Category: Opini

  • Tahun Baru, Antara Harapan dan Tantangan

    Tahun Baru, Antara Harapan dan Tantangan

    Nirwan Hamid, M.Pd.I

    Pengurus MUI Kota Bandar Lampung

    Pengurus GANAS ANNAR MUI Kota Bandar Lampung 

    Allah Swt mengingatkan kepada manusia untuk selalu mengingat pentingnya waktu, pemanpaatan dan optimalisasi waktu. Bahkan karena pentingnya optimalisasi waktu tersebut, Allah Swt sampai bersumpah demi waktu. Dalam al-Quran surah an Nasr yang berbunyi:

    وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

    Artinya:

    “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaam merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan tolong menolong dalam kebenaran dan tolong menolong dalam kesabaran”. (QS. Al-‘asr/103:1-3)

    Di dalam surat yang mulia ini Allâh Swt bersumpah dengan masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di dalam masa terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan kesusahan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang menyian-nyiakan umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan kemaksiatan belaka, kemudian ia bertaubat di akhir hayatnya, dengan taubat yang diterima, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sempurna sebagai balasannya, berada di dalam surga selama-lamanya. Dia betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang paling berharga adalah sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan anugerah Allâh, Tidak ada cela padanya, manusia-lah yang tercela ketika tidak memanfaatkannya.

    Waktu atau masa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh rangkaian ketika proses perbuatan, atau keadaan berada atau lansung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval dua buah keadaaan/kejadian. Waktu merupakan salah satu nikmat yang agung yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Islam menganjurkan untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya supaya tidak termasuk orang yang merugi.

    Pada tahun 2019 apa saja yang sudah kita yang kita capai dan perbuat? Seberapa banyak yang telah kita perbuat pada tahun 2019 ini bermanfaat untuk sesama manusia? Lalu kita berfikir lagi untuk tahun yang mendatang pada 2020 kira-kira resolusi apa yang akan kita perbuat? Sudahkah kita memirkan begitu banyak tantangan yang akan dihadapi, sudah siapkah diri kita untuk memberikan solusi-solusi dari tantangan tersebut atau paling tidak untuk diri kita sendiri?

    Sebuah hadit Nabi Muhammad Saw yang artinya:

     “Siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung, siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia termasuk oang yang merugi, dan siapa yang hari ini lebih jelek dari hari yang kemarin maka dia termasuk orang yang terlaknat/celaka”

    Gambaran yang jelas dari hadits ini adalah bahwa paling tidak kita mempunyai langkah-langkah konkrit yang harus dikerjakan untuk tahun yang akan datang. Kisi-kisi yang mudah untuk kita jalani dan kita mulai dari hal-hal kecil yang positif sehingga bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

    Banyak sekali dari kita membuang waktu dengan sia-sia, tapi kebanyakan dari kita tidak tau bahwa hal itu sia-sia  dan waktu itu tidak akan pernah terulang kembali. Allah Swt berfirman dalam surah al-hasyr yang artinya: hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah Swt dan hendaknya setiap hari dirinya memperhatikan apa yang diperbutnya untuk hari esok.

    Imam al-Ghazali menerangkan masalah waktu adalah kehidupan. Karena itu Islam menjadikan kepiawaian dalam memanfaatkan waktu diantara indikasi keimanan dan tanda-tanda ketaqwaan. Orang yang mengetahui dan menyadari akan pentingnya waktu bearti memahami nilai hidup dan kebahagiaan. Membiarkan waktu terbuang sia-sia dengan anggapan esok masih ada waktu merupakan salah satu tanda tidak menghargai waktu. Padahal ia tidak pernah datang kedua kalinya atau tidak pernah terulang kembali. Pepatah Arab mengatakan “tidak akan pernah kembali waktu yang telah lampau”. Karena itu jangan sia-sia kan waktu:

    Waktu muda sebelum datang masa tua

    Waktu sehat sebelum datang sakit

    Waktu kaya sebelum datang miskin

    Waktu luang sebelum datang sempit

    Waktu hidup sebelum datang mati

    Optimalisasi waktu diharapkan akan menjadikan hidup kita akan lebih baik. Sehingga menyambut pergantian tahun akan berdampak positif bagi kehidupan kita, baik aspek ekonomi, politik dan etika. Karena ini semua merupakan leding sector yang urgen dalam kehidupan manusia yang utuh. Harapan bahwa ditahun baru ini. Akan membawa perubahan dalam hidup kita kearah yang lebih baik. Harapan bahwa mimpi yang selama ini belum diraih, tahun ini akan menjadi kenyataan. Akan tetapi antara harapan dan tantangan adalah dua sejoli yang tidak terpisahkan. Karena antara “harapan” dan terwujudnya impian ada “jurang” yang harus diseberangi. Ada jarak waktu yang harus ditempuh, serta ada resiko yang harus diambil. Inilah tantangan yang tidak bisa dielakkan. Dengan menyadarinya maka mental kita akan semakin siap bahwa perjalanan kedepan belum tentu lebih mulus dari tahun yang sudah kita lalui. Bahkan boleh jadi tahun ini perjalanan hidup yang akan kita tempuh akan lebih terjal dan curam dibandingkan yang sudah kita lalui tahun lalu. Maka persiapan mental merupakan modal utama untuk meraih impin dalam hidup kita. Seandainya mental kita belum siap maka kita perlu melakukan “reset” dalam cara berpikir kita. Karena langkah pertama untuk mengubah nasib adalah dengan cara mengubah atau me reset cara berpikir kita “change your mind and your life will be change” ubahlah cara berfikir kita maka hidup kita juga akan berubah.

    Mengubah sikap mental, memerlukan kekuatan pikiran dan tindakan bahwa tidak ada yang mustahil dalam hidup ini. Sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya:

    “Sesungguhnya urusan-Nya apabila ia menghendaki sesuatu maka hanya berkata kepadanya jadilah maka jadialah ia”.(QS. Yasin:82)

    Sesuatu menjadi tidak mungkin karena kita berpikir demikian, maka terjadialah sesuai dengan pikiran kita. Firman Allah Swt dalam suarah ar-ra’d ayat 11 yang artinya:

    “Sesungguh-Nya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga ia merubah nasib mereka sendiri”. (QS. Ar-ra’d:11). Maka perubahan akan terealisasi dengan tindakan yang nyata, tapi tindakan ini akan berhasil jika diawali oleh akaldan pikiran. All the miracles begins in the mind.

    Banyak orang mengetahui urgensi nilai dan waktu dan mengetahui perkara-perkara yang bermanfaat yang seharusnya dilakukan untuk mengisi waktu, tepai karena lemah nya kamauan dan tekad mereka tidak melakukannya. Maka kita sebagai muslim wajib mengobati masalah ini dengan menggantinya dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat. Serta janganlupa meminta petunjuk dan pertolongan dari Allah Swt.

    Sebuah harapan akan membut kita lebih bersemangat atau setidaknya mencegah kita agar tidak terjerumus masuk kejurang keputusasaan. Karena bila orang sudah putus asa menghadapi berbagai masalah pelik dalam hidupnya maka sesungguhnya pada saat itu hidupnya sudah berakhir. Orang yang putus asa adalah ibarat orang yang sudah mati sebelum kematian sesungguhnya datang menjemputnya. Life is problem. No problem is means life is ended.

    Ihdinas shiratal mustaqim..

    Wallahu muwafiq ila aqwami thoriq

  • Estafet Perjuangan Kebangsaan (Refleksi 10 Tahun Wafat Gus Dur)

    Estafet Perjuangan Kebangsaan
    (Refleksi 10 Tahun Wafat Gus Dur)
    Oleh :
    Akhmad Syarief Kurniawan
    (Peneliti LTN NU Lampung Tengah)

    Hari ini genap sepuluh tahun tak terasa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita, sejak 30 Desember 2009 silam. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) dikenal istilah tradisi peringatan Haul (peringatan 1 tahun wafat seseorang), Haul akan terasa dahsyat gemanya jika yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama’ besar, pendiri sebuah pesantren dan seterusnya, dan Gus Dur-lah salah satunya.

    KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah seorang Kiai, cendekiawan, aktivis, pemimpin humanis, budayawan, tokoh demokrasi, tokoh lintas agama, pejuang hak-hak asasi dan pluralisme. Kita sebut dengan penuh penghormatan ”salah seorang putera terbaik”. Sepanjang hidupnya telah mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk menegakkan harkat dan martabat setiap individu dan komunitas pada tempat yang setinggi-tingginya sebagai warganegara. Tidak ada perbedaan, tidak ada diskrimansi dan tidak ada eksploitasi.

    Gus Dur berjuang dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Beliau tidak dipeduli dicerca dan diserang. Menghadapai ancaman dan hinaan, beliau bukanlah pemimpin yang mementingkan citra dan ’nama baik’. Beliau maju terus dengan prinsip-prinsip untuk menegakkan demokrasi, hak asasi dan pluralisme.

    Gus Dur bukanlah sebuah ’kebenaran’. Didalam dirinya beliau adalah sebuah percobaan demi percobaan untuk belajar, menempuh dan akhirnya meyakini bahwa jalan demokrasi itulah alternatif untuk bangsa yang plural dan beragam kebudayaannya ini.

    Gus Dur adalah guru bangsa yang tak kunjung lelah untuk mencerahkan pikiran bagi seluruh anak bangsa. Beliau seorang pembela kebenaran, guru bangsa yang negarawan. Beliau adalah tokoh yang mengabdi demi bangsa dalam penuh keragaman, yang dimatanya hanya satu : Indonesia.

    Gus Dur memiliki komitmen yang kuat terhadap pluralisme Indonesia. Seorang tokoh pembawa pemikiran Islam modern dengan ruh tradisional. Sehingga terkadang dituduh terlalu liberal dalam pemikian tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamien – Islam yang semesta.

    Sewaktu beliau masih hidup banyak yang tidak memahami jalan pikirannya, karena seringkali mengundang kontroversi. Kendati demikian, suaranya tak jarang bahkan menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya kedepan. Beliau memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar, bahkan beliau juga berani berbeda pendapat dengan pendapat banyak orang, dan jika dirunut, kebenaran itu seringkali tampak radikal.

    Meski pendapatnya tidak selalu benar –setidaknya menurut kacamata pihak lain – adalah sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang menjadi panduan arah perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam pembukaan UUD 1945.

    Pendapatnya memang tanpa interes politik pribadi atau kelompok. Beliau berani berdiri didepan untuk kepentingan orang lain atau golongan orang lain yang diyakininya benar. Malahan sering berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri atau Nahdlatul Ulama. Juga bahkan ketika beliau menjabat Presiden ke empat Republik Indonesia, sepertinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan kebenaran yang mesti diakui sering tidak lazim.

    Gus Dur termasuk pemimpin langka yang justru menyadarkan kita dari ilusi yang sedang menghantui bangsa ini, memperingatkan kita dengan keras dan membangunkan sikap kritis terhadap hal-hal kecil sekalipun, meski itu membuat dirinya dibenci oleh sebagian orang, tetapi disukai oleh sebagian yang lain. Gus Dur guru spiritual, bukan guru agama, guru yang selalu mengajak kita menyelam ke lubuk hati yang terdalam, yang dicapai bukan hanya rasio, tetapi segunung kelapangan diri untuk diingatkan dengan keras, kerelaan dan keikhlasan. Gus Dur selalu menyilahkan pejabat, dan tak segan menerima orang hina sekalipun untuk bertemu dirumahnya, Ciganjur.

    Bagi waga NU (nahdliyyin), sosok Gus Dur adalah simbol pamomong, yakni, figur yang memiliki watak mengayomi, membimbing serta memperteguh kasih sayang atas sesama, tanpa membeda-bedakan. Keunikan dan kelebihan Gus Dur, sehingga beliau dipercaya oleh rakyat Indonesia untuk menduduki kursi RI-1 adalah karena beliau mampu dan cerdas memadukan nilai-nilai kepesantrenan, kebangsaaan dan kemanusiaan, bukan hanya dalam dirinya, melainkan juga dalam kenegarawanannya.

    Dan yang tak kalah penting, Gus Dur adalah seorang tokoh muballigh kemanusiaan. Seluruh hidupnya bisa dikatakan didedikasikan untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama. Melalui tulisan¬-tulisannya, ceramahnya dan aktivitas kehidupan serta pembelaannya terhadap sesama, Gus Dur menyebarkan ajaran-ajaran agama. Namun berbeda dengan muballigh konvensional yang cenderung menyebarkan ajaran-ajaran agama sebatas dimensi normatif dan simboliknya, Gus Dur selalu menyebarkan inti ajaran agama, yaitu ajaran yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta kemanusiaan, A. Muhaimin Iskandar, 2010.

    Walaupun Gus Dur telah wafat tak terasa hampir sepuluh tahun tahun lamanya, terlalu banyak yang harus diungkapkan dari pemikiran Gus Dur untuk bangsa ini tak terkecuali konsennya dalam ranah pendidikan. Gus Dur adalah seorang Kiai tradisional yang sangat konsen dengan dunia pendidikan di Indonesia, setidaknya ada tiga gagasan strategis Gus Dur dalam ranah pendidikan.

    Pertama, gagasan tentang pendidikan nasional dibawah satu atap. Gagasan ini sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Pada masa Orde Baru Mendikbud dijabat oleh Daoed Jusuf (1978-1983) pernah mengemukakan bahwa semua lembaga pendidikan keagamaan, diurus di departemennya. Pada saat itu gagasan gagasan ini mendapat rekasi keras dari kalangan pemimpin dan organsiasi Islam, terutama karena pertimbangan politis, yakni kekhawatiran akan adanya proses sekularisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia.

    Kedua, kebijakan Gus Dur yang mengangkat para guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS) meski belum menempuh pendidikan Diploma II, menjadi ”jalan surga” bagi para guru honorer tentunya yang telah belasan tahun mengabdi. Sebagaimana kita mafhumi bersama kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru yang menghapuskan Sekolah Pendidikan Agama (SPG) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) dengan mengharuskan para alumninya menempuh pendidikan Diploma II untuk bisa diangkat menjadi guru sangat menyesakkan. Karena masih banyak ribuan guru yang saat itu menjadi wiyata bhakti dengan masa bhakti belasan tahun.

    Sekali lagi Gus Dur sangat paham jika kebijakan ini tidak diambil tentu akan ’menggantung’ nasib ribuan guru yang sangat berharap dapat mengabdi secara optimal dengan penghargaan yang memadai untuk bangsa ini.

    Ketiga, Gus Dur dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kultur pesantren tradisional milik kekeknya KH. Hasyim Asy’arie dan ayahnya KH. A. Wahid Hasyim Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Sehingga tidak heran kultur pesantren sangat melekat pada sosok Gus Dur. Meskipun demikian, mayoritas masyarakat menganggap pendidikan di pondok pesantren seperti pendidikan kelas nomor ”dua”. Padahal jika dicermati secara objektif lembaga pendidikan ini telah banyak melahirkan tokoh-tokoh kelas nasional bahkan intenasional, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), KH. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU), Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) (budayawan), KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), D. Zawawi Imron (penyair) dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh jebolan pesantren.

    Memang, kini Gus Dur telah tiada namun cita-cita dan keteladanannya sampai hari ini masih hidup menyala, selaku generasi bangsa selayaknya kita melanjutkan estafet perjuangan dan pemikirannya. Gus Dur bukan sekedar milik warga Nahdlatul Ulama (NU), santri Tebu Ireng Jombang, Gusdurian, atau Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gus Dur adalah milik semua anak bangsa Indonesia bahkan dunia. Al Faatihah.

  • Tahun Baru, Antara Harapan dan  Tantangan

    Nirwan Hamid, M.Pd.I
    Anggota MUI Kota Bandar Lampung
    Anggota GANAS ANNAR MUI Kota Bandar Lampung 

    Allah Swt mengingatkan kepada manusia untuk selalu mengingat pentingnya waktu, pemanpaatan dan optimalisasi waktu. Bahkan karena pentingnya optimalisasi waktu tersebut, Allah Swt sampai bersumpah demi waktu. Dalam al-Quran surah an Nasr yang berbunyi:
    وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
    Artinya:
    “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaam merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan tolong menolong dalam kebenaran dan tolong menolong dalam kesabaran”. (QS. Al-‘asr/103:1-3)
    Di dalam surat yang mulia ini Allâh Swt bersumpah dengan masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di dalam masa terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan kesusahan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang menyian-nyiakan umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan kemaksiatan belaka, kemudian ia bertaubat di akhir hayatnya, dengan taubat yang diterima, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sempurna sebagai balasannya, berada di dalam surga selama-lamanya. Dia betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang paling berharga adalah sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan anugerah Allâh, Tidak ada cela padanya, manusia-lah yang tercela ketika tidak memanfaatkannya.
    Waktu atau masa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh rangkaian ketika proses perbuatan, atau keadaan berada atau lansung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval dua buah keadaaan/kejadian. Waktu merupakan salah satu nikmat yang agung yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia. Islam menganjurkan untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya supaya tidak termasuk orang yang merugi.
    Pada tahun 2019 apa saja yang sudah kita yang kita capai dan perbuat? Seberapa banyak yang telah kita perbuat pada tahun 2019 ini bermanfaat untuk sesama manusia? Lalu kita berfikir lagi untuk tahun yang mendatang pada 2020 kira-kira resolusi apa yang akan kita perbuat? Sudahkah kita memirkan begitu banyak tantangan yang akan dihadapi, sudah siapkah diri kita untuk memberikan solusi-solusi dari tantangan tersebut atau paling tidak untuk diri kita sendiri?
    Sebuah hadit Nabi Muhammad Saw yang artinya:
    “Siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung, siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia termasuk oang yang merugi, dan siapa yang hari ini lebih jelek dari hari yang kemarin maka dia termasuk orang yang terlaknat/celaka”
    Gambaran yang jelas dari hadits ini adalah bahwa paling tidak kita mempunyai langkah-langkah konkrit yang harus dikerjakan untuk tahun yang akan datang. Kisi-kisi yang mudah untuk kita jalani dan kita mulai dari hal-hal kecil yang positif sehingga bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
    Banyak sekali dari kita membuang waktu dengan sia-sia, tapi kebanyakan dari kita tidak tau bahwa hal itu sia-sia  dan waktu itu tidak akan pernah terulang kembali. Allah Swt berfirman dalam surah al-hasyr yang artinya: hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah Swt dan hendaknya setiap hari dirinya memperhatikan apa yang diperbutnya untuk hari esok.
    Imam al-Ghazali menerangkan masalah waktu adalah kehidupan. Karena itu Islam menjadikan kepiawaian dalam memanfaatkan waktu diantara indikasi keimanan dan tanda-tanda ketaqwaan. Orang yang mengetahui dan menyadari akan pentingnya waktu bearti memahami nilai hidup dan kebahagiaan. Membiarkan waktu terbuang sia-sia dengan anggapan esok masih ada waktu merupakan salah satu tanda tidak menghargai waktu. Padahal ia tidak pernah datang kedua kalinya atau tidak pernah terulang kembali. Pepatah Arab mengatakan “tidak akan pernah kembali waktu yang telah lampau”. Karena itu jangan sia-sia kan waktu:
    Waktu muda sebelum datang masa tua
    Waktu sehat sebelum datang sakit
    Waktu kaya sebelum datang miskin
    Waktu luang sebelum datang sempit
    Waktu hidup sebelum datang mati
    Optimalisasi waktu diharapkan akan menjadikan hidup kita akan lebih baik. Sehingga menyambut pergantian tahun akan berdampak positif bagi kehidupan kita, baik aspek ekonomi, politik dan etika. Karena ini semua merupakan leding sector yang urgen dalam kehidupan manusia yang utuh. Harapan bahwa ditahun baru ini. Akan membawa perubahan dalam hidup kita kearah yang lebih baik. Harapan bahwa mimpi yang selama ini belum diraih, tahun ini akan menjadi kenyataan. Akan tetapi antara harapan dan tantangan adalah dua sejoli yang tidak terpisahkan. Karena antara “harapan” dan terwujudnya impian ada “jurang” yang harus diseberangi. Ada jarak waktu yang harus ditempuh, serta ada resiko yang harus diambil. Inilah tantangan yang tidak bisa dielakkan. Dengan menyadarinya maka mental kita akan semakin siap bahwa perjalanan kedepan belum tentu lebih mulus dari tahun yang sudah kita lalui. Bahkan boleh jadi tahun ini perjalanan hidup yang akan kita tempuh akan lebih terjal dan curam dibandingkan yang sudah kita lalui tahun lalu. Maka persiapan mental merupakan modal utama untuk meraih impin dalam hidup kita. Seandainya mental kita belum siap maka kita perlu melakukan “reset” dalam cara berpikir kita. Karena langkah pertama untuk mengubah nasib adalah dengan cara mengubah atau me reset cara berpikir kita “change your mind and your life will be change” ubahlah cara berfikir kita maka hidup kita juga akan berubah.
    Mengubah sikap mental, memerlukan kekuatan pikiran dan tindakan bahwa tidak ada yang mustahil dalam hidup ini. Sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya:
    “Sesungguhnya urusan-Nya apabila ia menghendaki sesuatu maka hanya berkata kepadanya jadilah maka jadialah ia”.(QS. Yasin:82)
    Sesuatu menjadi tidak mungkin karena kita berpikir demikian, maka terjadialah sesuai dengan pikiran kita. Firman Allah Swt dalam suarah ar-ra’d ayat 11 yang artinya:
    “Sesungguh-Nya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga ia merubah nasib mereka sendiri”. (QS. Ar-ra’d:11). Maka perubahan akan terealisasi dengan tindakan yang nyata, tapi tindakan ini akan berhasil jika diawali oleh akaldan pikiran. All the miracles begins in the mind.
    Banyak orang mengetahui urgensi nilai dan waktu dan mengetahui perkara-perkara yang bermanfaat yang seharusnya dilakukan untuk mengisi waktu, tepai karena lemah nya kamauan dan tekad mereka tidak melakukannya. Maka kita sebagai muslim wajib mengobati masalah ini dengan menggantinya dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat. Serta janganlupa meminta petunjuk dan pertolongan dari Allah Swt.

    Sebuah harapan akan membut kita lebih bersemangat atau setidaknya mencegah kita agar tidak terjerumus masuk kejurang keputusasaan. Karena bila orang sudah putus asa menghadapi berbagai masalah pelik dalam hidupnya maka sesungguhnya pada saat itu hidupnya sudah berakhir. Orang yang putus asa adalah ibarat orang yang sudah mati sebelum kematian sesungguhnya datang menjemputnya. Life is problem. No problem is means life is ended.
    Ihdinas shiratal mustaqim..
    Wallahu muwafiq ila aqwami thoriq

  • Natal dan Kerukunan Umat Beragama

    Natal dan Kerukunan Umat Beragama
    Oleh : Ahmad Syarief Kurniawan
    (Wakil Ketua PC GP Ansor Lampung Tengah)

    Disaat suasana hati sedang belum kondusif di kabupaten Mesuji, propinsi Lampung, mari kita seyogyanya sebagai umat beragama berdoa bersama semoga konflik disana segera selesai dan berakhir dengan damai, semoga tidak menimbulkan korban jiwa lagi.

    Malam Kudus merupakan sebuah lagu yang selalu bergema dalam kesempatan perayaan Natal. Jikalau lagu itu tida dilantunkan seakan pesta Natal belum sah. Dan suasana sakralpun kurang nampak. Gejala tersebut rupanya berkembang dalam diri umat beriman. Rupanya ada suatu harapan bahwa pesta Natal mesti menyiratkan suasana agung, syahdu, romantis.

    Injil lukas melukiskan suasana agung melalui koor massal para malaikat. Hal itu dipaparkan bahwa kelahiran Yesus mempunyai nilai (value) ilahi. Sisi kesyahduan dilukiskan melalui suasana malam yang sunyi dan penuh kesederhanaan di tempat kelahiran Yesus. Sementara suasana romantis diungkapkan melalui kegembiraan dan kebersamaan orang-orang yang berkumpul disekeliling palungan dimana bayi Yesus dibaringkan.

    Perayaan Natal mempunyai bobot pesan agama. Sama halnya membahas pesan sebuah ideologi, baik pada dalam waktu kekinian (kontemporer) ataupun masa lalu – sebagai sebuah sejarah. Dimana secara substantif – teoritis keduanya menawarkan niat baik kepada kita, untuk membangun kehidupan agar lebih beradab, berkeadilan, dan lebih sejahtera, tanpa memandang warna kulit (apartheid), serta kelompok manapun, (Komaruddin Hidayat, 2002).

    Gema Natal adalah damai sejahtera, tetapi jangan kaget kalau gema itu juga dari suara kepentingan. Gaung Natal mungkin dari kepentingan yang bukan Natal. Yesus bersabda : ”dimana hatimu, disitulah hartamu”.

    Sering kita terjebak pada sifat yang konsumert. Mungkin ada pesan-pesan tertentu melalui Natal. Natal tidak lagi menjadi momentum, tetapi menjadi peluang atau kesempatan.

    Natal bermakna bahwa Tuhan memberi damai sejahtera. Didalam kesederhanaan, kemiskinan bahkan pergumulan hidup Natal akan bermakna ketika memahami bahwa Natal berarti Tuhan hadir menyertai, IMMANUEL (Tuhan dekat kita). Tuhan transenden itu menjadi imanen menguatkan hati umatnya. Natal berarti mau hadir ditengah kesulitan bangsa dengan segala upayanya. Ditengah masyarakat yang majemuk kehadiran setiap pribadi mempunyai arti yang besar dalam membangun hidup bersama. Bukankah bangsa ini menjadi sewarna yang khas, yang tak mungkin dicontoh bangsa lain dan mencontoh bangsa lain.

    Natal tidak akan dan tidak mungkin kembali keduapuluh abad yang silam. Natal ini menjadi Natal yang kontekstual. Walaupun dalam kesederhanaan, Natal tidak akan kehilangan arti, bahkan mungkin tanpa Natal-pun, Natal tidak kehilangan ketika dalam kesepian, orang mampu merasakan Yesus Kristus yang lahir dirasakan hadir dan memberi makna dalam kehidupannya.

    Dalam susana Natal ini, Bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk atau berbhineka mempunyai keaneka ragaman hubungan sosial antar suku, antar bahasa bahkan antar agama. Keanekaragaman suku, bahasa, adat istiadat dan agama tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus kita terima sebagai kekayaan bangsa. Namun, disamping itu didalam keanekaragaman atau pluralitas juga mengandung kerawanan yang dapat memunculkan konflik-konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda-beda.

    Oleh karena itu, untuk memberikan jalan tengah perlu komitmen semua elemen masyarakat untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama, yaitu berupa kajian-kajian yang sangat mendalam dan membutuhkan kesabaran tentunya. Pengkajian kerukunan hidup umat beragama paling tidak dapat dilakukan pada dua level kajian, yaitu pengkajian pada level doktrin (ajaran) agama dan pada level sosiologis-historis atau empirik realitas kehidupan beragama secara nyata, (Depag Puslitbang, 1998).

    Pertama, pengkajian kerukunan umat beragam dapat dilakukan pada level doktrin dalam kitab-kitab suci agama-agama yaitu mengkaji ajaran-ajaran, ayat-ayat, pesan-pesan suci yang berasal atau terdapat dalam kitab suci masing-masing agama yang mengandung atau berisi ajaran-ajaran tentang kerukunan, baik didalam (intern) agamanya maupun dengan agama-agama lain yang berbeda.

    Tentu saja diantara kitab-kitab suci dari agama-agama yang berbeda itu mengandung perbedaan-perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Perbedaan-perbedaan tersebut terutama dalam aspek yang bersifat prinsip (fundamental) seperti aqidah, ibadah (ritual). Perbedaan dibidang-bidang tersebut tak dapat dipersatukan dan memang tak perlu dicari titik temunya. Sebab upaya mempersatukan ajaran agama yang pokok tersebut hanya sia-sia belaka, kecuali jika yang dikehendaki ” sebuah kerukunan ” itu adalah sinkretisme, karena sinkretisme ditolak oleh semua agama-agama yang ada di Indonesia.

    Dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, suatu tujuan yang dikehendaki adalah kerukunan umat beragama penggalian atau pengkajian pada level doktrin atau kitab suci dari agama-agama ini sangat diperlukan, dan hasilnya perlu disebarluaskan kepada masyarakat. Hal ini seperti yang pernah dilakukakan oleh tokoh-tokoh lintas agama : MUI (Majelis Ulama’ Indonesia), PGI, KWI, PHDI dan WALUBI dan lain-lain.

    Kedua, pengkajian kerukunan umat beragama pada tataran historis-sosiologis atau empirik. Hal ini penting dilakukan, realitas umat beragama di masyarakat bawah (grass root) menunjukkan bahwa dalam masyarakat-masyarakat lokal di Indonesia, khususnya pada masyarakat yang heterogen dari segi suku dan agama, ternyata mereka telah menciptakan tradisi-tradisi yang menunjang demi terwujudnya kerukunan hidup antar umat beragama maupun intern umat bergama. Wallahu a’lam.

  • Hukum Mengucapkan Selamat Natal Bagi Seorang Muslim

    Hukum Mengucapkan

    Selamat Natal Bagi Seorang Muslim
    Oleh :KH. Sobri Dinal Mustofa, MS.c

    UACAPAN Selamat Hari Natal seorang Muslim kepada non Muslim dalam hal ini kaum Nasrani, adalah masalah Ijtihadiy, masalah khilafiyah yang menunai pro dan kontra antara ulama yang satu dengan lainya, walaupun mereka dalam “satu madzhab”. Memang tidak ada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi sosial saat nabi Muhammad ﷺ hidup , umat Islam membutuhkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani . Berikut ini adalah dua pandangan yang saling berbeda.

    1.ULAMA YANG MELARANGNYA

    Sebagian ulama menganggap Hari Raya Non Muslim, bukan termasuk Hari Raya yang mendatangkan kebaikan bagi umat Islam. Oleh karena itu mengikuti tradisi mereka, seperti ucapan Hari Natal atau ikut merayakanya, dipandang tidak perlu pula itu dilakukan. Dalam konteks ini al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi berkata dalam kitabnya al-Amru bil-Ittiba’ wa al-Nahyu ‘anin al-Ibtida’ sebagai berikut:

    ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة كما يفعله كثير
    من جهلة المسلمين من مشا ركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه في خميس البيض الذي هو
    اكبر اعياد النصارى ] الحافظ جلال الدين السيوطي، الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع ص 141.[

    “Termasuk Bid’ah Munkarot adalah penyerupaan [muslimin] terhadap orang –orang kafir, dalam hal hari-hari raya mereka, momen-momen tertentu mereka yang tidak terpuji, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang-orang muslim yang bodoh, terhadap masyarakat Nasrani. Demikian pula sikap mereka [muslim] dimana mereka melakukan sikap seperti itu pada “Kamis Putih” yang merupakan Hari Raya orang-orang Nasrani.[Al-hafidz jalaudin As-Suyuthi :Al-Amr bi al-Itiba’ Wa An-Nahyi ‘Ani al-Ibtida’: 141]

    Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali berkata:

    وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه … وإن بلي الرجل بذلك فتعاطاه دفعا لشر يتوقعه منهم فمشى إليهم ولم يقل إلا خيرا ودعا لهم بالتوفيق والتسديد فلا بأس بذلك وبالله التوفيق. (ابن قيم الجوزية، أحكام أهل الذمة 1/442[

    “Adapun ucapan selamat dengan simbol-simbol yang khusus dengan kekufuran maka adalah haram berdasarkan kesepakatan ulama, seperti mengucapkan selamat kepada kafir dzimmi dengan Hari Raya dan puasa mereka. Misalnya ia mengatakan, Hari Raya berkah buat Anda, atau Anda selamat dengan Hari Raya ini dan sesamanya. Ini jika yang mengucapkan selamat dari kekufuran, maka termasuk perbuatan haram. Ucapan tersebut sama dengan ucapan selamat dengan bersujud kepada salib. Bahkan demikian ini lebih agung dosanya menurut Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, membunuh seseorang, perbuatan zina yang haram dan sesamanya. .. Apabila seseorang memang diuji dengan demikian, lalu melakukannya agar terhindar dari keburukan yang dikhawatirkan dari mereka, lalu ia datang kepada mereka dan tidak mengucapkan kecuali kata-kata baik dan mendoakan mereka agar memperoleh taufiq dan jalan benar, maka hal itu tidak lah apa-apa.” (Ibnu Qayyimil Jauziyyah, “Ahkam Ahl al-Dzimmah”: juz 1 hal. 442).

    Pernyataan di atas menyimpulkan bahwa ucapan Selamat Natal, hukumnya haram dilakukan oleh seorang Muslim, karena termasuk mengagungkan simbol-simbol kekufuran menurut agamanya.

    Lalu bagaimana, jika sekelompok umat Islam berpartisipasi menghadiri acara natal dengan tujuan mengamankan acara Natalan? Tentu saja, hukumnya juga haram. Al-Imam Abu al-Qasim Hibatullah al-Thabari al-Syafi’i, seorang ulama fiqih madzhab Syafi’i berkata:

    قال أبو القاسم هبة الله بن الحسن بن منصور الطبري الفقيه الشافعي ولا يجوز للمسلمين أن يحضروا أعيادهم لأنهم على منكر وزور وإذا خالط أهل المعروف أهل المنكر بغير الإنكار عليهم كانوا كالراضين به المؤثرين له فنخشى من نزول سخط الله على جماعتهم فيعم الجميع نعوذ بالله من سخطه

    “Telah berkata Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur al-Thabari, seorang faqih bermadzhab Syafi’i: “Kaum Muslimin tidak boleh (haram) menghadiri Hari Raya non Muslim, karena mereka melakukan kemunkaran dan kebohongan. Apabila orang baik bercampur dengan orang yang melakukan kemunkaran, tanpa melakukan keingkaran kepada mereka, maka berarti mereka rela dan memilih (mendahulukan) kemunkaran tersebut., maka dikhawatirkan turunnya kemurkaan Allah atas jamaah mereka (non-Muslim), lalu menimpa seluruhnya, kita berlindung dari murka Allah.”
    Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Furqan ayat 72:

    وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

    Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”[Q.S Al-Furqan : 72]

    Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya haram.

    2. ULAMA YANG MEMPERKANANKAN

    Sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:

    لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ

    Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”[Al-Mumtahanah : 8]

    Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.

    Nampaknya Habib Ali Zainal Abidin al-Jufri ikut mengambil pandangan ulama-ulama kelompk kedua ini. Habib Ali Zainal Abidin membantah pernyataan Ibnul Qoyyim di atas yang menegaskan “haram mengucapkan sel;amat natal” sebagai Ijma Ulama. Karena Ibnul Qoyyim adalah bermadzhab Hambali, sementara madzhab ini para ulamanya terpilah pandanganya pada Tiga Hukum :Yaitu Makuh, Haram dan Jawaz [boleh]. Sembari menegaskan : bahwa siapa yang mengharamkan, karena perkara ini masuk wilayah khilafiyah, maka harus menghormati mereka [ulama] yang berpandangan sebaliknya. Jadi tidak akan terjadi saling menyalahkan apalagi sampai mengkafirkan.

    Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan. Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya’ (Quds/Palestina):

    هَذَا مَا أَعْطَى عَبْدُ اللهِ عُمَرُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَهْلَ إِيْلِيَاءَ مِنَ الْأَمَانِ: أَعْطَاهُمْ أَمَانًا
    لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَكَنَائِسِهِمْ وَصَلْبَانِهِمْ وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ، وَلَا تُهْدَمُ.

    “Ini merupakan pemberian hamba Allah, yakni Umar Amrul Mu’minin, kepada penduduk Iliya’ berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3, hal. 609)

    Catatan Penulis: mensikapi dua pendapat di atas maka barangkali layak dan tepat jika kita pilah-pilah sbb:
    1.Seorang muslim secara pribadi, dengan ke-ilmuan yang cukup , bisa mengharamkan atau memperkenankan ucapan selamat natal kepada kaum Nasrani. Silahkan mengikuti sesuai Hujjah pilihanya.
    2. Seorang Muslim yang awam, dengan ilmu yang minim, sebaiknya mengambil sikap yang lebih aman dan hati-hati [yakni tidak usah mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani] tetapi tetap hormat dalam kontek ukhuwah basyariyah.
    3. Seorang Muslim yang punya jabatan yang dipilih dari suara rakyat [Muslim dan non muslim] , atasnama jabatanya [Presiden, Gubernur , Bupati, camat, kepala Desa] lebih santun jika pada suasana kaum Nasrani Natalan, untuk mengucapkan Selamat Natal kepada warganya yang Nasrani, jika dipandang perlu dan pada tempatnya. Wallhu A’lam Bis Showwab.

    Penulis adalah Wakil Ketua MUI Kabupaten Pringsewu (Pernah menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Pringsewu periode 2012-2017)

  • Mengenal Salwa, Gadis Lampung Yang Berprestasi

    Mengenal Salwa, Gadis Lampung Yang Berprestasi
    Oleh : Muhammad Idris

    Salwa Luthfianissofa, S.Ked, demikian nama gadis manis kelahiran Bandar Lampung 21 tahun lalu ini. Putri kedua Prof. Dr. Hj. Siti Patimah, M.Pd ini baru saja menempuh ujian skripsinya pada hari Jum’at 1 November 2019 tepat pukul 14.00 WIB. Sarjana Kedokteran jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini bercita-cita ingin menjadi dokter spesialis bedah, sesuatu yg diimpi impikannya selama ini.

    Masa kecil dilaluinya dengan cukup sulit, ketika ibunya sedang menyelesaikan S3 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Salwa dan Kakaknya Arung harus ikut membanting tulang demi menyambung hidup di kota Kembang tersebut, mereka berjualan donat setelah sholat subuh, ditengah tengah dinginnya udara Bandung kala itu. Salwa yang baru kelas 1 SD dan kakaknya Arung kelas 3, harus belajar membagi waktu antara berjualan membantu ibunya, sekolah dan mereka juga harus mengasuh adiknya yang baru berusia tiga bulan karena ibunya harus fokus kuliah.

    “Allah selalu bersama kami, ini diantara rahmat dari Nya, Perjuangan berat yang tidak sia sia”, demikian kata Salwa yang mampu menyelesaikan masa studinya hanya 3 tahun 4 bulan. Dengan bangga dia mengatakan kalau semua perjalanan sulit yang pernah dilalui telah membuahkan hasil, ibunya bisa mencapai gelar guru besar, kakak tertuanya Arung juga berhasil menjadi owner beberapa rumah makan dan sedang proses penyelesaian S2 nya, cita-citanya menjadi bisnisman sudah tercapai. Dan kata Salwa, adiknya yang dulu sakit sakitan ketika di Bandung Luthfi Alghinaya, sekarang sudah menjelma jadi pemuda ganteng, dan pernah menjuarai hafis Quran untuk tingkat anak anak remaja islam, sedangkan adiknya Faura sekarang sedang proses untuk menjadi penghafal Quran, mohon doanya ya kak”, ucapnya.

    Ketika ditanya, apa yang membuat Salwa sukses dan kuat menjalani semua ini? “Ibu adalah inspirasi hidupku, motivasi terbesar dan my everithing”…Kakak ku Arung, dia adalah laki laki pertama yang kucintai dan terus memberikan dukungan dalam banyak hal, kakak yang sangat kubanggakan….

    Diakhir cerita, Salwa menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga, untuk Ibundanya yang terus berjuang demi anak anaknya, terima kasih untuk Ayahanda Santosa, S.IP yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyelesaian kuliahnya. Tersayang Aa Arung, Adek Alghi dan Faura, kalian adalah inspirasi dan mata air kasih sayang untukku….

    Terimakasih yang tidak terhingga juga untuk keluarga besar Yusuf Family terus doakan Salwa agar menjadi dokter spesialis yang salehah…. Aamiin…

  • Amaliyah NU-Santara

    Amaliyah NU-Santara
    M. Luqmanul Hakim Habibie
    Rumah Tahfidzul Quran “al Quds”

    Sejarah diterimanya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi keagamaan masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu, Budha), tidak bisa dilepaskan dari cara-cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala itu yang ramah dan bersedia menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal. Sebuah pendekatan dakwah yang terbuka dan tidak antipati terhadap nilai-nilai normatif diluar Islam, melainkan mengakulturasikanya dengan membenahi penyimpangan didalamnya dan memasukan ruh-ruh keIslaman kedalam subtansinya. Maka lumrah jika kemudian corak amaliyah dan ritualitas Muslim Nusantara khususnya Jawa, kita saksikan begitu kental diwarnai dengan tradisi dan budaya khas lokal, seperti ritual selamatan, kenduri dan lain-lain.

    Amaliyah dan ritual-ritual keagamaan yang bercorak budaya lokal dengan segala kekhasan tradisinya seperti itu, sampai kini tetap dilestarikan oleh Muslim Nusantara khususnya kaum Nahdliyin. Amaliyah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena kaum nahdliyin meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal tersebut hanyalah sebatas teknis atau bentuk luaran saja, sedangkan yang menjadi subtansi di dalamnya murni ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, ritual-ritual yang bercorak tradisi lokal hanyalah bungkus luar, sedangkan isinya adalah nilai-nilai ibadah yang diajarkan oleh Islam.

    Sebagai contoh, ritual selamatan atau kenduri yang dilakukan dengan seremonial pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kebiasaan lokal yang berlaku, didalamnya diisi dengan ibadah-ibadah yang dianjurkan Islam seperti bersedekah, dzikir, berdo`a, membaca Al Qur`an dan lain sebagainya. Mengenai seremonial atau penentuan waktu tersebut, tidak lebih hanyalah kemasan luar sebagai bentuk penyesuaian dengan teknis dan kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

    Dalam pandangan kaum Nahdliyin kehadiran islam yang dibawa oleh Rosulullah SAW. Bukanlah untuk menolak tradisi yang telah berlaku dan mengakar menjadi kultur kebudayaan masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan dan pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah Rosulullah. Budaya lokal yang mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan mengakulturasikanya bahkan mengakuinya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri.

    Kendati demikian amaliyah dan ritual keagamaan kaum nahdliyin seperti itu sering mengobsesi sebagian pihak untuk menganggapnya sebagai praktek-praktek mistisme, Khurafat, Bid`ah bahkan syirik.

    Anggapan demikian sebenarnya lebih merupakan subyektivitas akibat terjebak dalam pemahaman Islam yang sempit dan dangkal serta tidak benar-benar memahami hakekat amaliyah dan ritual kaum Nahdliyin tersebut. Pihak-pihak yang seperti itu, wajar apabila kemudian dengan mudah melontarkan tuduhan bid`ah atau syirik terhadap amaliyah dan ritualitas kaum Nahdliyin, seperti tahlilan, maulid Nabi, Manakib, Ziarah kubur dan amaliyah-amaliyah lainya.

    Tuduhan-tuduhan bid`ah seperti itu sangat tidak berdasar secara dalil maupun ilmiah dan lebih merupakan sikap yang mencerminkan kedangkalan pemahaman keislaman. Adapun hadis yang menyatakan: setiap bid`ah adalah sesat ”Harus dibaca dan diproporsikan hanya dalam konteks ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar hukum baik berupa dalil khusus ataupun dalil umum”.

    ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه مالك)
    “ Apa yang dilihat orang Muslim baik, maka hal itu baik di sisi Allah”(HR. Malik)

    Berdasarkan Hadist diatas ulama sepakat hal yang dianggap baik oleh kaum muslimin dan muslimat, dan hal yang membawa efek kemaslahatan bagi umat bangsa dan agama maka dibenarkan dan diterima oleh umat Islam. Islam sejak datangnya tak pernah mendikotomi antara budaya kearifan lokal serta nilai – nilai agama Syar’iyyah. justru islam datang untuk menjadikan budaya yang tadinya belum bersyahadat (*Red) menjadi Budaya atau tradisi yang Bersyahadat yang tak pernah merubah islamic values yang berazazkan al Quran maupun al Hadist.
    [08:43, 10/23/2019] Rudi Santoso: mana fotonya

  • Catatan Hari Santri 22 Oktober 2019

    Catatan Hari Santri 22 Oktober 2019
    Oleh : Muhammad Idris, M.Pd.I
    (Ketua STIT Tanggamus)

    Tak terasa bertemu lagi dengan tanggal 22 Oktober. Presiden Ir. Hi. Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Keppres tersebut ditandatangani Jokowi pada Kamis (15/10/2015) lalu.

    Pemilihan tanggal dan keputusan pemerintah kenapa mesti ada hari santri secara nasional tentu saja tidak sekadar penamaan semata. Tapi lebih dari itu, ada makna besar yang ingin dicapai. Ada spirit yang tak boleh terabaikan. Ada sejarah perjuangan tentang kebangsaan yang tak ingin dikaburkan. Ada nilai-nilai moralitas yang harus terus dipupuk. Ada kebaikan yang wajib diasa.

    Berangkat dari situ, Hari Santri Nasional sejatinya perlu dimaknai lebih dalam. Lebih dalam tentang peran besar para kiai, serta santri melawan penjajahan bangsa asing yang menurut catatan bertepatan resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober.

    Melihat ke belakang, kemerdekaan Bangsa Indonesia yang kita rebut dari tangan penjajah hingga mengisi kemerdekaan, sejarah mencatat jika ulama dan santri bersama komponen bangsa lainnya memiliki peran sangat besar. Dan itu tak boleh dinafikkan, apalagi sampai dilupakan.

    Karena itulah, peran ulama dan santri, seperti KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, A Hassan dari Persis, Abdul Rahman dari Matlaul Anwar, Ahmad Soorhati dari Al Irsyad, para tokoh agama, serta para pejuang lainnya yang banyak dari kalangan santri dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia harus selalu dijadikan spirit.

    Setiap tanggal 22 Oktober, tentu menjadi bahan renungan bagi kita semua. Renungan untuk mengingat kembali sejarah perjuangan kaum pondok pesantren dalam berjuang melawan penjajah. Renungan untuk mengingat kembali sejarah. Renungan untuk selalu berbenah. Renungan memperbaiki kualitas diri.

    Kita menyadari sepenuhnya, kaum santri kini memiliki tantangan yang lebih berat di era modernitas dan globalisasi. Sehingga jika tak berbenah dan meningkatkan kualitas diri, maka perlahan kita akan tergerus oleh zaman. Untuk itu, momentum Hari Santri menjadi momentum dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

    Kaum santri harus berani menjawab sekaligus mengisi era globalisasi yang pengaruhnya sangat massif. Kaum santri harus tampil di setiap lini dalam menghadirkan perubahan nyata untuk bangsa dan agama. Kaum santri mesti menjadi penggerak menjaga moralitas bangsa.

    Terkait itu pula, tekad santri mengisi dan menghadirkan perubahan positif mesti disinergikan, sekaligus mendapat dukungan penuh dari berbagai komponen bangsa. Terutama perhatian serius pemerintah.

    Kita berharap, Hari Santri bukan sekadar pemanis semata. Tapi harapan kita, pesantren yang menjadi ‘rumah’ santri, sekaligus tempat pencerahan bangsa untuk berbenah tak boleh dipandang sebelah mata. Tak boleh dianaktirikan.

    Pesantren wajib diperhatikan. Harus diberi ruang mencetak generasi yang intelek dan bermoral. Generasi yang memahami sejarah bangsa dan agamanya. Tempat generasi kita ditempa untuk mewakafkan diri mengisi, sekaligus mengawal kemerdekaan. Dan Pesantren harus menjadi laboratorium lahirnya cendikia.

    Khusus untuk Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung, Kota Santri tak boleh pudar. Harus ada kesadaran bersama untuk tetap melekatkan stigma tersebut. Kabupaten yang menjadi tuan rumah MTQ Tingkat Provinsi Lampung bersiap menyambut tamu para kafilah dari kabupaten/kota tahun 2020 mendatang. Daerah yang tak membiarkan pengaruh negatif menjangkiti generasi muda. Pringsewu yang syiar Islamnya selalu didengungkan, terlebih ada sosok KH. Ghalib. Kabupaten yang selalu menjaga etika dan moralitasnya menuju Kabupaten Pringsewu yang Bersahaja (Berdayasaing, Harmonis dan Sejahtera).

    Jika itu semua mampu kita jaga dan tingkatkan, maka yakinlah Kabupaten Pringsewu akan selalu bangga punya pesantren. Pesantren yang setiap saat memberikan konstribusi untuk kemajuan daerah. Pesantren yang selalu membentengi generasi dan umat dari berbagai pengaruh negatif.

    Terakhir, sebagai pribadi dan santri, izinkan saya turut berbahagia menyampaikan selamat Hari Santri Nasional. Kita bangga menjadi santri.

  • Hakikat Manusia Itu Baik, Maka itu Berbuat Baiklah

    Hakikat Manusia Itu Baik, Maka itu Berbuat Baiklah

    Oleh: Dr. Abdul Syukur
    Wakil Ketua MUI Provinsi Lampung

    Kita, umat manusia, secara individual dan religiusitas adalah makhluk Allah SWT. Ada tiga hal yang perlu kita renungkan tentang proses diciptakannya manusia dan diambil hikmahnya agar kita bisa menyadari siapa sesungguhnya diri kita.

    Ketika kita tahu hakikat diri kita sendiri maka pancaran ketenangan jiwa bisa terwujud dalam akhlakuk karimah, ukhuwah, kasih sayang, keikhlasan, dan kesabaran. Sikap untuk senantiasa bermuhasabah (merenung) dan muraqabah (mendrkatkan diri) akan selalu hadir dalam mengarungi kehidupan.

    Menyadari secara mendalam siapa diri kita akan memancarkan sikap budi pekerti yang luhur dalam wujud ucapan lisan maupun tulisan, penuh kesejukan, menginspirasi dan ketenangan bathin. Hal ini juga akan memancarkan kedamaian dan persaudaraan yang mampu dirasakan oleh orang lain. Tidak hanya kepada manusia, namun sentuhan nilai ilahiah ini mampu dirasakan oleh makhluk Allah lainnya di muka bumi.

    Allah sudah mengingatkan proses penciptaan manusia ini untuk menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk Allah dan harus yakin bahwa Allah adalah sang khalik. Semua ini termaktub dalam QS Al-‘Alaq (segumpal darah) ayat 1-5 yang mengarahkan manusia untuk berta’aluq (terkait) kepada Allah sehingga lahirlah pancaran iman, amal saleh dan akhlak mulia.

    Ayat Quran yang memperkuat hal ini adalah QS At-Tin ayat: 4 yang artinya: Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik. Dalam ayat ini Allah menciptakan manusia sekaligus mengapresiasi ciptaanNya sendiri yang disebut dalam redaksi kata Ihsan.

    Secara etimologi, Ihsan merupakan Isim Tafdil yang menunjukkan manusia sudah memiliki potensi dan bawaan Ihsan (baik) yang harmoni, serasi, toleransi, evaluatif dan apresiatif. Hal ini mewajibkan manusia wajib secara teologis mewujudkan kebaikan dan memelihara kebaikan tersebut dalam dirinya, kepada orang lain, bahkan kepada makhluk ciptaan Allah lainnya.

    Saat di dalam alam ruh pun Allah SWT telah bertanya kepada manusia dengan pertanyaan yang termaktub dalam Al Qur’an: “Alastu bi Rabbikum? (Siapa tuhanmu?). Manusia pun secara aklamasi dan penuh kesadaran menjawab: “Qaaluu Balaa Syahidna”. (Kami bersaksi dan berjanji Engkau adalah Tuhan kami)

    Kita, manusia, menegaskan diri akan mewujudkan janji kita ketika dan sejak lahir di dunia hingga akhir hayat. Kita berjanji akan mengerjakan kebaikan (Ihsan). Kita akan mengamalkan kebaikan dengan perjuangan sekuat tenaga, pikiran dan perasaan kita.

    Kita akan mengucapkan dan melakukan perbuatan yang membawa kebaikan (a’malush shalihat). Kita akan menjauhkan diri dari segala kehinaan agar kita tak menempati tempat yang paling hina (asfala safilin).

    Allah berfirman dalam QS Al Baqarah: 82 bahwa orang-orang yg beriman dan beramal saleh akan mendapatkan aliran pahala yang tak terputus-putus. Dan mereka akan ditempatkan sebagai penduduk surga (ash-habul jannah).

    Oleh karenanya, mari wujudkan janji kita kepada Allah saat kita di alam arwah. Mari kita wujudkan perbuatan ihsan karena Allah sudah menciptakan kita dengan potensi yang paling baik (ahsan). Allah juga memuji kita dengan pujian Khairu ummah yang tertulis dalam QS.Ali Imran: 110.

    Pujian Allah ini mengisyaratkan 3 hal yakni kerjakan yang ma’ruf, cegahlah yang munkar dan teguhkan iman kepada Allah yang dipancarkan dalam segala kebaikan. Semoga menambah wawasan kita dan meningkatkan kesadaran kita guna melangkah dan mengerjakan kebaikan. Amin.

  • Cium Tangan

    Cium Tangan

    Oleh

    Lukman Al Hafidz

    Kota Bandar Lampung

    Mencium tangan bagi sebagian besar kaum muslimin sudah menjadi suatu budaya. Tradisi cium tangan ini dijadikan sebagai wujud dari rasa kasih sayang dan cinta. Mencium tangan merupakan sebuah simbolisasi penghormatan dan memulyakan seseorang. Dengan Tangan manusia mampu berbuat sejuta kebaikan. Tangan bahasa tubuh yg paling ringan. Rasa takdzim tentunya di iringi dg membukukkan tadharru’ tawadhu’ kan badan diri dan jiwa ini. Akhlaq mencium tangan sudah di ajarkan sahabat-sahabat Nabi saw bahkan oleh istri Nabi saw sayyidah Aisyah ra.

    Kita sebut saja Aisyah ketika rasulullah saw memasuki rumah secara cepat aisyah menyambut kedatangan beliau dg cara mencium tangan Nabi Saw. Bahkan Sayyidah Fatimah (anak Nabi saw) pun ketika berkunjung dan hendak pulang pun selalu di awali dan di akhiri dg mencium tangan Nabi saw. Para sahabat Terdekat Nabi pun mengajarkan demikian. Pengajaran dan pendidikan yg diajarkan Ahlul bait Rasulullah dan sahabat Rasulullah melalui “hal” ini yg paling sharih dan menghujjam kuat direlung hati.

    Berikut ini merupakan jejak literasi hadis tentang cium tangan :

    عن جابر أن عمر قام إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقبل يده

    “Dari Jabir Radhiallahu anhu, bahwa Umar bergegas menuju Rasulullah lalu mencium tangannya” (HR. Ahmad dan Ibnul Muqri dalam Taqbilu Al-Yad, Ibnu Hajar mengatakan, sanadnya Jayyid [1/18]).

    عن صفوان بن عسال أن يهوديا قال لصاحبه: اذهب بنا إلى هذا النبي صلى الله عليه وسلم .قال: فقبلا يديه ورجليه وقالا: نشهد أنك نبي الله صلى الله عليه وسلم

    “Dari Sofwan bin Assal, bahwa ada dua orang yahudi bertanya kepada Rasulullah (tentang tujuh ayat yang pernah diturunkan kepada Musa Alaihi Salam), setelah dijawab mereka menicum tangan dan kaki Rasulullah lalu mereka berkata, kami bersaksi bahwa engkau adalah nabi” (HR. Tirmdizi, beliau berkata, Hasan Shahih, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan di dalam At-Talkhis sanadnya kuat 240/5).

    عن أسامة بن شريك قال: قمنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقبلنا يده

    “Dari Usamah bin Syarik, kami bertemu Rasulullah lalu kami mencium tangannya” (HR. Ibnul Muqri dalam Taqbilul Yad, berkata Ibnu Hajar dalam Al-Fath sanad nya kuat).

    Berdasarkan hadist diatas timbul jg pertanyaan mendasar “bagaimana kaifiyah melakukan Cium tangan dalam Islam?”

    Kaifiyah mencium tangan dalam islam diatur dalam beberapa kaidah dasar
    1. Dilarang mencium tangan seseorang karena “kedudukan duniawi, harta kekayaan, status sosial dll”. Islam mengajarkan cium tangan hanya kepada orang2 yg benar Faqih wara’ terhadap ilmu agama. Terlebih kepada ahlul bait Rasulullah saw semua nya ber azazkan Kepentingan Ukhrowi dan ilahiyyah. Di dalam kitabul wara karya Imam Ahmad diriwayatkan bahwa Sufyan At Stauri mengatakan, “Boleh mencium tangan seorang imam, namun jika untuk kedunian maka tidak boleh.”

    Berkata Al-Imam An-Nawawi dalam Raudhatu Thalibin, “Adapun menicum tangan karena keshalihannya, keilmuan, kemulian, atau jasanya atau sebab-sebab lain yang berkaitan dengan keagamaan maka mandub (disukai), namun jika untuk dunia, untuk jabatan, dan lain sebagainya maka sangat dibenci. Berkata Al Mutawali, hukumnya haram.“

    2. Tidak Boleh mencium tangan karena kehendak Nafsu dan syahwat. Bahwa Nafsu syahwat hakekatnya mampu menjerumuskan manusia kedalam jurang kenistaan yg abadi. Penuh angkara murka dan lubang hitam. Hendaknya proses Cium tangan itu dalam rangka kasih sayang dan rasa pengabdian. Berkata Al-Tahtawi dalam Hasyiah Maraqil Falah, “maka diketahui dari dalil-dalil yang kami bawakan bahwa bolehnya mencium tangan, kaki, kasyh, kepala, jidat, bibir, dan di antara kedua mata, AKAN TETAPI harus dalam rangka kasih sayang, dan penghormatan ,bukan syahwat, karena syahwat hanya diperbolehkan untuk pasangan suami istri.”

    3 Mencium tangan Tanda terpancarnya keberkahan dan kemanfaatan ilmu. Berkata Abu Bakr Al-Marwazi dalam kitab Al-Wara’, “Saya pernah bertanya kepada Abu Abdillah (IMAM AHMAD) tentang mencium tangan, beliau mengatakan tidak mengapa jika alasannya karena agama, namun jika karena kedunian maka tidak boleh, kecuali dalam keadaan jika tidak menicum tangannya akan di tebas dengan pedang.
    Berkata Syaikh Ibnu ‘Ustaimin dalam Fatawa Al-Bab Al-Maftuh, “Mencium tangan sebagai bentuk penghormatan kepada orang-orang yang berhak dihormati seperti ayah, para orang-orang tua, guru tidaklah mengapa.”

    4. Hendaknya mencium tangan dg mengarahkannya di Mulut (dikecup) dan di Hidung (dihirup). Gambar dibawah menjelaskan demikian. Dg mengecup dan menghirup maka mengalirlah kebaikan keberkahan dan rahmat seseorang tersebut melalui sela – sela jari jemarinya. Dan munculnya ke ridha-an seseorang ( guru ulama) kepada seorang yg mencium tangannya. Ke ridha-an ini yg menjadikan kemanfaatan ilmu pengetahuan dan simbolisasi akhlaq penuntut ilmu yg paripurna.

    Kalau di pesantren kami diajarkan kalau mencium tangan bukan hanya punggung tangan yg kami kecup dan hirup. Tak sering kami juga mencium telapak tangan guru dan kyai kami. Atau dalam istilah jawa nya “cium tangan wolak walik” ini lah melatar belakangi hubungan emosional psikis dan psikologis yg kuat antara santri dan kyai. Melalui cium tangan mengalirlah doa kepada santri.

    Menurut sebagian ahli medis mengatakan tak sehat dan tak dibenarkan sehingga cium tangan di arahkan di Jidat atau pipi. Cara mencium tangan pipi dan jidat ini tak bsa jg di salahkan namun kurang tepat. Dan hendaknya harus di ajarkan kepada kaum muda kita bagaimana cara mencium tangan yg benar sesuai diajarkan oleh Sahabat Nabi dan Istri Nabi Saw..

    Demikianlah ulasan singkat tentang cium tangan. Semoga kita mampu melaksanakan dan merubah tradisi cium tangan dg Jidat dan pipi menjadi cium tangan di kecup dg mulut dan di hirup dg hidung. Inilah esensi dr proses cium tangan yg benar yg sesuai dg syariat islam.