Category: Opini

  • Opini: Halal Bi Halal Pada Musim Pandemi Covid-19

    Halal Bi Halal Pada Musim Pandemi Covid-19
    Oleh: Dr. Agus Hermanto, M.H.I
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Idul Fitri adalah ahri kemenangan setelah melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh lamanya, ketika Idul Fitri tiba, umat Islam mengadakan acara yang sangat unik, yaitu silaturahim, yang istilah ini dalam bahasa Jawa sidebut Sungkem kepada kedua orang tua yang masih ada dan sanak family yang lainnya, namun ketika sudah tiada, mereka menyempatkan waktunya untuk berziarah ke Kuburan dan berdoa bersama atau dilaksanakan dengan sendiri-sendiri.

    Istilah silaturahim pada awal masuknya Islam ke Indonesia agak begitu sulit di ucapkan, kemudian KH. Wahab Chasbullah diberi nama halal bi halal yang kemudia istilah ini popular sampai hari ini. Halal bi halal adalah sebuah tradisi di masyarakat kita yang merupakan media untuk bersilaturahmi, halal bi halal berasal dari kata halal yang artinya lepas dari dosa, sehingga istilah ini digunakan untuk menyambung tali silaturahim sering juga disebut bersal dari kalimat thalabul halal bi thariqi al- halal, yaitu meminta mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Sehingga istilah halal bi halal sebagai sarana untuk saling bermaafan.

    Istilah halal bi halal memang hanya sebuah tradisi baik dan mulia di Indonesia, yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Sunah dan tidak ada pelaksanaannya di Negara-negara lain, unik memang hal ini, dan inilah merupakan sebuah tradisi Islam yang ada di Indonesia. Jika kehidupan ini ibarat benang yang selama ini tidak jelas ujungnya karena saking banyaknya alur kemudian menjadi kusut, maka sejatinya halal bio halal adalah merajut kembali benang yang sudah kusut dan nyaris sulit diselesaikan. Jika ada kesalahan yang terjadi dan belum termaafkan karena sebuah kesalahan atau khilaf, maka saat itulah bertemu, duduk bersama untuk bemaafan, bercerita dan saling tabayyun.

    Tradisi mudik merupakan merupakan salah satu tradisi unik yang ada di Indonesia menjelang datangnya lebaran, tradisi mudik sangat erat kaitannya dengan halal bi halal, karena salah satu tujuan mudik adalah bersilaturahim dengan orang tua, keluarga, sanak family dan sahabat yang lama tidak berjumpa, dengan tujuan yaitu halal bihalal atau melepaskan dosa, salim memaafkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pada saat musim pandemic covid 19, kita di lockdown dan tidak diperkenankan mudik, stay at home yaitu mengerjakan segala aktifitas di rumah dan distancy yaitu dilarang berkerumul, dalam artian juga dilarang mudik dan dilarang melakukan silaturahim dengan tatap muka.

    Teknologi yang menjadi olah pikir manusia mampu mewujudkan bi’ah baru dalam menyikapi kearifan likal di Indonesia yaitu mudik dan halal bi halal, jika maqasid al-syari’ah dari halal bihalal adalah melepaskan dosa, meminta maaf antara yang satu dan yang lainnya, maka pada kali ini tidak dapat kita lakukan dengan cara mudik, bergerumul dengan keluarga, namun bisa menggunakan media lain yaitu WA, FB dan media Zoom. Hal ini merupakan bi’ah baru yang dapat kita bangun secara arif pada musim pandemic, tapa haru melanggar aturan pemerintah dan tanpa harus menghilangkan budaya lokal yaitu halal bi halal. Wallahu A’lam.

  • Opini: Zakat dan Kesucian Jiwa

    Zakat dan Kesucian Jiwa
    Oleh: Ahmad Muttaqin
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,yang dengan zakat itu membersihkan mereka dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka (QS. At-Taubah; 103).

    Zakat secara bahasa, mengandung beberapa arti, suci, bersih, berkembang, bertambah. Adapun secara istilah adalah Harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap yang beragama Islam dan diberikan kepada yang berhak menerimanya. Perintah kewajiban mengeluarkan Zakat ini banyak kita temui dalam alQur’an, salah satunya; “Dan dirikanlah Shalat, Tunaikanlah Zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (QS.Al-Baqarah; 43).

    Pensyari’atan Zakat, Jika diamati dalam al-Qur’an, senantiasa bergandengan dengan perintah kewajiban Shalat. Perintah shalat yang merupakan hubungan vertical dengan Allah SWT bergandengan dengan Zakat yang yang bersifat horizontal, hubungan sesame manusia. Hal menunjukkan kelengkapan bahwa hubungan dengan Tuhan tidaklah sempurna tanpa dibarengi dengan baiknya hubungan sesama manusia. Zakat menunjukkan rasa kepedulian terhadap sesama, sikap untuk senantiasa berbagi dan membantu mereka yang dalam kekurangan. Hal ini merupakan hikmah sosial dari pensyariatan kewajiban zakat. Keduanya (shalat dan Zakat) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, menunjukkan ketauhidan pada hakekatnya merupakan satu kesatuan, hubungan dengan Tuhan dan hubungan Sesama manusia.

    Abu Bakar ra. pernah mendeklarasikan perang terhadap kaum yang menolak membayar Zakat,”Demi Allah, Aku akan memerangi kaum yang tel;ah memerangi kaum yang telah memisahkan kewajiban shalat dengan kewajiban Zakat ! Aku akan memerangi mereka jika menolak untuk menyerahkan padaku kekang unta yang biasa mereka berikan kepada Rasulullah!, demikian ujarnya. Suatu sikap yang menegaskan bahwa hubungan terhadap Tuhan tidak dapat dilepaskan dengan Hubungan kepada sesame manusia.

    Disamping aspek sosial di atas, Zakat, sebagaimana tertera pada ayat at-Taubah 103, sesungguhnya juga suatu ibadah yang secara individu berfungsi membersihkan harta dan menyucikan jiwa. Membersihkan harta, walaupun manusia diperintahkan untuk mendapatkan harta secara halal,manusia tidak dapat menjamin bahwa harta yang diperolehnya sepenuhnya bersih, ada hal-hal yang tidak dapat terdeteksi oleh manusia bagaimana harta tersebut sampai pada dirinya, mungkin bisa berasal dari sumber harta tersebut, atau dalam perjalannannya terdapat hal-hal yang syubhat, dalam konteks inilah zakat membersihkan harta manusia. Dengan demikian pembersihan yang dimaksud bukanlah pembersihan harta yang diperoleh dari jalan haram, seperti mencuri ataupun korupsi, melainkan pembersihan harta yang diperoleh secara halal, namun ada hal-hal yang yang tidak dapat dideteksi oleh manusia yang mungkin ada kekotoran di dalamnya.

    Yang kedua adalah Zakat dapat menyucikan Jiwa, Diketahui bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk senantiasa menyucikan Jiwanya,dan menghindari dari tindakan-tindakan yang bisa mengotori jiwa. Jiwa yang suci melahirkan watak kebaikan sebaliknya yang mengotorinya menghasilkan manusia yang berwatak buruk, kondisi jiwa seseorang berimplikasi pada watak dan akhlak seseorang, Firman Allah SWT,” … Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaanNya), maka Allah mengilhamkan kepada Jiwa itu (jalan) kefasikan dan Ketaqwaan. Sungguh beruntunglahorang yang menucikan Jiwa itu dan merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10). Demikianlah bahwa mengotori jiwa merupakan suatu jalan kefasikan dan memnyucikannya merupakan jalan mencapai ketaqwaan.

    Jiwa bisa dikotori oleh nafsu-nafsu buruk, salah satunya adalah kecendrungannya terhadap harta. Keinginan menguasai harta dan kecenderungannya pada harta semata-mata melahirkan sikap rakus dan kikir. Dengan Zakat, seorang muslim, diperintahkan untuk memerangi nafsu-nafsu buruk tersebut, dengan tindakan untuk berbagi kepada sesama manusia, melalui zakat, sesungguhnya juga, melepaskan sifat-sifat atau nafsu untuk menguasai harta secara berlebihan, memerangi sifat kikir dan rakus yang mungkin muncul dalam jiwanya. Dengan melaksanakan Zakat, sebagai suatu proses penyucian Jiwa, merupakan salah satu jalan mencapai ketaqwaan.

    Wallahul Muwafieq ila aqwamith Thariq

    Wassalamu’alaikum wr.wb.

  • Opini: Lebaran dan Kearifan Beragama

    Lebaran dan Kearifan Beragama
    Oleh: Dr. H. M. Afif Anshori,M.Ag
    Dekan FUSA UIN Raden Intan Lampung
    Perantau asal Kauman Utara Wonosobo-Jawa Tengah

    Kehidupa beragama Islam  di Indonesia sangat unik lantaran memiliki kekhasan yang tidak ada di Negara manapun Hal inilah yang menarik perhatian berbagai kalangan, mulai dari ilmuwan, akademisi, pemerhati social keagamaan sampai para ahli agama (ustadz), dengan berbagai perpsektifnya masing-masing. Keunikan ini terletak bukan pada “core” keislamannya, yang memang sejak zaman Rasulullah sudah baku, melainkan pada bingkai implementasi keberagamaannya. Sebut saja misalnya ada tradisi slametan, kenduri, punggahan, marhabanan/ berjanjen, termasuk tradisi lebaran dengan berbagai pernak perniknya.

    Jika dicermati, sesungguhnya keanekaan tradisi keagamaan di Indonesia ini muncul parallel dengan proses Islamisasi di Nusantara yang disebarkan oleh ulama tasawuf. Pola penyebaran sufistik seperti ini memiliki corak spesifik, yakni akomodatif dengan tradisi lokal, persuasif, moderat, bahkan menciptakan model tradisi baru yang khas nusantara.

    Konon, adalah Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan budaya lebaran pada masyarakat Jawa. Beliau memperkenalkan dua kali lebaran: lebaran iedul fitri dan lebaran kupat (ketupat). Kata lebaran berasal dari kata lebar (Jw) yang berarti sesudah atau dalam bahasa Arabnya ba’da, yakni sesudah menyelesaikan puasa Ramadhan. Itulah sebabnya, mengapa dalam masyarakat Jawa, lebaran sering disebut bakda, atau bodo.

    Lebaran kupat yang dilaksanakan seminggu sesudah idul fitri, dimana umat Islam ada yang melanjutkan puasa sunnah Syawal selama 6 hari, dan diakhiri dengan makan ketupat (kupat). Tapi, sebenarnya tradisi makan ketupat itupun merupakan salah satu pernik lebaran idul fitri yang disajikan bersama opor ayam dan pecel sayuran.

    Secara filosofis, kata kupat (ketupat) merupakan akronim dari ngaku lepat atau mengakui kesalahan dan laku papat atau empat tindakan. Ngaku lepat diwujudkan dalam bentuk tradisi sungkeman, yaitu duduk bersimpuh kepada orang yang lebih tua sembari ngaku lepat (mengakui kesalahan). Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain.

    Adapun makna laku papat atau empat macam tindakan seorang muslim Jawa adalah Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan Lebaran artinya sudah usai, yang menandakan berakhirnya waktu puasa ramadhan. Lubèran berarti meluber atau melimpah, yakni ajakan untuk bersedekah kepada kaum miskin dalam bentuk mengeluarkan zakat fitrah. Leburan atau musnah, lebur, mengandung maksud dosa dan kesalahan akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain. Laburan, berasal dari kata labur, mengusap dengan kapur yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya.

    Kupat itu harus dibungkus dengan daun kelapa muda atau janur. Konon, kata Janur, diambil dari bahasa Arab yaitu Jâ-a Nûr yang berarti “telah datang cahaya”. Bentuk kupat yang berbentuk segi empat ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahannya maka hatinya seperti “kupat yang dibelah”, pasti isinya putih bersih, hati yang tanpa iri dan dengki, lantaran hatinya sudah dibungkus cahaya (jâ-a nûr).

    Tradisi Lebaran

    Kearifan keagamaan (religious wisdom) yang dirintis para ulama dengan pendekatan sufistik ini sampai kini masih tetap dilestarikan, bahkan sudah menjadi “trade mark” keislaman Nusantara. Ada beberapa kegiatan yang sudah menjadi tradisi lebaran bagi masyarakat Indonesia.Tradisi lebaran ini sudah terjadi secara turun-temurun sebagai warisan budaya bangsa yang masih belum terkikis oleh modernisasi jaman. Berikut ini kegiatan yang sudah menjadi tradisi lebaran bagi masyarakat Indonesia:

    Mudik. Banyaknya para perantau, baik dari luar kota maupun luar pulau untuk mencari nafkah jauh dar kampong halaman, membuat tradisi mudik tidak pernah terlewatkan di setiap Lebaran dari tahun ke tahun. Apalagi libur lebaran umumnya lebih panjang daripada libur di hari lain, sehingga orang-orang memiliki banyak waktu untuk pulang kampung ataupun berkunjung ke sanak saudara yang berada jauh khususnya orang tua. Mudik merupakan tradisi terbesar di hari Lebaran bagi masyarakat kita. Para pemudik bisa mencapai puluhan juta per tahun.

    Sejalan dengan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, istilah mudik menjadi marak dibahasa para netizen yang dihadapkan dengan istilah pulang kampung. Istilah mudik dimaknai sebagai kembali ke udik, mengunjungi tempat asal usul kelahiran, setelah lama merantau. Mereka yang mudik ini adalah yang telah menjadi “orang rantau”, dan oleh karena masih memiliki sanak keluarga di tanah kelahirannya, maka ia mengunjunginya di hari lebaran terebut. Sebaliknya, istilah “pulang kampung” adalah mereka yang bekerja mencari nafkah di rantau kemudian kembali ke rumah asal di kampung sebagai tempat menetapnya.

    Halal Bi Halal. Halal bi halal adalah istilah untuk saling mengunjungi teman, tetangga, dan sanak saudara untuk saling bermaaf-maaf-an. Biasanya, halal bihalal diiringi dengan sungkeman, yakni bersalaman sambil bersimpuh memohon maaf dan memohon do’a restu kepada orang tua atau orang yang dituakan. Tradisi ini bahkan juga mengikuti perkembangan jaman dengan melakukan halal bi halal melalui media online dan gadget modern. Kini banyak di antara kita yang saling bermaafan melalui handphone, WA, FB, serta media social lainnya.

    Takbir keliling. Malam Lebaran selalu ditandai dengan kumandang takbir untuk merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Dan sebagai tradisi, kita sering melakukan takbir keliling baik dengan menggunakan kendaraan maupun sekedar berjalan kaki. Kebersamaan masyarakat sangat terlihat di saat-saat seperti ini.

    Menabuh bedug (ndrudag/ tedur). Dengan bersamaan kumandang takbir, umumnya orang-orang juga akan menabuh bedug sebagai ungkapan kebahagiaan mereka. Tabuhan bedug ini dilakukan seirama sehingga membuat suasana   malam lebaram semakin marak dan mengharukan.

    Ketupat. Sepulang shalat Idul Fitri, biasanya menu sarapan berupa ketupat sudah tersaji dengan menarik. Ketupat Lebaran ini biasanya dimakan dengan opor ayam, rending daging, semur dan kerupuk udang. Bahagia rasanya berkumpul bersama keluarga dan makan ketupat Lebaran bersama-sama.

    Saling mengirim makanan. Saling mengirim makanan ke tetangga sebelah maupun sanak saudara yang agak jauh juga merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang. Selain untuk tetap menjaga tali persaudaraan antar warga, tradisi ini juga menjadi ajang saling memberi kepada keluarga yang kurang mampu dan berbagi kebahagiaan di hari Lebaran.

    Tunjangan Hari Raya (THR). Istilah ini sebenarnya disematkan kepada para pegawai yang memperoleh bonus atau hadiah dari lembaga tempat bekerja, untuk merayakan Iedul Fitri. Namun kemudian digunakan pula untuk masyarakat umum. THR atau uang saku ini sudah menjadi tradisi untuk dibagikan kepada anak-anak kecil. Hal ini juga yang paling ditunggu-tunggu. Selain itu perusahaan-perusahaan juga akan mengeluarkan THR untuk para karyawannya, pemerintah juga memberikan THR kepada para Apartur Sipil Negara, TNI/POLRI serta para pensiunan.

    Pakaian Baru. Tradisi ini sebenarnya menjadi symbol bahwa Lebaran adalah hari yang fitri dan kita terlahir seperti baru kembali, sehingga pada umumnya orang mengenakan pakaian baru. Maka tidak heran jika menjelang lebaran tiba, pusat perbelanjaan dipadati pengunjung.

    Ziarah makam. Setelah lepas sholat Idul Fitri biasanya warga akan berbondong-bondong berziarah ke makam leluhur dan orang tua untuk mendoakan arwah mereka.

    Rekreasi. Menghabiskan waktu libur lebaran biasanya saling mengunjungi rumah saudara dan sekaligus berpergian ke tempat wisata. Tradisi ini membuat tempat-tempat wisata penuh dikunjungi orang-orang yang ingin menghabiskan waktu lebaran bersama keluarga.

    Petasan. Meski jauh-jauh hari sudah ada himbauan dan razia, petasan tetap muncul di sana sini. Tradisi ini susah diberantas karena sudah berakar. Setiap Lebaran tiba, pasti banyak orang berjualan kembang api dan petasan.

    Balon Udara. Tradisi melepaskan balon udara di hari lebaran ini nampaknya hanya khas di Wonosobo. Balon yang terbuat dari kertas dlancang (kertas minyak) ini dirancang dengan berbagai ukuran dan warna-warni, kemudian diterbangkan dengan kekuatan asap pembakaran yang diletakkan di mulut balon.

    Tradisi Islam Nusantara sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, sesungguhnya merupakan khazanah kebudayaan yang patut dilestarikan dari generasi ke generasi, yang tidak tergerus oleh budaya modern, bahkan mampu melakukan penyesuaian diri dengan perkembangan jaman.

  • Opini: Menggapai Lailatul Qodr

    Menggapai Lailatul Qodr
    Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan
    Pengurus MUI Provinsi Lampung

    Lailatul Qodr merupakan sebuah peristiwa penting yang  terjadi pada bulan Ramadhan, di mana pada malam itu dengan izin Allah malaikat Jibril bersama malaikat yang lainnya turun ke bumi untuk mengurus segala urusan di bumi, dan apabila kita dapat menjumpai malam itu (Lailatul Qodr), maka kita akan digolongkan sebagai orang pilihan. Lantas apa itu Lailatul Qodr? Apa keistimewaannya bagi kehidupan kita? Dan bagaimana cara menggapainya? Tentang hal ini Allah swt telah berfirman dalam surat al-Qodr ayat 1-5, yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qodr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qodr) itu? Malam kemuliaan (Lailatul Qodr) itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajaf”.

    Berdasarkan ayat ini jelas bahwa di antara kenikmatan luar biasa yang Allah limpahkan di bulan Ramadhan adalah hadirnya malam kemuliaan (Lailatul Qodr), di mana keistemewaannya lebih baik dari 1000 bulan, ini artinya apabila kita beribadah pada malam itu dan berhasil meraih Lailatul Qodr, maka amalan ibadah kita akan bernilai lebih dari 83 tahun lamanya. Inilah salah satu momentum yang dirahasiakan Allah swt dari makhluk-Nya. Karena malam itu demikian istimewanya, maka sungguh beruntung bagi mereka yang dapat dipertemukan dengan Lailatul Qodr. Untuk itu siapa saja yang mendapatkan malam kemuliaan (Lailatul Qodr), maka ia sama saja seperti beribadah selama seribu bulan atau 83 tahun lebih. Namun meskipun demikian Lailatul Qodr merupakan misteri dan momentum yang dirahasiakan Allah swt dari makhluk-Nya. Tidak ada seorang pun yang dapat menentukan kapan malam kemuliaan (Lailatul Qodr) itu dapat ditemui.

    Adapun hal-hal yang dapat kita lakukan dalam rangka menggapai malam kemuliaan (Lailatul Qodr) adalah: Pertama, senantiasa berinteraksi dengan al-Qur’an. Artinya menjadikan al-Qur’an sebagai sahabat, sebagai pedoman hidup dan sebagai sumber  dari segala sumber hukum. Ingat, Allah swt berfirman “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qodr), yang mana malam kemuliaan (Lailatul Qodr) itu lebih baik dari seribu bulan”. Kedua, Menghidupkan malam dengan ibadah, khususnya sholat sunnah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya apabila memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan Rasulullah saw mengencangkan kainnya, menjauhkan diri dari menggauli istrinya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang melakukan sholat malam pada Lailatul Qodr karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu. Ketiga, memperbanyak berdo’a dan berzikir kepada Allah swt, hal ini sebagaimana hadis Rasulullah “ Wahai Rasulullah, apa yang aku ucapkan di dalamnya ketika aku mengetahui Lailatul Qodr? Rasulullah menjawab: ucapkan Allahumma innaka ‘afuwwu tuhibbul ‘afwa fa’fu’anniy”. Keempat, beri’tikaf di masjid, khususnya pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hal ini Rasulullah seantiasa menganjurkan umat Islam agar dapat beri’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya bahwasanya Rasulullah saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai beliau meninggal. Wallahua’lam Bishawab.

  • Opini: Puasa Melahirkan Keikhlasan

    Puasa Melahirkan Keikhlasan
    Oleh: Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan
    Pengurus MUI Provinsi Lampung

    Allah berfirman yang artinya “ Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya semata-mata untuk Allah swt. Ini artinya bahwa semua aktifitas termasuk ibadah puasa yang kita lakukan tentunya semata-mata hanya untuk Allah swt.

    Dalam firman Allah swt yang lain, yakni Surat al-Bayyinah Ayat 5 dijelaskan bahwa kita hanya diperintahkan untuk beribadah (menyembah) Allah dengan ikhlas  dan mentaatinya semata-mata karena (menjalankan) agama, bukan karena yang lain. Berdasarkan  kedua ayat  ini jelas bahwa semua ibadah termasuk puasa yang kita lakukan harus berdasarkan keikhlasan karena Allah swt, sebab ibadah apapun tanpa didasari dengan keikhlasan, maka semuanya akan sia-sia, bahkan akan ditolak oleh Allah swt dan tidak bermakna, hal ini sebagaimana Hadis Rasulullah saw yang artinya tidak akan diterima amal ibadah seseorang kecuali dilakukan dengan penuh keikhlasan.

    Lantas apa itu ikhlas? Dan bagaimana puasa mampu melahirkan keikhlasan? Ikhlas itu ketika meniatkan seluruh ibadah hanya untuk Allah swt, sehingga tidak bangga akan pujian dan sanjungan orang lain. Ikhlas itu ketika mampu berbagi rezeki meskipun kita dalam keadaan terhimpit. Ikhlas itu ketika tersenyum melihat orang lain bahagia walaupun kita sedang berduka. Ikhlas itu ketika harus melepaskan sesuatu demi kebaikan bersama sekalipun kita yang terluka. Ikhlas itu ketika dihujani kata-kata yang menyakitkan tetapi kita  tetap bersikap baik dan mendo’akannya. Ikhlas itu seperti surat al-Ikhlas, tidak ada kata ikhlas pada ayatnya, tidak terlihat, tidak tergambarkan, tidak terdefinisikan, tetapi ikhlas hanya dapat dirasakan dalam lubuk hati seseorang yang mampu memahaminya.

    Oleh karena itu puasa bukan hanya sekedar menahan diri dari haus dan lapar, melainkan puasa mampu menjadikan pondasi keimanan seseorang dalam membebaskan diri dari keserakahan dunia. Ingat puasa termasuk ibadah rahasia (Sir), karena puasa merupakan ibadah yang terhubung langsung antara seseorang dengan Allah swt. Boleh jadi di hadapan orang lain seseorang mengaku berpuasa, padahal di belakang, ia makan dan minum (tidak puasa). Oleh karena itu puasa memerlukan keikhlasan, puasa bukan karena malu sama orang, puasa bukan karena ingin dilihat orang lain, puasa bukan karena ingin dipuji orang lain, tetapi puasa semata-mata karena ketaatan kepada Allah swt. Untuk itu belajarlah menjadi orang ikhlas, karena dengan keikhlasan kita akan mampu menerima segala sesuatu dengan berlapang dada dan berjiwa besar. Wallahua’lam Bishawab.

  • Opini: Kesabaran Mengajarkan Kita dalam Menanggulangi Pandemi Covid-19

    Kesabaran Mengajarkan Kita dalam Menanggulangi Pandemi Covid-19
    Oleh: Dr. Agus Hermanto, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia dan dimuliakan oleh Allah swt., yang mana pada bulan ramadhan Allah swt., menguji keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Sehingga dikatakan dalam sabda rasulullah saw,
    الصوم على ثلاثة أوجه صوم الروح بقصر الأمل، وصوم العقل بخلاف الهوى، صوم النفس الإمساك عن الطعام والمحارم. (رواه البخاري)
    Puasa terbagi pada tiga macam, puasa ruh yaitu memendekkan harapan, puasa akal yaitu menahan hawa nafsu, puasa jiwa yaitu menjaga dari makanan dan sesuatu yang diharamkan (HR. Bukhari).
    Pada bulan ini juga Allah memberikan musibah kepada kita untuk menguji keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah, maka dalam hal ini Allah mengajarkan kepada kita untuk bersabar, karena sabar akan dapat menolong segala amal kita,
    الصبر يعين على كل عمل
    Sabar akan dapat menolong setiap pekerjaan.
    Dan sesungguhnya orang orang yang sabar adalah orang yang beruntung,
    من صبر ظفر
    Barang siapa yang bersabar maka beruntunglah ia.
    Allah swt., berfirman dalam surat al Baqarah ayat 153,
    ياايّها الذين آمنوا استعينوا بالصبر والصلاة إن الله مع الصابرين (البقرة :153)
    Hai orang orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang orang yang sabar (QS. Al baqarah: 153)
    Hal ini seirama dengan nasehat Ibnu Sinna,
    الوهم نصف الداء، والاطمئنان نصف الدواء ، والصبر بداية الشفاء
    Kecemasan setengah dari penyakit, ketenangan setengah dari obat, sabar awal mula kesehatan.
    Maka dalam hal ini Ali bin Abi Thalib ra., berkata yang dikutib dalam kitab Daqoiqul Akbar dalam bab tentang sabar,
    Sabar itu dibagi menjadi tiga, (الصبر على الطاعة) sabar dengan tetap bertaat kepada Allah swt., contohnya pada saat ini sedang diuji untuk berpuasa, yang merupakan perintah Allan, maka kita menjalaninya dengan khusuk dan ikhlas karena Allah swt., yang merupakan bentuk ketaqwaan kita kepada Allah (الصبر عن المعصية) sabar dalam menjaga diri dengan menghindari kemaksiatan, pada saat kita sedang puasa, maka kita berusaha untuk menjaga dari segala kemaksiatan, baik kemaksiatan telinga, mata maupun mulut, bahkan seseorang yang sudah bersuami istri dilarang berhubungan badan pada siang hari bulan ramadhan (الصبر على الصيبة) sabar dari segala musibah, ditengah tengah kita sedang diuji oleh Allah swt., yaitu menjalankan puasa, kita sedang mendapatkan musibah, yaitu adanya wabah corona.
    Maka dari pada itu, marilah sabar kita jadikan sebagai penolong kita, sehingga kita mendapatkan keteguhan iman, dan taqwa kepada Nya.
    وبالصبر واليقين تنال الأمانة في الدين
    Dan hanya dengan kesabaran dan keyakinan kepada Allah, akan dapat amanah dalam menjalankan agama.
    Karena sesungguhnya ujian dan musibah merupakan evaluasi untuk meneguhkan iman dan taqwa kepada Nya.
    وبالامتحان يكرم المرء أو يهان
    Dan dengan ujian, Allah akan menjadikan dirimu terhormat atau menjadikan dirimu terhina. Wallahualam.

  • Menjaga Keistimewaan Ramadhan

     

    Menjaga Keistimewaan Ramadhan
    Syeh Syarif Hudaiyatullah, MHI
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Alah swt., menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan shiyam dan malamnya qiyam, bulan mulia dan dimuliakan. Selain adanya perintah mulia di bulan Ramadhan, yaitu menjalankan ibadah, maka ada beberapa hal yang dilarang dan dihindari dalam kita menjalankan ibadah puasa, karena hal ini dapat merusah dan bahkan membatalkan puasa.

    Adapun hal-hal yang harus dihindari tersebut adalah;

    Pertama, Masuknya sesuatu (benda) ke dalam anggota tubuh yang berlubang. Yang dimaksud adalah bahwa puasa yang dijalankan seseorang akan batal ketika adanya benda (‘ain) yang masuk dalam salah satu lubang. Seperti halnya mulut, telinga, hidung. Mengobati dengan cara memasukkan benda (obat atau benda lain) pada salah satu dari dua jalan (qubul dan dubur). Misalnya pengobatan bagi orang yang sedang mengalami ambeien dan juga bagi orang yang sakit dengan memasang kateter urin, maka dua hal tersebut dapat membatalkan puasa.

    Kedua, Muntah dengan sengaja. Muntah yang disengaja adalah berbeda dengan muntah yang alami, jika seseorang muntah tanpa disengaja atau muntah secara alami, maka puasanya tetap dianggap sah selama tidak ada zat (muntah) yang tertelan. Tapi sebaliknya, jika awal mulanya muntah tersebut disengaja, maka menjadi batal hukumnya.

    Ketiga, Berjima’ pada siang hari bulan Ramadhan hal ini bahkan tidak hanya membatalkan puasanya, tetapi selain batal puasanya juga mendapatkan denda yang berat, yaitu dua bulan berturut-turut.

    Keempat, Junub atau keluarnya air mani (sperma). Misalnya, mani keluar akibat onani atau sebab bersentuhan dengan lawan jenis tanpa adanya hubungan seksual. Namun jika mani keluar dengan cara mimpi, maka tidaklah membatalkan, membatalkannya adalah ketika sebelum mimpi misalnya berusaha mengundang syahwatnya sehingga sampai terbawa mimpi.

    Kelima, Sedang haidh atau nifas, orang yang sedang haidh atau nifas ia harus megqadhanya di hari lain.

    Keenam, Gila (junun), yang dimaksud adalah ketia sedang berpuasa, tiba-tiba ia mengalami gila, maka secara otomatis puasanya menjadi batal.

    Ketujuh, Murtad atau ketika berpuasa tiba-tiba ia memeluk agama lain dan keluar dari agama Islam. Kalau seandaianya ia kembali kepada ajaran Islam, maka ia harus mengucapkan syahadat dan mengqadha puasanya.

    Demikianlah hal-hal yang membatalkan puasa, jika seorang yang sudah mukallaf menjalankan puasa, lantas terjadi pada salah satu delapan hal tersebut, maka puasanya menjadi batal. Semoga kita dapat terjaga dari hal-hal yang membatalkan tersebut, serta dapat mencapai ketaqwaan kepada Allah swt. Wallahu a’lam.

  • Opini: Keistimewaan Al-Qur’an

    Keistimewaan Al-Qur’an
    Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Pengurus MUI Provinsi Lampung
    Wakil Dekan 1 FS UIN Raden Intan Lampung

    Salah satu amalan Ramadhan yang disukai Allah dan Rasul-Nya adalah membaca al-Qur’an (tilawatil qur’an), sebab bukan saja karena al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadhan, tetapi al-Qur’an juga bisa menjadi penerang  dan obat hati, bahkan dapat mendatangkan pahala bagi yang membacanya. Lantas sudah berapa banyak ayat suci al-Qur’an yang kita baca, pahami dan amalkan,  serta apa keistimewaannya bagi kehidupan manusia?

    Dalam hal ini al-Qur’an adalah wahyu Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi umat manusia. Al-Qur’an juga merupakan sarana ibadah kepada Allah dan cahaya di bumi. Ingat hadis Rasulullah yang artinya “Hendaklah kalian membaca al-Qur’an, sebab ia merupakan cahaya di bumi dan simpanan di langit”. Oleh karena itu hendaklah kita selalu membaca al-Qur’an, apalagi memahami dan mengamalkannya, tentunya itu lebih utama.

    Adapun kedudukan dan fungsi  al-Qur’an adalah: Pertama, sebagai petunjuk bagi  seluruh umat manusia, ingat firman Allah yang artinya bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya al-Qur’an dimana ia sebagai petunjuk bagi manusia. Kedua, sebagai  pembeda antara yang hak dan yang batil. Ketiga, sebagai obat hati, sebab dengan membaca al-Qur’an, hati akan menjadi tenang dan tentram. Keempat, sebagai sumber hukum, ini artinya bahwa yang benar sudah jelas akan hukumnya dan yang salah juga sudah jelas akan hukumnya. Kelima, sebagai sumber ilmu pengetahuan, sebab semua ilmu pengetahuan hakekatnya selalu bersumber kepada al-Qur’an, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya, pertanian, kedokteran, saintek, dan lain sebagainya.

    Mengingat kedudukan dan fungsi al-Qur’an yang luar biasa, maka jangan pernah kita jauh dengan al-Qur’an, apalagi meninggalkan al-Qur’an. Tetapi kita harus selalu dekat dan berinteraksi dengan al-Qur’an. Ingat hadis Rasulullah saw yang artinya “Bacalah al-Qur’an, dan beramallah dengan al-Qur’an, dan jangan jauhi al-Qur’an”. Berdasarkan hadis ini jelas bahwa: Pertama: Kita senantiasa diperintahkan untuk selalu membaca al-Qur’an, sebab dengan membaca satu huruf saja dari al-Qur’an, kita akan mendapatkan sepuluh kebaikan dan satu kebaikan akan dilipatgandakan lagi menjadi sepuluh kebaikan, apalagi di bulan suci Ramadhan, tentunya akan lebih istemewa. Kedua, kita senantiasa diperintahkan untuk selalu berbuat, bersikap dan bertingkah laku berdasarkan al-Qur’an, sebab dengan selalu berpedoman kepada al-Qur’an, niscaya semua perbuatan, sikap dan tingkah laku kita akan terjaga, sehingga kita akan mendapatkan keselamatan. Ketiga, kita dilarang untuk jauh dengan al-Qur’an, sebab jauh dengan al-Qur’an kita dapat kehilangan akan keberkahannya, tetapi kita harus selalu dekat dengan al-Qur’an, sehingga kita akan mendapatkan akan nilai-nilai keistimewaannya.

    Dengan demikian jelas bahwa al-Qur’an memiliki keistimewaan yang luar biasa bagi kehidupan manusia, sehingga tidak heran kalau orang non Islam pun banyak yang mempelajari al-Qur’an. Untuk itu marilah kita selalu hidup bersama al-Qur’an, tentunya dengan senantiasa membaca, memahami dan mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita akan menjadi insan-insan qur’ani. Wallahu’alam Bishawab.

  • Opini: Ruqyah dan Obat Ditengah Pandemi Covid-19

    Ruqyah dan Obat Ditengah Pandemi Covid-19
    M. Luqmanul Hakim Habibie
    Mudir Rumah Tahfidzul Quran “Al Quds” Lampung

     

    Sebagaimana Allah Ciptakan Kejelekan, keburukan, wabah, virus dst. Allah swt pula lah yg menciptakan penangkalnya, antivirusnya, serta cara dan teknik menghindarinya. Sungguh dalam Islam al Quran dan Hadist Nabi Saw telah menyelesaikan RisalahNya untuk segala macam kbutuhan Umatnya. Sungguh tak pernah ada yg Batil (sia-sia) semua hal yg di ciptakan Allah Swt. Hal ini senada dengan Petikan Salah satu ayat dari surat Ali Imran “Rabbana ma khalaqta Hadza Batila”.

    Pandemi Covid 19 menjadikan semua manusia sadar tentang keterbatasan dan kekurangan sebagai makhluq, kembali mengingatkan tentang pentingnya sikap tawakkal dan ikhtiyar atas Qudrah dan IradahNya Allah Swt.

    Bagaimana peran Agama dalam Hal ini al Quran dan Hadist memberikan kontribusinya terhadap ikhtiyar dan tawakkal ditengah pandemi Covid 19 saat ini, baik dalam hal prefentif maupun Solutif?? Mengingat jumlah manusia yg semakin masif terpapar hingga 12ribuan Positif Covid.

    Jika Ada yg sudah terpapar covid 19 maupun yg tidak terpapar namun terdampak secara psikis, mental, ekonomi, dan sosial, Maka haruslah tetap tenang, dan terus sabar jangan mudah putus asa dan sedih. Krn Al Quran telah menyediakan Solusi Pencegahan dan pengobatan. Dijelaskan dalam Kitab Abwabul Faraj Karya al Habib As Sayyid muhammad Alawy al Hasani al Maliki al makki (seorang ulama Kontemporer dr Mekah al Mukarromah yg juga Dosen di Ummul Qurra Mekah ) hal. 42 bahwa “Ruqiyah menggunakan Huruf Mukjam al Quran adalah bagian dr kemukjizatan al Quran dan Kebenaran ajaran al Quran yg salah satu fungsinya sebagai Obat dan Kesehatan (keselamatan). Maka bacalah dan Minumlah air yg telah di bacakan dua ayat dr al Quran yaitu QS Ali imran : 154 dan QS Al Fath :29.. Tentunya dg niat Ikhlas krn Allah dan hnya berharap kepada Allah dan guna memperoleh kesehatan dan kesembuhan”..

    Dan Imam Asy Syafii rahimahullah pun memberikan metodologi Ruqyah atas segala macam penyakit. Maka bisa ditambah dg Bacaan wirid ini dan tempelkanlah tangan ke area yg sakit dg terus membaca dzikir ini. Maka yakinlah dg izin Allah Swt akan diangkat penyakitnya berikut rasa sakitnya pun hilang..

    بسم الله الرحمن الرحيم وبالله ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم
    اسكن ايها الوجع. سكنتك بالذى يمسك السماء ان تقع على الارض الا باذنه
    ان الله باالناس لرؤوف الرحيم..
    Artinya. Dengan menyebut Nama Allah swt yg maha pengasih lagi maha penyayang. Dan karena Allah Lah. Tdk ada daya upaya dan kekuatan kecuali krn Allah Swt dzat yg maha mulia dan Agung. Hilanglah wahai penyakit (rasa sakit). Aku hilangkan engkau penyakit dengan dzat yg telah meletakkan langit diatas bumi kecuali krn idzin dan ridha Nya. Sungguh Allah dzat yg maha Rauf dan penyayang..

    Dalam redaksi lain

    بسم الله الرحمن الرحيم وبالله ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم
    اسكن ايها الوجع. سكنتك بالذى يمسك السماء و الارض ان تزول .
    ان الله كان حليما غفورا ..

    Inilah amalan salafus shaleh dalam menanggulangi segala macam pandemi dan penyakit yg menjangikit.. beruntunglah orang yg telah beragama islam dan yakin terhadap risalah agamanya. Dan Hanya islamlah Agama yg telah menyediakan hal demikian untuk umatnya. Ini merupakan bukti kemukjizatan al Quran “min ajaibil Quran” dan keluhuran ajaran islam..

    Semoga kita mampu mengamalkannya. Jika Anda berkenan mengamalkan ini cukup katakan “Qabiltu” krn ijazah ini telah di ijazahkan oleh Mukjiz nya yaitu al Habib Sayyid Muhammad alawi al maliki al hasani al makki..

  • Opini: Ramadhan, Bulan Mulia dan Utama

    Ramadhan, Bulan Mulia dan Utama
    Oleh: Arif Fikri, SHI., M.Ag
    Pengurus MUI Kota Bandar Lampung
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Ramadhan adalah bulan yang mulia dan utama. Keutamaan bulan ramadhan ini disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada kaum muslim dalam banyak sekali hadis-hadis beliau. Di antara keutamaannya adalah bahwa siapa saja yang berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap ridha-Nya, maka akan diampunilah dosa yang telah lalu. Sabda Rasulullah SAW:

    مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

    “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni,”(HR. Bukhari, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

    Hadis ini menunjukkan bahwa ibadah puasa ramadhan yang benar adalah puasa yang dilandasi dengan iman dan ihtisab. Iman berarti membenarkan dan meyakini akan kewajiban ibadah puasa yang diperintahkan oleh Allah swt, serta meyakini pula akan pahala dan keutamaan yang akan diberikan atas pelaksanaan ibadah puasa tersebut.

    Kalau seseorang melandasi puasanya dengan keimanan, maka tentu hatinya tidak merasa berat dalam melaksanakannya, namun justru ia akan merasa senang dan bahagia dalam melaksanakannya. Hatinya tidak merasa sulit dan susah ketika menjalani ibadah puasa. Ia pun akan bersyukur atas nikmat puasa Ramadhan yang ia jalani, sehingga ia mengisinya dengan kebaikan-kabaikan dan ibadah-ibadah sunnah lainnya, seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, memperbanyak sedekah dan lain sebagainya.

    Sedangkan makna ihtisab adalah niat dan kesungguhan untuk meraih pahala puasa yang telah dijanjikan Allah SWT. Puasa tersebut hendaknya dilakukan dengan rasa ikhlas karena Allah SWT dan mengagungkan syari’at-Nya, bukan melakukannya atas dasar riya’ atau sombong, mencari pujian atau hanya sekedar mengikuti kebiasaan orang-orang di sekitar. Jika seorang Muslim berhasil melaksanakan ibadah puasa ramadhan dengan landasan iman dan ihtisab, maka ia akan menjadi orang yang berhak mendapatkan ampunan dari Allah SWT atas dosa-dosa yang telah ia lakukan dimasa lalu.

    Dalam hadis lain Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa di bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, sementara pintu surga dibuka lebar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

     إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ صُفَّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ ، وَفُتِحَتْ أَبُوَابُ الجَّنَةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ

    “Ketika masuk bulan Ramadlan maka syaitan-syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup,” (HR.  Bukhari dan Muslim).

    Setidaknya ada dua penjelasan, yang diajukan para ulama tentang makna hadis tersebut. Pertama, ulama memahami hadis tersebut secara literalis, atau sesuai bunyi teks haditsnya. Yaitu pintu surga dibuka dan setan dibelenggu dipahami dalam pengertian yang sebenarnya, sehingga intensitas setan dalam menggoda manusia berkurang pada bulan Ramadhan dibanding dengan bulan-bulan lainnya.

    Kedua, memahami secara majazi. Dalam konteks ini, dibukanya pintu-pintu surga dipahami bahwa Allah SWT membuka pintu-Nya dengan amal ibadah yang dapat mengantarkan hamba-Nya ke surga, seperti ibadah puasa, shalat tarawih, tadarus Al-Qur`an, sedekah dan lain sebagainya. Sehingga, jalan menuju surga di bulan Ramadhan lebih mudah dan amal ibadah yang dilaksanakan di bulan Ramadhan lebih cepat diterima. Begitu juga maksud ditutupnya pintu neraka, yaitu dengan memperbanyak ibadah di bulan ramadhan, maka akan mencegah dari kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan kepada neraka.

    Oleh karenanya, sungguh merugi orang yang bertemu bulan Ramadhan, tetapi ia tidak dapat mengisinya dengan kebaikan dan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Rasululllah SAW juga bersabda yang artinya “Sungguh rugi seseorang, ketika (Nama) ku disebut di sampingnya, tetapi dia tidak bershalawat atasku. Sungguh rugi seseorang yang bertemu dengan Ramadhan, lalu Ramadhan itu berlalu darinya sebelum dosa-dosa dirinya diampuni, dan sungguh rugi seseorang yang mendapati kedua orang tuanya dalam keadaan renta, tetapi keduanya tidak (menjadi sebab yang) memasukkannya ke dalam surga. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim).