Category: Opini

  • Khutbah Idul Adha: Kurban, Pengorbanan, dan Kemanusiaan

    Khutbah Idul Adha:
    Kurban, Pengorbanan, dan Kemanusiaan
    Oleh: Muhammad Faizin
    Sekretaris II MUI Provinsi Lampung

     

     اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ.

    اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَمَاتَ وَ أَحْيَى. اَلْحَمْدُ للهِ الًّذِيْ أَمَرَنَا بِالتَّقْوَى وَ نَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ الْهَوَى. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ لَنَا عِيْدَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ نِعْمَ الْوَكِيل وَنِعْمَ الْمَوْلَى، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَ مَنْ يُنْكِرْهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا. وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَ حَبِيْبِنَا الْمُصْطَفَى، مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الْهُدَى، الَّذِيْ لاَ يَنْطِقُ عَنْ الْهَوَى، إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى، وَ عَلَى اَلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدقِ وَ الْوَفَا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَنْ اِتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْجَزَا. أَمَّا بَعْدُ: فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

    Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,

    Segala puji bagi Allah SWT, tuhan alam semesta, yang telah menganugerahkan berjuta kenikmatan kepada kita diantaranya adalah kenikmatan beridul adha walau dalam suasana pandemi Covid-19 yang belum juga mereda. Semua ini harus kita syukuri sebagai hamba yang tahu diri, karena segala yang terjadi di muka bumi ini, Allah lah yang paling mengerti.

    Pada tahun ini kita kembali merayakan idul Adha dalam keterbatasan. Gelombang kedua penyebaran Covid-19 di tanah air yang terus mengalami lonjakan, membuat pemerintah mengambil kebijakan ketat dalam rangka wujud perlindungan. Tidak semua daerah bisa melaksanakan kegiatan Ibadah shalat Idul Adha sebagaimana biasa. Begitu juga ibadah kurban yang selalu mengiringi hari raya ini pun tidak serta merta bisa dilaksanakan dengan leluasa. Sekali lagi, ini adalah wujud ikhtiar kita bersama untuk menjaga diri, sehingga negeri ini mampu melewati takdir yang telah didatangkan oleh Allah yang maha tinggi.

    تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

    “Tindakan pemerintah terhadap rakyatnya dilakukan berdasarkan kemaslahatan.”

    اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

    Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT,

    Dalam situasi sulit yang sedang melanda, Hari Raya Idul Adha tak boleh kehilangan makna dan esensinya. Idul Adha mengajarkan kepada kita bagimana berani berkorban dengan apa yang kita punya untuk membatu orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita. Di antaranya adalah dengan ibadah kurban yang merupakan wujud pengorbanan untuk kemanusiaan pada sesama. Kita harus bisa mengambil hikmah mulia, ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih putra semata wayangnya, Nabi Ismail AS. Perintah suci ini mengandung makna bahwa hidup perlu pengorbanan untuk memperkuat tali persaudaraan antar sesama.

    Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia merupakan makhluk yang membutuhkan orang lain dalam mewujudkan eksistensi. Maka ketika kita ada kelebihan rezeki dan bisa berkorban dengan kurban bagi orang lain di tengah pandemi, alangkah baiknya tidak ditunda-tunda lagi. Yakinlah, bahwa kurban kita akan diterima Allah SWT dan akan dilipatgandakan pahalanya karena benar-benar mampu membantu orang lain yang sedang mengalami kesulitan dan duka. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah RA Rasulullah bersabda:

    مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

    Artinya: “Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.

     

    اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

    Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT,

    Kisah keteguhan iman dan kerelaan Nabi Ibrahim dalam mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya, patut dicontoh oleh kita semua. Ketika kita mengorbankan sesuatu bagi sesama, maka marilah kita berikan yang terbaik untuk mereka. Kita tak perlu khawatir jika harta yang kita berikan di jalan Allah akan berkurang jumlahnya. Malah sebaliknya, Allah telah berjanji bahwa siapa saja memberikan yang terbaik dari hartanya dalam rangka kepatuhan menjalankan perintah-Nya, maka akan dilipatgandakan dengan jumlah yang tidak terduga-duga bagi siapa saja yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 261 berbunyi:

    مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

    Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah adalah dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir seratus biji. Allah (terus-menerus) melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) laga Maha Mengetahui.”   

    اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

    Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT,

    Ibadah kurban yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS juga memiliki makna ajaran untuk menjunjung tinggi kemanusiaan dalam beragama. Kita perlu merenungkan mengapa Allah SWT mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba. Hal ini mengandung hikmah di antaranya tidak diperbolehkannya mengorbankan dan meneteskan darah manusia. Penggantian “objek kurban” dari manusia ke binatang juga mengandung makna bahwa manusia memiliki hak untuk hidup di dunia. Siapa pun atas nama apa pun tidak boleh menghilangkannya.

    Dalam konteks kekinian, kita harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yakni hak untuk hidup, mendapatkan kesehatan, dan terjaga keselamatan jiwanya. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga mereda, kita tidak boleh egois dan abai sehingga menjadikan orang lain celaka. Penerapan protokol kesehatan sebagai ikhtiar terhindar dari Covid-19 harus ditegakkan bersama. Tidak bisa hanya dilakukan oleh sebagian orang saja. Kedisiplinan kita dalam menjaga diri, yang dimulai dari diri sendiri, akan berdampak kepada keselamatan orang lain sehingga kemanusiaan pun bisa kita junjung tinggi.

    Allah SWT berfirman dalam QS Al Maidah ayat 32:

    مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا

    Artinya: “Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”

    اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ ولله الحمد

    Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT,

    Demikianlah hikmah kurban yang merupakan wujud pengorbanan kita dalam rangka menjunjung tinggi kemanusiaan. Semoga kita akan menjadi sosok yang membawa kemaslahatan bagi sesama dan kehidupan kita senantiasa mendapatkan ridho dan keberkahan dari Allah SWT. Amin

     بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

    Khutbah II

    اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

    اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

    اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

    Klik untuk mendownload Teks Khutbah Khutbah Idul Adha Kurban, Pengorbanan, dan Kemanusiaan

  • Ketum DPP LDII: Dukungan ke Palestina Jangan Pernah Lekang

    Jakarta: (17/5). Konflik di Masjidil Aqsa antara warga Palestina dan polisi Israel menyulut perang besar, antara pasukan Israel dengan pejuang Palestina. Perlawanan para pejuang tersebut mengundang simpati dan dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam di seluruh Indonesia.

    Pada 11 Mei 2021, MUI dan seluruh ormas Islam mengeluarkan pernyataan yang mengutuk keras tindakan Israel dan meminta pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga internasional memberi bantuan dan mendukung perjuangan rakyat Palestina. Dalam pertemuan tersebut, DPP LDII diwakili Ketua DPP LDII Koordinator Bidang Pendidikan Keagamaan dan Dakwah (PKD), Teddy Suratmadji.

    Pertemuan tersebut menghasilkan 10 pernyataan, di antaranya MUI dan ormas-ormas Islam meminta agar negara-negara Arab bersatu melawan Israel dan menuntut penguasanya ke Mahkawah Internasional, serta memutuskan hubungan dengan negara zionis itu. Pertemuan itu juga meminta Amerika Serikat lebih konstruktif dan nyata menekan Israel.

    MUI dan ormas-ormas Islam meminta agar fraksi-fraksi dalam Palestina bersatu, dan terus mendukung perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaannya dari penjajahan Zionis Israel, dengan melakukan penggalangan dana bantuan bagi rakyat Palestina, khususnya di al-Quds agar mereka tidak terusir dari negerinya sendiri.

    DPP LDII mendorong sikap MUI dan ormas-ormas Islam tersebut, “Semangat antikolonialisme dan anti pendudukan Israel di Palestina, jangan sampai lekang oleh dinamika politik dan luar negeri,” ujar Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso. Menurutnya, resolusi dari PBB untuk Israel sudah mencapai ratusan, untuk itu dukungan kepada Palestina jangan berhenti.

    “Alarm atau pengingat yang terus berbunyi mampu menggugah kesadaran. Artinya, rakyat Indonesia akan terus mendengungkan antipenjajahan dan mendukung perdamaian. Jadi Israel harus terus diingatkan dengan berbagai cara,” imbuhnya.

    Konsistensi Indonesia mendukung Palestina, menurut Chriswanto, sudah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno. Bahkan, sebelum kemerdekaan Indonesia, kumpulan pemuda yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB) memiliki perhatian khusus terhadap bangsa Palestina , “Tokoh-tokoh pergerakan seperti Natsir, Kasman Singodimedjo, Samsurizal hingga KH. Agus Salim konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina,” imbuhnya.

    Bahkan saat mempersiapkan Konferensi Asia Afrika (KAA) sekitar 1952, Presiden Soekarno menentang keras jika Israel dilibatkan dalam konferensi yang bertemakan antikolonialisme tersebut. Keteguhan Presiden Sokerno dipertegas dalam Konferensi KAA tahun 1955, di Gedung Merdeka, Soekarno menekankan dukungan terhadap negara-negara yang belum merdeka termasuk Palestina.

    “Presiden Soeharto pun termasuk tokoh yang konsisten membantu perjuangan Palestina demikian pula para presiden pada era Reformasi. Artinya, bangsa Indonesia jangan mengubah dukungan kepada Palestina, meskipun Israel dan sekutunya dengan kekuatan ekonomi dan politik menekan Indonesia dan negara-negara lainnya. Dukungan itu jangan berubah,” imbuhnya.

    Sementara itu, Ketua DPP LDII Teddy Suratmadji mengingatkan pentingnya umat Islam di tanah air dan dunia, mengarahkan pandangannya ke Palestina, “Masalah Palestina adalah tragedi kemanusiaan. Cukup menggunakan hati nurani bahwa pendudukan dan tindakan yang dilakukan Israel harus segera dihentikan,” ujarnya. Menurut Teddy, tragedi di Masjidil Aqsa dengan korban masyarakat sipil Palestina, telah menunjukkan ketidak-pedulian Israel terhadap nyawa manusia.

    Peduli adalah salah satu ajaran Islam, terutama peduli terhadap lingkungan sekitar. Teddy mengajak umat Islam di Indonesia, untuk memperhatikan saudaranya yang sedang ditimpa musibah, “Bahkan kita mendoakan rakyat Palestina, semoga diberi kesabaran dan kekuatan saja sudah merupakan bentuk kepedulian kita,” imbuhnya.

    Menurut Teddy, seandainya saja tidak dalam suasana pandemi, LDII Insya Allah akan demo turun ke jalan untuk memberikan dukungan moral kepada Palestina, sebagaimana dilakukan LDII bersama MUI dan Ormas-ormas Islam beberapa tahun yang lalu. (Rls)

  • Opini : Tanda Diterimanya Amal Ibadah Ramadhan dan Naiknya Derajat Umat Islam

    Tanda Diterimanya Amal Ibadah Ramadhan dan Naiknya Derajat Umat Islam
    Oleh Dr. KH. Abdul Syukur, M.Ag
    (Wakil Dekan III FDIK)

    Bulan Ramadan tahun ini hampir berlalu. Para malaikat mulai begegas akan kembali ke alam samawat (langit) yang selama Ramadhan turun ke bumi. Selama di bumi, para malaikat Allah selalu mendoakan umat Islam yang tekun dan ikhlas berpuasa dan beribadah lainnya di bulan Ramadhan. Orang – orang saleh, para wali pun menangis karena para malaikat mulai begegas menuju ke langit. Ini tanda bulan Ramadhan yang penuh rahmat, maghfirah, berkah, dan berbagai bonus pahala yang Alloh sediakan bagi siapa saja yang ingin meraup pahala dan kebaikan. Adalah bagi umat Islam yang ikhlas, tekun, istiqamah melakukan amalan ibadah puasa dan ibadah lainnya, baik ivsfsj mahdhah ataupun ibadah ghairu mahdhah. Namun, bentar lagi Ramadhan telah berlalu. Semoga Allah Swt mempertemukan kita pada bulan Ramadan tahun-tahun berikutnya. Aamiin Ya Rahman.

    Bulan Ramadhan memiliki ciri-ciri utamanya adalah mengamalkan ibadah puasa seperti tertera dalam QS. Al-Baqarah:183 disebut shiyam (الصيام). Tetapi, masih banyak ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadan yang begitu dikenal seperti shalat tarawih, tadarus, i’tikaf, dzikir, dan qiyamul lail, atau yang disebut ibadah mahdhah. Namun ada juga ibadah sosial yang disebut ibadah ghairu mahdhah seperti memberi bukaan puasa (takjil), nasi bungkus, membagi bingkisan/THR, infaq atau sodaqoh lainnya, menjaga prokes Covid-19 untuk menjaga kesehatan dan keselamatan diri kita dan keluarga serta masyarakat, me. Nshsn diri untuk tidak mudik sebagsi ikhtiar menghindari Penilaian pandemi Covid-19, memberi senyum sekalipun untuk membshsgiasn orang lain serta membantu dan menolong denga harta dan tenaga serta nasehat atau mematuhi fatwa ulama dan edaran pemerintah tentang mudik dan shakat idul fitri, serta ibadah lainnya untuk kemanusiaan dan kebersamaan dengan niat karena Allah dan ibadah kepada-Nya.

    Bahkan ibadah lainnya seperti menjaga ukhuwah, mendatangkan maslahah, mencegah maksiat, dan menghindari fitnah, adu domba, hoaks, serta ujaran kebencian, menjaga ketertiban dan keamanan dalam suasana idul fitri dan di luar Ramadhan, menjaga NKRI, memelihara persatuan dan persaudaraan atsu ukhuwah itu juga ibadah. Jadi, apapun dan di mana pun bentuk perbuatan dan ucapan kebaikan, kalau diniati karena Allah, maka semua itu ibadah.

    Petunjuk Allah Swt, antara lain ayat-ayat terkait ibadah Ramadan tentang puasa (QS. 2: 183), Berpuasalah atas dasar Iman kepada Allah, sebab Allah hanya memanggil dan mewajibkan puasa hanya kepada orang-orang yang beriman (الذين آمنوا), Itu adalah مؤمنين والمؤمنات.

    Orang yang berpuasa dan bersemangat untuk meraih tujuan puasa yaitu meningkatnya taqwa kepada Allah Swt. untuk menaikkan derajat dari Mukmin menjadi Muttaqin, yaitu menjadi Muttaqin yang sebenarnya (متقين حقا).

    Orang yang berpuasa dan berkeinginan kuat mengharap ridha Allah Swt, harapan meningkatnya status dan derajat dari Mukminin (مؤمنين) menjadi Muttaqin (متقين) dan terus meningkat menjadi ahli kebaikan (اهل الخير) dalam QS. 2:184. Ahli kebaikan itu juga disebut Mihsinin (محسنين) yaitu orang yang berpuasa dan setelah selesai berpuasa meningkat akhlaknya (akhlakul karimah) seperti menjadi orang yang selalu pandai bersyukur kepada Allah (لعلكم تشكرون) (QS. 2: 183), dan suka memberikan petunjuk yang benar seperti nasehat, taushiyah, dan fatwa sehingga ahli kebaikan selalu mendapat petunjuk Allah, yaitu لعلهم يرشدون yang artinya “semoga mereka selalu mendapat petunjuk Allah (QS. 2: 186).

    Orang yang berpuasa juga selalu menjaga serta meningkatkan taqwa (QS. 2:187) yaitu لعلهم يتقون. Uji taqwa seseorang yang berpuasa di bulan Ramadhan, digambarkan dalam QS. 2: 187 yaitu: tidak RAFATS ialah tidak bersetubuh suami dan istri di saat puasa (sejak imsak hingga waktu berbuka). Artinya mampu mengendalikan syahwat.

    Uji taqwa orang berpuasa juga tidak tergiur makan dan minum selama saat berpuasa, mampu mengendalikan nafsu kelezatan. Selain itu, perbanyak iktikaf, berzikir, baca Al Qur’an, dan ibadah sosial untuk menepis sifat bakhil, pelit, medit, dan belajar bebagi, sadaqah, dan lainnya.

    Itulah semua di atas merupakan tanda- tanda beribadah yang diterima oleh Allah dari ibadah-ibadah yang diamalkan selama bulan Ramadan. Dalam penghujung QS.2:187 dijelaskan:
    كذالك يبين الله آياته للناس لعلهم يتقون
    “Demikian penjelasan Allah tentang tanda-tanda kebesaran-Nya kepada manusia, semoga mereka selalu bertaqwa kepadaNya.”

    Petunjuk Nabi Saw, dalam Hadis dijelaskan من صام رمضان ايمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه وما تاخر
    “Siapa yang berpuasa dilandasi iman dan ihtisab (mengikuti prosedur, memanej puasa dengan baik, mengharap rahmat, maghfirah dan berkah Allah), maka diampuni dosanya oleh Allah Swt.”

    Petunjuk ulama, berarti mengikuti fatwa ulama, ittiba’ dengan pendapat ulama, dan bukan penceramah yang provokatif, kebohongan dan ujaran kebencian. Ulama, menurut Hadits Nabi Saw, adalah pewaris para Nabi untuk memberi taushiyah, ceramah, atau berdakwah kepada umat.

    Petunjuk umara yaitu taat kepada aturan pemerintah, apalagi situasi pandemi Covid-19 yang masih mewabah di tengah masyarakat, supaya orang yang beribadah di bulan Ramadan menaati umara dan ulama.

    Dengan demikian, tanda-tanda diterimanya ibadah Ramadan bagi orang yang beribadah puasa dan ibadah lainnya untuk meningkatkan iman dak takwa serta derajat umat Islam. Tanda-tanda itu akan tampak baginya adalah di bulan Syawal. Orang atau mereka yaitu umat Islam akan mengalami peningkatan ibadah dan amal salehnya, itu indikator ibadahnya diterima Allah Swt. Indikator tersebut dengan meningkatnya iman dan taqwa yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan.

    Kemudian, apa tanda-tanda amal ibadah Ramadan yang diterima oleh Allah Swt, dan meningkatnya derajat umat Islam ? Jawabnya dengan penjelasan sebagai berikut:

    1. Beribadah harus didasari niat karena Allah (ikhlas dan khusyuk, bukan ria);

    2. Beribadah yang bertujuan untuk meningkatkan iman dan taqwa serta akhlakul karimah (sabar dan syukur, rasyidah);

    3. Beribadah yang dapat meningkatkan kesalehan individu sekaligus kesalehan sosial;

    4. Beribadah yang dikelola dengan baik (ihtisab an) seperti hati, lisan, sikap dan perbuatan terhindar dari segala maksiat, sehingga bersih hati, jiwa dan perbuatan, yang selalu cinta dan dekat kepada Allah Swt.

    5. Beribadah yang membuat makin dekat dengan Allah, makin mencintai Allah dan Rasul-Nya, sesama kita umat Islam dan dengan umat non muslim.

    Semoga ada manfaatnya, dan mohon maaf atas kekurangan.

  • Opini: Mensunyi-Senyapkan Idul Fitri, Meramaikan Maaf

    Mensunyi-Senyapkan Idul Fitri, Meramaikan Maaf

    Miftahus Surur

    Sekretaris Umum MUI Kaupaten Lampung Barat

    Hadirnya Kesepakatan Bersama antara Gubernur, Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Lampung, Rektor UIN Raden Intan, MUI Provinsi Lampung dan para Bupati serta Walikota se Provinsi Lampung belakangan ini terasa mengejutkan banyak pihak. Bagaimana tidak, setelah terbit larangan mudik pada lebaran tahun 1442 H ini, lalu publik tersajikan oleh kesepakatan itu. Pro kontra, celoteh, cemooh, kutukan, juga dukungan meruyak membanjiri dunia maya.

    Kita mengerti dan juga maklum bahwa kesepakatan yang dibuat itu tentu saja tidak mudah. Bukan hanya karena situasi saat ini yang – seolah-olah – dianggap biasa saja, melainkan juga ini menyasar ranah tradisi keagamaan masyarakat yang sudah berjalan puluhan tahun. Masyarakat belum terbiasa, dan tampaknya sulit membayangkan bahwa 1 Syawal dilalui tanpa shalat id berjamaah di masjid atau di lapangan terbuka. Pertanyaannya; apakah Idul Fitri itu hanya absah dengan adanya shalat Id?

    Tentu saja tidak. Siapapun mengerti bahwa dalam tataran yang normatif, Shalat Id bukanlah masuk dalam kategori ibadah mahdlah, bukan ke-fardlu-an yang harus. Tetapi harus diakui selalu ada luapan keriangan di sana. Entah karena ia hanya dilaksanakan setahun sekali, atau mungkin karena ia merupakan penghilang dahaga bagi orang-orang yang sebulan penuh menjalankan puasa. Tetapi yang tampak lebih kentara adalah karena shalat Id itu dilaksanakan beriring dengan momentum lebaran; ada pertemuan keluarga, si perantau yang pulang, pakaian baru yang bertebaran, juga angpaw yang selalu dinanti. Jadi shalat Id menjadi bermakna karena ada lebaran itu, dan kita pasti sulit membayangkan seandainya shalat Id tanpa lebaran.

    Dua momentum itu – shalat Id dan lebaran – saat ini terancam tidak tersajikan, bukan hanya karena pelaksanaan shalat Id itu yang “harus” dikerjakan di rumah, juga larangan mudik membuat pertemuan si perantau dengan keluarga di kampung halaman tidak termungkinkan. Banyak yang memekik karena larangan mudik itu. Mereka yang terbiasa mudik sudah membayangkan untuk kembali membuat parade panjang tentang nostalgia. Bagi yang sukses di negeri orang, kepulangan mereka adalah sebagai pembuktian diri bahwa mereka sudah menjadi “orang” atau wis dadi wong, kata orang Jawa. Bagi mahasiswa yang lulus di kampus ternama, maka pulang berarti sebuah himbauan bahwa ia adalah mahasiswa yang mumpuni dan perlu diperhitungkan.

    Sementara bagi yang biasa-biasa saja, pulang ke kampung halaman tetap menyisakan harapan untuk sekedar berkumpul dengan keluarga dan menghela nafas sejenak dari penatnya kehidupan. Dan mungkin juga ada yang sekedar ingin menunjukkan ke orang-orang kampung bahwa dirinya telah menjadi “orang kota.” Tetapi juga disana ada yang ingin pulang untuk merajut kebahagiaan melalui penumpahan air mata saat ia njelepok sungkem di hadapan sang ayah-ibu.

    Kini, kesepakatan telah dibuat, kebijakan sudah ditebar. Maka tampaknya tidak perlu lagi hiruk dan terus-menerus menghujat, nggerundel, dan mencemooh sana-sini. Peraturan yang sudah diambil – sebagaimana kerap dinyatakan oleh para ahli dan analis kebijakan – tidak akan mampu memuaskan semua orang. Kebijakan yang ingin memutus rantai dan tali-temali penularan Covid-19 tetap harus diterima, bukan lagi dengan kebencian melainkan dengan penuh permakluman bahwa bertambahnya tubuh-tubuh yang mengalami sesak dan lunglai akibat Covid-19 akan terus berpotensi besar terjadi, yang mungkin akan menimpa orang-orang terkasih di sekitar kita.

     

    Merenungkan Kembali Makna Idul Fitri

    Dengan adanya kebijakan itu, maka hampir pasti Idul Fitri tahun ini akan sunyi senyap. Tiada lagi sajian berita arus mudik dan arus balik yang selama bertahun-tahun ingin disaksikan. Entah dimana daya tariknya, tetapi hampir setiap orang selalu menyaksikan tontonan di televisi tentang hal ihwal seputar mudik. Penonton tak hendak “ikut serta” merasakan kondisi para pemudik, bagaimana panasnya, seperti apa lelahnya, dan bagaimana pahit getirnya selama di perjalanan. Penonton televisi telah berubah sikap dimana kenyataan yang menggelisahkan itu menjelma menjadi “keasyikan-keasyikan” yang meletup-letup, sehingga dengan itu sulit untuk tidak disaksikan.

    Pada konteks ini, seyogyanya kebijakan itu tidak lagi diarahkan maknanya pada penting atau tidaknya mudik ke kampung halaman, tetapi difokuskan pada perayaan hakiki dari Idul Fitri, yaitu suatu keinginan diri untuk kembali menjadi pribadi yang kosong dari cela (fitri). Pengosongan diri dari noda dan khilaf itu hanya dapat dilakukan melalui dua hal; pertama, jika ia berkhilaf kepada Allah swt, maka cara penyuciannya melalui permohonan ampunan (istighfar). Kedua, jika ia berdosa kepada sesama, maka satu-satunya cara pembersihannya hanyalah melalui permohonan maaf.

    Lebih jauh, cara yang kedua inilah yang sejak lama dihembuskan oleh para ulama dan sesepuh kita bahwa permohonan maaf itu bukan hanya sebagai cara penghapusan noda dari khilaf, melainkan juga sebagai pengakuan bahwa “saya salah.” Dan pengakuan atas kesalahan itu akan memaklumkan seseorang bahwa dirinya adalah makhluk lemah, tak bernilai di hadapan orang yang ia sakiti, dan karena itulah ia kehilangan eksistensi. Maka permohonan maaf juga dilakukan dalam rangka mengembalikan eksistensi diri sendiri di hadapan orang lain.

    Sebegitu pentingnya permohonan maaf itu, sampai-sampai Allah swt mengabadikannya dalam Al-qur’an sebagai salah satu ciri dan sifat hamba-Nya yang bertakwa, yang dalam kalam Allah disebut dengan wal ‘aafiina ‘an al-naas (lihat QS. Ali Imran, 134). Menariknya, posisi hamba yang bertakwa itu pula yang menjadi tujuan puasa Ramadhan. Maka seolah-olah ada kesan bahwa untuk menyandang predikat takwa harus dilalui dengan dua jalan yang saling terhubung, yaitu puasa Ramadhan, dan setelah itu dibarengi dengan permohonan maaf antar sesama.

    Nah pada titik itulah, kehadiran Idul Fitri menjadi sangat penting. Ia tiadalah berarti apa-apa jika kehilangan nuansa dan suasana permohonan maaf. Dan tampaknya Allah swt telah mendesain Idul Fitri sebagai salah satu ruang yang paling tepat untuk mengurai rasa bersalah setiap orang. Meskipun benar bahwa “minta maaf” itu dapat dilakukan kapan saja, tetapi pada satu kondisi atau situasi psikologis tertentu, tidak sedikit orang yang membutuhkan saat-saat yang sangat khusus untuk mengurai kekeliruannya.

    Jika sudah demikian, maka Idul Fitri tahun ini cukup digegap gempitakan dengan beramai-ramai memohon maaf, tanpa harus hadir secara wadag di hadapan orang-orang terdekat kita. Kecanggihan teknologi dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan maaf, meskipun belum mampu menyalurkan hasrat dan rasa secara sempurna. Tetapi setidaknya kita menjadi yakin bahwa permohonan maaf itu lebih penting dari sekedar perayaan Idul Fitri atau lebaran yang tidak jarang justru mempertontonkan keangkuhan dan glamourisme melalui kompetisi sajian jajanan dan kerlap-kerlip pakaian baru.

    Idul Fitri boleh sunyi, tetapi permohonan maaf tetap harus ramai. Karena permaafan itu bukan hanya akan menggiring manusia pada predikat takwa, melainkan juga dari permaafan itulah suatu peradaban bangsa dibentuk. Bukankah peradaban Islam ini pun dibentuk, sebagian besarnya bermula dari permaafan Nabi Muhammad saw atas kekejaman kaum kafir? Tampaknya memang demikian. Wallahu a’lam bisshawab.

     

     

  • Opini: Keistimewaan Ramadhan Bagi Umat Islam

    Keistimewaan Ramadhan Bagi Umat Islam
    Dr. Agus Hermanto, MHI
    Komisi Dakwah MUI Lampung

    Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, penuh ampunan, malam Lailatul Qadar ada di dalamnya, di bulan ini juga saat diturunkannya Al-Qur’an. Bulan suci Ramadhan merupakan kesempatan bagi setiap hamba Allah untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Sebagaimana hadist Rasulullah Saw bersabda,”Barangsiapa berpuasa karena keimanan dan semata-mata mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

    Selama bulan Ramadhan, umat Islam akan melaksanakan puasa dengan menahan rasa haus, lapar dan hawa nafsu dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dan jika kita berpuasa, maka puasakanlah juga pendengaran, penglihatan, lisan dan seluruh anggota badan. Puasa Ramadhan dilaksanakan selama sebulan penuh, kewajiban tersebut sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

    Seperti yang diketahui puasa Ramadhan menjadi salah satu ibadah utama yang dijalankan oleh umat muslim, juga segala amal ibadah di bulan Ramadhan termasuk membaca Al-Qur’an, bersedekah, shalat sunah tarawih, shalat Tahajjud, dan amal ibadah lainnya yang mendatangkan pahala berlipat dibanding bulan-bulan lainnya. Berbagai macam keistimewaan yang dimiliki oleh bulan Ramadhan menjadikannya berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa umat Islam mendapatkan lima keistimewaan dengan datangnya bulan Ramadhan sebagaimana beliau tegaskan berikut ini: “Di bulan Ramadhan umatku diberi lima keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya.”

    Kelima keistimewaan tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Bau mulut orang yang berpuasa di hadapan Allah lebih baik dari pada minyak misik

    Secara jujur kita mengakui bahwa bau mulut orang berpuasa tidak sedap. Hal ini terjadi karena produksi air liur dalam mulut dan dalam saluran pencernaan berkurang, sehingga menjadi lebih kering. Akibatnya timbul halitosis atau bau mulut yang khas yang tak jauh berbeda dengan ketika kita bangun tidur. Salah satu kiat kita adalah memperbanyak mengkonsumsi air putih selama berbuka hingga sahur. Kiat lain adalah menggosok gigi sehabis sahur atau paling akhir sebelum masuk waktu dzuhur. Setelah dzuhur, menggosok gigi ataupun bersiwak tidak dianjurkan karena hukumnya makruh. Oleh karena itu setelah dzuhur bau mulut yang tak sedap itu tidak perlu dirisaukan karena bagi Allah SWT bau seperti itu lebih baik dari pada bau minyak misik.

    Selain itu, perlu kita sadari bahwa bau mulut yang tak sedap itu sesungguhnya memiliki hikmah atau manfaat tertentu. Misalnya, bau itu menjadi salah satu pembeda antara orang yang berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa. Dengan bau seperti itu orang yang berpuasa akan cenderung lebih banyak diam dari pada bicara yang tidak perlu. Apalagi berkata jorok atau misuh-misuh, jelas hal seperti itu sangat tidak pantas keluar dari mulut orang yang berpuasa karena hanya akan mengurangi kualitas ibadah puasanya. Maka dengan bau tak sedap itu orang-orang yang berpuasa diharapkan dapat menyadari keadaannya sehingga bisa menjaga mulutnya dengan baik dari kata-kata kotor, misalnya dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, membaca dzikir, istighfar, shalawat dan sebagainya. Dengan memperbanyak ibadah lisan seperti itu sudah pasti bau tak sedap itu akan mendapat perimbangan dan kemudian diganti oleh Allah dengan bau-bau wangi yang bahkan lebih wangi dari pada minyak misik atau yang dikenal juga dengan minyak kasturi yang berasal dari rusa jantan.

    1. Orang-orang yang berpuasa semuanya dimintakan ampunan oleh para malaikat hingga mereka berbuka

    Keistimewaan kedua ini, menjadi keutamaan besar bagi orang-orang yang berpuasa. Kita semua tahu bahwa malaikat adalah makhluk yang tak kenal maksiat kepada Allah SWT sehingga doa-doanya mudah dikabulkan. Para malaikar itu dari saat imsak hingga berbuka senantiasa memintakan ampunan kepada Allah SWT agar orang-orang yang berpuasa diampuni dosa-dosanya. Oleh karena itu, di bulan puasa ini kita mendapat anugerah yang luar biasa dimana para malaikat mendoakan orang-orang yang berpuasa secara terus menerus dari saat imsak hingga saat berbuka yang durasinya mencapai kira-kira 14 jam. Kita sendiri tak mampu melakukan istighfar secara terus menerus hingga selama itu.

    1. Di bulan Ramadhan para setan dibelenggu yang semuanya tidak bisa lepas seperti di bulan lainnya

    Kita semua tentu merasakan di bulan puasa, kita menjadi seperti malas untuk berbuat apa saja kecuali ibadah. Semangat kita untuk beribadah meningkat dibandingkan dengan di luar Ramadhan. Hal ini terjadi karena setan-setan dibelenggu hingga selesainya Ramadhan. Ini semua merupakan kemurahan Allah SWT dalam rangka memberi kesempatan kepada kita untuk menambah pundi-pundi amal ibadah kita. Di luar Ramadhan mungkin kita lebih banyak berpikir dan melakukan hal-hal yang bersifat duniawi saja.

    Dengan dibelenggunya setan-setan di bulan Ramadhan, maka secara teori setidaknya kemaksiatan bisa ditekan serendah-rendahnya. Kemaksiatan-kemaksiatan yang ada tentu sulit dikaitkan dengan keterlibatan setan. Mereka alibi dalam hal ini. Jika demikian halnya, maka kemaksiatan-kemaksiatan itu timbul karena kesalahan kita yang tidak mampu mengendalikan nafsu yang ada dalam diri kita sendiri.

    1. Setiap hari di bulan Ramadhan Allah memperindah surga untuk orang-orang yang berpuasa

    Keistimewaan keempat ini dimana Allah menghiasi surga dengan indahnya untuk menyambut para hamba-Nya yang berpuasa memiliki nilai spiritualitas yang sangat tinggi. Kepada surga Allah berfirman,”para hamba-Ku yang berpuasa hampir menemukan hasil dari jerih payahnya hingga sampai kepadamu.” Kalimat ini mengandung arti bahwa tak ada balasan bagi orang-orang yang berpuasa kecuali surga karena ibadah puasa memang untuk Allah, sehingga Allah sendiri yang akan membalasnya.

    1. Di akhir malam bulan Ramadhan Allah memberikan ampunan

    Dalam keistimewaan kelima ini, Allah mengampuni orang-orang berpuasa pada setiap akhir malam, dan itu bukan merupakan lailatul qadar. Lailatul Qadar adalah satu hal dan ampunan Allah pada setiap akhir malam dibulan Ramadhan merupakan hal lainnya. Artinya orang-orang berpuasa berhak mendapatkan ampunan sebagai imbalan ibadahnya kepada Allah SWT. Sedangkan Lailatul Qadar diberikan kepada orang-orang tertentu sesuai dengan pilihan Allah sendiri. Maka beruntunglah mereka yang selain mendapatkan ampunan dari Allah tetapi juga mendapatkan kebaikan lailatul qadar yang nilainya lebih tinggi dari pada kebaikan seribu bulan.

    Kelima hal diatas sebagaimana telah diuraikan merupakan keistimewaan bulan Ramadhan yang hanya diberikan kepada umat Nabi Muhammad  Saw. Kita bersyukur bahwa kita semua menjadi umat beliau. Untuk itu semoga kita semua dapat menjalankan ibdah puasa tahun ini dan tahun-tahun berikutnya dengan sebaik-baiknya sehingga kelima keistimewaan diatas dapat kita raih seluruhnya. Aamiin yaa rabbal alamiin

  • Opini: Merajut Kesalehan Sosial di Tengah Pandemi

    Merajut Kesalehan Sosial di Tengah Pandemi

     Miswanto, M.H.I.

    Dosen UIN RIL/Santri PP. Al Hikmah BL

    Puasa Ramadhan adalah amalan istimewa yang Allah berikan untuk umat Islam, dijadikan istimewa karena puasa ramadhan “hanyalah untuk-Ku (Allah) dan Akulah (Allah) yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung (HR Bukhari : 7/226”. Hikmah dan kebajikannya pun bersifat multidimensional, bukan saja fokus pada kondisi moral dan spiritual, tetapi juga memiliki efek pada kesalehan pribadi (individu) dan juga kesalehan sosial, karena sejatinya tujuan akhir dari ritual puasa yaitu “agar kita menjadi orang yang bertakwa/la’allakum tattaquun (QS. Al-Baqarah: 183)”. Tentu ini semua bisa diraih oleh umat islam yang menjalankan puasa bukan sekedar untuk menahan (imsak) dari hal-hal yang bersifat biologis tapi juga menahan (imsak) dari hal-hal yang bersifat psikologis.

    Dimensi sosial pada ibadah puasa dapat dilihat dari beberapa aspek yang ada di dalam ritual tersebut:

    Pertama : orang yang berpuasa mengharuskan dirinya untuk menahan (imsak) terhadap kebutuhan biologis, yaitu makan dan minum. Proses ini sejatinya merupakan media untuk melatih seseorang agar mampu mengendalikan diri dari dorongan syahwat yang berpusat pada perut dan juga sebagai wahana untuk melatih kepekaan sosial seseorang dengan ikut merasakan beratnya kondisi dikala harus menahan haus dan lapar yang disebabkan karena kondisi kemiskinan terlebih di kala Pandemi Covid 19 yang sedang melanda Dunia.

    Pandemi Covid 19 telah meluluhlantakkan tatanan kehidupan sosial terlebih pada aspek ekonomi, terjadinya PHK secara masal, usaha-usaha individu gulung tikar karena adanya pembatasa sosial, di sisi lain kebutuhan hidup tetap harus terpenuhi. Tentu keadaan ini tidak akan mampu untuk dihadapi secara individu atau kelompok, tetapi membutuhkan semua elemen bangsa bergandeng tangan menyusun strategi dan kekuatan agar mampu mengatasi pandemi secara komprehensif, yang kuat membantu yang lemah dan yang kaya membantu yang miskin. Dan momentum Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk belajar serta membiasakan saling memberi dan membantu sesuai dengan kemampuan masing-masing.

    Kedua : Pada bulan Ramadhan juga disyariatkan Zakat Fitrah, yaitu zakat yang dikeluarkan beberapa hari sebelum bulan puasa berakhir. Kewajiban membayar zakat fitrah berlaku bagi semua Muslim yang mampu dari segi harta, baik bagi laki-laki dan perempuan yang sudah baligh maupun belum baligh. Ada delapan golongan yang berhak untuk mendapatkan zakat fitrah di bulan suci Ramadan. Hal ini dijelaskan di dalam QS. At-Taubah: 60.

    إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

    Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’alaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah:60)

    Selain sebagai penyempurna ibadah Puasa, zakat Fitrah juga semakin memperteguh adanya Kesalehan Sosial yang harus diraih pada seseorang yang menjalankan puasa pada bulan Ramadhan yaitu ikut bahu membahu membantu masyarakat yang kurang mampu dalam sektor ekonomi. “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah, untuk membersihkan orang yang berpuasa dari lontaran kata yang tidak bermanfaat dan kotor, serta untuk memberi makanan kepada orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud)”.

  • Opini : Amalan-Amalan  Bagi Perempuan Haid di Bulan Ramadan

    Amalan-Amalan  Bagi Perempuan Haid di Bulan Ramadan

    Oleh: Yeni Yuliyanti, S.Th.I

    Penyuluh Agama Islam Kab. Lampung Barat

    Bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh rahmat yang diberikan olah Allah SWT kepada hambanya. Bulan Ramadan adalah saat yang paling ditunggu untuk menunaikan ibadah puasa. Sayangnya, tidak semua orang bisa merasakan nikmatnya berpuasa selama bulan Ramadan serta melakukan segala amalan baik yang diganjar berlipat ganda daripada bulan lainnya. Ada beberapa golongan yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa seperti  uzur (sudah tua) dan musafir. Ada pula yang haram hukumnya untuk menjalankan puasa, yakni wanita yang sedang nifas dan haid di bulan suci Ramadan.

    Sedih, mungkin itu yang dirasakan para perempuan taat yang tidak bisa menjalani ibadah puasa Ramadan secara penuh. Kodratnya sebagai perempuan dewasa yang pasti mengalami haid atau menstruasi tiap bulan menghalanginya untuk menjalankan sejumlah ibadah tertentu. Puasa, bahkan secara otomatis batal ketika darah itu keluar meski si perempuan sudah menahan lapar seharian hingga menjelang maghrib tiba. Dan atas batalnya ini ia diharuskan mengganti (qadla) di luar Ramadan. Menjalani puasa dengan berbagai kesulitannya ini saja sesungguhnya termasuk ibadah tersendiri bagi perempuan. Butuh kesabaran dan keikhlasan melewatinya, yang belum tentu bisa dilakukan  oleh setiap laki-laki.

    Dalam kitab Taqrib dijelaskan, ada delapan jenis ibadah yang dilarang bagi perempuan yang sedang haid atau nifas, yaitu salat, puasa, membaca Al-Qur’an, menyentuh dan membawa mushaf, masuk masjid, thawaf, jima’ dan bersenang-senang di sekitaran organ kemaluan. Dalam hal ini para Ulama berbeda pendapat dengan delapan larangan yang dianut mayoritas ulama Syafi’iyah ini. Misalnya, madzhab Malik secara mutlak membolehkan membaca Al-Qur’an, dan madzhab  hambali yang membolehkan I’tikaf di masjid.

    Bulan Ramadan menjadi momen melipatgandakan kebaikan dan amal ibadah. Perempuan yang sedang haid memang mendapat batasan untuk menunaikan ibadah-ibadah tersebut. Namun, ia bisa melakukan ibadah-ibadah lain yang jumlahnya lebih banyak, dan anjurannya memang jelas dalam dalil-dalil yang bersifat umum. Amalan perempuan yang sedang haid tersebut memiliki nilai pahala yang sama ketika mengerjakan salat di waktu suci.  Contoh ibadah-ibadah tersebut diantaranya:

    1. Mencari Ilmu

    Mencari ilmu menjadi pilihan bagus ibadah bagi perempuan yang sedang haid atau nifas, baik dilakukan secara otodidak dengan membaca buku atau kitab, ataupun melalui bimbingan guru dengan mendatangi majelis-majelis ilmu. Mencari ilmu dalam Islam bersifat wajib. Manfaatnya yang sangat besar bagi diri sendiri dan orang lain membuat kegiatan tersebut masuk kategori ibadah, bahkan setara dengan jihad.

    “Belajarlah ilmu, sesungguhnya belajar ilmu karena Allah adalah suatu bentuk ketakwaan. Mencari ilmu adalah ibadah, menelaahnya adalah tasbih, dan mengkajinya adalah jihad,” (HR. Ad-Dailami)

    1. Memperbanyak Dzikir

    Dzikir adalah perbuatan yang dianjurkan untuk siapa saja dan kapan saja. Dzikir adalah indikasi hidupnya hati. Jenis dzikir sangat banyak, bisa berupa ucapan tasbih, tahmid, takbir, hauqalah, dan lain sebagainya. Aktif dalam majelis istighotsah, tahlilan, atau forum dzikir lainnya karena itu termasuk bernilai ibadah.

    Dalam konteks Ramadan, umat Islam dianugerahi kesempatan Lailatul Qadar yang disebut Al-Qur’an setara dengan seribu bulan. Meski banyak Ulama yang meyakini bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, sejatinya jadwalnya hanya Allahlah yang Maha Mengetahui. Perempuan haid/nifas, sebagaimana umat Islam pada umumnya, sangat dianjurkan memanfaatkan hari demi hari, detik demi detik, sepanjang bulan suci Ramadan ini untuk beribadah, termasuk berdzikir.

    3.Membangunkan sahur dan menyiapkan makan sahur

    Membangunkan sahur dan menyiapkan makan sahur bagi orang berpuasa termasuk amalan penuh pahala bagi perempuan haid di bulan Ramadan. Ini karena amalan sekecil apapun akan bernilai ibadah yang besar di bulan Ramadan.

    Rasulullah bersabda, yang artinya” Setiap kebaikan adalah sedekah, dan diantara kebaikan adalah kamu berjumpa saudaramu dengan wajah yang menyenangkan, dan kamu menuangkan air dari embunmu ke dalam bejana milkik saudaramu.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ahmad)

    1. Memberi Makan Orang Berpuasa

    Menyiapkan hidangan berbuka puasa atau memberi makan orang yang berpuasa ternyata menjadi salah satu amalan penuh pahala bagi perempuan haid di bulan Ramadan. Nilainya bahkan setara dengan orang yang berpuasa. Sebagaimana diterangkan dalam hadis riwayat Tirmidzi, yang artinya:”Barangsiapa yang memberi makan orang yang berbuka puasa, dia mendaparkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”

    1. Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an

    Amalan yang penuh pahala bagi perempuan haid di bulan Ramadan adalah mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Meski tidak diperbolehkan untum membaca Al-Qur’an, perempuan yang haid tetap dianjurkan untuk mendengarnya. Hal ini didasari hadis riwayat Ibnu Majah. Dari Aisyah Ra ia berkata,” Rasulullah Saw meletakkan kepalanya dipangkuanku saat aku sedang haid, dan ia membaca Al-qur’an.”

    1. Berdoa

    Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh keistimewaan yang menawarkan banyak sekali pahala dan ampunan. Karena itu berdoa di bulan Ramadan merupakan kesempatan emas bagi siapapun, termasuk perempuan haid. Bahkan ada satu malam yang begitu istimewa yang kita kenal dengan malam lailatul qadar. Meski perempuan yang sedang haid tidak bisa beri’tikaf di masjid, namun mereka bisa berdo’a untuk mendekatkan diri dan memohon ampunan kepada Allah SWT.

    1. Memperbanyak Sedekah

    Memperbanyak sedekah bisa dengan berbagai cara, mulai dari memberi santunan anak yatim, fakir miskin, hingga hanya menebar senyuman kebaikan. Yang penting kita mengerjakannya dengan ikhlas dan istiqamah. Sebagaiman hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi: “Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang paling banyak menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim)

    1. Memperbanyak Kegiatan Sosial

    Terkadang kita lebih fokus kepada amalan ibadah yang sifatnya ritual belaka. Padahal melakukan kegiatan sosial juga bisa meningkatkan pahala dan keberkahan Ramadan. Contoh kegiatan sosial seperti mengajar anak yang kurang mampu, memberikan santunan kepada anak-anak yatim, bersih-bersih lingkungan dan kegiatan yang sifatnya sosial lainnya.

    Amalan seperti ini, selain mendekatkan diri kepada Allah SWT juga dapat mempererat tali silaturrahmi antar sesama. Demikian 8 amalan penuh pahala bagi perempuan haid di bulan Ramadan.

  • Opini: Ramadhan Mubarok

    Dr. Agus Hermanto, MHI

    Oleh

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Ramadhan sering disebut sebagai syahrun mubarakun yaitu bulan yang barokah bahwa bulan ramadhan adalah bulan yang membawa keberkahan, pahala ibadah dibulan ramadhan akan senantiasa dilipat gandakan, syahrul qur’an yaitu bulan diturunkannya al-Qur’an, karena pada bulan ramadhan tersebut diturunkannya al-Qur’an, syahrun maghfiratun yaitu bulan pengampunan, dimana Allah swt., akan senan tiasa mengampuni dosa setiap hamba yang senang menyambut datangnya bulan ramadhan dan menjalankan ibadah puasa penuh dengan keimanan kepada Allah swt.

    Bulan ramadhan juga sering disebut syahrul ukhuwwah, yang mana pada bulan ramadhan kaum muslimin diharapkan untuk dapat menjaga persaudaraan dengan cara memberikan zakat, dan sebagaianya, syahrul ibadah, yaitu bulan yang membuka peluang bagi kaum muslimin untuk beribadah sebanyak-banyaknya, karena Allah akan senantiasa melipat gandakan segala pahala dari ibadah hamba-Nya pada bulan ramadhan, Syahrul Jihad, artinya bahwa puasa merupakan jihad untuk menahan hawa nafsu, menjaga dari lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dan dari segala hal yang membatalkannya, sayhrut tarbiyah, bahwa bulan ramadhan merupakan bulan untuk melatih diri kita dan anak-anak kita agar belajar berpuasa, beribadah, membaca al-Qur’an, berdzikir dan sebagainya.

    Keberkahan Pertama, Bulan ramadhan menjadi penyebab diampuninya dosa dan terputusnya berbagai masalah, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang berpuasa ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah swt.,) niscaya akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim).
    Dalam hadis lain, rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa yang bergembira akan hadirnya bulan Ramadhan, maka jasadnya tidak akan tersentuh sedikit pun oleh api neraka.”
    (HR. an-Nasa’i)

    Keberkahan lain yang disampaikan dalam hadist Rasulullah saw., adalah: “Shalat fardhu lima waktu, shalat jum’at kejum’atnya, dan ramadhan ke ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosanya yang dilakukan diantara masa tersebut seandainya dosa-dosa besar dijauhkan” (HR. Muslim).

    Keberkahan Kedua, pada bulan ramadhan ini ada satu kemuliaan dimana pada bulan tersebut lebih mulai daripada seribu bulan, malam itu disebut sebagai lailatul qadr.

    Keberkahan Ketiga, bulan ramadhan merupakan bulan dibukannya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka, hal ini senagaimana disampaikan oleh hadist Rasulullah saw., “Apabila ramadhan datang maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syaithan-syaithan dibelenggu” (HR. Bukhari). Dalam hadist yang lain dikatakan “Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan yang penuh barakah”(HR. Nasa’i dan Ahmad).

    Keberkahan Keempat, banyaknya keberkahan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, keutamaan yang bersifat duniawi adalah; 1) ketaqwaan keapada Allah swt., 2) pelipatan pahala, 3) bau mulut orang yang berpuasa seperti wanginya minyak kasturi, 4) bagi orang yang berpuasa itu mendapatkan dua kebahagiaan (kebahagiaan pada saat berbuka dan kebahagiaan berjumpa dengan Tuhannya), 5) masuknya orang yang berpuasa ke surga melalui pintu khusus yang disebut al-Rayyan.

    Keberkahan yang bersifat sosial adalah; 1) membiasakan diri untuk bersikap sabar saat menjalankan segala rintangan, 2) membina akhlak, 3) manfaat kesehatan, 4) besarnya keutamaan amal shalih. Wallahu ‘alam.

  • Ketua DPW LDII Lampung Mengecam Keras Peledekan Bom Makasar

    Bandar Lampung: Ketua DPW LDII Provinsi Lampung mengecam peristiwa ledakan yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu, 28 Maret 2021.

    H. Muhammad Aditya Ketua DPW LDII Propinsi Lampung menyampaikan keprihatinan yang mendalam dan mengecam keras aksi peledakan di depan Gereja Katedral, Makassar , Sulsel .

    Mengimbau dan mengajak agar kita semua tetap tenang dan tidak terprovokasi dari tindakan tersebut.
    Kami mendukung serta mendoakan pihak kepolisian dan TNI untuk mengusut dan menindak tegas pelaku aksi peledakan tersebut.

    Kami mengajak kepada semua anak bangsa untuk selalu mengedepankan sikap cinta kasih kepada sesama sebagai wujud keimanan dan keislaman kita, apa lagi pada situasi pandemi covid-19 serta menjelang pelaksanaan ibadah bulan suci ramadhan tahun ini. Sebagai perwujudan ukhuwah Islamiyah , ukhuwah Watoniah dan ukhuwah basyariyah .

    Semoga Alloh SWT selalu melindungi segenap bangsa dan negara Indonesia lanjut Aditya. (Rls)

  • Ketua DPW LDII Lampung: Jaga Kualitas Puasa dan Jaga Kamtibmas Lingkungan

    Bandar Lampung: 10 April 2021,  Dalam menghadapi bulan suci Ramadhan 1442 H/2021 M, Ketua DPW LDII Provinsi Lampung dr Aditya mengajak seluruh masyarakat khususnya warga LDII untuk meningkatkan kualitas puasanya, tentunya dengan hukum/kaidah yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw melalui kajian hadist dan petunjuk dari para ulama.

    Ibadah puasa adalah salah satu rukun islam yang harus dan wajib dikerjakan oleh setiap orang yang beriman, untuk mendapatkan nilai ketaqwaan yang tinggi disisi Allah swt, tentu kualitas puasa harus dijaga, bukan saja meninggalkan makan dan minum tetapi juga harus menjaga sikap/prilaku yang tidak baik, ghibah, adu domba, berbohong termasuk menyebarkan berita hoax, yang dapat memicu perselisihan antar warga. Mari kita sukseskan puasa kita, sholat tarawih, baca Al Quran, i’tikaf, zakat fitrah ujar Aditya.

    Sehingga ketaqwaan yang diperoleh dapat meningkatkan kualitas dalam pengabdian kepada bangsa dan negara. Apalagi dalam masa pandemi ini, dimana banyak anggota masyarakat terkena dampaknya, pandemi covid19 itu tidak hanya menimbulkan permasalahan kesehatan akan tetapi juga berdampak ke masalah ekonomi, apabila tidak ada sikap saling tolong dan peduli sesama bisa menjadi masalah sosial. Ibadah puasa menjadi momentum untuk meningkatkan kesalehan individu (personal) juga untuk meningkatkan kesalehan sosial, empati sesama umat, pemberian zakat merupakan bentuk pelaksanaan kesalehan sosial, sehingga bisa membantu kepada sesamanya.

    Aditya juga berpesan sekaligus menghimbau dalam bulan Ramadhan 1442 H mari bersama-sama agar tetap menjaga kondusifitas daerah yang aman, damai, tentunya dengan menjalankan kamtibmas di tingkat lingkungannya masing-masing, seperti  mengaktifkan jaga malam atau ronda secara bergiliran, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti curat, curanmor dsb kata ketua IDI kota Bandarlampung.