomena Aktual di Masyarakat, diterbitkan oleh STISDA Press, tahun terbit; Maret, 2022.

    KH. Hisyam Syafa’at, S.Sos.I, M.H selaku pengasuh pondok pesantren Darussalam Blok Agung Bayuwangi, Jawa Timur dalam kata sambutannya sangat mengapresiasi atas terbitnya buku ini, Kiai Muda NU Lampung yang juga Alumnus Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur sekaligus jebolan pondok pesantren Darussalam Blokagung, Karangdoro, Tegalsari, Bayuwangi, Jawa Timur ini menulis dengan dalam gaya bahasa yang sangat mudah, praktis, dan ensiklopedis. Semoga buku ini turut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang sistem ekonomi Islam di tanah air.

    Buku ini sangat penting untuk memperkaya referensi bagi para santri, mahasiswa, pemerhati hukum Islam, dan Ekonomi Syariah, masyarakat luas pada umumnya sebagai salah satu sumber mempelajari ilmu transaksi Syariah dengan segala pendalamannya.

    IDENTITAS BUKU :

    Judul : Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah
    Penulis : Dr. KH. Andi Ali Akbar, M.Ag
    Penerbit : Yayasan Blokagung, Banyuwangi, Press
    Tahun Terbit : Mei, 2014
    Tebal : ix + 83 Halaman
    Nomor ISBN : 978-602-142-18-2-6
    Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan, warga NU, tinggal di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

  • Opini: Mengawali Lembaran Pasca Lebaran

    Mengawali Lembaran Pasca Lebaran
    Dr. Efa Rodiah Nur, MH.
    Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

    Idul Fitri adalah adalah hari kemenangan, hari dimana Allah memberikan hadiah untuk umat yang beriman agar senantiasa menjaga dan membentengi ketaqwaan pasca puasa ramadhan yang dijalani selama satu bulan lamanya.
    Pada hari idul Fitri, dihalalkan segala corak makanan dan diharamkan segala bentuk puasa, karena merupakan puncak dimana setiap insan kembali kepada fitrah yang didapatkan sebagai bentuk keindahan dalam ajaran Islam.
    Halal bi halal selama lebaran menjadikan kita semakin bersih dan lebur, sebagai simbul fitrah insaniyah, karena kita telah melakukan beberapa kearifan, silaturahmi dan saling memaafkan sebagai bentuk muamalah sesama insan yang merupakan aplikasi ahklakul karimah karena telah melakukan bentuk rendah hati (tawadhu’) yang terpancarkan dari setiap sanubari relung-relung hati yang sangat mendalam tanpa bentuk diskriminasi ataupun paksaan.
    Halal bi halal yang menjadi sarana silaturahim untuk meleburkan segala kesalahan, akhirnya pun hati kita menjadi bersih, karena telah merasa lega dan tenang atas segala khilaf dan dosa yang mungkin tanpa sadar kita lakukan. Sebagai insan yang tidak lepas dari lupa, dan selalu melakukan bentuk kemaksiatan dan dosa terpancar dalam sikap dan akhlak yang begitu arif dan penuh kebanggaan.
    Pada saat ini, kita memulai aktivitas kembali, jika saat ramadhan atau menjelang idul fitri kita mudik dengan begitu semangat ingin berjumpa dengan keluarga, sanak famili dan sahabat, saat ini kita mulai beraktivitas kembali, bekerja dan berkarya, mengukir kebaikan dalam bentuk ibadah dan muamalah. Maka daripada itu, agar aktivitas kita senantiasa dalam keridhaan-Nya, setidaknya iman dan taqwa yang kita jadikan tujuan selama ramadhan senantiasa menancap dalam hati dan jiwa kita, hingga pada saat ini kita memulai segala aktivitas dengan bekal keimanan dan ketaqwaan sebagai benteng dari segala kemaksiatan dan terjerumus nya hamba pada lembah dosa dan kemubadziran.
    Untuk itu, mari kita bentengi segala amaliyah kita pasca lebaran ini dengan keikhlasan dan ketulusan dengan tetap menjaga iman, Islam kita menuju ridha Ilahi.

  • Opini: Idul Fitri Momentum Untuk Memperbaiki Niat

    Idul Fitri Momentum Untuk Memperbaiki Niat
    Prof. Wan Jamaluddin, M. Ag., P. hD
    Rektor UIN Raden Intan Lampung

    Idul Fitri adalah momentum untuk menguatkan niat menggapai ridha Ilahi, karena dengan niat yang kuatlah yang dapat menghantarkan diri menuju iman dan taqwa-Nya. Hari kemenangan dan membahagiakan, dalam bentuk silaturahmi dan bermaafan sehingga kembali kepada fitrah serta lebur, yaitu sirnanya dari segala kesalahan dan dosa hingga hari itu disebut sebagai hari lebaran, hari yang semua menjadi halal buah dari adanya kesadaran diri untuk menjadi orang yang rendah hati dan merasa tidak sombong dan besar hati serta takabur.

    Memaafkan serta meminta maaf merupakan akhlak mulia, dan bahkan merupakan kesempurnaan iman, karena memaafkan merupakan prilaku yang sangat mulia namun berat jika nafsu kita tetap membelenggu, karena nafsu akan senantiasa membelenggu manusia mengalahkan akal serta relung hati yang mendalam.

    Hawa nafsu yang selalu menjerumuskan kearah keburukan dan kesesatan, hingga Allah SWT, telah memberikan kesempatan kepada hamba yang beriman untuk melemahkan nafsu tersebut agar menjadi tunduk dan patuh pada Ilahi, sebagai bentuk pengabdian hamba dalam bentuk ibadah puasa, yang kemudian Allah menganugrahkan kepada orang yang beriman untuk kembali kepada ridhaNya dalam bentuk Iman taqwa yang sempurna.

    Moment idul fitri merupakan kebaikan yang mulia agar saling berbagi kasih dengan bentuk yang mulia yaitu yang besar menghargai yang kecil dan sebaiknya yang kecil menghormati yang besar, merupakan sebuah fitrah kemanusiaan yang diajarkan dalama agama Islam. Halal, artinya boleh dapat juga berarti bebas atau zero, berarti dalam kondisi halal adalah suatu posisi yang terlepas dari beban atau yang membebani. Media halal bihalal adalah sarana bersilaturahmi dan saling membebaskan dari segala belenggu syahwat yang angkuh dan sombong, hingga mampu menjadi tunduk dan rendah hati serta saling memaafkan, hingga pada kesempatan itulah menjadi lebur, yaitu leburnya dari dosa dan kesalahan.

    Lebaran yang juga berarti labur artinya cet warna putih yang mewarnai tembok hingga menjadi bersih seperti lembaran baru, dan itulah yang dimaksud fitrah, yaitu kesucian hati dan jiwa seperti bayi yang baru dilahirkan, sebagaimana sabda baginda Rasulullah, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah” Putih bersih seperti lembaran baru, hingga menggapai ridha Ilahi, menuju keteguhan iman dan taqwa-Nya.

    Pada saat ramadhan dan idul fitri itulah sesungguhnya kita membangun bi’ah, suatu kebiasaan mulia untuk dapat melatih kita menuju insan yang taat dan mulia.

    Pasca lebaran seharusnya kita telah terbiasa melakukan kebaikan baik dalam beribadah dan beramal shalih, hingga benar-benar amaliyah kita pasca lebaran menjadi kebiasaan yang mulia dalam keberkahan dan keimanan serta ketaqwaan-Nya. Wallahu alam

  • Opini: Salam Jangan Verbalitas Belaka

    Salam Jangan Verbalitas Belaka
    Oleh: Dr. Abdul Aziz, M.Pd.I
    Sekretaris Umum MUI Kota Bandar Lampung

    salam (السلام) berasal dari akar kata bahasa arab salima – yaslamu – salaaman – wa salaamatan (سَلِمَ – يَسْلَمُ – سَلاَمًا – وَسَلاَمَةً) yang berarti selamat dari bahaya, bebas dari cacat, ketulusan hati, keselamatan, ketentraman, ketenangan, kedamaian, kesejahteraan, aman dan nyaman. Salam adalah sapaan, penghargaan dan penghormatan kepada orang lain sebagai bentuk ekspresi empati dan harmoni dari seseorang kepada orang lain, bisa dalam bentuk ucapan, gerakan atau gabungan keduanya.

    فَكَانَ أَوَّلَ شَيْءٍ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ

     يَا أَيُّهَا النَّاسُ , أَفْشُوْا السَّلَامَ , وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ , وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ , وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ , تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ (رواه البخاري)

    Artinya:

    (Ketika Rasulullah Saw. Sampai ke Madinah) Dan yang pertama kali beliau ucapkan adalah, Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan sejahtera. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ahmad)

                Menyebarkan salam itu akan menumbuhkan rasa cinta diantara manusia. Rasulullah Saw. bersabda :

     لَا تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا . وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا . أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ . أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

    Artinya:

    Tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai, sebarkanlah salam di antara kalian. (HR. Bukhari)

                Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw. Wahai Rasulullah Saw. Islam yang bagaimanakah yang paling baik, Beliau Saw. Menjawab:

     تُطْعِمُ الطَّعَامَ , وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ

    Artinya:

    Engkau memberi makan dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak kenal. (HR. Bukhari)

                Menyapa adalah bentuk empati, harmoni, kepedulian, cinta, kasih sayang, penghargaan, dan penghormatan seseorang kepada orang tua, saudara, kerabat, guru, teman, sahabat, sejawat, tetangga atau siapapun. Orang yang disapa akan merasa dihargai dan dihormati sehingga akan tercipta suasana harmoni sosial penuh persaudaraan, menjadi semakin erat dan akrab. Cara, bentuk dan ekspresi seseorang ketika menyapa akan berbeda – beda berdasarkan peradaban dan budaya masyarakat. Islam mengajarkan bentuk sapaan dengan ucapan salam, bukan hanya berfungsi sebagai alat sapaan belaka, melainkan sebuah syariat, doktrin, do’a, sekaligus penghormatan pada sesama. Dalam Al Qur’an disebut tahiyyah;

    وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا ٨٦

    Artinya:

    Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An Nisa’ : 86)

                Salam merupakan bagian dari syari’ah, Rasulullah Saw. mengajarkan ucapan salam dengan diksi yang baku, yaitu السلام علبكم ورحمة الله وبركاته Salam dianjurkan untuk diucapkan sebagai sapaan, dihidupkan, disebarkan, dibiasakan dan tentu diresapi makna dan substansinya. Apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. merupakan yang terbaik untuk umatnya. Salam juga adalah do’a yang bermakna “Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dianugerahkan Allah kepada kalian.” Ada tiga permohonan kepada Allah Swt. untuk setiap orang yang disapa, yaitu keselamatan/kedamaian/kesejahteraan, kasih sayang (rahmat), dan keberkahan (ziyadatul khair) Allah swt.

                Ketika seseorang mengucapkan salam kepada orang lain, sesungguhnya ia sedang memberikan sebentuk jaminan untuk menjaga, merawat dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketulusan, keselamatan, keamanan, kedamaian, kesejahteraan, cinta, kasih sayang, dan kebaikan sesama sesuai dengan makna salam. Sehingga tidaklah pantas seseorang mengucapkan salam kepada orang lain, namun tetap berdusta, berkhianat, berbuat licik, culas, menebarkan kebencian, menyakiti hatinya, dan aktivitas lainnya yang menyebabkan terenggutnya rasa tulus, aman, damai, tentram, sejahtera, kasih sayang dan cinta.

                Apabila seseorang telah mengucapkan salam kepada orang lain, sama dengan memberikan jaminan kepada yang diberi salam bahwa tidak mungkin melakukan hal-hal yang menjadikannya tidak tulus, tidak selamat, tidak aman, tidak damai, tidak tenang dan tidak nyaman. Inilah hakikat tahiyyah (penghormatan) dalam salam, sehingga logic sekali Allah Swt. menyuruh membalas setiap sapaan salam yang didengar.

    أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ . رَدُّ السَّلاَمِ , وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ , وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ , وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ , وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ (متفق عليه)

    Artinya :

    Abu Hurairah Ra. Berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. Bersabda, hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima; menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendo’akan orang yang bersin.

                Menjawab salam, baik secara verbalistik maupun substansi, menjawab salam minimal frasanya sama dengan ucapan salam kepadanya, assalamu’alaikum dijawab dengan wa’alaikumussalam, yang lebih baik dan mulya, jawablah salam dan penghormatan itu dengan yang lebih baik, wa’alaikussalam warahmatullahi wabarakatuh. Makna terdalamnya (substansinya), kebaikan seseorang mestinya dibalas dengan minimal kebaikan yang sepadan, cinta dan kasih sayang seseorang mestinya dibalas dengan minimal cinta dan kasih sayang yang sepadan, ketulusan hati seseorang mestinya dibalas dengan minimal ketulusan hati yang sepadan, tutur sapa santun, sikap empati, perilaku luhur, cinta damai dan harmoni sosial mestinya direspon sepadan, tentu respon atau jawaban salam lebih baik yang lebih mulya. Salam jangan direduksi hanya verbalitas belaka.

                Hidup rukun dengan hati tulus dan ikhlas, tentram dan sejahtera, cinta dan damai, aman dan nyaman, dengan tutur kata dan sapa yang ramah dan santun, sikap empati dan harmoni, serta perilaku yang berlandaskan budi pekerti luhur. Kehidupan sosial tanpa kebencian dan permusuhan, tanpa iri hati, dengki dan prasangka buruk adalah impian kita semua. Islam hanya mengajarkan kepada kita semua untuk senantiasa menebarkan salam, cinta, kasih sayang, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian.

    والله تعالى أعلم بالصواب

  • Opini: Menjaga Protokol Kesehatan Saat Mudik

    Menjaga Protokol Kesehatan Saat Mudik
    Prof. Wan Jamaluddin, M.Ag., P.hD
    (Rektor UIN Raden Intan Lampung)

    Mudik adalah nama lain dari pulang kampung, kegiatan mudik merupakan event penting yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Islam di Indonesia, yang merupakan sebuah tradisi unik, dikatakan unik karena tidak terjadi di negara-negara lain. Ada kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri yang dirasakan oleh masyarakat muslim Indonesia ketika pada bulan ramadhan atau menjelang lebaran Idul Fitri, yaitu umumnya pada sepuluh terakhir bulan ramadhan, walaupun sebagian di awal dan pertengahan ramadhan.

    Salah satu hal penting yang dinantikan pada saat mudik adalah dapat berkumpul dengan keluarga, baik kedua orang tua maupun sanak famili, bersilaturahim dan bercengkrama setelah setahun lamanya beraktivitas masing-masing, dan pada saat intulah dapat meluangkan waktu menunaikan ibadah puasa dan lebaran di kampung halaman, bersama orang tua dan keluarga serta kerabat dekat demi menyambung tali silaturahmi yang selama satu tahun penuh tidak terjalin.

    Kemeriahan mudik sering membuat masyarakat kita senang walaupun terkadang harus antri di jalan, biaya ongkos mahal, namun semua itu terasa ringan dengan spirit rindu dan ingin senantiasa berjumpa dengan keluarga, hal tersebut bagian dari berkah ramadhan dapat terlaksana dengan rasa cinta, sehingga apapun caranya dapat dilakukan asalkan bisa mudik. Mudik pada tahun ini tentunya lebih meriah dibandingkan dua tahun sebelumnya pada saat musim corona yang menjadikan umat muslim sulit untuk melakukan pulang kampung.

    Idul Fitri adalah hari kemenangan setelah melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh lamanya, ketika Idul Fitri tiba, umat Islam mengadakan acara yang sangat unik, yaitu silaturahim, yang istilah ini sering disebut Sungkem kepada kedua orang tua yang masih ada dan sanak keluarga lainnya, namun ketika sudah tiada, mereka menyempatkan waktunya untuk berziarah ke Makam dan berdoa bersama atau dilaksanakan dengan sendiri-sendiri.

    Istilah silaturahim pada awal masuknya Islam ke Indonesia agak begitu sulit di ucapkan, kemudian KH. Wahab Chasbullah diberi nama halal bi halal yang kemudia istilah ini popular sampai hari ini. Halal bi halal adalah sebuah tradisi di masyarakat kita yang merupakan media untuk bersilaturahmi, halal bi halal berasal dari kata halal yang artinya lepas dari dosa. Sehingga istilah ini digunakan untuk menyambung tali silaturahim sering juga disebut bersal dari kalimat thalabul halal bi thariqi al- halal, yaitu meminta mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan  hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Sehingga istilah halal bi halal sebagai sarana untuk saling bermaafan.

    Istilah halal bi halal memang hanya sebuah tradisi baik dan mulia di Indonesia, yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Sunah dan tidak ada pelaksanaannya di Negara-negara lain. Unik memang hal ini, dan inilah merupakan sebuah tradisi Islam yang ada di Indonesia.

    Jika kehidupan ini ibarat benang yang selama ini tidak jelas ujungnya karena saking banyaknya alur kemudian menjadi kusut, maka sejatinya halal bi halal adalah  merajut kembali benang yang sudah kusut dan nyaris sulit diselesaikan. Jika ada kesalahan yang terjadi dan belum termaafkan karena sebuah kesalahan atau khilaf, maka saat itulah bertemu, duduk bersama untuk bemaafan, bercerita dan saling tabayyun.

    Walaupun tradisi mudik pada lebaran kali ini ramai kembali, namun kita harus tetap menjaga protokol kesehatan, agar Allah senantiasa memberikan kesehatan dan keselamatan, karena suatu tujuan yang baik yaitu menjalin tali silaturahmi dengan keluarga, jika dijalani dengan cara yang baik dan mengikuti aturan yang baik, insyallah akan menjadi yang terbaik, semoga Allah meridhai.

  • Opini: Menjaga Istiqamah Agar Menjadi Akhlak

    Menjaga Istiqamah Agar Menjadi Akhlak
    Dr. Siti Nurjannah, M.Ag
    Rektor IAIN Metro

    Marhaban ya ramadhan, bulan penuh keberkahan. Manusia diciptakan oleh Allah SWT, sebagai makhluk sempurna dengan sebaik-baiknya bentuk, dalam bahasa al Qur’an disebut “bi ahsani taqwiim” sebaik-baiknya bentuk tidak berarti sebaik-baiknya rupa, karena mungkin burung merak lebih indah, atau makhluk lain ciptaan Allah ada yang lebih indah dari manusia, namun manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk. Di antara kesempurnaan dari anugrah Allah kepada munusia adalah akal yang sehat, sebagai sarana untuk berfikir, juga di sisi lain Allah swt., menganugrahkan agama kepadanya sebagai obor agar akal dapat berfikir dengan sehat dan bermaslahat.

    Di sisi lain, Allah swt., juga menganugrahkan hawa nafsu agar manusia memiliki keinginan, posisi nafsu ini berada di belakang otak, sehingga sering kali mempengaruhi dan menyetir otak, meskipun demikian, otak haruslah dapat mengendalikan nafsu dan bukan dikendalikannya, sebuah ungkapan bijak yang mengatakan, nafsu itu seperti halnya anak kecil yang sulit dilepaskan dengan ibunya, jika dia tidak dilatih untuk di sapih, maka dia akan selalu mengikuti ibunya, begitu juga nafsu jika tidak dilatih untuk dikendalikan, maka dia akan selalu mengendalikan kita.
    Dalam konteks ibadah, istiqamah merupakan hal penting yang harus dilatih, dibiasakan dan dilestarikan, karena diajarkan oleh Rasulullah muhammad saw, “al istiqaamatu khairun min alfi karaamatin” Istiqomah adalah lebih baik dari seribu kemuliaan.

    Kemaksiatan merupakan hal yang dapat mengancam istiqamah, sehingga dapat mengikis keimanan kita, yang kemudian iman dapat bertambah dengan ketaatan kepada allah swt, sebagaimana sabdanya, Iman seseorang akan bertambah dan akan berkurang dan bahkan hilang, yang dikatenakan amal baik atau amal buruknya. Taat kepada allah swt., berarti menjalankan segala yang diperintahkan Allah swt., dengan penuh ketulusan, keikhlasan dan istiqamah serta tawakkal kepada allah swt., sedangkan berkurangnya ketika manusia melupakan Allah dan bahkan mentaati syaithan, yang mana syaithan akan selalu mengendalikan hawa nafsu kita untuk digiring kearah kemaksiatan dan kemudharatan dan menjerumuskan pada lembah hitam yang dapat merusak hati untuk beristiqamah.

    Pada bulan yang suci ini, kita telah berlatih istiqamah selama ramadhan, dengan modal iman. Istiqamah yang kita lakukan akan senantiasa membekas pada setiap insan yang beriman, baik shalat malamnya, tadarrusnya, amal sunah lainnya selama ramadhan seharus benar benar menancap pada relung relung sanubari kita, sehingga selepas ramadhan kita masih istiqamah me jalankan segala yang melekat kepada kita, dan itulah hakekat kataqwaan yang kita dapatkan selama ramadhan. Semoga kita semua dalam naungan ramadhan penuh keberkahan.amin

  • Opini: Ikhlas dalam Menggapai Ridha Ilahi

    Ikhlas dalam Menggapai Ridha Ilahi
    Dr. Efa Rodiah Nur, MH
    Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

     

    Marhaban ya ramadhan, bulan penuh keberkahan. Ikhlas merupakan hal yang terpenting dalam ibadah kita, terlebih kita berada di bulan ramadhan, Allah menjanjikan kepada hambaNya untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih, karena dengan keikhlasan kita dalam beribadah di bulan ramadhan ini, senantiasa akan terlihat kualitas amal ibadah kita, sah ataukah bathil. Ibadah di bulan ramadhan berbeda dengan ibadah di bulan bulan lainnya, Allah akan melipat gandakan segala kebaikan selama ramadhan.

    Ikhlas adalah menjalankan segala sesuatu (ibadah) karena Allah semata dan bukan karena bisiskan atau pengaruh yang lainnya, sehingga ikhlas sering diibaratkan air putih yang jernih yang berada dalam gelas yang belum tercampur dengan kotoran atau noda setetespun, sehingga air tersebut terlihat jernih tanpa noda, begitulah gambaran keikhlasan kita dalam beribadah.

    Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Nawawi, ikhlas yaitu: “ikhlas yaitu mensucikan panca indra kita baik secara dhahir maupun batin dari akhlak buruk (yang dapat merusak ibadah kita)”.

    Tujuan ibadah kita adalah menggapai metaqwaan kepada Allah Ta’ala, termasuk ibadah puasa yang jika kita jalani secara totalitas hanya mengharapkan ridhaNya.

    Taqwa secara etimologi berasal dari kata ta, qaf, waw dan ya’. Pertama adalah Ta’ yang berasal dari kalimat tawadhu’, tawadhu’ adalah rendah diri dan tidak sombong, karena sesungguhnya kesombongan akan dengan mudah menghancurkan diri kita.

    Kedua, adalah Qaf, yang berasal dari kalimat qona’ah, qonaah adalah menerima atas apa yang telah diberikan dan dianugrahkan oleh Allah swt.,

    Ketiga, adalah Waw, yang berasal dari kalimat wara’, wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang berlebihan.

    Keempat adalah Ya’, yang berasal dari kalimat yaqin, yaqin merupakan bekal yang sangat penting untuk dapat mewujudkan tawadhu’, qana’ah, wara’ dan yaqin.

    Taqwa secara terminology adalah sebagaiamna yang diungkapkan Umar bin Khattab ra.,
    “Taqwa adalah takut kepada Allah yang maha Agung, dan mengamalkan apa-apa yang diturunkan Allah swt., dan ridha terhadap apa yang dianugrahkan Allah swt., dan dan mempersiapkan diri untuk menjelang hari diamna ia meninggalkan jagad raya ini”. Semoga kita senantiasa mampu menggapai ketaqwaan di bulan ramadhan ini sebagai bonus dari selama setu bulan penuh menjalani ujian melawan hawa nafsu, yang merupakan jihad terbesar dalam kehidupan, semoga keberkahan senantiasa menyertai kita, amin