Category: Opini

  • Opini: Wabah Covid-19 dan Ramadhan, Sebuah Pergumulan Teologis

    Wabah Covid-19 dan Ramadhan, Sebuah Pergumulan Teologis
    Oleh: Ahmad Muttaqin, M.Ag
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

     

     

    Semenjak merebaknya pandemi Corona, yang kemudian dikenal dengan akronim Covid-19 (Corona Virus disease), hampir keseluruh belahan Dunia. Pemerintah masing-masing Negara mengambil kebijakannya demi menghentikan atau meminimalisir penyebaran virus tersebut kenegara masing-masing.

    Di Indonesia Pemerintah mengeluarkan himbauan untuk Sosial Distancing, dan larangan mengadakan perkumpulan. Kebijakan ini, ternyata berimbas pula pada wilayah keagamaan, khususnya pada pelaksanaan ritual keagamaan yang menuntut dilaksanakan secara bersama-sama atau kerumunan.  Kebijakan pemerintah ini dukung oleh otoritas keagaamaan yang resmi, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan beberapa ormas besar, yang tentunya dukungan ini disertai dalil-dalil yang valid dan shahih, ternyata masih muncul berbagai reaksi penolakan dari beberapa kelompok agama.

    Reaksi penolakan ini dilakukan dengan berbagai bentuk, baik dengan tetap menjalankan ibadah-ibadah jama’ah, dengan cara protes, ataupun menyebarkan pandangannya-pandangannya melalui tulisan-tullisan yang kemudian tersebar di media-media sosial.

    Jika ditelusuri berbagai reaksi pro dan kontra ini, tidak hanya menyangkut argumentasi ataupun keshahihan dalil-dali yang dikemukakan masing-masing, tetapi lebih dari itu ternyata juga terkait cara pandang agama dan keyakinan yang dianut masing-masing (teologi).

    1. Covid-19, Menguak Wajah Teologis Penganut Agama, Teosentris.

    Pada tanggal 13-15 maret 2020, ditengah merebaknya Virus Covid 19, diberbagai belahan dunia, komunitas jama’ah keagamaan, yang dikenal sebagai jama’ah Tabligh, mengadakan pertemuan tahunan, yang dihadiri sekitar 7.600 warga muslim India dan 1300 wisatawan asing, termasuk Malaysia dan Indonesia. suatu tindakan yang abai terhadap kebijakan pemerintah india, yang sedang berupaya menghadang penyebaran virus corona ini. Arahan untuk membatalkan acara ataupun kumpulan dalam jumlah besar, diabaikan oleh kepala Jamaah Tabligh, Maulana Saad, yang bahkan mengeluarkan statement,” Jika anda berfikir akan meninggal dunia jika berkumpul di Masjid, maka saya katakan tidak ada tempat yang lebih mulia untuk meninggal dunia,” dalam sebuah rekaman audio yang bocor ke media, lapor india Today.

    Akibatnya bisa ditebak, otoritas india melaporkan berhasil melacak 128 kasus covid-19 yang berkaitan dengan acara tersebut, tujuh peserta sudah dinyatakan meninggal dunia. Di Indonesia sendiri, Kementerian luar negeri Indonesia menyatakan 731 warga Negara Indonesia (WNI) mengikuti acara tabligh di India tersebut, ada 14 jamaah yang terinfeksi covid-19. Kelompok Jamah tabligh ini memunculkan sejumlah klaster covid 19 diberbagai Negara, baik di India dan beberapa Negara lainnya.

    Di dalam negeri Indonesia, setelah keluarnya fatwa MUI terkait pandemi wabah corona, yang diantara fatwanya, menghimbau untuk tidak melakukan perkumpulan keagamaan, termasuk shalat jamaah dan Jum’at, menuai sejumlah reaksi penolakan, Di Bandung, spanduk maklumat ditiadakannya sholat Jumat dan sholat Jama’ah, di Masjid Raya Bandung, berujung aksi sejumlah massa yang melakukan penurunan spanduk secara paksa. Juga penolakan oleh sejumlah pemuka agama (atau mengatas namakan pemuka agama), melalui sejumlah tulisan yg beredar khususnya media sosial. Tulisan-tulisan yang sebagian bernada provokatif menentang fatwa MUI.

    Ada sejumlah narasi mendasar yang digunakan dalam menolak fatwa MUI tersebut, diantaranya yang bisa disebutkan; ‘Kami lebih Takut Allah daripada Corona,’,’ Masjid adalah Rumah Allah, tentu Allah yang menjaganya”,’ bahkan,’ bahwa larangan ini merupakan agenda Zionis untuk memadamkan syi’ar Islam’.

    Fenomena reaksi penolakan fatwa MUI ini, terkait covid-19, yang berkenaan dengan kegiatan agama, menurut penulis, bukan hanya soal kekuatan rumusan hukum atau soal keshashihan dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing, tetapi lebih dalam lagi, merefleksikan pandangan keyakinan ketuhanan yang mereka anut, atau soal teologis, soal keimanan bagi mereka.

    Teologi berhubungan erat dengan sikap dan perilaku orang-orang yang meyakininya. Karena konsep teologi yang diyakini oleh seseorangakan menjadi dasar dalam menjalani kehidupannya. Teologi merupakan bidang strategis sebagai landasan upaya pembaharuan pemahaman dan pembinaan umat, karena sifatnya metodologis, Gustavo gutterez menjelaskan, teologi merupakan aspek penting karena dapat berfungsi sebagai refleksi tindakan kritis manusia dalam memandang realitas.sosial yang dihadapinya.[1]

    Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang hanya digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma yang bersifat teosentris daripada mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial manusia yang bersifat antroposentris.

    Terkait wabah Covid-19, Fenomena berbagai penolakan yang muncul, bahkan diberbagai tempat, masih diselenggarakan perkumpulan, seperti sholat jama’ah, Jumat dan perayaan keberagamaan lainnya, menguak sisi wajah mayoritas keberagamaan kita, teologi kita belum beranjak dari masa kegelapan abad pertengahan Eropa, Teosentris.

    Teosentris, adalah teologi yang menjadikan Tuhan sebagai faktor utama dalam setiap tindakan manusia, Dia adalah pusat Nilai, dan kepada-Nya seluruh tindakan didedikasikan. Manusia hanyalah objek Tuhan, dituntut untuk memenuhi keinginan Tuhan. Aspek lainnya, dengan Teologi ini, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang Tinggi, transenden, tak terjamah, sosok yang menuntut sesembahan dan pengorbanan manusia, penolakan dan mengabaikan-Nya adalah tindakan pelanggaran, Kafir, maksiat, dan layak dihukum.

    Abad pertengahan eropa adalah contoh model kekuasaan teologi Teosentris ini, periode kekuasaan agama, karena agama sangat mendominasi kepentingan masyarakat eropa. Agama mengatur seluruh sendi masyarakat eropa kala itu. Segala hal yang bertentangan atau tidak berhubungan dengan agama dianggap melanggar hukum. Kekuasaan Gereja begitu dominan, pada saat itu para filsuf dan Agamawan bermottokan, ‘Credo et inteligam”, atau Keyakinan diatas pemikiran.

    Hasilnya, masyarakat berpandangan fatalis, menjalankan kehidupan berdasarkan dogma, pengetahuan dikesampingkan, dianggap sihir yang menyesatkan. Era yang disebut sebagai dark age, era kegelapan. Era dimana pengetahuan dieropa mengalami kemunduran, kemanusiaan disingkirkan atas nama dogma agama.

    Dalam pandangan Nurcholish Madjid, pemahaman teosentris ini, meski ,menghasilkan dampak-dampak yang baik, berupa adanya pegangan hidup, walaupun dampak itu sendiri bisa palsu, Justeru yang lebih berbahaya dan nyata-nyata merugikan adalah dampak sampingannya, yaitu pembelengguan pribadi dan pemrosotan harkat dan kemanusiaan.[2]

    Kembali pada persoalan penolakan fatwa MUI dan kebijakan pemerintah mengenai soal Soal distancing, Narasi-narasi yang mereka munculkan dalam upaya penolakan terhadap kebijakan Social distancing dan fatwa- fatwa MUI dalam rangka menghadapi wabah Covid-19, seperti, ‘Kami lebih takut Kepada Allah daripada Corona, atau Masjid adalah tempat teraman menghadapi Wabah ini, karena ia adalah Rumah Allah dan Allah yang akan menjaganya”, merupakan narasi-narasi yang menggambarkan penganut pragmatisme teologi teosentris ini, narasi yang menghadapkan kita pada untuk tetap memenuhi ‘kepentingan’ Tuhan dalam kondisi apapun, yang menuntut untuk disembah, dan menuntut pengorbanan manusia, penolakannya merupakan tindakan melawan Tuhan, tidak memiliki iman. Disisi lain berarti pengabaian terhadap kemanusiaan, sebagaimana kita ketahui sosial distancing merupakan salah satu cara dalam rangka menghentikan penyebaran virus ini, mengabaikannya berarti turut menyebarkan wabah ini, dan membiarkan korban manusia berjatuhan.

    Sebagaimana motto para agamawan abad pertengahan eropa, ‘Credo et inteligam”, atau Keyakinan diatas pemikiran. Maka bagi mereka, kelompok yang menolak fatwa MUI dan himbauan pemerintah ini, sekuat  dan seshahih apapun dalil-dalil yang dikemukakan, yang utama adalah tetap ‘keyakinan’ mereka..

    1. Islam, agama yang (seharusnya) berteologi Humanis.

    Hassan Hanafi, seorang pemikir Mesir, pernah mewacanakan mentransformasi teologi Teosentris menuju Antroposentris. Dari Tuhan di langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke kontekstual, dari takdir terkungkung kepada takdir kebebasan. Bagi Hanafi, pemikiran Teosentris, dimana Tuhan menjadi pusat Kekuatan dan Kekuasaan, dan manusia harus tunduk dan ditundukkan di hadapan Tuhan, alih-alih menjawab problem kemanusiaan, dalam banyak hal justeru digunakan sebagai alat melakukan penindasan kepada Manusia. [3]. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.

    Penulis sendiri lebih memilih menggunakan istilah Teologi Humanis, dibanding Antroposentris, Antroposentris sendiri, dimana menjadikan manusia sebagai pusat Nilai, merupakan antitesa dari teosentris, pada akhirnya istilah ini menolak andil Tuhan dalam kehidupan manusia, jawaban yang diambil oleh masyarakat Barat, untuk lepas dari dominasi Agama, pada Abad pertengahan, yang berujung pada sekulerisme, yang kita kenal saat ini. Pilihan Antroposentris, bisa menjauhkan umat dari Aqidahnya.

    Islam sendiri sesungguhnya datang tidak hanya melakukan revolusi terhadap konsep Ketuhanan, bahkan juga terhadap Konsep Kemanusiaan. Revolusi kemanusiaan ini dibangun dengan meletakkan manusia sebagai Khalifah dimuka bumi, tertera dalam surat al-Baqarah; 30, sebagai makhluk yang diserahi tanggung jawab mengelola bumi, memakmurkannya. Otoritas tertinggi yang dimiliki makhluk-Nya.

    Kata Khalifah berasal dari kata khalf, yang salah satu artinya adalah, ‘mengganti’. Manusia adalah pengganti Otoritas Tuhan di muka bumi, wakil Tuhan dalam mengelola kehidupan dimuka Bumi. Dengan pendelegasian manusia sebagai wakil Tuhan, manusia diberi berbagai potensi dan kemampuan demi suksesnya pelaksanaan tugasnya dimuka bumi, termasuk potensi Ketuhanan itu sendiri, sederhananya, bahwa untuk memfungsikan kekhalifahannya, Tuhan telah melengkapi manusia potensi Intelektual dan Spiritual.

    Potensi Intelektual dianugerahi Tuhan dengan diberikan akal, kemampuan berfikir, yang dengannya manusia mampu mengelola bumi, mengatur, memelihara serta mengembangkannya. Potensi kreatif manusia untuk memakmurkan kehidupan di dunia ini,

    Potensi Spiritual, adalah dianugerahi manusia,’Watak’ Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dalam jiwa manusia, yang dengannya manusia dapat terhubung dengan-Nya, Manusia yang  diciptakan merupakan Copy Tuhan, ‘Ala Suratihi’ dengan bentuk-Nya, demikian menurut Kaum sufi. Yang secara actual menjadi nilai moral manusia Takhalaq bi akhlaqillah, demikian sabda Nabi, berakhlaklah dengan akhlak Allah, suatu pencapaian tertinggi moral manusia. Di sinilah laku ibadah dimaksudkan, bertujuan, menginternalisasi sifat-sifat Tuhan yang terdapat pada diri manusia, yang secara actual menjadikan manusia memiliki moral yang mulia,akhlak mulia. Bahkan Nabi saw sendiri menegaskan untuk tujuan itulah ia diutus, ‘Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak yang mulia, demikian sabdanya.

    Yang dengan moral tersebut manusia mengelola bumi dan seisinya, dengan baik, tidak merusak, memperbaharui alam, memakmurkannya, tidak mengeksploitasi nya demi kepentingan nafsu manusia itu sendiri, menjalani sesuai dengan moral-moral yang mulia, berarti sesuai kehendak-Nya.

    Dengan posisi manusia sebagai Khalifah ini, merupakan revolusi kemanusiaan, Islam menempatkan Posisi tertinggi sekaligus termulia diantara makhluk-Nya. Manusia adalah Aktor utama kehidupan di dunia, ia adalah subjek sekaligus objek dalam pemeliharaan dan pengelolaan dunia ini, karena otomatis ia adalah salah satu bagian dari makhluk di muka bumi ini. Pemeliharaan kehidupan manusia dan bumi dan seisinya merupakan amanah yang menjadi tanggung jawab manusia.

    Dengan demikian teologi Humanis, merupakan counter terhadap pemikian dan pandangan yang menganggap agama hanyalah soal ‘berTuhan’ saja (teosentris), tetapi juga adalah cara orang untuk bermanusia, untuk manusia dan kemanusiaan. Mengekploitasi wilayah kemanusiaan, menjadikan manusia dan kemanusiaan sebagai pencapaian tertinggi dan utama dalam kehidupan beragama.

    Teologi Humanis ini, dalam prakteknya telah dijalankan oleh Para ‘Ulama-ulama terdahulu, dalam kaidah-kaidah rumusan hukum, mengedepankan kemaslahatan manusia menjadi prioritas utama, rumusan Maslahatul mursalah, misalnya, bahkan Rumusan Maqashid Syariah, yang menjadi pijakan utama oleh para ahli hukum islam saat ini,  seseungguhnya rumusan hokum yang berbasiskan kemanusiaan.

    Berkenaan dengan menghadapi wabah covid-19, sebagaimana pemerintah telah menghimbau, demikian juga diikuti oleh fatwa MUI dan Ormas-ormas besar untuk tidak melakukan sosial distancing, tidak berkumpul, termasuk didalamnya himbauan untuk tidak melaksanaan shalat berjamaah dan jum’at dan perayaan keagamaan lainnya, demi kemanusiaan, selayaknya kita patuhi, sesuatu hal yang tidak semestinya dipertentangkan dengan nilai-nilai beragama. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain, demikian sabda Nabi saw, dengan demikian, mematuhi himbauan pemerintah demi mencegah penyebaran wabah, memiliki alasan kemanusiaan, yang sesungguhnya merupakan pencapaian nilai tertinggi dalam religiusitas beragama.

    1. Ramadhan dan Refleksi Teologis.

    Sebentar lagi kita selaku umat muslim, akan kedatangan tamu agung, bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam, bulan suci Ramadhan. Kehadiran Ramadhan kali ini, datang  dalam suasana yang berbeda sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, ditengah ancaman merebaknya wabah covid-19, ramadhan kali ini diperkirakan akan terasa sepi, tak ada semaraknya shalat tarawih berjamaah, para remaja yang ngabuburit, dan kemeriahan lainnya yang biasanya menghiasi bulan ramadhan. Namun kondisi demikian bukanlah berarti mengurangi nilai ibadah yang kita lakukan

    Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga keagamaan dan Fatwa agama Islam yang mewakili pemerintah dalam siarannya yang disiarkan oleh berbagai televisi di Tanah air, pada tanggal 13 April 2020, antara lain:

    … mari kita songsong ramadhan dengan kesiapan lahir batin, fisik dan juga mental, serta pemahaman baru, kebiasaan baru ibadah, ditengah situasi wabah covid-19, situasi dan kondisi baru, untuk pemahaman baru, dan juga cara-cara baru, tetap dalam koridor syari’ah. Covid-19 bukan halangan untuk pelaksanaan ibadah. Menghindari kerumunan yang potensial penyebaran virus adalah ibadah disis Allah SWT. Pemahaman kita tentang tatacara ibadah harus juga diadaptasikan dengan situasi dan kondisi, taghayurul ahkam bi taghayuril azminati wal amkinati wal awia’id, kita pastikan bahwa syari’at islam adalah rahmat dan juga solusi atas problem ril yang dihadapi masyarakat. Problem ril hari ini adalah ancaman covid-19, bagaim,ana etos keagamaan ramadhan bisa menjadi solusi dengan aktivitas keagamaan kita pada satu sisi meningkat tetapi pada sisi yang lain menjamin keamanan dan juga keselamatan bangsa dan Negara. Aktivitas keagamaan yang kita lakukan harus menjadi solusi masalah umat dan juga bangsa, ibadah yang kita lakukan harus bermuara kepada terwujudnya maslahah. Tidak hanya maslahah khassah, dengan ibadah yang bersifat individual tetapi maslahah ‘ammah, kemaslahatan yang bersifat umum. Ibadah ramadhan harus dijadikan momentum emas untuk mempercepat penanganan wabah covid-19 dengan etos dan semangat keagamaan. Wabah covid 19 bukan halangan untuk beribadah, justeru ini momentum meningkatkan ibadah kepada Allah hanya saja karena ada kondisi khusus, maka kebiasaan yang kita lakukan didalam ibadah ramadhan selama ini juga perlu diadaptasi dengan kekhususan itu. Pembatasan kerumunan bukan membatasi ibadah, karena menurut para ahli kerumunan dalam situasi sekarang menjadi  factor potensial penyebaran wabah. Untuk itu menghindari kerumunan dalam konteks hari ini, adalah salah satu bentuk ibadah…”

    Apa yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) diatas, mengisyratkan bahwa ramadhan kali ini secara Substansi, dengan adanya wabah covid-19 ini, Ramadhan tidaklah kehilangan nilai Ibadahnya, bahkan dengan mengikuti himbauan pemerintah, untuk tidak melakukan kerumunan baik dalam aktivitas sehari-hari atau pun dalam ibadah-ibadah formal, justeru kita telah melakukan suatu ibadah yang lebih besar, ibadah kemanusiaan. Karena dengan menjauhi kerumunan ini kita telah melakukan pencegahan tersebarnya wabah virus covid ini, yang dengan demikian secara tidak langsung kita telah mencegah jatuhnya korban akibat terinfeksi virus ini, sebuah refleksi dari Teologi Humanis.

    Mewabahnya virus Covid-19 keberbagai belahan dunia, memunculkan respon berupa kebijakan dari pemerintah berbagai Negara, untuk mencegah tersebarnya virus tersebut dinegara masing-masing. Kebijakan pemerintah untuk Social distancing, dan larangan untuk mengadakan perkumpulan dan menjauhi kerumunan, ternyata berimbas pula pada wilayah keagamaan, khususnya praktek-praktek keagamaan yang menuntut adanya kerumunan, seperti shalat berjama’ah dan shalat jum’at.

    Walaupun kebijakan pemerintah ini, juga didukung oleh otoritas keagaamaan yang resmi, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan beberapa ormas besar, yang tentunya dukungan ini disertai dalil-dalil yang valid dan shahih, ternyata masih muncul berbagai reaksi penolakan. Reaksi penolakan ini pada umumnya didasarkan bahwa kebijakan ini, dapat mengurangi nilai ibadah mereka bahkan keimanan terhadap Tuhan. hal ini terlihat dari narasi-narasi yang mereka kemukakan.

    Adanya fenomena penolakan ini, jika ditelusuri secara teologis, diakibatkan dari naïf dan dangkalnya pemahaman keagamaan yang mereka anut. Pemahaman bahwa wilayah agama hanyalah yang menyangkut hubungan dengan Tuhan ansich (teosentris) sehingga abai terhadap masalah-masalah kemanusiaan.

    Agama Islam sesungguhnya adalah agama yang mengatur relasi Tuhan dengan manusia tetapi juga amat konsen terhadap masalah-masalah kemanusiaan, Dengan menempatkan manusia sebagai Khalifah, menempatkannya sebagai makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk lainnya, maka kepedulian terhadap masalah kemanusiaan (Teologi Humanis), menunjukkan kedalaman  keberagamaan dan hubungangannya dengan Tuhan.

    Dengan pemahaman Teologi Humanis seperti ini, semestinya penolakan terhadap kebijakan pemerintah dan MUI tidak terjadi, dengan menjauhi kerumunan baik dalam hubungan sosial dan agama, sesungguhnya turut menyelamat manusia lainnya.

    Wallahul muwafieq ila aqwamit tharieq

    Wassalamu’alaikum wr.wb.

     

    [1] Gustavo Gutterez, A Teology of liberation, New York, Maryknel, 1973, h. 5

    [2] Nurcholish Madjid,Iman dan Emansipasi harkat Kemanusiaan, Dalam Islam Doktrin dan Peradaban ,Jakarta, Paramadina, 2000. h. 99-100

    [3] Rumadi, Masyarakat Post teologi,Wajah baru Agama dan Demokratisasi Indonesia, Jakarta, CV Mustika Bahmid, 2002, h. 23.

  • Opini: Mencium Istri Saat Puasa

    Mencium Istri Saat Puasa
    Oleh: Dr. Agus Hermanto, MHI

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

     

    Istri adalah orang yang telah dihalalkan melalui akad nikah yang sah menurut syara’, mencium, bermesraan dan menggaulinya adalah boleh pada hari hari biasa, dan bahkan dianjurkan, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukumnya mencium dan bermesraan dengan istri disaat sedang puasa ramadhan, apakah dapat membatalkan puasa?
    Hukum mencium istri saat sedang puasa, ada dua pendapat menurut ulama berdasarkan pada alasan nya. Yang pertama, mencium istri pada saat sedang puasa hukumnya jaiz atau boleh jika tidak dibarengi dengan syahwat, misalnya suami mencium kening istri, atau istri mencium tangan suami atau berpelukan tetap dibolehkan jika tidak dibarengi syahwat, hanya demi mewujudkan kasih sayang. Yang kedua, hukum mencium istri pada saat sedang puasa hukumnya makruh bahkan sampai pada haram jika dilakukan dengan syahwat, apabila mengarah kepada jima’. Karena makna puasa sendiri adalah menahan dari nafsu makan dan minum dan menahan nafsu syahwat yang akan mengarah pada hubungan seksual, bahkan tidak dianjurkan sama sekali, bahkan orang yang berkumpul dengan istrinya pada siang hari di bilang ramadhan harus membebaskan budak, pada zaman itu, karena secara konteks tidak ada lagi budak, maka jika tidak mampu (karena tidak ada budak) maka harus berpuasa dua bulan berturut turut, karena berpuasa dua bulan juga berat, jika tidak mampu maka harus memberi makan orang yang berpuasa, atau fakir miskin 60 orang.
    Walaupun ada dua pendapat dalam menyikapi hukum mencium atau bermesraan dengan istri, dalam fikih tasawuf tetap saja tidak dianjurkan, karena hati dan perasaan seseorang saat bermesraan atau bercumbu tidaklah dapat diukur dan bahkan dapat mengurangi nilai pahala dalam ibadah puasa nya, karena puasa adalah menahan hawa nafsu, dan jika merabah pada jima’ (hubungan biologis) pasti harus membayar kafarat dan harus mengqadho nya. Wallahualam.

  • Opini: Ramadhan ditengah Wabah Covid-19, Ramadhan dan Kemanusiaan

    Ramadhan ditengah Wabah Covid-19, Ramadhan dan Kemanusiaan
    Oleh: Ahmad Muttaqin
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-muadan kamu menjadi orang yang bertaqwa” (QS. Al Baqarah; 183)

     Demikian terjemah ayat yang menjadi dasar syari’at kewajiban berpuasa, ayat yang senantiasa kita dengar dalam-ceramah para da’I menjelang puasa. Puasa atau Shoum, sendiri bermakna imsak atau menahan, yang secara definisi syari’at,” menahan dari makan dan minum dan yang membatalkannya karena Allah SWT, dari terbit fajar sampai terbenam matahari”.

    Definisi Syar’I ini, menekankan puasa pada dimensi zhahir, dimana puasa adalah aktivitas lahir menahan untuk makan dan minum, menahan hubungan seks pada pasangan yang halal, dan yang membatalkan lainnya. Puasa sendiri sesungguhnya tidak hanya berdimensi lahir, namun juga berdimensi batin. Suatu latihan untuk mengendalikan hawa nafsu, memerangi hawa nafsu, sesuatu yang dikategorikan Jihad akbar oleh Nabi, ”Kalian telah pulang dari jihad kecil menuju Jihad besar, sahabat bertanya, Apakah Jihad besar itu ya rasulallah, rasul menjawab, ‘Jihad memerangi hawa nafsu”,. Demikian sabda beliau kepada sahabat-sahabat nya, saat pulang usai perang badr.

    Imam al-Ghazali, membagi 3 (tiga) tingkatan orang yang berpuasa, sebagaimana dikemukakan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin;

    “ Ketauhilah bahwa puasa ada tiga tingkatan, puasa umum, puasa khusus, puasa yang paling khusus.yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telingan, pendengaran, lidah tangan kaki dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (Shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati  pikiran selain Allah SWT”.

    Tiga tingkatan yang dikemukan al-Ghazali ini didasarkan pada sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada yang mengerjakan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya, puasa yang tidak ada yang didapatnya selain lapar dan dahaga. Puasa hanya sebatas lepas kewajiban, puasa yang hanya menekankan pada hal-hal zahir. Pada tingkatan kedua, tingkatan diatas orang-orang awam, yang tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga puasa dengan menahan diri dari melakukan dosa. Orang-orang pada tingkatan ini menilai bahwa perbuatan dosa juga menjadi pembatal puasa.

    Sedangkan puasa yang paling khusus, puasa yang dilakukan selain menahan lapar, haus, menahan diri dari maksiat dan dosa, bahkan juga memfokuskan hati dan pikirannya untuk selalu mengingat Allah. Bahkan kecendrungannya pada selain Allah dianggap merusak dan membatalkan puasa.

    Sejatinya, objek utama  dan terpenting dari puasa adalah pengendalian hawa nafsu. Hawa yang berarti keinginan (desire), sedangkan nafsu (ego). Puasa merupakan upaya mengendalikan hawa nafsu dengan cara mempersempit dorongan-dorongan hawa nafsu yang selalu membawa pada keburukan. Pengendalian hawa nafsu, sesungguhnya pengendalian terhadap daya rusak yang dimiliki manusia, betapa banyak destruksi atau kerusakan yang dilakukan dan terjadi pada hidup manusia akibat ketidakmampuan manusia mengendalikan hawa nafsu, Rasulullah saw bersabda”… maka hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa bisa menjadi benteng baginya” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud benteng disini adalah benteng dari dari daya rusak diri manusia itu sendiri, yakni hawa nafsu.

    Puasa, sebagaimana ibadah yang lainnya, tujuan akhirnya adalah mencapai derajat Taqwa. Puasa secara spiritual adalah latihan melawan hawa nafsu, menghilangkan nafsu-nafsu buruk. Oleh karena itu dalam puasa juga dianjurkan untuk menghiasinya dengan ibadah-ibadah lain, mengaji al-qur’an, tarawih, dan ibadah-ibadah lainnya, hal tersebut tidak lain untuk mencapai derajat taqwa tersebut.

    Dalam khazanah kaum sufi dikenal jenjang langkah spiritual, yakni  Takhalli’  suatu jenjang untuk mengosongkan diri dari nafsu- nafsu buruk, Tahhalli,mengisi atau menghiasi diri dengan sifat-sifat baik atau dengan kata lain menginternalisasikan sifat-sifat Tuhan dalam diri, dan terakhir adalah Tajjali, terserapnya sifat-sifat Tuhan, sehingga seseorang pada jenjang ini menjadi manusia paripurna (Insan Kamil) derajat orang-orang yang Muttaqin, orang yang telah mencapai derajat Taqwa.

    Puasa merupakan suatu ibadah yang bersifat totalitas, dan menyeluruh, ibadah untuk melatih menapaki semua jenjang-jenjang sebagaimana yang di rumuskan kaum sufi diatas, ibadah yang menempa potensi spiritual manusia untuk menjadi manusia yang paripurna, derajat muttaqin, mencapai derajat taqwa. Manusia bertaqwa yang telah berhasil mendekati sang Khalik. Ia mengambil, menyerap serta menghayati sifat-sifat Allah.

    Dengan tercapainya derajat Taqwa, bukan hanya tercapainya potensi spiritual manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, lebih jauh juga terefleksikan dalam hubungan dengan alam semesta, termasuk manusia didalamnya. Terinternalisasikan sifat-sifat Tuhan pada diri, membawa kepada sebuah kesadaran yang transenden, yang juga terefleksikan dengan rasa empati terhadap kemanusiaan, menghargai kehidupan, kepekaan terhadap sesama akan makin tajam dan akan lebih mempertegas makna manusia sebagai makhluk sosial, kesadaran manusia sebagai Khalifat fil’ardh, yang memegang amanah memelihara, mengayomi dan memelihara kehidupan.

    Suatu ketika ada seseorang yang melapor kepada Rasulullah SAW bahwa ada seorang perempuan yang selalu puasa disiang hari dan shalat Tahajjud ketika malam, tetapi ia sering menyakiti hati tetangganya, Rasulullah mengatakan tempat perempuan itu dineraka. Kisah ini mengandung pelajaran bahwa ibadah tidak hanya menekankan pada sisi ritualnya belaka, tetapi justeru nilai ibadah dinilai pada sikap moralnya terhadap manusia lain, ketaqwaan seseorang pada Tuhannya justeru terefleksikan pada sikapnya terhadap sesamanya, sikap empatinya terhadap kemanusiaan.

    Ramadhan kali ini, ditengah merebaknya wabah covid-19, dengan adanyanya berbagai anjuran untuk menjaga jarak Sosial Distancing, menjauhi kerumunan, tampaknya mengurangi kemeriahan dari pelaksanaan ritual puasa kali ini, tak ada semarak tarawih berjama’ah, juga perayaan-perayaan lainnya yang bersifat perkumpulan dimasjid-masjid atau tempat-tempat ibadah lainnya tergantikan dengan ibadah yang bersifat individu ataupun jama’ah dirumah.. Namun hal itu bukan berarti mengurangi nilai-nilai ibadah yang kita lakukan, justeru Ramadhan kali ini, dipandang dari sisi lain, adalah ramadhan yang ‘istimewa’, tidak hanya karena kita tetap dapat melaksanakan ritual ibadah itu walaupun sendiri, istimewa karena kita juga dituntut untuk merefleksikan nilai-nilai ketaqwaan kita, sikap empati kita terhadap kemanusiaan, karena dengan mematuhi anjuran pemerintah dan pemuka-pemuka agama untuk menjauhi kerumunan, sesungguhnya kita turut mencegah penyebaran wabah covid-19 ini, mencegah dari lebih banyak lagi jatuhnya korban akibat terinfeksi covid-19, sikap memelihara kehidupan, sikap kemanusiaan.  Wallahul Muwafieq Ila Aqwqmith Tharieq, Wassalamu’alaikum wr.wb

     

     

  • Opini: Kesabaran Adalah Obat dari Penyakit

    Kesabaran Adalah Obat dari Penyakit
    Oleh: Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Sabar adalah lafadz sederhana yang mudah kita dengarkan, namun begitu sulit untuk diaplikasikan. Sehingga dikatakan, من صبر ظفر “barang siapa yang bersabar, maka beruntunglah ia”. Ada saat ini kita sedang berada di bulan yang mulia dan dimulyakan Allah swt. Pada bulan ini kita sedang berada di bulan yang dharurat, yaitu bulan dimana penjuru dunia sedang diuji dengan adanya wabah corona yang sedang menimpa kita semua, di satu sisi kita sedang bahagia, dan di satu sisi kita sedang gundah gulana karena sulit memaksimalkan aktivitas ramadhan seperti tahun tahun sebelumnya.

    Sabar dalam menjalani ujian dan cobaan dari Allah serta berkeyakinan yang teguh dapatlah menolong kita untuk menggapai ridhonya dan menjalankan amanat agama. Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan hikmah, وبالصبر واليقين تنال الأمانة في الدين Dan dengan kesabaran dan keyakinan kepada Allah, akan dapat menjalankan amanah dalam agama.
    Dalam menyikapi wabah corona kita haruslah bijak, karena dengan ujian dari Allah swt., kita menjadi kuat iman dan Islam kita untuk menggapai taqwa kepada Nya.

    Dikatakan dalam ungkapan bijak, والامتحانات يكرم المرء أو يهان Dan dengan ujian akan menjadikan kita mulia atau hina.
    Gundah gulana adalah watak setiap manusia, karena manusia dianugrahi perasaan, baik bahagia, senang, kecewa, putus asa, gundah gulana dan sebagainya, namun demikian kita diajari untuk tetap bersabar, termasuk dalam menghadapi wabah corona, karena jika kita ceroboh, bisa jadi kita sakit bahkan mati bukan karena wabah covid 19 tapi karena ketakutan, sehingga Ibnu Sinna mengajari kepada kita,  الوهم نصف الداء، والاطمئنان نصف الدواء، والصبر بداية الشفاء
    Ketakutan adalah setengah pebyakit, ketenangan adalah setengah penyakit, sabar adalah awal mula sehat. Wallahualam.

  • Opini: Jangan Lupa Niat Puasa

    Jangan Lupa Niat Puasa
    Oleh: Syeh Sarip Hadaiyatullah, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Pada ramadhan yang mulia ini, kita sedang dilanda dan diresahkan dengan covid 19 atau wabah corona, yang pada saat ini sedang melanda Indonesia bahkan dunia, namun demikian, kita harus tetap berusaha selalu berlomba-lomba dalam menjalankan ibadah puasa, yang isnyallah nilainya tidak lebih berkurang dari tahun sebelumnya.

    Dalam melaksanakan ibadah puasa, niat merupakan faktor utama yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Innama a’malu bi al-niyat, wa innama li kullimri’in ma nawa” sesungguhnya segala sesuatu tergantung kepada niat, dan setiap orang memiliki niat yang berbeda-beda. Dalam kaidah fiqih juga dituturkan “al-Umuru bi maqashidiha” segala sesuatu tergantung kepada maksudnya.

    Apakah niat tersebut harus dilafadzkan atau hanya cukup dalam hati? Dalam hal ini, niat dalam hatilah yang dianggap sah, sedangkan niat yang dilafadzkan hukumnya sunnah. Karena tujuan niat sendiri adalah untuk dapat membedakan antara ibadah atau amalan biasa/ aktivitas biasa, (karena suatu amalan jika berniat akan mendapatkan pahala, dan jika hanya dijalani secara biasa akan bernilai biasa tidak mendapatkan pahala), dan juga niat dapat membedakan antara ibadah satu dengan ibadah yang lainnya, karena setiap ibadah tergantung kepada niatnya.

    Apakah niat harus diucapkan di malam hari atau boleh di siang harinya? Dan apakah niat itu harus diperbaiki setiap malam atau hanya cukup diucapkan sekali, yaitu malam pertama bulan Ramadhan?

    Dalam hal niat, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa niat haruslah diucapkan pada malam hari sebelum terbitnya fajar, sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa niat puasa dapat juga diucapkan pada siang hari setelah terbitnya fajar.

    Adapun berkenaan dengan niat yang diucapkan atau dilafadzkan pada malam pertama bulan Ramadhan adalah pendapat Imam Malik, dengan alasan agar untuk berjaga-jaga ketika suatu saat lupa pada malam harinya, maka ia sejatinya sudah niat di awal Ramadhan selain itu juga ibadah puaasa sejatinya dilakukan selama satu bulan penuh dan bukan ibadah yang berbeda-beda, sedangkan Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin hanbal, dan para pengikutnya, berpendapat bahwa niat dapat dilafadzkan setiap malam bulan Ramadhan karena puasa ramadhan bersifat independen dan bukan satu kesatuan. Wallahu A’lam.

  • Opini: Stay At Home dan Berkah Ramadhan

    Stay At Home dan Berkah Ramadhan
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Sebuah dilema, antara bahagia dan sedih, di satu sisi kita dihadapkan dengan bulan mulia, yaitu bulan ramadhan yang menjadi bulan istimewa yang kita tunggu-tunggu, namun di sisi lain kita sedang dibenturkan dengan wabah corona yang sedang melanda dunia, sehingga kondisi ini lah menjadikan kondisi darurat dan bahkan banyak aktivitas yang tidak maksimal, khususnya dalam menyambut bulan mulia dan barokah ini, yaitu bulan ramadhan.

    Pada bulan ini kita diwajibkan untuk berpuasa. Puasa yang berarti menahan diri dari segala sesuatu khususnya makan dan minum, firman Allah Swt.,
    انّى نذرت لرحمن صوما فلن اكلّم اليوم انسيّا
    Saya bernadzar kepada Allah yang maha Pengasih, bahwa pada hari ini saya tidak akan berbicara kepada satu manusiapun. (QS. Maryam: 26).

    Puasa dapat dibagi menjadi tiga, yaitu;
    الصوم على ثلاثة أوجه؛ صوم الروح بقصر الأمل، وصوم العقل بخلاف الهوى، وصوم النفس الإمساك عن الطعام والمحارم
    Puasa itu dibagi menjadi tiga macam, puasa ruh dengan memendekkan harapan (angan angan atau cita cita), puasa akal, menahan dari jawa nafsu, puasa jiwa menahan dari makanan dan sesuatu yang diharamkan.
    Bukan ramadhan sering disebut bulan barokah (syahrun mubaarakun), sering disebut bulan qur an (syahrun qur’an), bulan kemulyaan (syahrun karim), bulan penuh rahmat (syahrun rahmatun), bulan pengampunan (syahrun maghfiratun), bulan puasa (syahrun shiyam) dan nama nama mulia lainnya.

    Disebut bulan qur’an, karena pada bulan ramadhan Allah menurunkan wahyunya yang pertama kali nya. Disebut bulan pengampunan karena Allah memberikan ampunan kepada hambanya yang senang menyambut datangnya bulan ramadhan. Disebut bulan puasa karena pada bulan ramadhan diwajibkan bagi kita untuk menjalankan ibadah puasa. Disebut bulan rahmat karena Allah memberikan banyaknya kenikmatan kepada kita. Disebut bulan mulia karena bulan ramadhan adalah bulan yang dimuliakan oleh Allah swt., diantara bulan bulan lainnya.

    Dalam bulan ramadhan, ada barokah, sehingga terdapat keunikan dan keindahan tersendiri di bulan ramadhan, walaupun sejatinya kita sedang diuji untuk menjaga puasa kita, tidak hanya sekedar menjaga lapar dan dahaga, namun lebih dari pada itu kita juga dituntut untuk menjaga mata kita dari penglihatan yang buruk, menjaga telinga kita dari suara yang tidak layak didengar dan menjaga mulut kita dari ucapan yang tidak bermanfaat, itulah barokah ramadhan.

    Hari-hari terasa nyaman, tentram dan damai serta bahagia, itulah kemuliaan ramadhan. Pada siangnya kita berpuasa dan malamnya kita perbanyak shalat malam, tadarus dan dzikir kepada Allah.

  • Opini: Problematika Dakwah di Tengah Pandemi Global Covid-19

     

    Problematika Dakwah di Tengah Pandemi Global Covid 19
    Oleh  Siti Wuryan, M.Kom.I
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Dakwah yang merupakan kewajiban seorang muslim (Qs. Ali Imron : 110), namun sejak 13 Maret 2020, setelah di umumkannya Covid 19 atau Corona Virus Dieses 19 ini sebagai pandemi (wabah penyakit) global oleh pemerintah Indonesia hal ini juga berdampak pada intensitas dakwah yang dilakukan oleh para da’i di masyarakat. Berbagai kebijakan dikerahkan untuk meminimalisir penyebaran covid 19 di Indonesia. Diantaranya maklumat Polri, Fatwa MUI, Surat keputusan yang juga disampaikan oleh Organisasi Keagamaan terbesar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah). Dakwah yang biasanya dilakukan secara tatap muka (face to face), seperti Tabligh Akbar, Ceramah agama di majlis dengan mengumpulkan banyak orang dalam suatu tempat sudah tidak dapat dilakukan dan di gantikan dengan dakwah via online (daring), menggunakan berbagai macam platform seperti Zoom, Live (IG, FB, Youtube), WAG dll.

    Karenanya, hendaknya para da’i mulai memahami bentuk dakwah lain selain dakwah melalui metode lisan (dakwah bil al Lisan) dengan bentuk dakwah lain yaitu dakwah bil al hal (perbuatan). Saat ini bentuk dukungan yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan hanya sekedar kebutuhan rohani saja, karena dakwah tidak hanya berkutat dalam bingkai spiritual, namun juga sosial. Perbuatan untuk mengajak masyarakat menyisihkan sebagian hartanya untuk bersedekah atau dalam al qur’an disebutkan sebagai perniagaan ( at tijaroh) yang paling menguntungkan (Qs. As Shaff : 10-13). Dengan membantu orang yang lebih membutuhkan niscaya dakwah bil al hal (perbuatan) akan lebih bermanfaat bagi masyarakat yang notabene saat ini harus berhenti bekerja dan lebih banyak dirumah (work and study from home_).

    Problematika masyarakat yang saat ini yang banyak menghabiskan waktu dirumah dapat dimanfaatkan dengan baik tanpa mengurangi pahala dalam berdakwah, yaitu salah satunya dengan mulai memberikan _uswah hasanah_ kepada yang lain dengan senantiasa megupload hal-hal yang memotifasi orang lain dalam kebaikan ( Tarhibul ‘Amal_).

    Data terbaru (19/4/2020), Pemerintah Indonesia mengumumkan tambahan 327 kasus baru dan 47 kasus kematian di Indonesia.
    Jadi, total kasus Covid-19 yang telah dikonfirmasi di Indonesia menjadi sebanyak 6.575 kasus. Kasus ini bukan suatu teror yang perlu di takuti masyarakat, tetapi di jadikan semangat untuk terus hidup bersih dan sehat setiap hari (Qs. Al Baqarah : 222).

    Sementara, angka kematian yang terjadi adalah sebanyak 582 kasus. Probelmatika kematian ini juga dilematis di masyarakat, karena menganggap bahwa jenazah korban Covid 19 dapat menularkan, hal ini tidak dibenarkan karena virus tidak dapat berkembang setelah inang nya meninggal. Sudah kewajiban setiap jenazah korban covid 19 untuk di kebuminkan.

    Dan Jumlah pasien sembuh juga mengalami penambahan sebanyak 55 kasus baru pada Minggu (19/4/2020) sehingga angka total pasien sembuh menjadi 686 orang. Jadi dari seluruh kejadian ini kita sebagai masyarakat seharusnya dapat mengambil hikmah dari pandemi global covid 19, dengan mengutip kalimat Prof. Dr. (HC) KH. Ma’ruf Amin, MA “Empat amalan yaitu : IMAN, IMUN, AMAN, AMIN” . Semoga segera berlalu Pandemi Global Covid 19 dan seluruh kegiatan dakwah dapat kembali terlaksana sebagaimana biasanya menuju bulan Ramadhan yang penuh ampunan, menjadikan negara Indonesia menjadi Baldatun Toyyibatun wa Robbul Ghofur_. Wallahu A’lam

  • Opini: Masihkah Ada Meninggal Selain Corona

    Masihkah Ada Meninggal Selain Corona
    Oleh : Ust. Muhammad Irfan, SHI., M.Sy
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Saat ini Indonesia sedang dihadapkan dengan wabah covid 19 atau corona yang juga melanda dunia secara Internasional mengapa itu bisa terjadi barangkali jawaban yang mendasar adalah karena alam namun sangat boleh jadi disebabkan karena ulah manusia itu sendiri. Tentu setelah pemerintah mengumumkan Indonesia darurat covid-19 maka mulai banyak bermunculan masalah masalah sosial.

    Ikhwan yang dirahmati Allah, kita sepakat bahwa covid-19 adalah virus yang harus dihindari karena keberadaanya tidak ada satupun yang tau. Hingga saat ini corona masih menjadi wabah yang menakutkan bahkan termasuk wabah yang sulit untuk dihadapi, saya pikir ketidaktahuan atau kekurangan informasi seseorang terhadap virus tersebut termasuk bersikap mudah menyampaikan berita kepada orang lain yang nyata-nyata dirinya awam tentang virus tersebut sebenaranya itulah salahsatu penyebab mengapa virus corona sulit dihadapi apalagi dihilangkan.

    Kembali kepada tema di atas bahwa seseorang meninggal disebabkan karena corona bisa saja terjadi, tetapi menganggap orang meninggal karena corona tentu tidak boleh sampai benar-benar ada kepastian dari pihak berwenang yang menyatakan bahwa yang bersangkutan meninggal karena corona. Begitu dahsyatnya berita corona seolah-olah membawa kesan bahwa tidak adalagi yang meninggal selain corona sehingga akhirnya dengan mudah menyimpulkan yang meninggal pasti corona Na’udzubillah.

    Ada pribahasa “Tuah ayam boleh dilihat tuah manusia siapa yang tau” artinya tidak ada satupun orang yang dapat menentukan nasib seseorang termasuk kematian. Dulu sebelum ada corona datang, bisa tiap hari ahad selalu diumumkan di Masjid-masjid bahkan di Mushalla bahwa ada yang meninggal dunia, yang ditanya : kenapa, apa sebabnya dan lain-lain sekarang seolah kalimat itu menjadi hilang, menjadi sirna bak ditelan bumi. Suasana sekarang seketika berubah jika ada pengumuman tentang kematian selalu pikiran mengarah kepada corona. Bagaimana Allah menegur kita dalam QS. Al- A’rof : 7 (34)

    وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌ ۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

    Artinya : “Dan setiap ummat mempunyai ajal (batas waktu), Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat menunda atau mempercepat sedikitpun”.

    Karena itu mendengar saudara kita meninggal dalam suasana wabah corona saat ini tentu mesti arif dan bijak harus ditimbang dari berbagai dimensi, mulai dari dimensi ilmu, dimensi akal, dimensi hati, dimensi rasa, dimensi kemanusiaan dan yang terpenting lagi adalah dimensi iman.

    Saudaraku, di luar sana masih banyak yang meninggal selain karena corona, jangan hanya menganggap coronalah yang menyebabkan kematian, masih ada yang meninggal karena makanan, minuman, jatuh, tersungkur, hanyut, tenggelam, tertimpa, bahkan bisa saja ada yang meninggal karena mencucui piring, tertusuk jarum, atau hanya gara-gara tertawa. Apa maksud itu semua, tidak lain untuk menyadarkan kembali betapa kematian adalah rahasia Allah Swt.

    Terkadang iba kita mendengar berita ada seorang kakek yang tersungkur, jatuh ditepi jalan namun tak ada yang membantunya khawatir karena corona padahal jelas-jelas saat itu ia sangat membutuhkan pertolongan namun disekelilingnya tak ada yang membantu karena takut corona.

    Saudaraku seiman corona memang harus terus diwaspadai, tetapi jangan karenanya rasa kemanusiaan kita menjadi hilang apalagi cepat berprasangka si A sakit “corona”, si B “meninggal” karena corona dan lain sebagainya karena dampaknya bukan hanya kepada yang bersangkutan namun juga keluarga yang ditinggalkan.
    Pesan yang ingin disampaikan selalulah bersama Allah dimana saja berada, hilangkan perselisihan, perkuat iman, tetap semangat.

    Terakhir, bahwa korban covid 19 yang meninggal dunia bukanlah aib melainkan seseorang yang dimuliakan oleh Allah yang diuji melalui corona. Dan kita terus berharap, berdo’a mudah-mudahan dengan datangnya bulan suci ramadhan ini menjadi isyarat akan Allah sucikan pula dunia ini dari corona. امين يا رب العالمين

  • Opini: Kemuslimahan R.A Kartini

    Kemuslimahan R.A Kartini
    Oleh: Dr. H. M. Afif Anshori, MA
    Dekan FUSA UIN Raden Intan Lampung

    Dalam buku-buku sejarah yang popular di Indonesia, sosok Raden Ajeng Kartini ditampilkan sebagai seorang wanitia Jawa yang berjasa membebaskan kaum perempuan dari keterkungkungan tradisi, sehingga beliau sering disebut sebagai tokoh emansipasi wanita. Pemikiran-pemikiran R.A. Kartini dituangkan dalam bentuk “curhat” kepada wanita Belanda kenalannya yaitu, Stella Zihandelaar dan Ny Abendanon. Semua surat-surat curahan hati tersebut dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Door Duisternis Toot Licht. Namun, selama ini tidak pernah diungkapkan religiusitas R.A. Kartini, serta latar belakang dari mana gagasan pemikirannya tersebut. Hal itu terjadi lantaran faktor penulisan sejarah (historiografi) yang dilakukan oleh orang Belanda, yang sengaja menghilangkan sisi-sisi kehidupan keberagamaannya. Tulisan ini ingin mencoba mengangkat beberapa aspek kehidupan keberagamaannya yang menjadi latarbelakang pemikiran R.A. Kartini.

    Biografi

    Adalah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara, yang menikah dengan M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari perkawinan ini melahirkan seorang bayi perempuan bernama Raden Adjeng Kartini. Berarti, Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.

    Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

    Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda

    Religiousitas Kartini

    R.A. Kartini adalah seorang muslimah yang berlatar belakang budaya Jawa. Ini diakuinya sendiri dalam surat “curhat”nya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis:

    Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

    Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

    Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?

    RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

    Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

    Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.

     

    Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.

    Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliau sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat.

    Menurut Ny Fadihila Sholeh, salah seorang cucu Kyai Sholeh Darat, pertemuan Kartini dengan Kyai Sholel Darat, terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya. R.A. Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. R.A. Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

    Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini dengan Kyai Sholeh.

    “Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog. Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

    “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

    Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

    Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis, Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

    Habis Gelap Terbitlah Terang

    Dalam pertemuan itu, RA Kartini meminta agar al-Qur’an diterjemahkan karena menurutnya  tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.  Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an.  Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.

    Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah  dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.  Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:

    Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”

    Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:

    أَللهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ أمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ  (البقرة:٢٥٧)

    Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kebodohan) menuju cahaya (iman) (Q.S. al-Baqoroh: 257).

    Dalam surat-suratnya kepada Abendanon,  Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

    Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.

    Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

    Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

    Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.

    Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; 

    Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.

    Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;

    Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

    Inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan

    Mengenal Kyai Sholeh Darat

    Kyai Sholeh Darat Semarang adalah guru para ulama besar di indonesia diantaranya: R.A. Kartini, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah) KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama/ NU). Nama lengkap beliau Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani  lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820 /1235 H, dengan nama Muhammad Shalih,  Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Al-Samarani. Pemberian nama Darat diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.

    Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Shaleh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU); KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah); Kiai R. Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H); Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat; Kiai Idris (nama aslinya Slamet) Solo; Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat; Kiai Abdul Hamid Kendal; Kiai Tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang; Kiai Sahli Kauman Semarang: Kiai Dimyati Tremas; Kiai Khalil Rembang; Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta: KH. Dahlan Watucongol Muntilan Magelang: Kiai Yasin Rembang: Kiai Ridwan Ibnu Mujahid Semarang: Kiai Abdus Shamad Surakarta: Kiai Yasir Areng Rembang: RA Kartini Jepara.

    (Dirangkum dari Berbagai sumber)

     

  • Opini: Fikih Puasa dan Mudik Di Masa Pandemi

    Fikih Puasa dan Mudik Di Masa Pandemi
    Oleh: Fathul Mu’in, M.H.I
    Pengurus MUI Lampung
    Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
    Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung

    Ramadan 1441 H bakal dilalui sedikit berat oleh kaum Muslim di tanah air. Mengingat, hingga saat ini belum ada tanda-tanda wabah corona akan berakhir, justru jumlah pasien positif covid-19 terus mengalami peningkatan setiap harinya, bahkan jumlahnya mencapai sekitar lima ribu orang. Jika melihat kondisi tersebut maka umat Islam akan menjalankan puasa dan serangkaian ibadah lainnya di tengah pandemi. Karena kondisi itu pula, sebelum Ramadan banyak kegiatan keagamaan sudah dibatasi atau bahkan dilarang untuk mencegah penyebaran virus. Hingga pada akhirnya, pemerintah dan ormas Islam sudah memutuskan memerintahkan umat untuk beribadah di rumah masing-masing, seperti tarawih, tadarus Alquran, buka puasa bersama dan lainnya.

    Fikih Puasa
    Dalam fikih, hukum menjalankan puasa Ramadan adalah wajib bagi setiap orang beriman yang sudah mendapatkan beban hukum dari Allah (mukallaf). Sejumlah ayat Alquran dan hadis Nabi sudah menjelaskan tentang hal itu. Namun, di dalam benak sebagian umat Islam, situasi bulan Ramadan tahun ini menyisakan beberapa pertanyaan terkait hukum puasa di musim wabah Corona. Seperti boleh atau tidakkah meninggalkan puasa untuk menjaga kondisi kesehatan, baik kategori ODP, PDP ataupun bagi warga yang positif Covid-19, atau bahkan bagaimanahukum puasa bagi umat Islam yang tak terindikasi apa-apa.

    Untuk melihat masalah ini, para ulama klasik dan kontemporer telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit tidak berpuasa. “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ayat ini menjelaskan setiap orang yang sakit atau musafir boleh tidak berpuasa. Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imam Ibn Qudamah dalam kitab Al-Mughni dan Imam Al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ mejelaskan yang dimaksud sakit yang membolehkan seseorang berbuka adalah jika penyakit tersebut bertambah parah karena puasa, pemulihan kesehatan tertunda karena berpuasa, pasien mengalami kesulitan dalam berpuasa meskipun tidak ada peningkatan penyakit, dan yang terakhir sangat khawatir akan menjadi sakit karena berpuasa. Maka dari itu, hukum berpuasa bagi umat Islam di musim corona ada tiga kategori. Pertama, pasien baik yang positif atau yang supect (PDP) yang memerlukan obat dan penanganan medis beresiko tinggi jika berpuasa, maka wajib untuk tidak berpuasa, dia memiliki kewajiban untuk berobat. Jika pasien tersebut memilih untuk tetap berpuasa justru hukumnya bisa menjadi haram.

    Kedua, pasien dalam pengawasan atau umat Islam yang tidak terjangkit corona melainkan menderita penyakit lainnya atau mengalami kesulitan dalam berpuasa dikarenakan harus menjaga kesehatan tubuhnya dengan olahraga dan minum air atau vitamin secara teratur demi menjaga kekebalan tubuhnya untuk mencegah corona, maka dia juga diperbolehkan tidak berpuasa. Termasuk paramedis yang bertugas di garis depan menangani pasien covid-19. Sedangkan bagi yang sehat jasmani dan rohaninya, tidak dalam kondisi sakit, maka tetap wajib berpuasa secara sempurna. Mengingat belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan ada hubungan antara puasa dan ancaman corona.

    Fikih Mudik
    Masalah lain yang muncul adalah kebiasaan mudik menjelang lebaran. Hampir setiap umat Islam yang berada di perantauan selalu pulang ke kampung halaman guna bersilaturahmi. Namun, karena Idul Fitri tahun ini diprediksi masih dibayangi wabah corona maka pemerintah melarang mudik. Disisi lain, masyarakat tetap ingin mudik dengan berbagai argumentasi, mulai dari menjalankan ajaran agama untuk bersilaturahmi, hingga desakan ekonomi lantaran tidak lagi memiliki pekerjaan karena terdampak corona. Lalu bagaimana seharusnya bersikap?

    Ya, mudik memang menjadi tradisi masyarakat Nusantara dalam kondisi normal. Namun, pada kondisi hari ini situasinya sedang tidak normal. Kondisi negara dalam darurat kesehatan, maka menghindari wabah penyakit itu merupakan suatu kewajiban. Memang mudik untuk silaturahmi hukumnya adalah sunnah. Tapi, menghindari wabah penyakit justru hukumnya wajib. Jika argumentasinya adalah silaturahmi, maka di zaman modern seperti ini silaturahmi tetap bisa dilakukan dengan teknologi. Orang yang dalam perantauan tetap bisa tersambung. Banyak aplikasi yang terbukti bisa untuk saling sapa dan jadi ajang melepas kerinduan. Yang dilarang agama adalah memutuskan silaturahmi.

    Karena dalam kondisi pandemi, silaturahmi mengunjungi dalam arti harfiah tentu tidak mungkin dilakukan. Sebab, jika dilakukan justru malah menimbulkan bahaya. Kondisi ini masuk dalam qaidah fiqih. “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih”. Kaidah ini menegaskan, apabila pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Dengan menolak kemafsadatan berarti juga meraih kemaslahatan. Maka dari itu, di tengah wabah yang sangat berbahaya ini, silaturahmi bisa jadi mafsadat jika pemudik justru membawa virus dan menularkan kepada masyarakat di kampung halaman.

    Namun, pemerintah juga tidak boleh lepas tangan dalam masalah ini. Bagi masyarakat yang berada diperantuan yang ekonomi mereka terdampak corona yang tidak mudik harus mendapat perhatian. Pemerintah perlu memberikan insentif bulanan bagi warganya yang tidak mudik saat lebaran. Pemberian bantuan langsung itu diharapkan dapat menekan keinginan masyarakat yang berada di perantauan untuk mudik ke kampung halaman hingga pandemi berakhir.