Category: Opini

  •  4 (Empat) Persiapan dalam Menyambut Ramadhan

    Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.

    Dosen Fakultas Syaria’ah UIN Raden Intan dan

    Pengurus MUI Provinsi Lampung

     

    Sebentar  lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, tentunya sebagai umat Islam akan sangat bahagia dan bersuka cita manakala dapat dipertemukan kembali dengan bulan suci Ramadhan, sebab bulan suci Ramadhan bukan hanya bulan yang mulia, tetapi bulan suci Ramadhan juga memiliki banyak keistimewaan yang tidak dimiliki bulan-bulan lain, bahkan bulan suci Ramadhan merupakan ladang pahala bagi kita semua. Oleh karenanya sangatlah rugi manakala kita menyia-nyiakan bulan suci Ramadhan, apalagi melewatkannya begitu saja. Sebab belum tentu Ramadhan yang akan datang kita dapat dipertemukan kembali. Lantas, persiapan apa yang perlu dilakukan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan?

    Dalam hal ini ada 4 (empat) persiapan yang diperlukan dalam rangka menyambut/menyongsong bulan suci Ramadhan;

    Pertama, persiapan ruhiyah. Persiapan ini bisa dilakukan dengan cara membersihkan jiwa dan hati, di mana membersihkan jiwa dan hati bisa dilakukan dengan cara bertaubat kepada Allah swt dengan taubat nasuha, yaitu menyesali dengan sepenuh hati terhadap semua dosa dan kesalahan yang pernah kita lakukan, kemudian mengisi dan memperbaiki diri dengan berbagai amal kebaikan dan berjanji untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan lagi, serta berupaya untuk senantiasa menjalankan perintah-perintah Allah swt dan meninggalkan larangan-larangannya. Selain itu membersihkan jiwa dan hati juga dapat dilakukan dengan cara meminta maaf dengan sesama.

    Kedua, persiapan aqliyah. Persiapan ini bisa dilakukan dengan cara mempelajari dan memahami materi-materi puasa Ramadhan, baik yang berkaitan dengan makna dan hakekat puasa, dasar hukum puasa, tujuan puasa,  rukun dan syarat puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, hal-hal yang disunnahkan dalam puasa, hal-hal yang dapat mengurangi nilai-nilai puasa, serta manfaat dan hikmah puasa. Dengan memahami materi-materi puasa tersebut, insya Allah puasa kita akan menjadi sempurna.

    Ketiga, persiapan badaniyah.  Persiapan ini bisa dilakukan dengan cara menjaga akan kesehatan badan/fisik kita, tentunya dengan menjaga  pola hidup yang teratur, misalnya makan minum yang teratur,  olah raga yang cukup, istirahat yang cukup, dan lain sebagainya. Sehingga apabila badan/fisik kita dalam keadaan sehat, tentunya ibadah puasa kita akan menjadi khusu’ dan kuat.

    Keempat, Persiapan Maliyah. Persiapan ini bisa dilakukan dengan cara mempersiapkan bekal/harta yang cukup, baik dalam bentuk sembako maupun dalam bentuk uang, sehingga pada bulan Suci Ramadhan kita bisa  secara maksimal, fokus dan khusu’ dalam menjalankan serangkaian ibadah Ramadhan. Akhirnya, mudah-mudahan kita dapat  melakukan  4 (empat) persiapan tersebut secara matang, sehingga ibadah ramadhan kita tahun ini akan menjadi lebih sempurna. Wallahua’lam bishawab.

     

  • Opini: Menjadi Muslim yang Produktif

    Menjadi Muslim yang Produktif
    Nirwan Hamid, M.Pd.I
    Pengurus MUI Kota Bandar Lampung
    Sekretaris MWC NU Tanjung Senang

    Sebagai agama rahmatan lil alamin, Islam tidak hanya ‘mengatur’ manusia tentang bagaimana cara beribadah dan berhubungan dengan sesama. Lebih dari itu, islam juga mengajarkan manusia untuk bisa melewati waktu demi waktu agar bisa diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat.

    Definisi kata “bermanfaat/produktif” sendiri menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah menjadi sesuatu yang berguna, berfaedah dan memberikan keuntungan. Menjadi pribadi yang bermanfaat dalam kaitannya sebagai makhluk Allah , dan menjadi makhluk yang memberikan guna, faedah dan keuntungan bagi sesama dan lingkungannya yang semata-mata diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah Swt.

    Islam memberikan aturan sebagai pegangan dalam segala aspek kehidupan manusia, mengutamakan nilai-nilai produktivitas secara sempurna. Produktivitas inilah yang dimaksudkan sebagai kebermanfaatan. Produktif dalam menghasilkan sebuah karya ataupun produktif dalam menghasilkan peningkatan serta perbaikan diri dan masyarakat. Oleh karena itu, produktivitas di sini didefinisikan sebagai semua hal yang mengandung nilai-nilai kebaikan (khairiyyah).

    Kemauan dan niat karena Allah  menjadi modal dasar bagi kita untuk berupaya menjadi muslim yang produktif. Apapun kondisi kita, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada kita, kita tetap bisa berkontribusi dan memberi manfaat yang lebih besar. Kuncinya terletak pada pertanyaan: apakah kita mau menjadi pribadi yang bermanfaat?

    Kemudian, setelah memiliki modal kemauan dan niat yang ikhlas karena Allah , maka segeralah merealisasikan tujuan tadi. Contoh paling sederhananya adalah dengan membagikan atau memberikan kesempatan pada orang lain agar mereka terbiasa  membaca.

    Ketika kemauan, niat dan keinginan tersebut mulai terwujud, maka kita jadikan kebermanfaatan tadi sebagai gaya hidup para pembaca. Tentu ketika produktivitas menjadi gaya hidup maka semuanya akan terasa semakin ringan dan berkah.

    Allah Swt berfirman tentang manusia yang tidak punya apa-apa.

    وَاللهُ اَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ اُمَّهَتُكُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَرَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

    Artinya: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadan tidak mengetahui apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.

    ( QS. An-Nahl: 78)

    Firman Allah tersebut diatas menunjukkan akan lemat dan ketidakberdayanya anak manusia yang baru lahir, kemudian untuk mendukung dinamika kehidupannya, Allah Swt memberikan modal potensi yang sangat penting bagi perjalanan kehidupannya di alam semesta. Modal potensi itu adalah pendengaran, penglihata dan hati, agar manusia bersyukur dengan menggunakan modal tersebut sebagai alat dan sarana dalam menjalani dinamika kehidupan untuk menghasilakn berbagai hal yang membawa manfaat dan kemaslahatan bagi kehidupan dari generasi mendatang hingga akhir zaman. Firman Allah tersebut diatas mendorong dan memotivasi agar dalam menjalani kehdiupan ini selalu melakukan berbagai upaya secara terus menerus dengan meneliti, mencoba dan mencari terobosan sehingga mampu produktif dalam berbagai aspek kehidupan, baik pribadi maupun sebagai bagian dari komunitas masyarakat agar menajadi kehidupan yang maslahah.

    Agar menjadi seorang muslim yang produktif maka ada beberapa hal yang harus di siapkan diantaranya adalah:

    1. Mengamati, meneliti dan mencoba secara terus menerus. Karena segala ciptaan dan kejadian di alam semesta ini tidak ada yang sia-sia. Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 191:

    الّذِيْنَ يَذْ كُرُوْنَ اللهَ قِيَمًا وَقُعُوْدًا وَعَلىَ جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فَى خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّناَ مَاخَلَقْتَ هَذاَ بَاطِلاُ سُبْحَنَك َفَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

    Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka meikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api nerakat.” (QS. Ali Imran: 191)

    1. Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang dapat memacu kreativitas dan pengembangan menuju perbaikan kualitas, ketahanan, dan kekuatan fisik dan mental. Ini merupakan sebuah pemberian dari Allah Swt dimana sektor pendidikan dapat menjadi manusia yang hampir sempurna karena berjalan di atas rool model dimana ketika pendidikan seseorang semakin tinggi maka akan semakin terhormat dan semakin tinggi ilmu yang ia peroleh. Firman Allah Swt dalam surat Al- Mujadalah ayat 11.

    يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْمِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَتٌ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

                Artinya: …niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al- Mujadalah: 11)

    1. Menciptakan terobosan-terobosan dengan pelatihan di berbagai aspek kehidupan yang mampu menghasilkan nilai tambah yang memiliki cakupan yang luas manfaat dan maslahattnya.
    2. Segala usaha dan upaya yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama. Jika sampai terjadi, maka usaha dan upaya yang dilakukan tidak akan membawa manfaat dan maslahat. Firman Allah Swt.

    وَلَقَدْ كَتَبْنَا فَىِ الزَّبُوْرِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْأرْضَ يَرِثُهَا عَبَادِيَ الصَّالِحُوْنَ

    Artinya: “ dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhil Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamban-Ku yang saleh.” (QS. Al- Anbiya: 105)

    1. Jadikan produktifias sebagai gaya hidup

    Jika produktifitas atau memberikan manfaat kepada orang lain telah menjadi sahabat dekat bahkan telah menjadi life skill (gaya hidup), maka kita sudah dapat dipastikan bisa menjadi insan yang aktif dalam memberikan manfaat bagi orang lain. Sifat inilah yang kadang dilupakan banyak orang, banyak orang yang hanya mendefinisikan bahwa melakukan kebaikan hanya dengan membantu orang lain saja. Namun itu belum menjadi kepribadian, baru sebatas mau melakukan kebaikan saja. Ingat, sebuah tindakan akan menjadi sebuah akhlak (gaya hidup) saat kita sudah melakukannya dengan biasa tanpa terlalu banyak berpikir panjang.

    kita suka memberi? Itu belum tentu merupakan wujud dari kepribadian kita. Namun jika kita sudah terbiasa memberi dan bahkan menjadi Akhlak serta gaya hidup kita, maka itulah salah satu wujud dari kepribadian kita yang patut untuk dipertahankan.

    Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit thoriq

  • Opini: Manajemen Diri dan Produktifitas Kerja

    Manajemen Diri dan Produktifitas Kerja

    Oleh : Harto Wibowo

    Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

    Keteraturan dalam mengarungi kehidupan adalah bagian dari ajaran Islam yang seyogyanya disadari bagi seluruh umat manusia tanpa kecuali, kita adalah bagian dari umat manusia itu yang wajib menjalankannya. Alam dan seisinya yang diciptakan Allah SWT adalah bentuk salah satu keteraturan yang sehingganya antara satu dengan yang lainya selalu dalam keadaan harmonis, sebagaimana firman Allah SWT;

    Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. (QS; ar-Ra’d : 2)

    Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS; ar-Ra’d : 4)

    Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS; Yunus : 5)

    [669] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.

    Demikian Allah SWT Berfirman dalam keterangan di atas yang sesungguhnya kita wajib memahami, betapa keserasian yang membuat alam sehingganya seimbang antara satu dengan lainya, “…… Dia menacapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl : 15) coba kita bayangkan seandainya Allah SWT Sang Maha Pengatur serta Perkasa (Yaa Aziz) dan dengan segala sifat-Nya, tidak mengatur kehidupan alam dengan segala isinya seperti dikatakan dalam Qur’an Surat an-Nahl : 15 “…gunung-gunung di tancapkan, …. Yang mengisaratkan bahwa kesimbangan alam ini diantaranya Allah SWT menciptakan gunung-gunung dan lautan, selain juga seluruh alam jagat raya dan seisinya termasuk atom-atom serta virus yang tidak terlihat kasat mata, merupakan ciptaan Allah SWT yang kesemuanya itu bertasbih semata-mata karena tunduk dan patuh hanya kepada Sang Maha Pencipta.

    Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS; 2 : 29)

    Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS; Al-Israa : 44)

    Perlu kita ketahui bahwa dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapih, benar, tertib, dan teratur (manajemen) Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik sehingganya hidup dalam keteraturan akan menjamin bagi umatNya sukses dunia dan sukses diakherat. Sesuatu tidak boleh asal-asalan atau sekedar-sekedar tapi harus dilakukan dengan iklas dan diniatkan semata-semata mohon ke-Ridhoaan Allah SWT. Hal ini merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam. “Rasulullah SAW, bersabda dalam sebuah hadits yang diriwatkan Imam Thabrani, “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas).” (HR Thabrani)

    Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, dari bangun tidur sampai kita akan tidur kembali, banyak yang kita harus lakukan ingat bukan sekedar-sekedar tapi diniatkan dengan iklas untuk selalu menyebut asma Allah, rutinitas keseharian yang selalu ada silih berganti siang dan malam pada setiap keadaan, membuat kita terkadang lupa bahwa kita hidup tidak melulu tersibukan dengan urusan dunia tapi disamping itu kewajiban kita selaku hamba Allah SWT harus tetap konsisten (Qonaah) menjalankan syariat-syariatnya agar hidup bisa lebih bermakna. Bermakna yang dimasud bahwa bagi orang-orang yang berakal tentunya tidak menyia-yiakan karena hidup cuma sekali di dunia ini. Itu artinya seberapa pentingkah kita diperlukan oleh orang-orang disekitar kita sehingga hidup cuma sekali ini tidak sia-sia,

    Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang

    terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS; 3 : 190)

    Seiring dengan seberapa jauh kita bisa memenej diri (manajemen diri) seberapa pentingkah hidup ini untuk orang lain, itu artinya hidup tidak melulu mementingkan diri sendiri tapi juga untuk orang lain agar hidup lebih bermakna, yang ditandai dengan seberapa cerdaskah kita bisa mengatur diri agar aktifitas kerja (produktifitas kerja) baik kerja formal dan non formal bisa lebih efektif dan efisien  sangat ditentukan seberapa jauh kita pandai mengatur waktu, kita semua  sama dikasih waktu oleh Allah SWT, yakni dari pagi sampai sore dan kepagi lagi selama 24 jam, dengan ilustrasi sebagai berikut; katakanlah untuk ibadah wajib sholat 5 waktu kita perlu waktu 5 jam, 5 jam ini sudah titambah zikir dan ibadah sunnah lainya sehingga yang tersisa 19 jam, kemudian untuk istirahat (tidur dll) 8 jam sehingga tersisa 11 jam, nah waktu yang ada di luar sholat wajib dan sunnah serta istirahat (tidur) tinggal 11 jam, itu artinya antara sholat wajib dan ibadah sunnah belum seimbang yakni masih banyak istirahat-nya (tidur) dari pada ibadahnya. Pertaanyaannya bagaimna dengan waktu yang tersisa 11 jam itu ?…. Sehingganya Allah SWT berfirman;

    1. Demi masa.
    2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
    3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.( QS; Al-Ashr 1-3)

    Dengan merujuk kepada surat Al-Ashr di atas seyognya kita semua diberi teguran oleh Allah SWT, bahwa “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal dan nasehat manasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”

    Dengan waktu yang tersisa 11 jam seperti yang telah di-ilustrasikan diatas, persoalan berikutnya apakah kita banyak berbuat amal kebaikan atau berbuat dosa tinggal tergantung kita masing-masing, inilah yang dimaksud bagaimana kita bisa menejemen diri sehingga produktifitas kerja tidak sia-sia. Yang perlu kita ingat masing-masing bahwa kita semua akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, apa saja yang telah diperbuat waktu kita hidup didunia yang fana ini.

    Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS; 23 : 115)

    Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (QS; 75 : 36)

    Hakikat Umur

    Karena kita semua tidak tahu kapan kita akan dipanggil Allah SWT, seyogyanya hidup ini tetap dalam kesadaran berbuat baik, sehingga apa yang dikatan orang bijak bahwa hidup adalah pilihan menjadi keniscayaan, bahwa kita harus bisa memilih. Sebagaimana ilustrasi di bawah ini;

    “Sekarang aku bisa merasakan aku memegang kendali atas perasaanku. Bila aku bisa meras tidak tenang, tentu saja aku juga bisa memilih untuk merasa tenang. Sekarang aku membayangkan dan merasakan memori-memori terbaik yang membahagianku,….. Bila aku pernah bahagia, aku bisa bahagia lagi. Sekarang aku menguasai perasaanku seutuhnya demi kebahagian dan kesuksesanku”.(dedy susanto)

    Bahagia adalah kondisi menerima kenyataan dan mensyukurinya sebagai proses pendewasaan

    Al Hasan Al Bashri berkata, “Wahai anak adam, engkau berada di antara dua sisi. Bahaya pagi dan siang tidak akan hilang hingga engkau mendatangi akhirat, bisa saja menuju surga, dan bisa saja menuju neraka. Maka manakah yang lebih berbahaya bagimu?!”

    Yang perlu kita sadari dari kehidupan ini ialah, baik atau buruknya prilaku pada setiap individu sangat tergantung pada bagaimana kita bisa memelihara keberlangsungan hidup dengan baik terhadap individu lainya (social) lainya adalah sejauh mana hubungan kita terhadap Allah SWT (HambluminauAllah), yang berarti hak-hak Allah SWT dan kewajiban kita selaku hambanya harus dipenuhi dengan sangat baik dalam artian segala syariat-syariat yang telah di contohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW dipraktekkan;

    Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS; 33 : 21)

    Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.( QS; 68 : 4)

    Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS; 9 : 128)

    Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS; 59 : 7)

    Kualitas manusia atau tumbuhan setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia di dunia, ditentukan sejak mulai berada dalam perut ibunya. Si calon ibu ini memakan makanan yang bergizi agar kelak bayinya sehat. Kemudian bayi tersebut diberinya makanan yang baik. Selanjutnya, anak ini dilengkapi dengan gizi dan bekal pendidikan yang cukup. Disekolahkan yang tinggi, sehingga pada akhirnya ia menjadi orang. Tidak cukup hanya seseorang menjalani proses seperti diatas lalu bisa dikatakan sukses, ternyata masih banyak lagi yang kita perbuat, sehingga apa yang dikatakan hidup adalah pilihan merupakan keniscayaan sebagaimana Allah SWT berfirman;

    Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS; 13 : 11)

    ———————————————————————————————————————————————[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.

    [768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

    Berikut kata-kata bijak yang disampaikan oleh Dedy Susanto;

    “Dalam hidup selalu ada pergantian, dari sedih ke bahagia, dari bahagia kembali sedih, lalu bahagia lagi. Ikhlaskan menjalaninya”.

    Bersyukur untuk hari ini. Bersyukur untuk napas hidup yang masih tersambung. Bersyukur,… bersyukur, …. bersyukur

    Hidup mustahil tidak berkonflik dengan orang lain karena ada perbedaan kepribadian. Dengan diri sendiri saja sering ada konflik batin

    Kata bijak yang disampaikan diatas merupakan bagian motivasi kita untuk tetap semangat dalam mengarungi hidup yang fana ini. Agar hidup lebih bermakna serta membawa keberkahan seyogyanya kita memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an dan kata-kata bijak di atas.

    Berikutnya terlepas kegiatan keduniaan rutinitas keseharian yang kita lakukan, jangan lupa bahwa kita di tuntut untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang di syariatkan dalam agama Islam (Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW)

    Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

    “bersegerahlah kamu mencari rezeki, dan berusahalah mencari keperluan hidup, maka sesungguhnya berpagi-pagi mencari rezeki itu adalah berkat dan keberuntungan” Riwayat Ibu ‘Ady dari Aisyah

    Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS; 9 : 105)

    Segungguhnya hari kiamat itu akan datang aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS; 20 : 15)

    Banyak hikmah yang didapat dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini akan silih berganti mari kita semua menuju kepribadi-pribadi yang baru, banyak berkarya sebanyak-banyaknya dan beribadah lebih khusyu lagi serta beramal lebih ikhlas lagi, sehingga kita bukan termasuk manusia yang merugi. Wallahualam

     

  • Menag Yaqut Cholil Apresiasi Kepedulian Gubernur Arinal pada Pengembangan SDM Unggul di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri

    Bandar Lampung: Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengapresiasi Gubernur Lampung Arinal Djunaidi karena terus memberikan perhatian pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Provinsi Lampung. Salah satunya dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang unggul di PTKIN.

    Hal itu disampaikan Menag Yaqut saat acara peluncuran Seleksi Prestasi Akademik Nasional dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SPAN-UM PTKIN) Tahun 2021 di Kampus UIN Raden Intan Lampung, Kamis (14/1/2021).

    “Alhamdulillah saya mendapatkan informasi Bapak Gubernur ini banyak sekali membantu kegiatan-kegiatan PTKIN,” ujar Menag Yaqut.

    Yaqut mengatakan selain itu, dirinya menilai bahwa Gubernur Lampung juga memberikan perhatian kepada kegiatan-kegiatan di lingkungan Kementerian Agama.

    “Bapak Gubernur ini bukan dari PTKIN tetapi memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk PTKIN termasuk juga kegiatan di lingkungan Kementerian Agama,” katanya.

    Menurutnya, para lulusan PTKIN juga harus ikut ambil bagian dalam berperan memberikan sumbangsihnya kepada PTKIN.

    “Saya kira Pak Gubernur harus menjadi inspirasi untuk PTKIN,” ujarnya.

    Pada kesempatan itu, Yaqut mendorong agar PTKIN harus hadir dengan memiliki kualitas dan mutu yang bisa dibanggakan dan diharapkan kehadirannya oleh calon-calon mahasiswa.

    “Bagaimana agar kualitas ini bisa kita tingkatkan, sehingga anak-anak yang masuk PTKIN ini karena memang PTKIN layak untuk dijadikan pilihan oleh anak-anak kita,” katanya.

    Ia menjelaskan nilai-nilai islam yang melekat dalam nama PTKIN juga harus menjadikan islam sebagai inspirasi terutama bagi para mahasiswa.

    Hal ini dilakukan agar nilai-nilai islam dalam PTKIN bisa tersampaikan didalam pola ajar maupun pola pengelolaan yang kemudian dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

    “Saya tidak ingin lulusan PTKIN dimana menjadikan islam sebagai nama didalam perguruan tinggi kemudian terjerat kasus-kasus yang sama sekali tidak islami misalnya korupsi. Kita semua harus menjadikan agama sebagai inspirasi,” ujarnya.

    Menurut Menag, jika ini dilakukan akan mampu menghindarkan diri dari segala prilaku yang merugikan.

    “Kalau kita jadikan segala prilaku kita ini kita inspirasikan dengan agama, saya yakin prilaku yang merugikan bangsa dan negara kita akan menghindari itu jauh-jauh,” katanya.

    Sementara itu, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mengatakan Pemerintah Provinsi Lampung juga terus membangun sinergi dengan lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan tinggi.

    Menurutnya, Lampung juga saat ini sudah menjadi destinasi pendidikan. “Hal ini terus kami dorong dan kembangkan guna tercapainya SDM Indonesia yang unggul,” ujar Gubernur Arinal.

    Ia menjelaskan peran serta Perguruan Tinggi juga dinilai sangat strategis didalam mendorong percepatan pembangunan masyarakat dengan meningkatkan SDM yang berkualitas dan siap bersaing.

    “Dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam juga harus semakin meningkat agar kualitas pengajaran dan mutu lulusan dapat terus dikembangkan,” katanya.

    Arinal berharap agar PTKIN dapat menjadi garda terdepan menjadikan Indonesia mencetak generasi yang berdaya saing.

    “Semoga PTKIN dapat menjadi garda terdepan menjadikan Indonesia menghasilkan generasi yang bertaqwa pada Allah SWT, cinta tanah air dan memiliki daya saing,” katanya.(Andira Putri Isnaini)

  • Opini: Prinsip-Prinsip Syari’ah

    Prinsip-Prinsip Syari’ah

    Dr. Agus Hermanto, MHI

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Adapun prinsip-prinsip moderasi sebagaimana firman Allah swt., wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan (QS. al-Baqorah ayat 143), adalah sebagaimana berikut;  Pertama, Tawasut (mengambil jalan tengah, Kedua, Tawazun (keseimbangan), Ketiga, I’tidal (lurus dan tegas), Keempat, Tasamuh (toleransi), Kelima, Musawah (egaliter), Keenam,  Syura (musyawarah), Ketujuh, Islah (reformasi), Kedelapan, Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), Kesembilan Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), Kesepuluh, Tahadhur (berkeadaban).

    1. Tawassuth (Tidak Berlebihan)

    Tawassut yang berarti pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrat (berlebihan dalam beragama) dan tidak tafrit (mengurangi ajaran agama). Merupakan sikap berharga yang sudah diajarkan al-Qur’an dan dipraktekkan oleh rasulullah saw., agar umatnya bisa menjadi umat yang terbaik, sebagaimana firman Allah swt., dalam surat Ali Imran ayat 110.

    Rasulullah saw., bersabda sebagaiaman yang disebutkan dalam beberapa hadist diantaranya, yaitu:

    خَيْرُ الأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا

    “Sebaik-baiknya perkara adalah pertengahannya”

    Di samping itu, Rasulullah saw., juga mengingatkan  umatnya untuk menhindari  hal-hal yang melampaui batas sebagaimana yang telah dilakukan  oleh umat-umat terdahulu yang mengakibatkan bencana dan adzab menimpa mereka. Sikap melampaui batas yang bisa menjadi ibrah dari umat terdahulu melipuiti berbagai bidang;

    Pertama, di bidang teknologi sebagaimana kaumnya Nabi  Nuh as., yag dikenal dengan banu Rasib yang mana pada mulanya mereka memiliki iman kepada Allah swt., namun kemudian bergeser menjadi penyembah selain Allah swt., yaitu berhala Wudd, Suwaa, Yaqhuth, Ya’qub dan Nasr. Akibat dari perbuatan mereka diadjab melalui banjir bandang.

    Kedua, dibidang munakahat, seperti halnya kaum Luth as.,  yang dikenal dengan perbuatan homoseksual, padahal Nabi Lut telah memperingatkanakibat yang akan diterima umatnya  atas perbuatan tersebut. Kemungkaran tersebut kemudian dibalas dengan  adzab berupa hujan batu,  gempa bumi, angina kencang yang menyebutkan mereka binasa.

    Ketiga, dibidang perekonomian, seperti halnya kaum Madyan yang terkenal dengan perbuatan curang dan penuupuan disaat terjadi transsaksi jual beli. Berulang kali Nabi Syu’aib memperingatkan, tapi terus diabaikan sesingga mereka mendapatkan adzab dari Allah berupa hawa panas yang membinasakan mereka.

    Keempat, dibidang kekuasaan, seperti halnya raja Fir’aun yang telah mengaku dirinya sebagai Tuhan, dan teah diingatkan oleh Nabi Musa as., akan tetapi tetap saja, yaitu mengikuti hawa nafsunya dan menindas kaum Israil membunuh anak-anak bayi laki-laki dan seterusnya, sehingga ia dan bala tentaranya ditenggelamkan dalam lautan.

    1. Tawazun yaitu keseimbangan,

    Tawazun yaitu pemahaman dan pengamalan agamanya dilaksanakan secara seimbang dan meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi tegas dalam menyatakan prinsip dan dapat membedakan antara penyimpangan dan perbedaan.Tujuannya adalah untuk mampu merealisasikan sikap seimbang, tentu harus diawali dengan keseimbangan dalam melihat beberapa objek kajian.

    Dalam al-Qur’an ada beberapa definisi makna tawazun, dalam (surat al-Kahfi: 18:105). Mawazinuh, dalam (surat al-A’raf:7:8) dan (surat al-Qori’ah: 101:6-8), al-waznu dan al-mizan, (surat al-Rahman: 55:7-9) Mauzun (surat al-Hijr:15:19 dan al-mizan (surat al-An’am: 6: 152), (surat al-Hud: 11: 84), (surat al-Syura: 42: 17) dan al-Hadid: 57: 25).

    Keseimbangan atau tawazun menunjukkan sikap moderasisikap tengah ini tidak cenderung ke kanan dank e kiri, yang merupakan bentuk keadilan, kebersamaan kemanusiaan, namun juga bukan berarti tidak memiliki pendapat. Sikap tegas yang bukan berarti sikap keras apalagi ekstrim. Sebuah sikap yang dalam melakukan sesuai kebutuhan atau secukupnya, tidak ekstrim, tidak liberal dan tidak berlebih-lebihan. Baik keseimbangan antara hubungan kepada Allah dan sesame manusia itulah kebutuhan duniawi dan ukhrawi.

    Tawazun berasal dari kata tawazana, yatawazanu, tawazunan, berarti seimbang atau memberikan sesuatu atas haknya tanpa ada penambahan dan apalagi pengurangan, dalam hal ini disebut sunah kauniyah, sebagaimana firman Allah swt., dalam (surat al-Infithar:82:6-7) dan (surat al-Rahman:55: 7). Dalam hal fitrah insaniyah, sebagaimana firman Allah (surat al-Mulk:67:3). Keseimbangan juga sesuai dengan forsinya, sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam hadisnya yang tidak berlebihan dalam makan, berpuasa dan lainnya (HR. Bukhari Muslim). Keseimbangan merupakan bentuk perwujudan dari Islam yang sempurna.

    1. I’tidal (menempatkan sesuatu pada tempatnya)

    I’tidal adalah menempatkan pada tempatnya, melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan propoionalnya, prinsip tersebutlah yang dianut oleh ahlussunah wal Jama’ah, dalam rangka menjaga nilai-nilai keadilan dan sikap lurus, serta menjauhkan dari segala sikap ekstrim. Sebagaiaman dijelaskan dalam surat al-Ma’idah ayat 8, surat al-Hadid ayat 25.

    1. Tasamuh yaitu toleransi.

    Mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah alaal-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan menerapkan hal-halbaru yang lebih relevan);

    Tasamuh, sering diterjemahkan dengan istilah toleransi, Hasyaim Muzadi mendefinisikan toleransi menjadi dua macam, yaitu toleransi secara teologis dan toleransi secara sosiologis. Dalam teologis, toleransi dibagi pada dua hal, yaitu internal dan eksternal, internal yaitu sebagaimana prinsip lana a’maluna w alakum a’malukum, (QS. al-Qasas ayat 55, bagi kami amalan kami bagi kalian amalan kalian. Sedangkan secara eksternal adalah sebagaiaman dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 256; “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam” namun demikian, allah juga berfirman dalam surat al-Qasas ayat 56.

    Sedangkan toleransi secara sosiologis, sikap menerima pendapat orang lain, tetap berbuat baik secara muamalah, namun juga tetap menjaga prinsip sendiri.dengan cara demikianlah Islam dapat diterima oleh segala kultur. Sebagaimana nabi Muhammad saw., yang hidup di madinah yang bertemu dengan banyaknya golongan, namun Islam tetap dapat diterima.

    Selain itu, melalui pembagian demikian, bisa semakin mengantarkan seseorang untuk dapat menyadaribahwa betapa pentingnya menerima nasihat yang datang dari orang lain dan tidak selalu menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar. Sebagaiaman dijelaskan dam suatu kaidah (la yaqbalul khata’a min nafsihi wala yaqbalul shawaba min ghairihi. (tidak menerima kesalahan yang mencul dari dirinya sendiri dan tidak mau menerima kebenaran yang datang dari orang lain”.

    Hal ini bersumber dari sabda Rasulullah saw., (innama bu’istu bil hanifati samhah), “aku diutus untuk membawa agama yang lurus (toleran.melalui hadis inilah islam dapat diterima oleh semua kalangan baik suku yang berbeda maupun kultur yang berbeda-beda.

    Konsep keadilan, keseimbangan dan tasamuh adalah faham ahlussunah wal jama’ah (aswaja). Pemikiran ini sejatinya telah dirumuskan oleh Imam al-Hasan As’yari (w. 260H/873M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 324H/935M) di bidang aqidah dan mengikuti salah satu madzhab empat (Imam Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Hanbali).dalam bidang syari’ah dan dalam bidang tasawuf mengikuti al-Ghazali dan Junaidi al-Baghdadi. Adapun prinsip aswaja adalah dapat beradaptasi satu sama lainnya dalam berdakwah, tidak jumud, tidak kaku dan tidak ekslusif maupun elastis apalagi ekstrim.

    Sebuah kerangka pemikiran yang menghantarkan pada keadilan (adalah), keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tawazun), dapat menghantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri atupun ke kanan. Maka aswaja adalah orang yang mempunyai paham keagamaan dalam seluruh sector kehidupan yang dibangun di atas prinsip moderasi keseimbangan, keadilan dan toleransi.

    Ada tiha prinsip toleransi, yaitu; Pertama, tidak keluar dari batas syari’ah, Kedua, tidak memonopoli kebenaran, dan Ketiga, toleransi hanya dalam hal-hal yang bersifat dhanni.

    1. Musawah (egaliter)

    Musawah, artinya tidak membeda-bedakan karena factor kultur, budaya, hal ini sebagaimana dipaparkan oleh firman Allah swt., dalam surat alHujarat ayat 13.

    1. Syura (musyawarah)

    Syura adalah musyawarah yaitu suatu jalan untuk mencapai mufakat dengan cara demokrasi. Mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai kesepakatan.

    1. Islah (reformasi),

    Sebagaimana dalam suatu kaidah (al-muhafadzatu ‘ala qadimi shalih wal akhdu bil jadiidil ashlah) menjaga yang lama yang masih baik dan memperbaikinya dengan hal yang lebih baik.

    1. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas)

    Aulawiyah, artinya mendahulukan hal yang lebih baik daripada perkara yang belum begitu urgen, sebagaimana dalam suatu kaidah (al-musbatu muqaddamun ‘alaa al-nafi), Sesuatu yang telah ditetapkan (nash0 haruslah diutamakan daripada hal yang dinasfikannya. Hal ini juga sebagaimana dalam suatu kaidah (dar’ul mafasidi muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih), membuang kemaslahatan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan. kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan daripada yang rendah.

    1. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif)

    Selalu terbuka terhadap hal-hal yang baru, selama di batas-batas yang tidak bertentangan dengan hukum syara’, yaitu suatu perkembangan zaman selama membawa kemaslahatan bagi manusia.

    1. Tahadhur (berkeadaban)

    Menjunjung tinggi nilai-nilai akhlakul krimah, karakter, identitas dan integritas sebagai khairul ummat dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.

    Lawan dari konsep moderasi (wasathiyah) adalah ekstrim. Ekstrim sendiri berasal dari bahasa Inggris extreme, yang berarti perbedaan yang besar, yang dimaksud ekstrim adalah dalam bahasa Arab sering disebut ghuluw, yaitu berlebihan, bisa berlebihan dalam kebenaran atau berlebihan dalam kebutukan, dan kadang disebut tasydid, yaitu keras, keras dalam arti menyikapi perkara dengan cara yang keras tanpa mau bertoleransi, sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Nisa’: 4:171). Ayat ini terlalu berlebihan dalam menyikapi Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan dari Maryam (surat al-Taubah: 9:31), dan (surat Ma’idah: 5: 72).  Begitu juga tentang keyakinan terhadap Tuhan, sebagaimana dijelaskan (surat al-Maidah: 5: 73). Dalam firman lain juga (surat al-Ma’idah: 5: 77). Ayat di atas menjelaskan al-ghuluw menyangkut tentang aqidah/keyakinan. Term Yahudi dan Nasrani. Yahudi adalah yang tetap berpegang teguh pada  kitab taurat, sedangkan Isa adalah yang beranggapan bahwa Isa adalah anak Tuhan.

    Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan menemukan momentumnya.

    Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.

    Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.

    Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.

    Retaknya hubungan antarpemeluk agama di Indonesia saat ini, menurut Nafik Muthohirin (Sindo: 7 Mei 2018), dilatarbelakangi paling tidak oleh dua faktor dominan: pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu.

    Kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran. Populisme agama itu muncul akibat cara pandang yang sempit terhadap agama, sehingga merasa paling benar dan tidak bisa menerima ada pendapat yang berbeda. Wallahu A’lam

  • Opini: Moderasi dalam Islam

    Moderasi dalam Islam

    Dr. Agus Hermanto, MHI

    Komisi Dakwah MUI Lampung

    Moderasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yaitu (moderation), yang berarti sikap sedang atau tidak berlebihan, sehingga ketika ada ungkapan “orang itu bersikap moderat” berarti ia tidak berlebih-lebihan, bersikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrim. Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Misry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:

    وَسَطُ الشَّيئِ مَابَيْنَ طَرْفَيْهِ

    “Sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi.

    Banyak pendapat ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu asyur al-Afghany, Wahbah Zuhaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan sebagainya. Sebagai rincian berikut, menurut Ibnu asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Menurut al-Afghani, kata wasath berarti berada di tengah-tengah antara dua batas (sawa’un) atau berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrat) dan ekstrim (tafrit). 

    Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau (markazu al-daairah), kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat/perbuatan terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan diantara dua ujung. “Demikianlah kami menjadikan kalian sebagai umat di pertengahan artinya dan demikanlah kami beri hidayat kepada kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu agama Islam. kami memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as., dan kami memilihnya untuk kalian, kami menjadikan muslimin sebagai umat yang terbaik, adil, pilihan umat-umat, pertengahan pada setiap hal tidak ifrat dan tafrit dalam urusan agama dan dunia. Tidak melampaui batas (ghuluww) dalam melaksanakan agama dan tidak seenaknya sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.

    Al-Tahabari memiliki kecenderungan yang sangat unik yaitu dalam memberikan makna sering kali berlandaskan riwayat. Terdapat 132 kata yang menunjukkan kata wasath, bermakna al-adil, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan. Di antara redaksi riwayat yang dimaksud:

    عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَالَ: عُدُوْلاً

    “Dari abi Shalih, Abi Sa’id, dari Nabi saw., bersabda: “Dan demikianlah kami jadikan kalian umat yang wasathan”, beliau berkata: adil”

    Berdasarkan pengertian tersebut, Allah swt., lebih memilih menggunakan kata al-wasath daripada kata al-khiyar, karena ada beberapa sebab, yaitu:

    Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain sedangkan posisi saksi mestinya harus berada di tengah, Agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang (proposional). Lain halnya jika ia berada di satu sisi, maka dia tidak akan bisa memberikan penilaian yang baik.

    Penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka berada di tenggah-tengah, tidak berlebihan maupun mengurangai baik dalam hal aqidah, ibadah maupun muamalah.

    Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa makna yang terkandung di dalamnya adalah; sesuatu yang berada di tengah, tidak berlebihan (ifrat) maupun mengurangi (tafrit), terpilih, adil dan seimbang.  Ada tiga istilah yang relevan untuk memaknai moderasi adalah wasat, atau wasathiyah, orangnya disebut sebagai wasit. Kata wasit itu sendiri terdiri dari tiga kata, yiatu; Pertama, penengah, Kedua, pelerai, Ketiga, pemimpin pertandingan.sedangkan dalam al-Qur’an dijelaskan tentang moderasi adalah (surat al-Isra’: 17: 110). Ayat ini menjelaskan tentang orang yang berdosa besar.  Begitu juga firman Allah dalam (surat al-Furqan: 25: 67). Ayat ini menjelaskan seseorang yang berinfaq tidaklah diperbolehkan berlebih-lebihan. Seirama dengan (surat al-Isra’: 17:29).

    Dari definisi di atas, maka pemaknaan moderasi dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, yaitu; Pertama, term wasat disebut adalam al-Qur’an sebanyak lima kali. Namun secara makna bahwa wasat adalah berada di antara dua jalan atau ditengah, artinya tidak cenderung ke kanan dan tidak cenderung ke kiri, hal ini sebagaimana firman Allah swt., (surat al-Baqarah: 2: 238).  Istilah wustha dalam ayat ini adalah shalat asyar, dalam konteks tasawuf, istilah wasat juga sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Ma’idah: 5:89). Ayat ini menjelaskan tentang kafarat kepada orang yang melanggar dengan cara memberikan makanan kepada fakir miskin sesuai dengan pola maknnya. Kata wasat juga sering diartikan sebagai adil dan bersih, maka wasit adalah sikap yang mulia, sebagaimana firman Allah dalam (surat al-Qolam: 68:28). Bahwa kata wasat sering digunakan oleh orang Arab untuk khiyar, yaitu untuk membedakan antara dua hal yang harus dipastikan, maka dari situlah umat Islam dikatan ummatan wasathan, sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Baqarah: 2:143). Dalam ayat ini term wasat, yang berarti syahid, atau saksi atas kebenaran.

    Kedua, mizan yaitu keseimbangan, adanya sebuah keseimbangan dalam menyikapi sebuah perkara, dalam al-Qur’an terdapat 28x disebut, dalam arti jujur, adil dalam menyikapi perkara dan cenderung benar serta tidak berlebihan, tidak belok ke kanan dan tidak ke kiri,  sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-A’raf: 7:85). Ada juga yang memiliki makna bukan sebenarnya, seperrti (surat al-Rahman: 55: 7). Yang dimaksud ayat ini adalah mizan dalam arti keseimbangan kosmos atau keseimbangan alam raya. Dalam (surat al-Hadid: 57: 25). Menjelaskan bahwa mizan adalah alat untuk mengukur amal manusia. Selain itu juga dijelaskan dalam (surat al-Qari’ah: 101: 6-9). Ayat ini mengajarkan kita untuk bersikap moderat dengan cara bersikap jujur dan adil.

    Ketiga, al-adl yaitu adil, atau keadilan dalam menyikapi perkara-perkara yang ada secara kontekstual,  dalam al-Qur’an dijelaskan dalam tiga 28 kali, yang berarti juga istiqamah, konsisten dalam mnghadapi masalah, musawah, yaitu adanya persamaan dalam memandang kebenaran dan kebaikan, Tu al-taswiyah, sebagaimana dalam (surat al-An’am: 6: 150). Ayat ini menceritakan tentang orang yang musyrik berarti ia tidak adil, dijelaskan juga dalam (surat al-Infithar: 82: 7). Menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya rupa, dalam hal moderasi, al-adl diartikan sebagai keseimbangan, serasi dan tidak memihak.

    Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan menemukan momentumnya.

    Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal. Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.

    Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.

    Retaknya hubungan antarpemeluk agama di Indonesia saat ini, menurut Nafik Muthohirin (Sindo: 7 Mei 2018), dilatarbelakangi paling tidak oleh dua faktor dominan: pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu.

    Kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran. Populisme agama itu muncul akibat cara pandang yang sempit terhadap agama, sehingga merasa paling benar dan tidak bisa menerima ada pendapat yang berbeda.

    Moderasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yaitu (moderation), yang berarti sikap sedang atau tidak berlebihan, sehingga ketika ada ungkapan “orang itu bersikap moderat” berarti ia tidak berlebih-lebihan, bersikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrim. Adapaun dalam bahsa Arab ada tiga istilah yang relevan untuk memaknai moderasi adalah wasat, atau wasathiyah, orangnya disebut sebagai wasit. Kata wasit itu sendiri terdiri dari tiga kata, yiatu; Pertama, penengah, Kedua, pelerai, Ketiga, pemimpin pertandingan.sedangkan dalam al-Qur’an dijelaskan tentang moderasi adalah (surat al-Isra’: 17: 110). Ayat ini menjelaskan tentang orang yang berdosa besar.  Begitu juga firman Allah dalam (surat al-Furqan: 25: 67). Ayat ini menjelaskan seseorang yang berinfaq tidaklah diperbolehkan berlebih-lebihan. Seirama dengan (surat al-Isra’: 17:29).

    Dari definisi di atas, maka pemaknaan moderasi dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, yaitu; Pertama, term wasat disebut adalam al-Qur’an sebanyak lima kali. Namun secara makna bahwa wasat adalah berada di antara dua jalan atau ditengah, artinya tidak cenderung ke kanan dan tidak cenderung ke kiri, hal ini sebagaimana firman Allah swt., (surat al-Baqarah: 2: 238).  Istilah wustha dalam ayat ini adalah shalat asyar, dalam konteks tasawuf, istilah wasat juga sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Ma’idah: 5:89). Ayat ini menjelaskan tentang kafarat kepada orang yang melanggar dengan cara memberikan makanan kepada fakir miskin sesuai dengan pola maknnya. Kata wasat juga sering diartikan  sebagai adil dan bersih, maka wasit adalah sikap yang mulia, sebagaimana firman Allah dalam (surat al-Qolam: 68:28). Bahwa kata wasat sering digunakan oleh orang Arab untuk khiyar, yaitu untuk membedakan antara dua hal yang harus dipastikan, maka dari situlah umat Islam dikatan ummatan wasathan, sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Baqarah: 2:143). Dalam ayat ini term wasat, yang berarti syahid, atau saksi atas kebenaran.

    Kedua, mizan yaitu keseimbangan, adanya sebuah keseimbangan dalam menyikapi sebuah perkara, dalam al-Qur’an terdapat 28x disebut, dalam arti jujur, adil dalam menyikapi perkara dan cenderung benar serta tidak berlebihan, tidak belok ke kanan dan tidak ke kiri,  sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-A’raf: 7:85). Ada juga yang memiliki makna bukan sebenarnya, seperrti (surat al-Rahman: 55: 7). Yang dimaksud ayat ini adalah mizan dalam arti keseimbangan kosmos atau keseimbangan alam raya. Dalam (surat al-Hadid: 57: 25). Menjelaskan bahwa mizan adalah alat untuk mengukur amal manusia. Selain itu juga dijelaskan dalam (surat al-Qari’ah: 101: 6-9). Ayat ini mengajarkan kita untuk bersikap moderat dengan cara bersikap jujur dan adil.

    Ketiga, al-adl yaitu adil, atau keadilan dalam menyikapi perkara-perkara yang ada secara kontekstual,  dalam al-Qur’an dijelaskan dalam tiga 28 kali, yang berarti juga istiqamah, konsisten dalam mnghadapi masalah, musawah, yaitu adanya persamaan dalam memandang kebenaran dan kebaikan, Tu al-taswiyah, sebagaimana dalam (surat al-An’am: 6: 150). Ayat ini menceritakan tentang orang yang musyrik berarti ia tidak adil, dijelaskan juga dalam (surat al-Infithar: 82: 7). Menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya rupa, dalam hal moderasi, al-adl diartikan sebagai keseimbangan, serasi dan tidak memihak.

    Lawan dari konsep moderasi (wasathiyah) adalah ekstrim. Ekstrim sendiri berasal dari bahasa Inggris extreme, yang berarti perbedaan yang besar, yang dimaksud ekstrim adalah dalam bahasa Arab sering disebut ghuluw, yaitu berlebihan, bisa berlebihan dalam kebenaran atau berlebihan dalam kebutukan, dan kadang disebut tasydid, yaitu keras, keras dalam arti menyikapi perkara dengan cara yang keras tanpa mau bertoleransi, sebagaimana dijelaskan dalam (surat al-Nisa’: 4:171). Ayat ini terlalu berlebihan dalam menyikapi Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan dari Maryam (surat al-Taubah: 9:31), dan (surat Ma’idah: 5: 72).  Begitu juga tentang keyakinan terhadap Tuhan, sebagaimana dijelaskan (surat al-Maidah: 5: 73). Dalam firman lain juga (surat al-Ma’idah: 5: 77). Ayat di atas menjelaskan al-ghuluw menyangkut tentang aqidah/keyakinan. Term Yahudi dan Nasrani. Yahudi adalah yang tetap berpegang teguh pada kitab taurat, sedangkan Isa adalah yang beranggapan bahwa Isa adalah anak Tuhan.

    Adapun prinsip-prinsip moderasi sebagaimana firman Allah swt., wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan (QS. al-Baqorah ayat 143), adalah sebagaimana berikut;

    Adalah, yaitu keadilan secara bahasa Arab yang berarti sama, kesamaan itulah sering dikaitkan pada hal-hal yang immaterial, dalam bahasa Indonesia adalah; ; Pertama, tidak berat sebelah, atau tidak memihak pada salah-satu pihak,Kedua, berpihak pada kebenaran, Ketiga, sepatutnya (tidak sewenang-wenang. Persamaan yang merupakan akar dari keadilan selalu berpihak pada yang benar, baik yang benar maupun salah yang benar, semuanya harus diposisikan kepada hal yang lebih arif. Sehingga ketika memperlakukan seseorang tidak sewenang-wenang, yaitu dengan cara yang patut. Sebagaimana tertuang dalam (surat al-an’am:6: 152). Dan surat (al-Baqarah: 2:282). Dan (surat al-Hadid: 57: 25). Dan (surat al-Baqarah: 2: 124), (surat al-Rahman: 55: 7). Menegakkan keadilan Islam harus mampu menebarkan rahmat bagi setiap penghuni alam. Menjadi umat yang sejuh dan teduh, jauh dari wajah angker yang menakutkan atau pun wajah lembek yang selalu menuruti kemauan yang lain. Serta memiliki kemmpuan memahami teks syari’ah dalam bingkai konteksnya dan mengamalkan ajaran agamanya secara cermat dan proporsional.

    Tawazun yaitu keseimbangan, dalam al-Qur’an ada beberapa definisi makna tawazun, dalam (surat al-Kahfi: 18: 105). Mawazinuh, dalam (surat al-A’raf:7:8) dan (surat al-Qori’ah: 101:6-8), al-waznu dan al-mizan, (surat al-Rahman: 55: 7-9) Mauzun (surat al-Hijr: 15: 19 dan al-mizan (surat al-An’am: 6: 152), (surat al-Hud:11:84), (surat al-Syura: 42:17) dan al-Hadid: 57: 25).

    Keseimbangan atau tawazun menunjukkan sikap moderasisikap tengah ini tidak cenderung ke kanan dank e kiri, yang merupakan bentuk keadilan, kebersamaan kemanusiaan, namun juga bukan berarti tidak memiliki pendapat. Sikap tegas yang bukan berarti sikap keras apalagi ekstrim. Sebuah sikap yang dalam melakukan sesuai kebutuhan atau secukupnya, tidak ekstrim, tidak liberal dan tidak berlebih-lebihan. Baik keseimbangan antara hubungan kepada Allah dan sesame manusia itulah kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Tawazun berasal dari kata tawazana, yatawazanu, tawazunan, berarti seimbang atau memberikan sesuatu atas haknya tanpa ada penambahan dan apalagi pengurangan, dalam hal ini disebut sunah kauniyah, sebagaimana firman Allah swt., dalam (surat al-Infithar:82:6-7) dan (surat al-Rahman:55: 7). Dalam hal fitrah insaniyah, sebagaimana firman Allah (surat al-Mulk:67:3). Keseimbangan juga sesuai dengan forsinya, sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam hadisnya yang tidak berlebihan dalam makan, berpuasa dan lainnya (HR. Bukhari Muslim). Keseimbangan merupakan bentuk perwujudan dari Islam yang sempurna.

    Tasamuh yaitu toleransi, konsep keadilan, keseimbangan dan tasamuh adalah faham ahlussunah wal jama’ah (aswaja). Pemikiran ini sejatinya telah dirumuskan oleh Imam al-Hasan As’yari (w. 260H/873M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 324H/935M) di bidang aqidah dan mengikuti salah satu madzhab empat (Imam Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali).dalam bidang syari’ah dan dalam bidang tasawuf mengikuti al-Ghazali dan Junaidi al-Baghdadi. Adapun prinsip aswaja adalah dapat beradaptasi satu sama lainnya dalam berdakwah, tidak jumud, tidak kaku dan tidak ekslusif maupun elastis apalagi ekstrim.

    Sebuah kerangka pemikiran yang menghantarkan pada keadilan (adalah), keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tawazun), dapat menghantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri atupun ke kanan. Maka aswaja adalah orang yang mempunyai paham keagamaan dalam seluruh sector kehidupan yang dibangun di atas prinsip moderasi keseimbangan, keadilan dan toleransi.

    Islam adalah agama yang moderat yang tidak mengajarkan kekerasan (surat al-baqarah: 2: 143). Kata wasat dalam al-Qur’an terdapat lima kali semua menunjukkan arti tengahan, (surat al-adiyat: 100:5), dan (surat al-Ma’idah:5:89), dan (surat al-Qolam:68:28), dan (surat al-baqarah:2:238). Kata ini menunjukan makna tidak kecenderungan kekanan atau kekiri. Mau berdialog kepada antar agama, budaya dan peradaban. Pertama, Memahami Realitas, manusia diberikan dua potensi untuk terus berkembang, konsekuensi dari potensi tersebutlah manusia harus tetap maju dan berkembang. Ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah sudah sempurna, artinya tidak aka nada pemahaman ayat atau hadis yang baru.  Dari pemahaman inilah kemudian ajaran Islam membagi pada dua macam, yaitu ajaran yang berisikan ketentuan sawabit (tetap), dan hal-hal yang memungkinkan terjadinya perubahan mutagayyirat. Ajaran Islam yang tsawabit lebih sedikit, yaitu Aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Sedangkan yang bersifat mutaghayyirat bersifat elastis, fleksibel (murunah) dan dapat difahami sesuai perkembangan zaman.

    Kedua, Memahami Fikih Prioritas, diantara ajaran Islam moderat adalah pentingnya menetapkan prioritas dalam beramal sebagaimana dalam (surat al-Taubah: 9: 19-20). Selain keimanan juga Islam mengajarkan bahwa kita harus peka terhadap social, sebagaimana diajarkan dalam (surat Saba’:34:24-26). Islam juga melarang kepada ashabiyah atau ta’asub, yaitu sebuah kesepakatan dalam kebathilan sebagaiamana dalam (surat al-Fath: 48: 26). Dan untuk tidak pada fanatisme buta, maka Allah swt., berfirman dalam (surat al-Zuhruf:21:25). Dalam ayat lain juga (surat al-Taubah: 9:31).

    Ketiga, Mengedepankan prinsip kemudahan dalam beragama, ajaran Islam agalah memudahkan dan tidak menyulitkan, sebagaiama dalam (surat al-Baqarah: 2: 185). Demikian juga dalam (surat al-Nisa’:4:28), (surat al-Hajj: 22:78). Dalam hadis Rasulullah saw; sesungguhnya agama itu mudah” (HR. Bukhari), begitu juga hadis rasulullah bahawa: “Permudahlah jangan dipersulit” (HR. Bukhari).

    Keempat, Memahami Teks Keagamaan secara Komprehensip, Islam mengajarkan untuk memahami agama dengan cara komprehensip, yaitu tidak sebagian, karena al-Qur’an adalah al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan”. Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an adalah tasfir tematik.

    Kelima, Keterbukaan dalam Menyikapi Perbedaan, Ajaran Islam mengajarkan keterbukaan dalam beragama, sebagaimana (surat al-Hud: 11: 118-119). Pada prinsipnya; 1) mnusia adalah makhluk yang selalu memiliki sikap ketergantungan, 2) asal kejadian manusia adalah sama, 3) manusia memiliki tugas yang sama.

    Keenam, Komitmen terhadap keadilan dan kebenaran, Islam senantisa mengajarkan kepada komitmen terhadap keadilan dan kebenaran sebagaimana (surat al-Maidah: 5:8).

  • Opini: Etika, Moral dan Susila Sebuah Prosfektif

    Etika, Moral dan Susila Sebuah Prosfektif

    Nirwan Hamid, M.Pd.I

    Pengurus MUI Kota Bandar Lampung

    Peradaban manusia tidak terlepas dari peran adat istiadat, etika, moral seseorang yang bisa mengubah cara berfikir dan cara pandang hidup sebuh bangsa yang besar. bahkan suatu bangsa akan menjadi baik dan maju dalam sebuah peradaban ketika masyarakatnya memiliki moral dan integritas yang tinggi pada diri masyarakatnya. Secara etimologi etika berasal dari kata ethos yang mempunyai arti watak, kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia etika diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang asas-asas ahlak/moral. Jadi dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa etik sangat berhubungan erat dengan upaya menentukan tingkahlaku manusia secara berkesinambungan.

    Etika sangat berhubungan erat dengan empat hal yaitu: pertama dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber dari akal fikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tikak pula universal. Dengan ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk dan ini sangat berkaitan erat dengan agama Islam dimana sebuah hadits Nabi Muhammad Saw berbunyi:

    الدِّيْنُ هُوَالْعَقْلُ لاَدِيْنَ لِمَنْ لاَعَقْلَ لَهُ

    Artinya: “Agama itu adalah penggunaan akal pikiran, tiada agama bagi orang yang tidak berakal.” Agama Islam sangat rasional dalam hal ini, akal sehat menjadi kata kunci dalam beragama. Agama Islam sendiri mempunyai arti salah satunya adalah:

    الدِّيْنُ الْحَقِّ المُلاَئِمُ لِلْعُقُوْلِ مُطَابِقٌ لِكُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ

    Artinya: “ Agama yang benar cocok untuk akal sehat sesuai pada setiap tempat dan waktu”.

    Beberapa kaidah yang dikemukakan oleh para filosof barat berkenaan dengan perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian, etika sifatnya humanistis dan anthropocentris, yakni berdasar pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia, dengan kata lain, etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

    Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan“Moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain yang meliputi akhlak budi pekerti; dan susila. Moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap seseorang atau suatu kelompok masyarakat yang terungkap dalam sikap perbuatan lahiriah merupakan ungkapan sepenuh hati karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya. Antara etika dan moral mempunyai hubungan yang sangat erat, karena antara etika dan moral memiliki obyek yang sama yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia untuk menentukan baik atau buruk dari suatu perbuatan. Namun demikian dalam hal tertentu etika dan moral memiliki perbedaan, dengan demikian tolak ukur yang digunakan moral adalah untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan, dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral pada dasarnya memiliki kesamaan makna, namun dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang di nilai, sedangkan etika di pakai untuk system nilai yang ada.

    Kata Susila berasal dari bahasa Sansekerta Su dan Sila. Su berarti baik dan Sila berarti dasar, prinsip, aturan hidup atau norma. Selanjutnya kata susila juga dapat berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya. Dengan demikian kesusilaan lebih mengacu kepada upaya membimbing, memandu, mengarahkan membiasakan dan memasyarakatkan hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kesusilaan menggambarkan keadaan dimana orang selalu menerapkan nilai-nilai yang dipandang baik. Sama halnya dengan moral, pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat. Jika dilihat dari fungsi dan peranannya dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan ahlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai dan tenteram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.

    Perbedaan antara etika, moral, ahlak adalagh terletak pada sumbernya yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum dimasyarakat, maka pada ahlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu adalah al-quran dan hadits. Dengan demikian, keberadaan etika, moral dan susila sangat dibutuhkan dalam rangka menjabarkan dan mengoperasionalisasikan ketentuan ahlak yang terdapat dalam al-Quran. Disinilah letak peranan dari etika, moral dan susila terhadap ahlak. Pada sisi lain ahlak juga berperan untuk memberikan batas-batas umum dan universal, agar apa yang dijabarkan dalam etika, moral dan susila tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang luhur dan tidak membawa manusia menjadi sesat. Namun demikian, bisa saja terjadi bahwa antara ahlak dengan etika, moral dan susila menunjukkan keadaan yang tidak sejalan. Hal ini bisa terjadi pada masyarakat yang berfikirnya bersifat liberal, ateis dan sekuler sebagaimana terjadi di Barat.

    Apa yang dihasilkan akal pikiran terhadap agama itu dapat berupa konsep, terori, rumusan dan pemikiran filsafat. Semua ini diterima sepanjang tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadits. Apa yang dihasilkan akal pikiran ini adalah yang digunakan dalam etika, karena etika sumbernya adalah pikiran. Dengan demikian, diterimanya hasil pemikiran dalam Islam, menunjukkan bahwa etika diterima dalam ahlak Islam, sebagai sarana untuk menjabarkan ajaran ahlak yang terdapat dalam wahyu. Dalam hukum Islam juga dikenal istilah ‘urf yaitu kebiasaan, atau adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Salah satu sumber hukum ini bisa digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadits. Apa yang disebut dengan adat istiadat ini sebenarnya adalah bahan yang digunakan sebagai titik tolak penentuan baik dan buruk dalam bidang moral sebagaimana telah dikemukakan diatas. Dengan demikia, kita dapat mengatakan bahwa ahlak Islam menerima atau mengakui adanya moral, atau moral itu merupakan bagian dari ahlak Islam, sepanjang moral itu sejalan dengan al-Quran dan hadits. Dengan adanya moral, ahlak Islam dapat dijabarkan dan diaplikasikan dalam kehidupan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahawa antara ahlak Islam yang bersumber pada wahyu dapat menerima atau mengakui peranan yang dimainkan oleh etika, moral dan susila. Yaitu sebagai sarana untuk menjabarkan ahlak Islam yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits, sepanjang etika, moral, dan susila sejalan dengan al-Quran dan Hadits tersebut.

    Wallahu ‘a’lam Bissawab

    Ihdisas shiratal Mustaqim

    Wallahul Muwafiq Ila Aqwami Attoriq          

    Nirwan Hamid, M.Pd.I

    Pengurus MUI Kota Bandar Lampung

    Pengurus Gerakan Nasional Anti Narkoba MUI Kota Bandar Lampung

     

  • Resensi Buku :  Duren, Kopi dan NU 

    Resensi Buku :  Duren, Kopi dan NU 
    Oleh: Akhmad Syarief Kurniawan

    Meski uang bisa menyenangkan, namun kegembiraan, kesenangan, dan kebahagiaan sesungguhnya tak bisa diperjualbelikan. Maka kemampuan kita mengembangkan senyum yang paling tulus sesungguhnya bukan wujud ekspresi cara bahagia yang sederhana, sebaliknya senyum tulus itu justru kekayaan yang patut disyukuri.

    Ketua PCNU Kota Bandar Lampung, Ichwan Adji Wibowo (IAW), menuangkan segala proses pergulatan batinnya dalam bentuk tulisan. Dengan berbagai latar belakang fenomena sosial tentunya, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, olahraga, dan lain-lain.

    Buku setebal 221 halaman ini memaparkan delapan (8) korasan besar, pertama, menghayati spiritualitas keberagamaan. Dalam korasan ini IAW menuangkan refleksinya sebanyak 11 tulisan . disinilah spiritualitas agama menjelajah, menelisik, menyublim, mengharmoni, memengaruhi, membimbing seluruh laku kehidupan, baik di sektor privat maupun publik, tidak berhenti pada urusan simbolik dan formalitas.

    Baginya, sejatinya muara keberagamaan kita adalah pada laku pikir, laku sikap, laku wicara, laku tulis, laku interaksi sosial kita yang merupakan ekspresi dari seluruh kemuliaan agama. Dalam konteks agama ekspresi itu disebut sebagai akhlak, hal. 3.

    Kedua, mendedah spiritualitas moderasi NU. Dalam korasan ini IAW memaparkan dalam beberapa judul tulisan. Baginya, NU senapas dengan Pancasila dan NKRI. Kehadiran NU memiliki tiga tanggung jawab, yakni mas’uliyah diniyyah (tanggung jawab keagamaan), mas’uliyah ummatiyah ( tanggung jawab keumatan) dan mas’uliyah wathoniyah (tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan), inilah mandat yang diberikan para ulama kepada NU. Menjadi tugas NU untuk selalu menjaga NKRI meski disukai atau tidak disukai, dipuji atau dicaci, dihargai atau dilupakan, karena itulah harga kesetiaan, hal. 40.

    Ketiga, spiritualitas kearifan lokal. Dalam korasan ini terdapat enam tulisan yang istimewa. Ia merefleksikan kearifan lokal dalam berbagai perspektif. Beruntung kita yang tinggal di Indonesia, sebuah negeri yang dikaruniai Allah dengan beragam latar belakang warganya bangsanya, maka daya uji kita kita sebagai umat yang wasathiah, umat yang moderat, yang mampu menampilkan wajah Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang memiliki ruang dan waktu untuk membumikannya,

    Sejalan dengan falsafah ajaran adiluhung leluhur kita, maka sejatinya karakter Aswaja an Nahdliyyah akan melahirkan pribadi yang “ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh”. Kita diajarkan bukan menjadi umat yang gampang terkaget-kaget, tidak mudah terkagum-kagum, tiba-tiba memuja-muji sesaat kemudian membenci dan mencaci. Bukan menjadi pribadi yang mudah terpana dengan posisi, merasa diri paling besar, merasa diri paling benar, dan seterusnya, hal. 69.

    Keempat, spiritualitas mauludur rasul. Sebagai ibukota Propinsi Lampung, menurut IAW, Bandar Lampung diantara kepungan Syiar Mauludur Rasul. Pembacaan shalawat barzanji, marhaban, mahalul qiyam berulang menggema dari sudut-sudut kota, dilantunkan dengan bibir pencinta dan perindu Rasul, menghentak dan menyentak menembus langit kesadaran spiritualitas. Orang berduyun digerakkan dari satu tempat ke tempat lain, berkumpul demi satu alasan mahabaturrrasul.

    Dalam konteks religiusitas, bagi IAW ritual maulid ini juga menjadi semacam jembatan yang menghubungkan ritmis kerinduan dan kecintaan pada setiap dada jutaan umat menjadi ekspresi kolosal yang mengguncang langit negeri dan menembut jagat kosmis, hal. 97.

    Kelima, spiritualitas kebencanaan dan kemanusiaan. Dalam korasan kelima ini, IAW mengajak pembaca untuk arif dan bijak dalam menghadapi musibah global Covid-19. Pandemi global Covid-19 ini bukanlah cerita fiksi. Bukan dongeng di siang bolong, bukan juga informasi rekaan yang sering diprasangkai berlebihan dan dimaksudkan untuk menakut-nakuti bangsa sendiri. Ini fakta, ini pandemi global, negeri-negeri besar pun dibuat kalang kabut.

    Pandemi tidak boleh merusak sendi-sendi kearifan lokal masyarakat kita, rasa simpati, dan empati tidak boleh meredup. Maka saya harus hadir ditengah kecemasan masyarakat. Saya harus membersamai mereka, meski pada saat yang sama tentu kita tidak boleh bertindak konyol, hal. 120.

    Keenam, spiritualitas mata air hikmah ber-NU. Bagi IAW, niatnya terus bergiat di NU adalah demi ndandani awak (memperbaiki diri). Bagi alumnus Jurusan Peternakan Universitas Lampung ini, menjadi NU berarti menjadi manusia beragama yang tidak membuat jidatnya berkerut-kerut, terlampau serius, sehingga tidak menyediakan kegembiraan.

    Betapa nikmatnya ber-NU, sama persis nikmatnya ber-Indonesia. Silahkan bersarung sambil merokok dan sesekali menyeruput kopi. Maka menjadi NU yang sesungguhnya sama halnya menjadi Indonesia lahir batin, hal. 145.

    ketujuh, spiritualitas dialektika sosial. Pada korasan ini dituangkan dalam dua belas tulisan. Baginya, belantara peradaban digital telah mengubah segalanya. Disatu sisi telah menyediakan cara dan gaya hidup, sekaligus skema baru bagi tatanan kehidupan manusia dijagad bumi yang makin tak bersekat dan tak berbatas.

    Pada sisi lain, juga telah mengubah perspektif tentang panggung dan pertunjukan itu sendiri. Ia telah memporakporandakan batas ruang dan waktu dimana, siapa, kapan, pada setiap epik drama kehidupan, hal. 173.

    Dan kedelapan, sisi sunyi perjalanan spiritual. Diujung tulisan pria kelahiran Bumi Ayu, Brebes, Jawa Tengah ini menyampaikan beberapa peristiwa sosial keagamaan disekitar lingkungannya.

    Kenangan tersendiri bersama pendiri Pesantren Al Hikmah Way Halim Bandar Lampung, almarhum almaghfurlah KH. Muhammad Sobari, beliau tidak sekedar guru dan pembimbing spiritual saya, tetapi juga orang tua yang penuh welas asih, yang mengajarkan istiqomah, hakekat sabar, cinta dan kesetiaan pada harakah an Nahdliyyah, hal. 206.

    Bagi Wakil Rais Syuriah PWNU Propinsi Lampung sekaligus Ketua Umum MUI Propinsi Lampung, Dr. KH. Khairudin Tahmid, M.H dalam pengantar buku ini, menyampaikan, buku ini kurang lebih menggambarkan talenta penulisnya, selain sebagai birokrat juga sebagai aktivis organisasi sosial keagamaan yang cakap dalam berbicara, sekaligus mampu menuangkan gagasannya dalam sebuah tulisan.

    Buku ini terdiri 73 tulisan dan 8 korasan besar. Buku ini sangat layak untuk dibaca untuk semua kalangan, baik akademisi, santri, pengamat, birokrat, peneliti, para aktivis, dan lain-lain. Tulisannya sederhana, mudah dicerna, mengalir, serta pembaca digiring untuk menghayati disetiap baris, kalimat serta paragraf dari tulisan-tulisannya. Wallahu’alam.

    IDENTITAS BUKU :

    Judul : Duren, Kopi dan NU
    Penulis : Ichwan Adji Wibowo
    Editor : Ila Fadila Sari
    Penerbit : LTN PWNU Lampung
    Terbit : Oktober, 2020
    Tebal : xx + 221 Halaman
    Nomor ISBN: 978-602-73592-4-6
    Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan, warga NU, tinggal di Lampung Tengah

  • Resensi Buku: Nyanyian Cinta dari Bilik Pesantren

    Resensi Buku: Nyanyian Cinta dari Bilik Pesantren
    Oleh: Akhmad Syarief Kurniawan

    Pegiat LTN NU Lampung Tengah

    Sastra hadir dan mengembangkan diri dalam ranah makna. Sastra tidak lagi berbicara tentang ajaran formal. “Agama” dalam sastra adalah nilai-nilai akhlakul karimah sebagai pertanggung jawaban kepada peradaban yang mengembangkan kemaslahatan manusia dan alam yang mendukung kehidupannya. Maka komitmen sastra adalah keberpihakan kepada nilai tanggung jawab, kasih sayang, keadilan, kejujuran, pokoknya seluruh nilai keterpujian. Komitmen ini akan menjadi semangat bagi seorang sastrawan untuk berkarya, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.

    Dalam konteks sastra Pesantren, salah satu Budayawan Daerah Istimewa Yogyakarta, Gus Zainal Arifin Thoha dalam bukunya berjudul: Eksotisme Seni Budaya Islam: Khazanah Peradaban dari Serambi Pesantren, 2002, ia menyampaikan, “saya membayangkan ribuan santri dalam suatu Pesantren baik putera maupun puteri, masing-masing mereka membaca karya sastra, entah karya Jalaludin Rumi, Muhammad Iqbal, Omar Khayam, Jami’, Sa’di, Hafiz, atau orang lainnya, lalu diantara mereka sendiri antar kamar atau antar komplek saling mendiskusikan dan mengkomparasikan satu dengan lainnya. Minggu berikutnya, mereka berpacu dalam penulisan karya sastra. Begitu seterusnya, dan Pesantren itu sendiri menerbitkan antologi sastra (puisi, cerpen, novel, naskah drama, puisi, esai-esai, dan sebagainya.”

    Dihadapan kita sekarang antologi cerpen santri pilihan Nyanyian Cinta yang diprakarsai Pesantren Basmala Indonesia (Pesantren Karya dan Wirausaha) Semarang, Jawa Tengah dan PW IPPNU Jawa Tengah. Ada dua belas santri – maksudnya santri dan mahasantri, santri betulan dan santri mbeling, namun semuanya sungguh-sungguh hadir dari dunia pesantren – yang masing-masing menyertakan satu cerpen. Secara alfabet mereka adalah sebagai berikut; KH. Ahmad Mustofa Bisri (Muhasabah Sang Primadona); Abidah El Khalieqy (Hidup El Maut!!); Ahmadun Yosi Herfanda (Wali Tiban); Anif Sirsaeba (Zikir Cinta Untuk Ananda); Arief Budi Santoso (Mas Umar); Habiburrahmann El Shirazy (Nyanyian Cinta); Mita El Rahma (Bacaan Al Quran buat Simbah); Muhammad Kasmijan (Sayap-sayap Cinta-Nya); Prie GS (Perantara); Tazkiyatul Mutmainnah (Langkah-langkah Tua); Titik Indriyana (Maaaak….!!); dan Ukhti Mulia (Peri Kecil di Hari Pernikahanku)

    Andaikata barisan dua belas cerpenis kita pandang sebagai musafir yang sedang melintas padang kehidupan nyata, maka tampak paling depan adalah sang suhu, yakni Gus Mus (KH. A. Mustofa Bisri). Mengiringi dibelakangnya adalah para pendekar, Ahmadun Yosi Herfanda, Prie GS, Abidah El Khalieqy, dan Habiburrahman El Shirazy. Tujuh lainnya adalah cantrik-cantrik yang sedang mengikuti jalan sastra kesantrian yang telah dirintis oleh sang suhu.

    Dalam cerpennya, Muhasabah Sang Primadona, hal. 13, Gus Mus, menceritakan seorang perempuan muda yang berhadapan masalah besar. Masalah ini datang justru setelah dia sukses menjadi artis tenar, kaya dan punya suami gagah, bahkan sang primadona juga sudah berjilbab, rajin ngaji, dan jadi penceramah keagamaan. Lho, kok bisa? Gus Mus memulai sebuah persoalan yang bagi kebanyakan santri adalah penyelesaian. Ya, kalau seorag ibu muda cantik, kaya, sudah mau mengaji, dan berjilbab, bukankah itu sudah ideal ? Memang demikian bagi santri yang belum fasih membaca “kitab kehidupan”. Namun bagi Gus Mus yang pernah menulis buku Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial ini, jilbab, bahkan gelar ustadzah sekalipun hanyalah simbol dan harus diberi makna yang akan memberi bobot nilai dalam kehidupan nyata. Buat apa semuanya bila kondisi ini tidak disertai dengan bobot nilai kehidupan nyata berupa kemampuan menjaga komunikasi yang konstruktif dengan suami dan anak-anaknya.

    Habiburrahman El Shirazy lewat cerpennya Nyanyian Cinta, hal. 22, melukiskan hubungan penuh kasih sayang antara Hafshah dan Mahmud dengan latar kehidupan seputar Universitas Al Azhar, Mesir. Habib memang jempolan bila melukiskan situasi ditempat kuliahnya dulu itu. Dengan cerpennya ini Habib pun mengajak para santri lainnya membaca kehidupan nyata; bahwa ruh kesantrian dalam hidup ini memang harus bermuara para rahmatan lil ‘alamin. Kasih sayang dalam makna yang seluas-luasnya.

    Dalam cerpen Langkah-langkah Tua, hal. 164, Tazkiyatul Mutmainnah, juga mengajak pembaca melangkah memasuki kehidupan nyata. Ketika menghadapi masalah kemiskinan, orang tidak cukup menghafal dan berfasih-fasih dengan surat Al Maa’un. Tokoh pak Romli yang sudah renta dilukiskan selalu mengakrabi anak-anak muda yang dimiskinkan oleh sistem kapitalis. Sementara tokoh aku yang berasal dari keluarga santri malah menikmati posisi sebagai sekerup dalam mesin sistem yang menghisap sesama manusia itu.

    Untuk menjawab kegelisahan Gus Zainal Arifin Thoha, semoga para santri diseluruh seantero Nusantara wabil khusus di Propinsi Lampung akan lebih rajin membaca karya-karya sastra, apalagi menulis dan mempublikasikannya. Salah satu ikhtiarnya adalah membaca buku antologi Nyanyian Cinta ini, sederhana nan berkualitas. Wallahu ‘alam.

    IDENTITAS BUKU :

    Judul : Nyanyian Cinta Antologi Santri Pilihan
    Penulis : KH. Ahmad Mustofa Bisri, Ahmadun Yosi Herfanda,
    Habiburrahman El Shirazy, Abidah El Khalieqy, Prie GS, dkk
    Penerbit : Republika, Pesantren Basmala Indonesia dan
    PW IPPNU Jawa Tengah
    Terbit : Cetakan III, Januari, 2007
    Tebal : 198 Halaman
    Nomor ISBN: 979-321067-2
    Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan, Pegiat LTN NU Lampung Tengah

  • Opini: Hakekat Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw

    Hakekat Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw
    Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.
    Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung
    Pengurus MUI Provinsi Lampung

                Berbicara tentang maulid nabi tentunya mengingatkan kepada kita akan jejak, napak tilas kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman yang membawa khabar gembira dan peringatan untuk umat manusia. Nabi Muhammad SAW merupakan manusia teladan yang dihadirkan oleh Allah SWT untuk diteladani sebagai pembawa risalah untuk perbaikan akhlak manusia, hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 21 yang artinya: Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.

    Hukum memperingati maulid nabi adalah boleh dan tidak termasuk bid’ah dhalalah (mengada-ada yang buruk) tetapi termasuk bid’ah hasanah, yaitu sesuatu yang baik. Sehingga tidak ada dalil-dalail yang mengharamkan peringatan maulid nabi, bahkan apabila ditelusuri justru terdapat dalil-dalil yang membolehkan. Bid’ah hasanah adalah sesuatu yang tidak dilakukan nabi tetapi perbuatan itu memiliki nilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Kebolehan peringatan maulid nabi memiliki alasan yang kuat, seperti Rasulullah merayakan hari kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari senin, hal ini sebagaimana hadis yang artinya: Dari Qotadah al-Anshori RA, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin, lantas Rasulullah menjawab: pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. (HR. Muslim).

                Menurut KH. Quraish Shihab bahwa maulid nabi dirayakan pada zaman Dinasti Abbasiyah, khusunya pada masa kekhalifahan al-Hakim Billah, di mana inti perayaan maulid nabi adalah  untuk memperkenalkan Nabi Muhammad SAW kepada setiap generasi sehingga dapat mengenal dengan Nabi Muhammad SAW. Lebih jauh KH. Said Agil menegaskan bahwa peringatan maulid nabi merupakan sunnah taqririyah, yaitu perkataan dan perbuatan yang tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW tetapi dibenarkan dan tidak dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW memperingati kelahirannya dengan puasa di hari senin, di mana ketika ditanya oleh sahabat: kenapa engkau berpuasa ya Rasul? Aku berpuasa karena pada hari itu dilahirkan dan pada hari itu aku mendapatkan wahyu pertama kali. Bahkan dalam kitab Fathul Bari juz 11 dijelaskan bahwa gembira dengan kelahiran nabi dapat memberikan manfaat yang besar, bahkan orang kafir pun dapat ikut merasakan kemakmuran. Contoh, Abu Lahab paman Nabi, beliau dapat keringan dosanya setiap hari senin.

                Lantas apa  keistemewaan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW? Tentunya dalam rangka meneguhkan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW, hal ini sebagaimana hadis yang artinya: Dari Anas RA, dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau bersabda barangsiapa yang mencintai sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, maka ia bersamaku di surga. Dalam hadis lain menegaskan bahwa barangsiapa mengaku cinta Rasulullah tanpa mau mengikuti perilaku beliau, maka ia adalah seorang pembohong. Sebagai wujud kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, tentunya dapat diwujudkan dengan berbagai acara, seperti pembacaan barzanji (riwayat hidup nabi), ceramah agama dan membaca sholawat. Mengenai pentingnya membaca shalawat Allah SWT telah menjelaskan dalam surat al-Ahzab ayat 56 yang artinya: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk nabi, wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. Dalam hadis juga dijelaskan yang artinya: Dari Aisyah ia berkata: Barangsiapa mencintai Rasulullah SAW, maka ia memperbanyak membaca shalawat kepada beliau, adapun buahnya adalah memperoleh syafa’at beliau dan dapat menyertai beliau di surga.

                Adapun keistemewaan membaca shalawat adalah: pertama, Barangsiapa membaca shalawat 1000 kali dalam sehari, maka ia tidak akan meninggal sebelum dijanjikan untuknya surga. Kedua, Barangsiapa membaca shalawat 100 kali dalam sehari, maka Allah akan memenuhi 100 hajatnya, yakni 70 hajat untuk di akhirat dan 30 hajat untuk di dunia. Ketiga, Barangsiapa membaca shalawat 10 kali di pagi hari dan 10 kali di sore hari, maka ia akan mendapatkan syafa’at di hari kiamat. Keempat, Barangsiapa yang menjadikan shalawat sebagai amalan sehari-hari, maka akan dapat mengubah kehidupannya menjadi lebih berkah dan urusan menjadi lebih mudah. Selain itu dengan bershalawat juga dapat mengangkat derajat, do’a akan mudah dikabulkan dan hidup akan menjadi lebih tenang.

                Mudah-mudahan kita termasuk umat-umat yang senantiasa mencintai Rasulullah dengan senantiasa memperbanyak bershalawat, mengikuti jejaknya dan meneruskan perjuangannya. Wallahualam Bishawab.