Category: Opini

  • Opini: Ramadhan Sarana Melatih Akhlak

    Ramadhan Sarana Melatih Akhlak
    Oleh: Prof. Wan Jamaluddin, M. Ag., Ph. D
    Rektor UIN Raden Intan Lampung

    Ramadhan sering disebut sebagai bulan yang penuh keberkahan karena pada bulan ramadhan Allah swt, melipat gandakan pahala pada siapa saja yang mengerjakan amal shalih, tidak hanya pada ibadah puasanya dan shalat malamnya, namun juga segala kebaikan yang kita lakukan akan Allah lipat gandakan dibulan yang penuh keberkahan ini. Menyegerakan dalam berbukan merupakan fadhilah, dan melaksanakan sahur di malam harinya juga merupakan fadhilah. Lebih dari itu, puasa ramadhan yang dilakukan oleh setiap orang yang beriman, senantiasa tidak terasa berat, walaupun dikerjakan selama satu bulan lamanya, hal itu tentunya atas dasar spririt untuk menggapai ridha Allah, yaitu nilai derajat tertinggi di sisinya adalah ketaqwaan.

    Selain banyaknya keberkahan di bulan tersebut, bulan ramadhan juga kerap disebut sebagai bulan al-Qur’an (syahrul qur’an) yaitu bulan diturunkannya al-Qur’an. Karena pada bulan ramadhan tersebut diturunkannya al-Qur’an, pada saat Rasulullah saw menyendiri di sebuah gua Hira, yang merupakan tradisi yang dilakukan oleh para nenek moyang tersebut, maka ketika itulah Allah mengutus Malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu pertama, yaitu surat al-Alaq. Nabi bergetar hatinya antara sadar dan penuh rasa ketakutan diajarilah oleh Malaikat Jibril untuk melafadzkan wahyu Allah tersebut.

    Bulan ramadhan acap dikenal juga dengan bulan penuh ampunan (syahrun maghfirah), hal itu karena Allah swt., senantiasa mengampuni dosa setiap hamba yang senang menyambut datangnya bulan ramadhan dan menjalankan ibadah puasa penuh dengan keimanan kepada Allah swt. hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad saw, Barang siapa menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan, maka Allah akan mengampuni dosanya yang akan datang” (HR. Bukhari Muslim)

    Bulan ramadhan juga sering disebut bulan persaudaraan (syahrul ukhuwwah), yang mana pada bulan ramadhan kaum muslimin diharapkan untuk dapat menjaga persaudaraan dengan cara memberikan zakat, dan bersama-sama melestarikan tradisi shalat tarawih bersama dengan dipandu oleh para muadzin serta bersama-sama bertadarus al-Qur’an serta bersilaturahmi sebagai upaya untuk meraih keberkahan.

    Di bulan ramadhan yang suci dan penuh kemuliaan, umat Islam senantiasa berlomba-lomba untuk melaksanakan ibadah, sehingga kerap kali disebut sebagai bulan ibadah (syahrul ibadah), yaitu bulan yang membuka peluang bagi kaum muslimin untuk beribadah sebanyak-banyaknya, karena Allah akan senantiasa melipat gandakan segala pahala dari ibadah hamba-Nya pada bulan ramadhan, bahkan orang yang membaca al-Qur’an akan mendapatkan nilai pahala, bukan hanya pada setiap kalimat atau ayatnya, bahkan setiap huruf mendapatkan nilai pahala di dalamnya, masya Allah.

    Menjalankan ibadah puasa berarti mengalami suatu ujian yaitu menahan dari lapar dan dahaga serta segala yang membatalkannya, sehingga membutuhkan keseriusan, dan kesungguhan, yang kemudian disebut sebagai bulan jihad (Syahrul Jihad), artinya bahwa puasa merupakan jihad untuk menahan hawa nafsu, menjaga dari lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dan dari segala hal yang membatalkannya. Sayhrut tarbiyah, bahwa bulan ramadhan merupakan bulan untuk melatih diri kita dan anak-anak kita agar belajar berpuasa, beribadah, membaca al-Qur’an, berdzikir dan sebagainya.

    Pada bulan ramadhan ini ada satu kemuliaan dimana pada bulan tersebut lebih mulai daripada seribu bulan, malam itu disebut sebagai lailatul qadr. Pada bulan ini juga dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka, hal ini senagaimana disampaikan oleh hadist Rasulullah saw., “Apabila ramadhan datang maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syaithan-syaithan dibelenggu” (HR. Bukhari). Dalam hadist yang lain dikatakan “Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan yang penuh barakah”(HR. Nasa’i dan Ahmad).

    Semoga kita semua senantiasa diberikan kesehatan, kekuatan untuk senantiasa menjalankan ibadah dibulan ramadhan dengan ikhlas, khusyu dan penuh kepasrahan secara totalitas, sehingga dengan inilah nilai ketaqwaan akan senantiasa kita dapati. Wallahu ‘alam.

  • Opini: Menyongsong 10 Hari Kedua Bulan Ramadhan Penuh Maghfirah

    Menyongsong 10 Hari Kedua Bulan Ramadhan Penuh Maghfirah

    Dr. Hj. Siti Nurjanah, M. Ag

    Rektor IAIN Metro

    Bulan ramadhan terdiri dari beberapa fase, fase pertama disebut rahmah yaitu Allah swt, memberikan kasih sayangnya kepada hamba dalam segala lini. Terlebih adalah orang-orang yang beriman, yang secara khusus mendapatkan perintah agung dan mulia sekaligus menguji dengan rasa kasih sayangnya dengan sapaan yang penuh perhatian, yaitu sebutan khusus yaitu “wahai orang-orang yang beriman”. Pada fase sepuluh hari kedua ini, adalah fase transisi setelah Allah menurunkan rahmat-Nya, kemudian Allah memberikan maghfirah dengan dijanjikannya dalam sebuah hadis nabi Muhammad saw, “Barang saiap yang berpuasa dengan penuh rasa keimanan, maka Allah akan senantiasa mengampuni dosa-dosanya yang akan datang” (HR. Bukhari Muslim).

    Pada fase pertama biasanya masjid, mushala dipenuhi dengan jama’ah shalat tarawih, mereka berbondong-bondong untuk berangkat menuju tempat-tempat ibadah dengan ukhuwah islamiyyah dan hati yang tulus ikhlas yang dibarengin dengan rahmah Allah yang Maha Kasih dan Sayang. Fase pertama ini memberikan peluang kepada kaum muslimin untuk diuji keimanannya sehingga mampu memasuki fase kedua yang juga mengandung nilai ibadah yang tinggi hasilnya

    Kemudian masuklah pada fase kedua, yakni suatu fase pengampunan (maghfirah), maksudnya adalah barang siapa yang dapat melewati fase sepuluh hari kedua, maka Allah swt., senantiasa akan memberikan maghfirahnya kepadanya. Betapa mulianya Allah sang Maha Pengampun, yang berkehendak mengampuni setiap hamba-Nya, bahkan dikatakan oleh baginda Rasulullah, bagi siapa saja yang bahagia dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah senantiasa mengharamkan jasadnya untuk masuk kedalam api neraka. Begitu mulianya ramadhan, rasa bahagia menyambut datangnya bulan ramadhan saja Allah mengharamkan jasad seorang hamba yang bahagia menyambutnya masya Allah.

    Sebagai manusia yang secara filosofi berasal dari kata nasia yansa, yaitu selalu melekat pada dirinya dosa dan kesalahan, atau dalam filosofi Jawa disebut menungso (menus-menus isine doso), yaitu makhluk yang penuh dengan dosa, bahkan dikatakan setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya kesalahan adalah mereka yang bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat, bahkan Rasulullah mengajari kepada kita untuk memperbanyak istighfar, sebagai ikhtiar hamba untuk menghapus segala kesalahan dan dosa. Dan pada saat inilah Allah membuka peluang besar bagi hamba-Nya untuk senantiasa masuk dalam lingkaran keimanan yang menjadi bekal untuk dapat menjalankan ibadah puasa yang merupakan washilah untuk menggapai ketaqwaan di sisi-Nya.

    Semoga dengan spirit iman, amal dan taqwa ini Allah swt, senantiasa memberkahi kita di bulan nan suci dan mulia ini yaitu keberkahan yang tiada berhenti, karena Dialah satu-satunya pemilik kemulyaan dan barang siapa yang mengharapkan kemulyaan, hendaklah mengharapkan dari-Nya. Agar kita semua dapat menjalani fase kedua dengan selamat dan mendapat maghfirah dariNya, sehingga dapat menggapai fase ketiga, yaitu dijauhkan dari siksa api neraka, sehingga kita pada akhirnya mendapatkan kemenangan berupa Idul fitri.

  • Opini: Puasa Dan Ketaqwaan

    Puasa Dan Ketaqwaan

    Oleh : Ahmad Muttaqin, M.Ag

    Pengurus PKMB UIN Raden Intan Lampung

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

    Firman Allah SWT diatas merupakan ayat yang menunjukkan pensyaria’atan puasa ramadhan bagi umat Islam. Tujuan puasa yang disyari’atkan Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa kewajiban puasa bukanlah perintah yang tidak bermakna apa-apa, tujuan dari perintah kewajiban puasa pada akhirnya adalah agar tercapainya derajat taqwa bagi yang melaksanakannya.

    Ayat diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah puasa memiliki korelasi dalam pencapaian derajat taqwa, artinya terdapat banyak kandungan hikmah dan penempaan ruhani yang dapat dicapai dalam pelaksannaan ibadah puasa, hingga title taqwa, orang-orany muttaqin bias diraih, orang-orang yang layak mendapat ganjaran Syurga.

    Puasa dalam bahasa arab disebut dengan lafald al-ṣaum/ al-ṣiyām. yang memiliki makna dasar “Menahan dari sesuatu atau, sebagaimana yang kita pahami dalam tuntunan syariat. Yakni, menahan dari segala sesuatu yang awalnya diperbolehkan oleh syariat, dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.

    Para ahli hikmah menyebutkan adanya tingkatan dalam ibadah puasa. Puasa tidak hanya sekedar dimaknai hanya sebagai menahan dari rasa haus dan lapar, atau menahan dari gairah seksual saja. Yakni: ada puasanya ahli syariat. Ada puasanya ahli tarekat. Demikian juga, ada puasanya ahli hakikat.  Mengutip  pesan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, Puasa memiliki tiga tingkat. Yakni puasanya orang awam, puasanya orang khusus ‎dan puasa khusus buat orang khusus.

    Puasa level pertama disebut sebagai shaumul umum atau puasanya orang awam. Level puasa ini adalah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang atau sudah menjadi kebiasaan umum. Praktik puasa yang dilakukan di level ini sebatas menahan haus dan lapar serta hal-hal lain yang membatalkan puasa secara syariat.

    Kedua disebut sebagai shaumul khushus atau puasanya orang-orang spesial. Mereka berpuasa lebih dari sekadar untuk menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan. Tapi mereka juga berpuasa untuk menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat. Mulutnya bukan saja menahan diri dari mengunyah, tapi juga menahan diri dari menggunjing, bergosip, apalagi memfitnah.

    Adapun level yang paling tinggi menurut klasifikasi Imam Al-Ghazali, disebut shaumul khushusil khushus. Inilah praktik puasanya orang-orang istimewa, excellent, Mereka tidak saja menahan diri dari maksiat, tapi juga menahan hatinya dari keraguan akan hal-hal keakhiratan. Menahan pikirannya dari masalah duniawiyah, serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah.  Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah, seperti cenderung memikirkan harta dan kekayaan dunia. Bahkan, menurut kelompok ketiga ini puasa dapat terkurangi nilainya dan bahkan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat keraguan, meski sedikit saja, atas kekuasaan Allah. Puasa kategori level ketiga ini adalah puasanya para nabi, shiddiqin dan muqarrabin, sementara di level kedua adalah puasanya orang-orang shalih.

    Fase-fase tingkatan yang diungkapkan oleh al-Ghazali, tetntu saja bukanlah tingkatan yang didapat begitu saja, melainkan melalui penempaan ruhani, terus bermujahadah melatih daya ruhani, oleh karena itu sangat dianjurkan mengisi bulan ramadhan dengan ibadah-ibadah sunnah lainnya, seperti berzikir, tadarus, tarawih dan sebagainya, sehingga ruhani memilik kemampuan mengontrol dan mengendalikan nafsu agar lebih terarah dan tidak terbawa pada arus nafsu rendah.

    Adapun Taqwa, Secara etimologi takwa berasal dari kata waqa – yaqi – wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari dan menjauhi. Sedangkan pengertian takwa secara terminologi, takwa adalah takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Menurut Quraish Shihab, taqwa, terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi atau menjaga diri. Jadi orang yang bertaqwa adalah orang yang menghindari, menjauhi atau menjaga diri. Atau dengan kata lain; taqwa adalah upaya sungguh-sungguh untuk memelihara, menjauhkan diri dari siksaan atau adzab Allah dengan cara menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

    Dengan demikian takwa atau sifat ketakwaan, secara ruhani menyiratkan kemampuan untuk menahan, menghindari ataupun menjauhi dari desakan nafsu-nafsu rendah, atau nafsu buruk bahkan lebih terdorong pada  dorongan kebaikan. Watak yang mampu menguasai dan mengontrol dirinya dari keburukan-keburukan, sehingga seseorang tidak jatuh dalam kenistaan dan kehancuran diri.

    Dari sini kita bias mengambil benang merah korelasi antar puasa dan ketaqwaan itu sendiri. Ada ungkapan, ‘ berapa banyak manusia yang hancur kehidupan dirinya karena tidak mampu mengontrol keinginan-keinginannya”,.  Dengan puasa kita dilatih untuk menahan dari keinginan-keinginan yang berlebih, bahkan yang halal sekalipun, . upaya melatih ruhani kita, emosi dan nafsu kita, sehingga menjadi pribadi yang penuh mawas diri, mampu mengontrol dirinya, bukan hanya dari nafsu atau keinginan buruk tapi juga keinginan-keinginan duniawi lainnya yang berlebihan, dan hanya mengarahkan seluruh hidupnya hanya pada Allah SWT.  pribadi muttaqin, pribadi Ketaakwaan.

    Wallahul Muwafieq ila aqwith thariq

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

  • Opini: Ramadhan Sarana Amal Shalih

    RAMADHAN SARANA AMAL SHALIH
    Dr. Agus Hermanto
    Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung

    Rasulullah SAW bersabda: “Ditanya Rasulullah SAW tentang siapa manusia yang paling banyak masuk surganya Allah? Maka rasul menjawab, taqwa kepada Allah dan berakhlak mulia, kemudian ditanya tentang siapa manusia yang paling banyak dimasukkan ke dalam nerakanya Allah? Maka Rasulullah menjawab, mulut dan kemaluan. (HR. Tirmidzi)

    Taqwa dan akhlakul karimah merupakan jalan menuju surganya Allah SWT, maka daripada itu, kita harus berlomba-lomba untuk senantiasa mendapatkan ketaqwaan kita kepada Allah. Puasa ramadhan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, dengan spirit inilah semoga kita senantiasa mendapatkan kebwrkahannya (la’allakum tattaqun) yaitu menjadi orang yang bertaqwa.

    Sebaliknya bahwa mulut adalah sarana untuk menghantarkan manusia dimasukkan kedalam nerakanya Allah, manakala manusia tidak mampu mengendalikannya (salaamatul insaani fi hiddzi al lisan) keselamatan manusia ada pada menjaga lisan. Hal ini sangat penting, karena bisa jadi seseorang tergelincir bukan karena kakinya namun ia tergelincir karena lisannya.

    Selain lisan juga kemaluan, yang menjadi sumber bencana, yaitu manakala seseorang tidak mampu mengendalikan syahwatnya., sehingganya ia selalu dalam kemaksiatan, lebih lebih di bulan ramadhan, bahwa ujian yang terbesar selama berpuasa adalah bukan karena menahan dari makan dan minum, melainkan karena menahan syahwat yang merupakan jihad besar selama ramadhan dan di luarnya (asyaddu al-jihad, jihad al-hawaa)

    Kesehatan adalah sarana utama seseorang melakukan amal shalih, sehingga kesehatan dan ketenangan hati lebih berharga dari harta kekayaan (al shihhah wa raahatu al-baali, aghlaa min al-kunuuzi wa al-maali).

    Ketengan hati sangat dibutuhkan dalam beribadah, karena dengan hati yang tenang akan dapat menghadirkan keikhlasan dan kekhusyukan dalam beribadah. Selain itu juga ketenangan hati sejatinya adalah buah dari ketaqwaan kepada Allah, yang dengan ketaqwa tersebut akan menghadirkan ketenangan. Yang terpenting adalah bagaimana dapat menghadirkan ketenangan tersebut dalam kehidupan kita, dan setiap langkah kita?

    Imam Hasan Al Bisri mengatakan, “Sesungguhnya setiap hamba akan selalu dalam kebaikan, manakala nasehat selalu hadir pada dirinya dan ia selalu melakukan muhasabah (introspeksi diri) pada dirinya.

    Mengingat bahwa manusia sumber kelalaian, sehingga setiap saat harus senantiasa adanya nasehat yang datang, karena nasehat merupakan sugesti sekaligus motivasi dalam kehidupan, introspeksi diri adalah kontrol diri agar manusia tidak selalu dalam kesalahan, kelalaian dan kekhilafan. Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahan ramadhan, dan menjadikan ramadhan sebagai sarana untuk memperbanyak amal shalih. Wallahu a’lam.

  • Opini: Iman Sebagai Bekal Puasa

    IMAN SEBAGAI BEKAL PUASA
    Dr. Agus Hermanto
    Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

    Marhaban ya ramadhan, bulan penuh keberkahan. Semaraka ramainaya di masjid-masjid, mushola-mushola menjadi ciri khas tradisi Islam di Indonesia yang tidak terlupakan, sentralisasi masjid yang menjadi media beribadah bagi umat muslim, baik meriah tarawih di malam harinya dengan sahutan bilal yang membuka relung-relung hati setiap insan yang beriman untuk tetap semangat membangun kebersamaan dengan sebuah orientasi ketaqwaan kepada Allah SWT.

    Setelah selesainya shalat malam, ditambah kemeriahan tadarus al Qur’an yang saling bersahutan dengan berlomba-lomba untuk dapat mengkhatamkannya, seruan ini tidak lain adalah kemeriahan yang dibangun atas dasar iman kepada Allah SWT., yang telah memberikan kesehatan kepada kita semua, karena kesehatan dan ketenangan dalam hati sesungguhnya lebih mulia daripada harta dan kekayaan (al- shihhatu wa raahatu al-baali, aghlaa min al-kunuuzi wa al-amwaali.)

    Keberkahan ramadhan senantiasa disarasakan setiap insan, tidak hanya yang khusu’ berpuasa di siang hatinya, shalat tarawih di malam harinya, tadarus dan amaliyah lainnya selama bulan Ramadhan, bahkan orang yang belum tentu bagian dari itupun mendapatkan keberkahan ramadhan, pedagang kaki lima menjamur di seluruh sudut sudut kota di sepanjang jalan, dengan keberkahan ramadhan, maka laris manis terjual tanpa sisa di setiap harinya, subhanallah.

    Namun demikian, sebagai orang yang beriman dalam panggilan yang sangat sederhana, secara tidak langsung masuknya kita dalam sebuah lingkaran keimanan, maka kita harus benar-benar mampu mengendalikan diri dengan menahan segala yang membatalkan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dari segala makanan dan minuman serta hubungan seksual.

    Ada kemeriahan tersendiri pada saat berbuka dan sahur, terkadang ada banyak menu makanan yang kita siapkan, namun karena dasar iman yang melekat pada diri kita, segala hal tersebut kita membatasinya agar senantiasa mendapatkan keberkahan ramadhan.

    Kemeriahan ramadhan kali ini, tentu berbeda jauh dengan dua tahun yang lalu, dimana setiap kita dalam kekhawatiran dan kewaswasan karena adanya covid 19, hingga akhirnya aktivitas menjadi terbatas, hingga ibadah shalat tarawih punya sebagian melakukannya berjamaah dengan bersembunyi dan sebagian lainnya shalat sendirian, sungguh keberkahan yang tiada tara ramadhan kali ini, sehingga segala aktifitas dan tradisi selama ramadhan pada tahun tahun lalu dapat dilaksanakan kembali. Semua itu tidak lain adalah atas spirit keimanan yang melekat demi menggapai taqwa llah. Wallahu a’lam.

  • Opini: Berkah Ramadhan

    BERKAH RAMADHAN
    Dr. Hj. Siti Nurjanah, M. Ag
    Rektor IAIN Metro

    Ramadhan, kembali pada fitrah. Bulan Ramadhan adalah bulan yang berkah, dimana setiap insan diwajibkan menjalankan ibadah puasa dengan penuh keikhlasan dan totalitas dengan harapan untuk menjadi insan yang bertaqwa. Lebel iman yang melekat pada pangilan Kaliq kepada kita adalah sapaan kemuliaan yang menjadi bekal untuk dapat menjalankan puasa di bulan ramadhan.

    Taqwa adalah tercapainya segala amaliyah yang kita lakukan selama ramadhan, mulai dari ibadah puasa, tadarus al Qur’an, shalat tarawih pada malam harinya, maupun segala kebaikan lainnya seperti ibadah dan segala nafilah yang dianjurkannya mulai tangal satu ramadhan hingga mendapatkan satu kemuliaan diakhirnya yaitu Idul Fitri.

    Kebahagiaan menyambut datangnya ramadhan, kebahagiaan menjalankan ibadah di bulan ramadhan adalah upaya untuk menggapai keberkahannya. Bertambahnya ketenangan, terjalinnya ukhuwah islamiyyah yang juga merupakan sendi-sendi yang harus dibangun selama ramadhan.

    Selama bulan ramadhan, keberkahan banyak didapatkan oleh setiap insan, bahkan pedagang pun senantiasa mendapatkan keberkahan, segala makanan yang dijualnya selama ramadhan ikut menjadi laris dan habis, masya Allah.

    Ketenangan jiwa, kebahagiaan dan kebersamaan akan didapatkan oleh orang-orang yang beriman selama ramadhan. Sehingga dengan kebahagiaan tersebutlah memudahkan lisannya untuk membaca al Qur’an, berdzikir dan segala kemuliaan lainnya yang dapat dilakukan selama ramadhan.

    Barokah meruapakan tambahnya kebaikan, yang berarti juga bertambahnya ketaqwaan bagi insan yang beriman jika mampu menjalani ibadah dengan khusyu selama ramadhan.

    Persiapan fisik maupun batin menjadi hal yang penting selama ramadhan, dengan fisik sehat kita mampu menahan dari segala makan dan minum, dan dengan batin yang sehat kita akan mampu mengendalikan hawa nafsu kita. Ditambah kesyukuran besar dan anugrah dari yang kuasa kita terhindar dari segala covid yang menimpa kita, dan kini saatnya kita bahagia dengan kesehatan yang kita miliki. Namun demikian, menjaga protokol kesehatan juga merupakan hal yang tidak terabaikan, agar kita senantiasa sehat wal afiat dalam keberkahan ramadhan, wallau a’lam.

  • Opini: Syauq Ramadhan, Kembali Menjaga Tradisi

    Prof. Wan Jamaluddin, M. Ag., Ph. D

    Rektor UIN Raden Intan Lampung

    Marhaban ya ramadhan, bulan yang penuh keberkahan. Mengawali bulan Ramadhan yang mulia dan penuh keberkahan ini, tentunya setiap hati berdebar-debar dalam kerinduan menyambut tamu mulia yaitu Ramadhan. Banyak ekspresi yang dilakukan oleh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia dengan spirit yang sama, yaitu meningkakan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tujuan la’allakum tataquun (supaya menjadi insan yang bertaqwa).

    Perintah bahagia dalam menyambut datangnya bulan ramadhan, tentunya relevan dengan hadis Nabi Muhammad saw, bahwa orang yang bahagia dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah senantiasa mengharamkan jasadnya untuk masuk kedalam api neraka. Kemeriahan menyambut datangnya bulan ramadhan terbangun atas dasar keimanan yag teguh, sehingga mampu mengetuk relung-relung hati hamba Allah yang beriman dan dengan rasa bahagia serta gembira ria menyambut keagungannya. Menggemanya spririt tersebut tereksprsikan oleh seluruh umat muslim diseluruh pelosok negeri ini, bahwa bulan suci ramadhan kali ini tidak dalam masa pandemi seperti dua tahun yag lalu, sungguh anugrah yang sangat berharga.

    Jika dua tahun yang lalu segala aktifitas ibadah dibatasi karena pandemi, seperti pelaksanaan shalat tarawih berjama’ah, tadarus al-Qur’an dan bentuk ibadah serta mu’amalah lainnya yang memyebabkan kekhawatiran yang cukup terasa dalam setiap langkah kita. Namun kali ini, ujian tersebut lamban laun semakin manjauh dan menghindar dari kehidupan kita, meskipun demikian kita tetap mengajak kepada kaum muslimin untuk senantiasa menjaga protokol kesehatan, karena bisa jadi bahwa hal yang kita anggap nyaman, justru kita terlena dari protokol kesehatan dan mengabaikannya.

    Satu ciri khas yang merindukan kita di bulan ramadhan adalah ramainya tempat ibadah, di masjid-masjid, dan di mushala-mushala, pelaksanaan tadarus al-Qur’an, shalat tarawih berjama’ah, taklim serta kultum, siraman rahani yang begitu merindukan. Semua ini merupakan spirit yang menggema di bulan ramadhan yang suci dan penuh keberkahan.

    Jika dua tahun lalu kita diuji dengan pandemi, yaitu untuk menguji kesabaran bagi kita semua, karena ramadhan juga merupakan bulan ujian bagi orang-orang yang beriman yaitu diuji dengan menahan dari lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar sampai pada terbenamnya matahari, lebih-lebih dari ujian yang paling berat adalah mengaja mengendalikan hawa nafsu (asyaddul jihad, jihadul hawa), sebesar-besarnya jihad adalah jikad melawan hawa nafsu, baik nafsu untuk makan dan minum, maupun nafsu untuk hubungan seksual.

    Bulan Ramadhan adalah bulan keberkahan dan penuh kemuliaan. Banyak amaliyah yang dapat kita lakukan selama bulan Ramadhan, di antaranya membaca al- Qur’an. Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan melalui washilah malaikat Jibril yang disebut ruh al amin secara mutawatir.

    Membaca al Qur’an meruapakan amaliyah yang mulia, terlebih di bulan Ramadhan, karena setiap huruf yang kita baca mengandung nilai pahala, tidak hanya pada kalimat atau ayatnya, melainkan pada setiap hurufnya, masyallah.

    Bulan Ramadhan juga sering disebut bulan tarbiyah, dimana setiap orang berlomba-lomba untuk memperbanyak membaca Al-Quran. Bagi kaum muslimin yang telah mampu membaca Al-Quran biasanya berupaya untuk dapat mengejar berapa banyak yang dikhatamkan selama ramadhan, namun bagi yang belum bisa atau belum lancar membacanya, akan senantiasa terpacu belajar kembali dan melancarkan hafalannya. Bahkan bagi anak-anak mereka berlomba-lomba untuk dapat mengkhatamkan walau hanya satu bulan sekali khatam.

    Al Qur’an adalah pedoman bagi umat Islam, dan sekaligus panduan kehidupan bagi umat Islam. Ayat yang pertama Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Bulan Ramadhan, tepatnya di Guwa Ghira yaitu surat al Khalaq. Dalam ayat ayat ini menjabarkan dan memerintah kan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membaca “iqra’” yaitu bacalah.

    Membaca dalam maksud ayat tersebut adalah membaca kebesaran Allah dengan cara mengenal Tuhan, karena ketika seorang makhluq telah paham pada Khaliq nya, maka akan pula mudah menganalisis ilmu-Nya.

    Membaca Al-Quran pada bulan Ramadhan bagi umat Islam yang beriman dan berpegang teguh pada keyakinannya akan senantiasa bernilai pahala dan memberikan keberkahan baginya. Berkah adalah ziyadayul khair yaitu bertambahnya kebaikan. Bulan penuh pelajaran termasuk melatih diri kita untuk istiqomah, yang merupakan pekerjaan besar dan mulia, sehingga dikatakan dalam hadis Nabi, al istiqomatu khairun min Alfi barokah. Banyak keberkahan yang dapat kita raih pada bulan Ramadhan, namun istiqomah lebih mulia dibandingkan dengan segala keberkahan yang ada. Wallahu a’lam.

  • Prof. Wan : Menteri Agama Berupaya Menjaga Toleransi Beragama

    Menteri Agama Berupaya Menjaga Toleransi Beragama
    Oleh: Prof. Wan Jamaluddin, M.Ag., Ph.D
    (Rektor UIN Raden Intan Lampung)

    Maraknya pemberitaan miring yang beredar dimasyarakat tentang pengaturan pemakaian pengeras suara di masjid oleh Menteri Agama perlu kiranya disikapi dengan bijak, pasalnya dasar dari semuanya adalah menjunjung tinggi sikap tenggang rasa, menjaga toleransi umat beragama terhadap seluruh anak bangsa. Pengaturan pengeras suara sesungguhnya tidak hanya di negara Indonesia, namun negara negara muslim lain seperti di Malaysia mapun di Arab Saudi sendiri pengaturan tentang pengeras suara di masjid termasuk ketika Azan itu diatur dengan tepat dan tertib. Maka dalam hal pemberitaan miring  yang menukil vidio Gus Menteri yang diwawancara para awak wartawan Menteri Agama sama sekali tiidak membandingkan suara azan dengan suara anjing, tetapi sedang mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara agar semangat toleransi beragama tetap terjaga. Ketika melihat vidio wawancara Gus Menteri secara utuh saya sama sekali tidak menangkap pesan dan kesan bahwa Menag “membandingkan” antara suara Adzan dengan suara anjing. Beliau santri dan dari keluarga pesantren. Inilah pentingnya mengedukasi masyarakat agar tidak terpengaruh berita-berita yang tidak jelas rimbanya. sebetulnya tidak susah membedakan antara mencontohkan dan membandingkan, kenapa anjing yang dicontohkan? itu yang paling mudah dan banyak ditemukan dan dikeluhkan di lingkungan perumahan. Tetapi ya kalau dasarnya sudah tidak suka, butiran nasi juga dibayangkanbelatung namun kalau dasarnya cinta nalar positiflah pasti yang bekerja. Dengan kata lain dari rentetan kalimat  yang digunakan Gusmen tidak terdapat  kecenderungan dan maksud merendahkan, bahkan terlihat secara kentara ingin menunjukkan  kemuliaan Islam, dan dengan demikian juga sebagai pengayoman terhadap  yang lain.

           Memang, upaya-upaya memunculkan kesadaran baru yang kerap  dikedepankan Gusmen sering menyentakkan kita akan sesuatu yang menjadi  kebiasaan, sehingga kita sering lupa mengevaluasinya. Sebagai pengayoman terhadap  umat beragama di negeri besar ini, akan sangat indah bila kita menghargai upaya-upaya Gusmen dalam memajukan negeri ini dari sudut kehidupan brragama. Hal tersebut menjadi sesuatu yang kita hargai dan apresiasi karena seringkali kita mengurus kemajuan agama ini tidak selalu total karena faktor-faktor kehidupan domestik kita. Tapi Gusmen, telah mendedikasikan segala kemampuan beliau untuk memajukan Indonesia dari sudut keberagamaan sesuai amanat yang diembannya. Semoga Allah terus menjaga Indonesia dan memurahkan rezeki penduduknya. Salah satu fokus perhatian Menteri Agama RI (Gusmen) adalah menjaga kemuliaan umat  dalam posisinya yang mayoritas di negeri ini.

           Disinilah pentingnya menjaga kemuliaan umat tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari dedikasi dan perjuangan keumatan yang beliau tekuni sejak aktif sebagai agamawan dan  cendekiaean Muslim. Salah satu cobaan bagi kemuliaan umat  yang mayoritas  ini adalah, apakah mereka dapat menegakkan sikap adil dan mengayomi bagi semua umat di negeri yang pluralis bernama Indonesia. Wilayah yang sering menjadi ujian adalah bagaimana umat bersifat elegan, mulia, dan mengayomi dalam pelaksanaan ibadah. Sebab sejatinya ibadah adalah memuliakan Tuhan, dan memuliakan Tuhan memiliki konsekuensi memuliakan ciptaan-Nya, terutma manusia, apa pun bentuk agama dan kepercayaannya.

    Kita ambil nukilan Ayat Al-Quran sebagai penguat:

    وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْواتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان: ١٩

    Artinya, “Dan biasalah dalam berjalanmu (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dan kurangilah volume suaramu (tidak memaksakan diri untuk terlalu keras, namun sesuai kebutuhannya). Sungguh suara yang paling diingkari (paling jelek) adalah suara keledai (yang terlalu keras),” (Surat Luqman: ayat 19).

    Saat menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi menafsirkan bahwa:

     لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذِي.

    Artinya, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.”

    Masih dalam Tafsir al-Qurthubi, dikisahkan, Khalifah Umar bin al Khatthab RA, pernah menegur Muazin kala itu, yaitu Abu Mahdzurah Samurah bin Mi’yar RA, yang adzan dengan memaksakan suara sekeras-kerasnya.  (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1384 H/1964 M], juz XIV, halaman 71).

    Maka dalam hal ini menurut hemat saya yang menjadi nilai penting semangat berbangsa sesungguhnya sesama anak bangsa agar lebih mengedepankan narasi-narasi positif dalam mengaikan pemberitaan aturan pengeras suara, menjaga hidup rukun damai, menjunjung tinggi kebhinekaan yang sudah sejak dulukala diamanahkan oleh para pendiri bangsa. Wa Allahu A’lamu bi al- Shawab.

  • Opini: Peran Agama dalam Merperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa

    Peran Agama dalam Merperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
    (Serial Hari Kemerdekaan RI)
    Nirwan Hamid, M.Pd.I
    Pengurus MUI Kota Bandar Lampung
    Sekretaris MWC NU Tanjung Senang Kota Bandar Lampung

    Sejarah adanya persatuan dan kesatuan sudah ada sejak masa perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Sejak saat itu, arah perjuangan bangsa Indonesia makin tegas, yaitu mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Indonesia, sebagai negara yang mempunyai banyak keberagaman dan perbedaan, perlu mempunyai persatuan dan kesatuan. Keberagaman yang terdapat di Indonesia, antara lain agama, suku, etnis, budaya bahasa, maupun adat istiadat.

    Makna “persatuan Indonesia” dibentuk dalam proses sejarah panjang. Persatuan adalah hal yang terbentuk tidak secara instan, melainkan melalui proses panjang. Sehingga seluruh bangsa Indonesia memiliki persamaan nasib, satu kesatuan kebudayaan, kesatuan wilayah serta satu kesatuan asas kerohanian Pancasila yang terwujud dalam persatuan bangsa, wilayah dan susunan negara. Negara Indonesia sangat besar dan luas sehingga sangat sulit untuk mengaturnya apabila tidak ada persatuan. Maka dari itu, sebuah persatuan sangat penting di dalam negara agar terwujud kesatuan dan persamaan.  Persatuan sangat penting bagi sebuah negara yang ingin hidup sejahtera. Persatuan juga akan mewujudkan kerja sama yang baik dengan negara lain.

    NKRI harga mati merupaka jargon yang kita sematkan pada bangsa kita agar tidak ada yang berani mengganggu keutuhan dan dan kedaulatan Negara kesatuan Republik Indonesia. Bahwa masyarakat kita betul-betul mencintai negaranya lebih dari apapun. Tidak ada yang bisa merenggut negara kita walau hanya sejengkal.

    Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, hal ini dapat dilihat dari keberagaman suku bangsa, bahasa lokal, agama, adat dan budaya yang ada. Masyarakat majemuk (plural society) adalah masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti suku bangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional. Bagi masyarakat plural, potensi konflik sangat dimungkinkan terjadi. Ragam konflik bisa bersumber dari berbagai hal, seperti: adanya konflik antar agama, konflik antar etnis, konflik antar budaya, konflik antar suku ataupun konflik kepentingan antar masyarakat dari daerah atau propinsi yang berbeda. David A.Nadler (1970) sebagaimana dikemukakan oleh Anoraga dan Thoha yang menyatakan bahwa perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari integrasi antara person atau individu dengan lingkungannya. Berbagai karakter yang diperlihatkan oleh individu sesuai dengan jabatanya tentunya akan berbeda-beda. Dan perilakunya adalah ditentukan oleh masing-masing lingkungannya yang berbeda-beda.

    Dalam hal ini keberagamaan yang sangat penting dalam memegang kendali persatuan dan kesatuan bangsa karena bangsa kita majemuk dan sangat plural. Pluralitas agama atau kebhinekaan agama merupakan kenyataan aksiomatis (tidak bisa dibantah), dan merupakan keniscayaan sejarah (historical necessary) atau sunnatullah yang bersifat universal. Pluralitas agama harus dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang tidak dapat dilenyapkan, tetapi harus disikapi dengan bijaksana. Pluralitas agama, budaya dan etnik masyarakat Indonesia pada satu sisi berpotensi melahirkan benturan, konflik, kekerasan, dan sikap anarkis terhadap penganut agama lain, akan tetapi pada sisi yang lain agama adalah wahana pemersatu bangsa.

    Agama dari sudut pandang normatif senantiasa mengajarkan harmoni, kasih-sayang dan kerukunan antara sesama umat beragama, secara internal maupun eksternal. Secara internal terwujud dalam kerukunan dan toleransi diantara sesama pemeluknyadan secara eksternal adanya hubungan yang harmonis diantara pemeluk-pemeluk agama lain.

    Dengan kata lain aktifitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktifitas yang tampak dan dapat dilihat mata, juga aktifitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.

    Diskursus problema sosial adalah memperbincangkan kondisi yang terjadi dan berpengaruh dalam kehidupan manusia di mana sebagian besar dari problema itu tidak disenangi oleh manusia dan bahkan berusaha untuk menghilangkannya, misalnya kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Problema sosial merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi oleh manusia baik secara individu maupun secara kelompok sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam kehidupan masyarakat.

    Pada era kemajuan tekhnologi dan komunikasi, peran umat beragama seharusnya tidak melulu tertuju pada ruang lingkup internal orang-orang seagama, melainkan mampu menjangkau masyarakat di luar agamanya. Masyarakat yang terus menerus mengalami proses globalisasi, menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi sehingga berdampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial serta budaya, dan lain-lain. Dan, ketika masyarakat berubah dalam menerima nilai-nilai baru yang didapat akibat bebasnya arus informasi. Pada kondisi seperti ini, umat beragama mengalami pengaruh bebasnya arus informasi dan mereka menggunakannya untuk berhadapan dengan penganut agama lain, hal inilah yang kemudian menjadi triger benturan-benturan serta gesekan-gesekan.

    Mensikapi problematika sosial-keagamaan, agama dan umat beragama seharusnya “ada” dan “hadir”. Konsekuensinya, umat beragama berperan dan harus terlibat serta melibatkan diri untuk mengatasi permasalahan sosial-keagamaan yang terjadi di masyarakat. Jika umat beragama hanya menfokuskan diri pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan ibadah rutin, maka peran dan pelibatan diri tersebut tidak terlihat bahkan tak berdampak apa-apa pada orang lain serta masyarakat luas.

    Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpendapat bahwa, kehadiran agama sebagai “titik strategis” oleh berbagai pihak dalam pembangunan, menunjukkan bahwa “peranan” tersebut lebih bersifat superfisial, atau tampak hanya di permukaan saja. Beliau lebih lanjut mengatakan bhawa kalau memang agama telah berperan cukup dalam pembangunan nasional kita, mengapa arah, wawasan dan moralitas pembangunan itu sendiri sangat terasa belum menyerap nilai-nilai keagamaan secara keseluruhan. Tidak dapat diingkari, justru nilai-nilai keagamaan yang mengalami erosi dahsyat dalam era pembangunan ini. Pola hidup konsumtif yang sebenarnya ditolak agama manapun, justru semakin berkembang, tanpa diimbangi oleh kemampuan yang cukup untuk meningkatkan produktifitas kerja sebagai bangsa, sehingga mendorong semakin meluas dan seriusnya korupsi.

    Dari beberapa uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan:

    Pertama, umat beragama perlu berbuat lebih banyak lagi (karena pada umumnya mereka mempunyai kemampuan untuk itu). Itu berarti membutuhkan kemampuan penyesuaian dan mengatasi masalah serta dukungan lingkungan kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai sosial dan budaya yang tanggap terhadap berbagai perubahan. Hal itu harus terjadi, karena adanya permasalahan sosial di/dalam masyarakat (konteks umat beragama berada).

    Kedua, agama memberi kita arah kehidupan, mengajari kebebasan, dan mengerahkan wawasan agar hidup kita damai. Tuhan yang menurunkan agama, dengan tujuan agar kita tidak terjebak dan terperangkap ketegangan sosial dalam relasi antar sesama kita. Tidak juga dalam relasi orang-orang yang berbeda agama,kita pun tak ingin hal itu terjadi.

    Dengan kehadiran agama di muka bumi, diharapkan mampu untuk memperkecil konflik-konflik yang terjadi. Begitu juga dalam bangsa kita Negara Republik Indonesia yang sangat kita cintai ini, agama telah mampu berkontribusi untuk menjembatani konflik yang ada sehingga mampu memberikan sumbangsih yang nyata pada bangsa kita. Agama mampu menjadi solusi untuk kita semua. Jayalah Negeriku hiduplah Bangsa ku. Merdeka!

    Wallahu Al muwafiq Ila Aqwamittarieq

  • Opini: Hakekat Tahun Baru Hijriah

    Hakekat Tahun Baru Hijriah
    Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H
    Wakil Dekan 1 Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan
    Pengurus MUI Lampung

    Tidak terasa tahun 1442 H telah meninggalkan kita, dan tahun baru Islam 1443 H telah hadir di tengah-tengah kita. Apa yang sudah kita lakukan, apa yang dapat kita berikan, serta apa yang akan kita lakukan dan berikan? Untuk menjawab hal itu, tentuntanya kita harus senantiasa berinterospeksi  diri  (bermuhasabah), yaitu menghitung-hitung akan kebaikan dan dosa-dosa yang telah kita lakukan selama ini. Apakah kebaikan-kebaikan yang sudah banyak kita lakukan ? ataukah kesalahan/dosa-dosa yang justru telah banyak kita lakukan selama ini. Mengenai hal ini, Umar bin Khattab sebagai pencetus tahun Hijriah sebagai tahun baru Islam telah menjelaskan bahwa untuk mengenang masa lalu dan menyambut tahun baru, ada dua hal yang harus diperhatikan; Pertama, lupakan semua kebaikan yang pernah kita lakukan, sebab dengan melupakan kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan akan membuat kita menjadi manusia yang tidak sombong dan selalu rendah hati. Kedua, Ingat selalu akan dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan, sebab dengan mengingat dosa atau kesalahan yang pernah kita lakukan pada masa yang lalu, tentunya akan menjadi motivasi bagi kita untuk selalu memperbaiki diri ke depan. Oleh karena itu berdasarkan dua hal  sebagaimana dipesankan Umar bin Khattab tersebut kiranya menjadi motivasi positif bagi kita untuk senantiasa memperbaiki diri demi masa depan yang lebih baik.

    Selanjutnya mengenai hal itu, Rasulullah SAW menjelaskan dalam hadis bahwa tanda-tanda kecelakaan itu ada empat perkara: Pertama, melupakan dosa-dosa yang  pernah dilakukan pada masa  yang lalu, padahal dosa-dosa itu masih tetap tersimpan di sisi Allah Swt. Kedua, mengingat-ingat kebaikan yang pernah dilakukan pada masa yang lalu, padahal belum tentu kebaikan yang dilakukan itu dapat diterima oleh Allah Swt, boleh jadi akan ditolak oleh Allah Swt. Ketiga, memandang seseorang yang lebih tinggi dalam urusan dunia, padahal dunia hanyalah permainan belaka yang sifatnya sementara. Keempat, memandang seseorang yang lebih rendah dalam urusan agama, padahal agama merupakan bekal akhirat yang paling utama.

    Dengan demikian jelas bahwa hakekat tahun baru hijriah adalah bagaimana kita mampu melakukan suatu perubahan yang lebih baik. Untuk itu pada pada tahun ini (1443 H), setiap orang harus mengalami perubahan yang lebih baik, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Ingat…. Amal (perbuatan) seseorang itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: Pertama, amal seseorang yang apabila tahun ini lebih jelek dari tahun yang lalu, maka ia digolongkan sebagai orang yang celaka, Kedua, amal seseorang yang apabila tahun ini sama dengan tahun yang lalu, maka ia digolongkan sebagai orang yang merugi, Ketiga, amal seseorang yang apabila tahun depan lebih baik dari tahun ini dan tahun yang lalu, maka ia digolongkan sebagai orang yang beruntung. Wallahu a’lam bishawaaf.