Category: Opini

  • Khutbah Idul Fitri: “Meneguhkan Persaudaraan dan Saling Memaafkan”

     

    Untuk mendownload teks silakan Klik Link berikut, semoga bermanfaat:

    Khutbah Idul Fitri 1443 H MUI

    Jangan Lupa Like, Komen dan Subscribe Youtube MUI Lampung.

     

  • Opini: Zakat Fitrah dengan Uang

     

    Zakat Fitrah dengan Uang
    Oleh: Dr. Abdul Aziz
    Sekretaris Umum MUI Bandar Lampung

    Zakat berasal dari akar kata zaka – yazki atau sama akar katanya dengan zakiya, azka dll. yang berarti berkah, tumbuh, berkembang, bertambah, bersih, membersihkan, suci, mensucikan, baik, dan terpuji. Bagi muzakki (seorang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat) zakat berarti membersihkan (tathhir) dan mensucikan (tazkiyah) baik material maupun spiritual, secara material zakat membersihkan dan mensucikan harta dan diri pribadi muzakki dari hak-hak mustahik (delapan golongan yang berhak menerima zakat), khususnya para fakir dan miskin sebagai skala prioritas, secara spiritual zakat juga membersihkan dan mensucikan jiwa dan fikiran muzakki dari sifat-sifat tercela seperti ananiyah (egois), hasad (iri hati), bakhil (kikir atau pelit), tamak (rakus), serta takabur (sombong). Sedangkan bagi mustahik, zakat dapat membersihkan dan mensucikan jiwa dan fikiran mereka dari sifat-sifat tercela seperti iri hati, menggunjing, adu domba, prasangka buruk dan dengki terhadap para muzakki.

    Penerapan hukum wajib zakat bagi yang memenuhi syarat dalam sejarah tidak bisa dilepaskan dari perkembangan usaha, penghasilan masyarakat dan peningkatan pendapatan perkapita umat Islam pada saat itu. Pada awal Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Yatsrib (kemudian hari menjadi Madinah), hukum wajib zakat bagi yang telah memenuhi syarat belum diterapkan, padahal ayat – ayat Al Qur’an yang mengingatkan orang mukmin agar mengeluarkan sebagian harta kekayaaannya untuk diberikan kepada orang – orang fakir dan miskin sudah turun semenjak Nabi Muhammad SAW masih tinggal di Mekah (sebelum hijrah ke Yatsrib), pada periode ini hukum zakat baru berupa anjuran (sunnah), hal ini terekam jelas dalam Firman Allah SWT yang diwahyukan ketika Nabi masih di Mekah;

    وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ ٣٩

    Artinya:
    Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar Rum : 39)

    Hukum anjuran (sunnah) mengeluarkan zakat ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan obyektif kondisi sosial ekonomi masyarakat muslim pada saat itu, Mayoritas sahabat Nabi ketika baru hijrah dalam kondisi tidak berkelayakan dalam hidupnya karena rata – rata mereka semua meninggalkan harta benda dan kekayaannya yang mereka miliki di Mekah, karena situasi dan kondisi pada saat itu yang tidak memungkinkan para sahabat Nabi membawa harta kekayaannya ke Yatsrib, beruntunglah Sahabat Anshor (orang – orang Yatsrib yang sudah memeluk Islam sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah) menerima dengan tangan terbuka, menyambut dengan keramah tamahan dan bantuan yang luar biasa, namun karena jumlahnya yang belum signifikan sehingga belum mampu memenuhi semua kebutuhan hidup sahabat muhajirin secara maksimal.

    Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi sosial ekonomi para sahabat Nabi Muhammad SAW terus membaik, tentu karena didukung oleh atmosfer kehidupan di Madinah yang terus stabil dan kondusif. Berbagai keahlian dalam bermata pencaharian para sahabat muhajirin dan anshor terus dikembangkan dan disinergikan, mulai dari berniaga baik lokal, antar negara bahkan antar benua dalam berbagai bentuk dan jenis perniagaan, pengembangan pertanian dan perkebunan dan lain sebagainya. Setelah keadaan kaum muslimin sudah mulai mapan maka hukum wajib zakat bagi yang telah memenuhi syarat mulai di syari’atkan pada tahun ke-2 hijriyah, zakat fitrah diwajibkan pada Bulan Ramadlan sedangkan zakat mal di wajibkan pada bulan berikutnya, yakni syawal. Sesuai dengan Firman Allah SWT. yang diwahyukan di Madinah;

    وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٠

    Artinya:
    Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah SWT. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah : 110)

    Pembayaran zakat fitrah pada masa Rasulullah Muhammad SAW dengan bahan makanan (min tha’amin), mayoritas madzhab mengharuskan pembayaran zakat fitrah dengan makanan pokok (qutul balad), tidak boleh dengan non-makanan pokok, demikianlah mayoritas pendapat hukum (qaul) Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Adapun Madzhab Hanafiyah membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang dengan landasan normatif Firman Allah SWT dalam Al Qur’an;

    لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢

    Artinya:
    Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran : 92)

    Allah SWT. memerintahkan untuk menginfaqkan sebagian harta yang kita cintai, mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan atau penghasilan untuk sesuatu yang dianjurkan atau diharuskan dalam ajaran agama Islam, bentuknya bisa zakat, infaq, sedekah, wakaf dan dana sosial keagamaan lainnya. Pada masa Rasulullah Muhammad SAW harta yang paling dicintai umat Islam adalah bahan makanan, sedangkan hari ini harta yang paling dicintai oleh umat manusia adalah uang karena efektifitas dan fleksiblitasnya.

    Beras adalah serealia (dikenal juga dengan nama sereal atau biji – bijian, sekelompok tanaman yang ditanam untuk dipanen biji atau bulirnya sebagai sumber karbohidrat) bahan makanan pokok di Indonesia yang lazim digunakan untuk membayar zakat fitrah, sesuai dengan hadits berikut;

    عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نُخْرِجُ في عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَومَ الفِطْرِ صَاعًا مِن طَعَامٍ . وقالَ أَبُوْ سَعِيدٍ: وكانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ والزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ والتَّمْرُ (رواه البخاري)

    Artinya:
    Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. Berkata : dulu pada zaman Rasulullah Saw. Kami menunaikan zakat fitrah dengan satu sha’ bahan makanan, dan Abu Sa’id Menyampaikan bahwa bahan makanan kami adalah gandum, anggur, keju dan kurma. (HR. Bukhari)

    عَن ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ , أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ , وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى , وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ (رواه البخاري و مسلم)

    Artinya:
    Dari Ibnu Umar ra. Berkata: Rasulullah Saw. Mewajibkan zakat fitrah pada Bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi orang merdeka, budak, laki – laki, perempuan, kecil dan dewasa dari segenap muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Tujuan diterapkannya kewajiban zakat fitrah ((مقاصد الشريعة adalah agar pada perayaan kemenangan umat Islam di hari Idul Fitri para mustahik dapat menikmati hidup layaknya orang mampu, semua bisa menikmati hidangan yang layak, pantas dan tentu saja enak, pendek kata semua bisa makan enak. Dengan argumentasi normatif ushuli ini, tentu saja uang akan jauh lebih efektif dan fleksibel dalam mewujudkan maqashid syari’ah tersebut, sesuai dengan hadits berikut;

    عَن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ . وَقاَلَ : أَغْنُوْهُمْ فيِ هَذاَ الْيَوْمِ (رواه الدَّارَقُطْنِيّ) . وفي رواية البيهقي : أَغْنُوْهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ

    Artinya:
    Dari Ibnu Umar ra. Berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: Rasulullah Saw. Mewajibkan zakat fitrah, dan Rasul Bersabda : cukupilah kebutuhan mereka hari ini! (HR. Daruquthni). Dalam riwayat Imam Baihaqi : cukupilah kebutuhan mereka! Sehingga tidak perlu meminta – minta hari ini.

    Standar nominal yang ditetapkan oleh Madzhab Hanafiyah adalah Qimatul Manshush (nilai nominal harga bahan makanan pokok yang ada dalam teks hadits), berarti harga nominal dari satu sha’ kurma, gandum dll. Tentu hal ini, bagi sebagian masyarakat muslim Indonesia cukup memberatkan. Jalan tengahnya adalah menggunakan standar nominal harga dari bahan makanan pokok menurut Madzhab Syafi’iyah di Indonesia, yakni nominal harga dari 2,5 Kg. beras. Hari ini di Kota Bandar Lampung beras dengan kualitas premium berada pada kisaran harga 12.000,- per kg. sedangkan beras dengan kualitas medium berada pada kisaran harga 11.000,- per kg. opsinya adalah Rp. 30.000,- (premium) atau Rp. 27.500,- (medium), sesuai dengan kebiasaan konsumsi muzakki dalam kehidupan sehari – hari, tentu lebih dari itu lebih baik. Perpaduan pendapat hukum diperbolehkan sepanjang formulasinya tidak bertentangan dengan substansi ijmak.

    Besaran pembayaran zakat fitrah dengan uang, yaitu 27.500,- atau 30.000,- mendasarkan diri pada argumentasi normatif bahan makanan pokok (qutul balad) Madzhab Syafi’iyah di Indonesia, yakni 2,5 Kg. beras, lalu di konversi dengan uang. Hal ini mendasarkan argumentasinya pada qaul Imam Abu Hanifah dan Imam Ibnu Qosim dari Madzhab Malikiyah. Semua itu sudah sesuai dengan tujuan diterapkannya kewajiban zakat fitrah, yaitu dalam rangka mencukupi kebutuhan mustahik (delapan golongan yang berhak menerima zakat), dengan skala prioritas adalah fakir dan miskin. Uang akan jauh lebih efektif dan fleksibel dalam memenuhi kebutuhan tersebut.

    والله تعالى اعلم بالصواب

  • Resensi Buku:  Merayakan Iman: Potret Keberagamaan dan Kebudayaan, Dulu Hingga Kini

    Merayakan Iman: Potret Keberagamaan dan Kebudayaan, Dulu Hingga Kini

    Buku Merayakan Iman ; Beragama Dengan Menyenangkan dan Penuh Kasih Sayang ini merupakan kumpulan esai karya Fariz Alnizar (FA) yang diambil dari artikel rubrik Hikayat Ramadhan yang tayang di tirto.id sepanjang Ramadhan 2019. Tema esai berkisar tentang kisah dan hikmah yang diangkat dari dunia Pesantren dan dunia Islam dengan sudut pandang yang unik dan berbeda dengan mainstream.

    Buku karya akademisi Univeritas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta ini, mencoba memotret sekaligus merekam corak dan pola kebudayaan dalam beragama – utamanya dalam konteks cara beragama ulama – ulama klasik. Buku ini menyajikan berbagai rekaman selebrasi keberagamaan dan kebudayaan yang kental dengan nuansa keterbukaan, keteguhan, akseptan dan juga penuh kelakar.

    FA yang juga alumni Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang, Jawa Timur ini, melalui buku ini dimaksudkan menjadi alternatif jawaban dan tawaran pola keberagamaan yang belakangan banyak di citrakan dan dipenuhi oleh gejala formalisme yang cenderung kaku, saklek, dan plastis.

    Buku setebal 288 halaman ini menjabarkan 4 (empat) kurasan besar, yaitu; kurasan I tentang merawat tradisi, kurasan II berisi merayakan iman, kurasan III mendedah mengeja alamat zaman, dan kurasan IV lebih menukik pada mengunduh keteladanan, halaman vi.

    Kurasan I tentang merawat tradisi, terdiri 10 (sepuluh) kisah inspiratif yang bisa dijadikan spirit motivasi dalam kehidupan sehari – hari, seperti; tradisi debat dalam Islam, tradisi berdebat dan adu argumen merupakan salah satu diantara dua alat penguji kealiman seseorang dalam tradisi Islam. Selain perdebatan, Islam mengenal tradisi uji transmisi atau sanad. Kualifikasi kealiman bukan saja di uji dari kepiawaian beragumentasi, namun lebih dari itu, diuji dengan ketersambungan transmisi keilmuan, halaman 7.

    Kedewasaan umat bisa diukur salah satunya melalui seberapa lapang menerima perbedaan. Dan untuk menumbuhkan sikap kedewasaan, tidak ada jalan lain kecuali terus membangun tradisi perdebatan yang dialogis, bukan monologis. Mirip ungkapan pelaut yang tangguh tidak terlahir dari lautan yang teduh, umat yang dewasa tidak tumbuh dari iklim yang tidak bisa berdebat dan menerima pandangan-pandangan berbeda.

    Pada kurasan ini FA juga menuliskan, bahwa siksaan fisik dan pemenjaraan raga tidak sama artinya dengan pemenjaraan pikiran dan pembungkaman suara. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka pada Ramadhan tahun 1348 H bertepatan 1964 M dipenjara oleh pemerintah Orde Lama (Orla). Pemerintah menuduh Hamka telah melanggar Undang-Undang Anti-Subversif Pempres No.11, lebih spesifik ia dituduh terlibat merencanakan pembunuhan terhadap pemimpin besar revolusi, Presiden Soekarno, halaman 60.

    Hamka tidak bersedih menghadapi kenyataan. Bahkan ia semangat menceritakan berbagai pengalaman spiritualnya di balik jeruji besi lewat Tafsir Al Azhar.

    Kurasan II berisi tentang merayakan iman, FA menjabarkannya pada 8 (tulisan) yang lugas dan bermakna, seperti; Ibnu Athaillah as Sakandari dari Alexandria penyusun kitab Syarah Hikam mengatakan, ketika seorang hamba menyatakan dirinya tidak sombong, maka saat itulah justru puncak kesombongan telah dilakukannya. Perasaan tidak sombong merupakan kesombongan itu sendiri, halaman 115.

    Dalam perspektif menata hati, para sufi memberikan pelajaran, mereka tidak main – main dengan kualitas ibadah kepada Allah. Mereka selalu menjaga hati agar tetap bersih dan suci sehingga tidak kehilangan koneksi dengan Allah.

    Pesan inspiratif spiritual lainnya, FA menulis dalam hal silang pendapat antar ulama adalah perkara yang lumrah, mereka bisa berdebat dengan sengit didalam sebuah forum, tapi tetap gayeng dan santai diluar forum, halaman 126.

    Seperti perdebatan KH Hasyim Asy’ari, Jombang, salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama dengan KH Faqih Maskumambang, Gresik, tentang hukum penggunaan kentongan untuk menandakan masuknya waktu shalat. Bagi KH Hasyim Asy’ari dalam salah satu kitabnya Risaalah al Musamma bil Jaasuus fi Bayaani Hukmin Nuqus, menjelaskan, kentongan tak ubahnya lonceng yang digunakan digereja-gereja umat Nasrani. Oleh karena itu, hukum menggunakannya untuk memanggil orang agar shalat menjadi haram.

    KH Faqih Maskumambang tidak tinggal diam, diapun menulis argumentasi sistematis yang bisa dijadikan pijakan hukum mengapa kentongan boleh dipakai untuk memanggil orang shalat. “kentongan tak ubahnya bedug. Ia hanya alat. Jika bedug boleh digunakan untuk memanggil orang shalat, mengapa kentongan tidak ?,” ungkapnya.

    Para ulama terdahulu telah memberi contoh bahwa debat yang produktif adalah debat dengan berbalas karya, sembari tetap menjunjung etika. Perbedaan pendapat antar ulama itu oleh karenanya justru menjadi rahmat dan keberkahan umat, halaman 132.

    Kurasan III mendedah mengeja alamat zaman, mahasiswa doktor Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini, menguraikannya sebanyak sepuluh (10) tulisan hikmahnya, diantaranya; motivasi dalam mengarang sebuah karya menjadi modal besar dan utama. Motivasi yang salah akan berujung pada petaka dan ketidakberkahan karya, halaman 150.

    Syaikh Ihsan bin Dahlan, salah satu ulama dari Kediri, Jawa Timur, yang mendapat julukan Imam Ghazali dari Timur ini menulis kitab monumental bertajuk Siraajuth Thaalibin. Karya ini merupakan komentar atas kitab karya Al Ghazali dalam disiplin ilmu tasawuf, yakni Minhaajul ‘Aabidiin, karya ini hingga kini menjadi salah satu kitab wajib yang dipelajari di kampus Al Azhar, Mesir.

    Kurasan IV, bertemakan mengunduh keteladanan, pengelola komunitas Literasi Omah Aksoro, Jakarta ini, menuangkannya dalam delapan (8) tulisan.

    Kisah-kisah keteladanan, nilai-nilai (values), hikmah, semangat juang, ahli ilmu, ahli strategi, budayawan, beberapa tokoh lintas generasi Nusantara ini, seperti; Syaikh Yasin bin Isa al Fadani dari Minangkabau (Sumatera Barat), KH. Hasyim Asy’ari, Jombang, KH. Abdul Wahab Hasbullah, Jombang, KH. Bisri Syansuri, Jombang, KH. Ahmad Sahal Mahfudh, Kajen, Pati, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jombang, dan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Rembang.

    Bagi dalang Sujiwo Tedjo, sosok Gus Dur tak ubahnya semar. Gus Dur adalah pengayom yang bisa mengobati dahaga kemanusiaan. Atau dalam bahasa yang lebih sastrawi: Gus Dur adalah oase keteladanan bagi kemarauanya sikap kemanusiaan, halaman 260.

    Semar adalah Raja. Namun disaat yang lain ia juga rakyat biasa yang bisa berbaur dengan sesama jelata. Ia dengan seenaknya ceplas-ceplos membincang apa saja. Ia tinggi, tapi disaat yang bersamaan ia juga rendah.

    Maka tidak mengherankan jika Gus Dur menjadi sosok yang longgar dan non protokoler. Meminjam kata Franz Magnis Suseno, Gus Dur memiliki kelapangan psikologis dan bahkan teologis.

    Dalam momentum Ramadhan ini, buku sederhana nan istimewa ini bisa dibaca semua kalangan latar belakang sosial apapun di Indonesia, juga bisa dijadikan tambahan literasi keberagamaan dan kebudayaan yang selama ini telah tersedia.

    IDENTITAS BUKU :

    Judul : Merayakan Iman ; Beragama Dengan Menyenangkan dan
    Penuh Kasih Sayang
    Penulis : Fariz Alnizar
    Penerbit : Qafila, Jakarta
    Tahun Terbit : 2021
    Tebal : vii + 288 Halaman
    Nomor ISBN : 978-602-052-395-8
    Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan, warga NU, tinggal di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

  • Opini: Idul Fitri dan Tradisi Tukar Menukar Uang dalam Perspektif Hukum Islam

    Idul Fitri dan Tradisi Tukar Menukar Uang dalam Perspektif Hukum Islam
    Oleh: Ustaz. Ismail Soleh, SHI., MHI.
    (Ketua Dewan Asatidz MT. Rachmat Hidayat Lampung)
    Tidak sampai dua pekan lagi idul fitri akan tiba di tengah tengah kita. Meskipun masih lumayan lama karena belum masuk sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan (likuran/21 Ramadhan) namun geliat dan aktivitas masyarakat nampaknya sudah mulai mempersiapkan dan menyambut perayaan Idul Fitri.
    Ada yang menghias taman rumah dengan vas aneka bunga baru, mengecat rumah, membeli baju baru, mempersiapkan aneka kue dan toples baru, ada yang beli cash dan kredit kendaraan baru, bahkan tidak sedikit perbankan rame pengunjung hingga antri demi mendapatkan tukaran uang baru.
    Memang secara etimologi “Idul Fitri” maknanya adalah “kembali suci”. Itu berarti simbol suci identik dengan hal yang bersih, wangi, ori dan belum terkontaminasi. Maka kata yang tepat untuk mengakumulasi makna Idul Fitri adalah “Sesuatu yang Baru”.
    Pakaian baru, makanan dengan menu baru, kendaraan baru, ornamen rumah serba baru, perabot baru, hingga uang baru bagaikan simbol dari bersihnya hati, dan sebagai syiar Islam ketika hari Raya Fitri.
    Adakah Anjuran Agama Memakai Sesuatu Serba Baru Saat Lebaran Idul Fitri
    Idul fitri adalah waktunya berhias dan berpenampilan sebaik mungkin untuk menampakan kebahagiaan di hari yang berkah itu. Berhias bisa dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik dan pakaian terbaik.
    Lebih utama memakai pakaian putih, kecuali bila selain putih ada yang lebih bagus, maka lebih utama mengenakan pakaian yang paling bagus, semisal baju baru. Keterangan ini dapat dipahami bahwa tradisi membeli baju baru saat lebaran menemukan dasar yang kuat dalam teks agama, dalam rangka menebarkan syiar kebahagiaan di hari raya Idul Fitri. Kesunnahan berhias ini berlaku bagi siapapun, meski bagi orang yang tidak turut hadir di pelaksnaan shalat Idul Fitri.  Khusus bagi perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat, seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat laki-laki lain yang bukan mahramnya dan lain sebagainya.
    (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281)
    قَالَ رَجُلٌ: «إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً»، قَالَ: ((إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ)
    “Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan”. (HR. Muslim).
    Hadits lain menceritakan sahabat Ibnu Umar RA yang mengenakan pakaian bagus di hari raya.
    عَنْ نَافِعٍ : أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَلْبَسُ فِى الْعِيدَيْنِ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ
     “Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar RA memakai baju terbaiknya di dua hari raya,” (HR Al-Baihaqi dan Ibnu Abid Dunya dengan sanad shahih).
    قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى … فَأُحِبُّ في الْعِيدَيْنِ أَنْ يَخْرُجَ بِأَحْسَنَ ما يَجِدُ من الثِّيَابِ
    “Imam As-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata, ‘… maka aku senang dalam dua hari raya orang hendaknya ke luar dengan baju terbaik yang ia temukan,’” (Lihat Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1393 H], juz I, halaman 248).
    Makna dan Esensi Hari Raya Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairomi dalam k Hasiyah al-Bujairami alal Khatib memaknai esensi hari raya bukan sekadar tentang makanan baru dan sesuatu yang serba baru, meski pada dasarnya dianjurkan (baca: sunnah) menggunakan pakaian baru, pada hakikatnya bukan itu maksud dan makna dari hari raya yang sesungguhnya.
    Syekh Sulaiman mengatakan:
    جعل اللّه للمؤمنين في الدنيا ثلاثة أيام: عيد الجمعة والفطر والأضحى، وكلها بعد إكمال العبادة وطاعتهم. وليس العيد لمن لبس الجديد بل هو لمن طاعته تزيد، ولا لمن تجمل باللبس والركوب بل لمن غفرت له الذنوب
    “Allah swt menjadikan tiga hari raya di dunia untuk orang-orang yang beriman, yaitu, hari raya jum’at, hari raya Fitri, dan Idul Adha. Semua itu, (dianggap hari raya) setelah sempurnanya ibadah dan ketaatannya. Dan Idul Fitri bukanlah bagi orang yang menggunakan pakaian baru. Namun, bagi orang yang ketaatannya bertambah. Idul Fitri bukanlah bagi orang yang berpenampilan dengan pakian dan kendaraan. Namun, Idul Fitri hanyalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasiyah al-Bujairami alal Khatib, juz 5, h. 412)
    Tukar Menukar Uang dalam Perspektif Hukum Islam
    Jelang hari raya Idul Fitri benar-benar dimanfaatkan sejumlah kalangan untuk meraup untung, termasuk dengan menyediakan pecahan uang baru. Fenomena ini sudah banyak disaksikan di pinggiran jalan utama, terminal, stasiun, pelabuhan, diperkotaan hingga ke pelosok desa. Ada banyak pecahan yang ditawarkan, mulai nominal kecil hingga puluh ribu rupiah.
    Masalah praktik penukaran uang ini cukup pelik. Praktik ini dapat dilihat dari dua sudut. Kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma’qud ‘alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba. Namun kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma’qud ‘alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah. Ijarah sebenarnya adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang. Karena ijarah adalah sejenis jual beli, maka ia bukan termasuk kategori riba sebagai keterangan
    Kitab Fathul Mujibil Qarib berikut ini:
    والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل
    “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas),” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Maktabatul As‘adiyyah: 2014 M/1434 H], cetakan pertama, halaman 123).
    Perbedaan orang dalam memandang masalah ini muncul karena perbedaan mereka dalam memandang titik akad penukaran uang itu sendiri (ma’qud ‘alaih). Sebagian orang memandang uang sebagai barang yang dipertukarkan. Sementara sebagian orang memandang jasa orang yang menyediakan jasa penukaran. Tetapi terkadang barang itu sendiri mengikut sebagai konsekuensi atas akad jasa tersebut sebagai keterangan Nihayatuz Zein berikut ini:
    وقد تقع العين تبعا كما إذا استأجر امرأة للإرضاع فإنه جائز لورود النص والأصح أن المعقود عليه القيام بأمر الصبي من وضعه في حجر الرضيع وتلقيمه الثدي وعصره بقدر الحاجة وذلك هو الفعل واللبن يستحق تبعا
    “Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma’qud ‘alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein.
    Bila dalam praktik penukaran uang baru yang menjadi objeknya adalah uang, maka ia bisa menjadi haram karena masuk dalam kategori riba. Akan tetapi, apabila objeknya adalah jasa orang yang menyediakan uang, maka hukum menukar uang baru saat Lebaran boleh-boleh saja menurut Islam.
    Dapat disimpulkan bahwa:
    1. Serba baru boleh bahkan mustahab ada nilai kesunahan saat lebaran dengan niat karena Allah bukan didasari kesombongan, riya’, ujub. Dan sebagai ujud ekspresi syukur atas nikmat kemenangan yang Alloh berikan.
    2. Bisnis tukar menukar duit baru hukumannya boleh asal dasarnya suka sama suka (Q.S Annisa ayat 29). Dan memang prinsip dasar muamalah dalam kaidah fiqhiyah adalah Al ibahah (diperbolehkan). Tapi dengan catatan objeknya (ma’qud ‘alaih) adalah karena jasa orang yang menyediakan penukaran uang dengan akad ijarah.
    Waallohu a’lam bi showab.
  • Opini: Nuzulul Qur’an Malam 17 Ramadhan atau Lailatul Qadar?

    Nuzulul Qur’an, Malam 17 Ramadhan atau Lailatul Qadar?
    Oleh: Ustaz. Ismail Soleh, SHI., MHI.
    (Ketua Dewan Asatidz MT. Rachmat Hidayat Lampung)
    شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ.
    “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al Baqarah: 185).
    Pendapat pertama berpandangan turun pada Malam 17 Ramadhan
    Sejarah Peristiwa Nuzulul Quran terjadi pada 17 Ramadhan, di Gua Hira pada Tahun ke-41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Saat itu, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama ayat 1-5 dari Surat Al-‘Alaq.
    Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu turunnya Alquran. Sebagian berpendapat pada 17 Ramadhan, sebagian lagi mengatakan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.
    Pendapat yang mengatakan Alquran diturunkan pada malam 17 Ramadhan didasarkan pada hadits berikut :
    عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال : مَا أَشُكُّ وَلاَ أَمْتَرِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ أُنْزِل الْقُرْآنُ
    “Dari Zaid bin Arqam radhiyallahuanhu berkata, ”Aku tidak ragu bahwa malam 17 Ramadhan adalah malam turunnya Al-Quran.” (HR. Ath-Thabarani dan Abu Syaibah)
    Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa malam Qadar itu adalah malam yang siangnya terjadi Perang Badar, berdasarkan firman Allah SWT:
    إِنْ كُنْتُم آمَنْتُمْ باِللهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
    “Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al-Anfal : 41).
    Imam Thabari menjelaskan dengan sanad dari Hasan bin Ali:
    كانت ليلة الفرقان يوم التقى الجمعان لسبع عشرة من شهر رمضان
    Malam al-Furqan (malam diturunkannya al-qur’an ) adalah bertepatan hari pertempuran dua golongan yaitu tanggal 17 Ramada Artinya tanggal 17 Ramadhan merupakan momen penting dalam sejarah Islam, selain hari berlangsungnya perang Badar, juga merupakan waktu pertama kali diturunkannya al-Qur’an kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril.
    Menurut para ahli sejarah, pada tanggal 17 Ramadhan itulah terjadi peristiwa Nuzulul Qur’an atau pertama kali turunnya Al Quran dari langit dunia ke muka bumi.
    Jumlahnya hanya 5 ayat saja, yaitu awal ayat Surat Al-‘Alaq. Jadi tepatnya malam 17 Ramadhan itu adalah malam awal mula turunnya 5 ayat Qur’an pertama ke muka bumi dari langit dunia.
    Sementara Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadar (Surat al-Qadar ayat 1), yaitu malam paling spesial di bulan suci, malam yang sangat diharapkan seluruh umat Muhammad, ia lebih baik dari pada seribu bulan.
    Kedua berpandangan Al-Qur’an turun pada malam Lailatul Qadar
    Penjelasan dalam literasi Tafsir Jalalain
    dan tafsir Ibnu Katsir
    تفسير الجلالين : معنى و تأويل الآية 1
    «إنا أنزلناه » أي القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى السماء الدنيا «في ليلة القدر» أي الشرف العظيم.
    “Sesungguhnya kami turunkan (Al-Qur’an) ya’ni ” turun sekaligus/ jumlatan waahidatan” dari lauhil Mahfudz ke langit dunia ” pada malam Lailatul Qadar/ malam yg mulia dan agung”.
    (Tafsir Jalalain)
    إنا أنـزلناه في ليلة القدر: تفسير ابن كثير
    الله تعالى أنه أنزل القرآن ليلة القدر ، وهي الليلة المباركة التي قال الله عز وجل : ( إنا أنزلناه في ليلة مباركة ) [ الدخان : 3 ] وهي ليلة القدر ، وهي من شهر رمضان ، كما قال تعالى : ( شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن ) [ البقرة : 185 ] .قال ابن عباس وغيره : أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العزة من السماء الدنيا ، ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم .
    Bahwasanya Allah SWT menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, yaitu malam yang penuh berkah, hal ini didasarkan pada firman Allah surat Addukhon ayat 3. Yaitu malam Lailatul Qadar dibulan Ramadhan (Al-Baqarah 185). Ibnu Abbas dan yang lainnya menegaskan “Allah menurunkan Al-Qur’an sekaligus (30 juz, red) dari lauhil Mahfudz ke Baitul Izzah langit dunia. Kemudian turun berangsur angsur sesuai dengan peristiwa dalam kurun waktu 23 tahun kepada Rasulullah SAW. (Tafsir Ibnu Katsir)
    Pertanyaannya kemudian, bagaimana korelasi antara dua narasi di atas? Mengapa bisa berbeda antara peringatan Nuzulul Quran dan diturunkannya Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar?
    Beberapa pakar tafsir menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dua kali proses. Pertama, diturunkan secara keseluruhan (jumlatan wahidah). Kedua, diturunkan secara bertahap (najman najman). Sebelum diterima Nabi di bumi, Allah terlebih dahulu menurunkannya secara menyeluruh di langit dunia, dikumpulkan jadi satu di Baitul Izzah.
    Selanjutnya malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi di bumi secara berangsur, ayat demi ayat, di waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan selama 20 tahun, pendapat lain 21 tahun. ( Imam Qurthubi). Walaupun ada sebagian mengatakan Al-Qur’an dalam tempo durasi waktu 22 tahun 22 bulan 22 hari. Ibnu Abbas dan Ibnu Katsir 23 tahun.
    Sehingga dapat disimpulkan bahwa Lailatul Qadar (ليلة القدر) malam mulia karena Al-Qur’an turun sekaligus 30 juz (jumlatan waahidatan) dari lauhil mahfudz ke Baitul Izzah langit dunia, menurut ulama tafsir kisaran tanggal 24 ramadhan. Nuzulul Qur’an ( نزول القران) saat turunya Al-Qur’an dari langit dunia kepada nabi Muhammad Saw melalui Ruhul Amiin Jibril As secara mufassholat (berangsur-ansur) satu, dua ayat atau lebih, di waktu yang berbeda-beda selama beberapa tahun, dimulai malam ke 17 Ramadhan dengan turunya wahyu pertama surat Al- Alaq ayat 1-5.
  • Opini: Qona’ah dalam Keberkahan Ramadhan

    Qona’ah Dalam Keberkahan Ramadhan
    Dr. Efa Rodiah Nur, MH
    Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

    Bulan ramadhan yang penuh keberkahan dan kemulyaan, sehingga disebut syahrun mubarok, dan syahrun karim. Marhaban ya ramadhan. Semoga kita semua senantiasa dalam keberkahan dan kemulyaannya. Di antara hakekat puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, tidak hanya sebatas makan dan minum saja, melainkan juga syahwat dan keinginan yang lebih, termasuk keinginan yang berlebihan jika tidak dibarengi dengan nilai keagamaan dan kontrol diri, akan mengakibatkan sikap yang kurang baik, hingga masuk dalam wilayah (ghulluw) yaitu berlebihan, bisa juga tergolong (syubhat), yaitu tidak mampu mengontrol antara yang hak dengan yang bathil, sehingga menjadi orang yang serakah, tentunya hal ini dilarang oleh agama Islam.

    Ada sebuah ungkapan bijak, “innalhayaata lan tu’thiyaka kullamaa tuhibbu, walakinna al-qonaa’ata taj’aluka tuhibbu maa tamliku” sesungguhnya kehidupan ini tidak akan pernah memberikan atas segala apa yang kamu sukai, namn dengan berqona’ah (yaitu menerima atas apa yang telah dianugrahkan kepadanya), maka akan tercapainya rasa cinta atas segala apa yang kamu miliki. Sebagai hamba yang paling mulia adalah ketika ia selalu bersyukur atas segala apa yang ia dapatkan, karena itu adalah anugrah yang terbaik, janji Allah swt., barang siapa yang bersyukur kepada Allah, pasti Allah akan menambah kenikmatan yang telah ia berikan, namun jika ia kufur, maka sesungguhnya adzab Allah amatlah pedih.

    Manusia termasuk melekat pada dirinya sikap yang tiada puas pada dirinya, contoh yang paling ringan ialah ketikabmemiliki sepeda, menginginkan motor, begitu juga ketika motor sudah ia miliki, ia menginginkan mobil, begitu juga ketika rumah sudah dimiliki ingin istana dan seterusnya, begitulah sikap manusia yang tiada puas dengan hal yang melekat kepadanya yaitu berupa kenikmatan-kenikmatan dari Allah swt.

    Di tengah keinginan manusia yang tiada batas, terkadang keinginan kita untuk memiliki sesuatu, namun Allah tidak mengabulkan sesuatu tersebut sesuai keinginan kita, yakinlah bahwa apa yang Allah anugrahkan kepada kita adalah hal yang terbaik, yaitu baik menurut Allah, walaupun terkadang belum baik menurut angan-angan kita, seperti halnya ketika seseorang mengharapkan kupu-kupu yang indah nan elok, ternya beberapa hari kemudia terdapat ulat yang sangat banyak di sekitar rumahnya, ia marah karena seakan-akan doa dan harapannya tidak tercapai, karena ia mengaharapakan kupu-kupu yang indah nan elok namun justru ulat yang menjijikkan yang mendatanginya, tanpa iab sadari beberapa hari kemudian, ternyata ulat yang menjijikakan tersebut lamban laun menjadi kepompong dan kemudian menjadi kuku-kukupu yang begitu indah berwarna-warni, ia baru sadar bahwa anugrah Allah swt, diberikan kepada kita, terkadang berbeda dengan keinginan kita, dan sejatinya itulah yang terbaik untuk kita.

    Ketika seseorang menginginkan bepergian dengan memesan tiket kereta api atau pesawat yang berangkat di pagi hari, katakan pukul 07.00 wib karena ia akan ada kepentingan yang sangat genting pada siang harinya, namun ternyata pesawat atau kereta itu harus menunggu beberapa lama hingga dua sampai tiga jam, maka kemudia anda marah, jengkel terhadap keadaan yang ada, tamun beberapa saat kemudian, pusat suara di stasiun kereta atau bandara pesawat tersebut memberikan informasi bahwa pada saat ini pesawat atau kereta yang berangkat beberapa saat tadi (yaitu kereta yang seharusnya ia kendarai), terdapat kecelakaan, maka anda baru sadar bahwa Allah swt, memberikan yang terbaik kepada anda karena adanya kemogokan sehingga terlambat berangkat, mungkin jika ia tetap berangkat bersama pesawat atau kereta tersebut anda sudah berakhir usianya.

    Contoh lain adalah Ketika ada seorang laki-laki duduk di bawah pohon salam, seraya ia berprotes pada Allah swt, denngan mengatakan “Allah swt, tidak adail, masa pohon salam yang besar ini hanya memiliki buah yang kecil, namun pohon labu yang pohonnya kecil tenyata buahnya sebesar kepala, Allah swt, memang tidak adil” setelah beberapa saat kemudian, ada buah salam yang jatuh dan menjatuhi kepala seseorang tadi, maka seseorang tadi baru menyadari, ternyata Allah swt, maha Adil, hanya pikiran kita yang kurang tadabbur, kurang berfikir, kurang menghayati, coba jika pohon sebesar ini (pohon salam) buahnya sebesar labu, waduh, bisa pecah kepala saya, begitulah kenikmatan yang Allah swt berikan, sehingga dikatakan janganlah engkau cintai sesuatu secara berlebihan, karena sesungguhnya apa yang anda cintai belum tentu mendapatkan cinta dari Allah, dan janganlah engkau membenci sesuatu berlebihan, karena bisa jadi apa yang anda benci tersebut adalah yang Allah cintai dan harapkan dan itu adalah yang terbaik untukmu.

    Di bulan ramadhan yang suci ini, kita sejatinya dituntut untuk memiliki keinginan banyak dalam kebaikan, dan bahkan dituntut untuk berlomba-lomba dalam segala kebaikan, baik dalam hal puasanya, shalat malamnya, tadarus al-Qur’annya, i’tikafnya, dzikir tasbih, tahmid, takbir dan tahlilnya, serta bentuk-bentuk shadaqah dan zakatnya, serta segala kebaikan lainnya adalah hal yang positif yang justru akan membawa kearah iman dan taqwa kepada-Nya. Qona’ah adalah dalam wilayah yang membawa kebaikan, misalnya dalam hal harta dan kepemilikan, atau berupa kenikmatan, namun dalam hal ibadah dan amal shalih, setidaknya kita tetap harus berpacu dalam spirit meraih iman dan takwa serta keberkahan ramadhan. Wallahu ‘A’lam.

  • Opini: Peringatan Nuzulul Qur’an sebagai Media Muhasabah

    Peringatan Nuzulul Qur’an sebagai Media Muhasabah
    Dr. Agus Hermanto

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Di tengah semaraknya bulan ramadhan yang penuh keberkahan, dimana setiap orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menunaikan puasa dan shalat pada malam-malamnya, peringatan malam Nuzulul Qur’an merupakan ciri khas masyarakat Nusantara yang selalu mewarnai hari-hari besar Islam, termasuk peringatan Nuzulul Qur’an.
    Peringatan Nuzulul Qur’an dilaksanakan di masjid-masjid, dengan banyak corak kegiatan yang dilakukan untuk menyemarakkan nya. Mulai dari tausiyah yang diisi oleh para Alim Ulama dan Mubaligh, ada juga yang mengekspresikan nya dengan syukuran bersama (genduri) atau sekedar berdoa bersama, terdapat juga kegiatan meriah lainnya, yang semua itu adalah spirit untuk melaksanakan peringatan Nuzulul Qur’an, dengan senantiasa mengharapkan pemahaman dan keberkahan ramadhan.
    Nuzulul Qur’an, berasal dari dua kata, Nuzulul dan al-Qur’an. Nuzul yang berarti dipindahkan atau diturunkan, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) berupa wahyu. Terkait dengan kapan dilaksanakan kegiatan peringatan Nuzulul Qur’an, sebagian masyarakat Islam di Nusantara melaksanakannya pada malam ketujuh belas, dinisbatkan pada terjadinya Perang Badar, di tanggal 17 Ramadhan, walaupun sebagian ulama berpendapat di tanggal 18, 21 ada juga yang di tanggal 24, namun demikian, yang terpenting bukan pada tanggal kapan jatuhnya Nuzulul Qur’an, tapi semangat untuk menelaah hari besar sebagai tonggak sejarah Nuzulul Qur’an itulah yang terpenting, sehingga kita tahu bahwa al-Qur’an diturunkan dengan sejarah panjang yang melatarbelakangi nya dan menjadi pelajaran besar bagi umat Islam.
    Sebagian lain bertanya tanya tentang perbedaan Nuzulul Qur’an dengan lailatul Qodar, karena dalam Syarat al-Qodr juga dipaparkan turunnya al Qur’an. Malam lailatul Qodar adalah malam kemulyaan yang terjadi di bulan ramadhan, dimana dikisahkan bahwa pada malam lailatul Qodar, Allah menurunkan al-Qur’an kelauhil mahfudz yang kemudian diteruskan ke baitul izzah yaitu sama’ul ardh, atau langitnya bumi secara keseluruhan dari ayat-ayat al-Qur’an secara utuh. Sedangkan turunkan al-Qur’an adalah setiap saat dimana sesuai dengan asbab al-nuzul dan sebagian tidak terdapat asbab. Namun ayat yang pertama diturunkan yaitu di bulan ramadhan yang kemudian menjadi sejarah peringatan Nuzulul Qur’an, dimana pada saat itu Nabi Muhammad saw, berada di Guwa Ghira dan turunlah ayat pertama yang disampaikan oleh ruhul amin yaitu Malaikat.
    Berbicara tentang al-Qur’an, tentunya berbicara tentang adanya ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah. Ayat Makiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Makkah, sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah yang diturunkan di Madinah, ciri kedua biasanya ayat Makiyah turun sebelum Hijrah dan ayat-ayat Madaniyah turun setelah Hijrah, dan yang ketiga ayat-ayat Makiyah ciri-cirinya menggunakan lafadz “ya ayyy hal ladziina aamanuu” Sedangkan ayat-ayat Madaniyah biasanya menggunakan lafadz “ya ayyuhannas”. Walaupun demikian juga terkadang harus dilihat konteksnya, yaitu mana ayat-ayat yang relevan dengan masyarakat Makkah dan Madinah.
    Sesungguhnya peringatan Nuzulul Qur’an adalah upaya untuk muhasabah, menyadarkan diri untuk selalu ingat malam diturunkan nya kitab Agung yaitu al-Qur’an yang merupakan pedoman bagi kita semua, semoga kita semua di bulan ramadhan (syahrul Qur’an) ini senantiasa diberikan keberkahan amin.

  • Opini: Kidung Cinta Ditengah Kekerasan

    Kidung Cinta Ditengah Kekerasan
    Oleh: H. M Soffa Ihsan
    Pengurus MUI Pusat Komisi Ukhuwah Islamiyah
    Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

    Ketika dunia digebrak dan teror sadis digelar untuk sebuah tujuan absurd. Ketika bom pemusnah menyemburkan api kematian, lalu sepakat; War Againts Terrorism. Tapi kegilaan terus menderu atau-seperti kata Julia Kristeva-terus memerangkap manusia dalam kebinatangan dan fantasi kekejaman, bercak darah dan kematian. Maka jagad manusia tak pernah sepi dari nyinyir darah, tubuh yang terarak oleh massa, lebam, berceraiberai, muka-muka garang eksekutor, atau muka-muka pasi keluarga korban.

    Kaum pemuja kekerasan berpijak pada suatu ideologi yang menjadikan mereka separatis, anarkhis, pemberontak, nasionalis, revolusioner atau pemeluk agama yang  radikal. Rata-rata, mereka terpincuk oleh fanatisme yang kuat. Tetapi, apapun dasar pijakannya, sebagai teroris mereka ditandai oleh tindakan kekerasan yang ditujukan kepada penduduk biasa atau non-combatting, yang tak dipersenjatai dengan sasaran mencapai khalayak yang lebih luas. Dengan cara ini, mereka berharap memperoleh pengaruh politik yang jauh lebih besar, diakui keberadaannya oleh masyarakat. Seperti digambarkan oleh Albert Camus dalam sandiwaranya Les Justes bahwa karena tujuan mereka hanyalah memberikan gangguan dimana saja, sampai tujuan politik mereka dikabulkan.

    Kidung Cinta

    Kaum sufi-kata Abul Husein al-Nuri-adalah manusia yang paling bijak di antara seluruh umat manusia. Ketika banyak orang memburu karunia Tuhan, sang sufi justru merindukan keintiman dengan Tuhan. Ketika semua orang mengejar dan memuaskan diri dengan sifat-sifat, sang sufi mencari esensi  ilahiah dan tak menjunjung tinggi apapun kecuali esensi itu. Ketika banyak orang menampilkan kekuatannya, sang sufi menyendiri seraya berdoa, memohon kasih bagi mereka. Ketika banyak orang berlomba untuk dipuji, sang sufi justru melahiriahkan keburukan dirinya (malamatiyah). Ketika sufi Bayazid al-Busthami dipukul anak muda dengan seruling, ia justru mengganti kerusakan seruling dengan sejumlah uang dan makanan. Ketika Abu Hasan Busanji ditinju oleh seseorang, ia justru memaafkannya. Ketika Abu Ali Rudbari dipukul kepalanya oleh seseorang dengan kendi, ia malah menghiburnya, hingga orang itu lupa akan rasa malunya dan kembali riang.

    Bagi kaum sufi, tidak melakukan perlawanan memiliki dua aspek. Pertama, tersinggung adalah sifat eksistensi diri dan egosentris, sedangkan sufi adalah “tanpa ego”. Jadi barangsiapa yang kesal dan melakukan kekerasan, masihlah ia seorang yang sadar akan identitas dirinya terpisah dari Tuhan. Lebih jauh, ia malah orang yang menyekutukan yang lain dengan Tuhan, bukannya seorang yang bertauhid. Kedua, sufi adalah seorang yang berpasrah diri kepada Tuhan dan berpuas diri dengan kehendak-Nya. Apapun penderitaan dan kehinaan menimpanya, ia justru menganggapnya sebagai kiriman ilahi.

    Semua itu dimungkinkan, karena jalan yang ditempuh kaum sufi adalah “jalan cinta”. Jalan cinta ini bukan melalui pemikiran, melainkan jalan penghayatan dan pengamalan jiwa yang bergerak tiada batas (la nihayata lah). Tuhan didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat ilahi, intimasi (al-uns) bersamanya bisa tercapai. Dalam sufisme, cinta dan pengetahuan tidak bakal pernah benar-benar bisa dipisahkan.

    Masing-masing tarekat sufi hanya menekankan satu segi tanpa pernah menafikan segi lainnya. Sesungguhnya cinta sufi (‘syq) dipahami kaum sufi sebagai realisasi aspek gnosis (ma’rifah). Metafisika paling murni, jika hanya bercorak teoritis adalah kecil dibandingkan dengan realisasinya dalam jiwa manusia. Ia adalah sejenis cinta yang dikawinkan dengan gnosis serta mengantarkan pada keesaan Allah (tauhid) yang akan mengatasi semua bentuk dualitas, bahkan dualitas yang ada antara sang pecinta dan kekasih. Dari sini, bisa dipahami bila al-Ghazali menempatkan al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami sebagai orang yang telah mencapai puncak hakikat tauhid (khawash al-khawash).

    Para guru sufi senantiasa berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan (khidmah) kepada sesama umat manusia tanpa beda serta mendukung perkembangan kualitas-kualitas yang tersimpuh dalam potensi setiap individu. Seperti yang terungkap secara herois dan tulus dalam kata-kata Abu Hasan al-Kharaqani:”sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia, sehingga aku tidak perlu menunggu kematian”.

    Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual atau yang disebut dengan “futuwwah” yakni segebung kualitas positif dari kepribadian manusia seperti kejujuran, keterusterangan dan kejernihan fikiran. Qani’i Thusi menggambarkan bahwa permata mahkota tubuh adalah kebajikan (muruwwah) dan kebajikan adalah tanda etika (futuwwah). Etika ini tidak menyebabkan sakit hati, membiarkan diri congkak dan memandang orang lain hina, membuat hati jauh dari kedengkian, tidak pernah merusak diri dengan perbuatan salah serta berharap dunia damai dan unggul.

    Jalan yang dipilih sufi adalah pancaran dari kepekaan intuisi. Bagi sufi, sebuah pilihan rasional sesungguhnya hampa secara spiritual dan bisa menyeret kegamangan secara moral dan sosial. Jalaluddin Rumi menggambarkan bahaya ini dalam kisah perdebatan antara pencuri buah aprikat dan pemilik kebun. Keduanya saling beradu alasan dalam mendukung tindakannya. Maka antara tindakan mencuri dan penyiksaan pemilik kebun terhadap si pencuri itu menjadi kabur, tertelikung oleh alasan rasional.

    Periskiran terhadap aspek nalar bukan berarti sufisme kemudian menjadi larut dalam “gula-gula esoterisme” yang terpancang pada rasa manis estetika yang subtil dan memberantakkan kebutuhan aktivisme. Dengan melukar penalaran yang formalis, sufisme justru hendak membelalakkan mata atas kekerdilan cara pandang yang hanya menekuri sisi-sisi skriptural dalam agama. Sufisme hendak mencairkan upaya reduksionisme pola pikir yang dualistik yang hanya akan memantik ekstrimisme.

    Dalam tilikan sejarah, justru sufisme  klasiklah yang menunjukkan gerak aktivisme melawan segala bentuk ekstrimitas. Sufisme bergerak secara oposisif terhadap praktik-praktik kepicikan pemahaman keagamaan yang berwujud pada pembedakan radikal atas umat manusia atau pemberangusan terhadap kemanusiaan. Gerakan oposisi yang dilokomotifi oleh Hassan Bashri adalah sebuah contoh gerakan tasawuf yang paling fasih menentang despotisme politik pemerintahan dinasti Umawiyah di Damaskus. Gerakan sufisme  yang demikian adalah replika suatu gerakan yang berhimpitan (interwoven) dengan universalisme empati kemanusiaan.

    Tentu sangat berbeda, bila gerakan keagamaan merekah dari sudut pandang keagamaan yang formal-ideologis seperti pada gerakan Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban, al-Qaedah atau gerakan ektrem dan puritan lainnya yang saat ini tengah mekar bak cendawan di musim hujan. Gerakan-gerakan seperti ini akan mudah terjungkang pada kerangkeng ekstrimisme yang justru ditangkis oleh sufisme, karena mencanangkan penafsirannya lebih pada teks-teks kitab suci secara dzahiri. Sebaliknya, kaum sufi lebih memahami teks-teks suci secara isyari dan ta’wili.

    Nah, dalam situasi apapun, tasawuf tetaplah abadi sebagai penjaga gawang “kesucian” dengan mekanisme dasarnya yaitu pengendalian diri. Bagi sufi: “hasrat tidak dapat dilawan dengan hasrat, melainkan dengan hati yang berbinar (nur al-qudsi).

  • Opini: Sahabat Sejati di Bulan Ramadhan

    Sahabat Sejati di Bulan Ramadhan
    Dr. Agus Hermanto
    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Sahabat berasal dari kata Shaahib yang juga memiliki istilah lain seperti shadiiq, khaliil, dapat diartikan kawan, sahabat, kekasih atau istilah lain yang serupa, yang menunjukkan adanya hubungan ukhuwwah antara satu dengan yang lainnya, sahabat tidak mesti dalam pengertian saudara, namun juga orang lain yang dianggap ada hubungan dekat yang tidak mesti dalam hubungan kekasih, seperti Rasulullah dengan para sahabatnya, misalnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan beberapa para sahabat lainnya yang hidup semasa dengan Nabi atau pernah membersamai Nabi dalam perjuangan menyebarkan ajaran Islam.

    Istilah shaahib terdapat dalam beberapa kalimat, misal sabda Rasulullah saw, “Iqra’uu al-Quran, liannahu ya’tii yaum al-qiyaamah syaafii’an liashaabihi (HR. Bukhari Muslim) yang artinya, ” Bacalah al-Quran, karena dia akan datang pada hari kiamat nanti sebagai penolong bagi yang membacanya”. Dalam kalimat lain misalnya “Khair al-Ashaabi maa yadulu ‘alaa khairin” yang artinya (sebaik-baiknya sahabat adalah yang menunjukkan kepadamu pada sesuatu yang baik. Selain dari istilah tersebut juga digunakan dalam kalimat-kalimat lain. Walaupun kata sahahiib juga berarti pemilik, misalnya shahiibul bait”

    Penggunaaan kalimat shadiiq digunakan dalam kalimat “Shdiiquka man abkaaka walaa man adhaakaka” (Sahabat sejatimu adalah mereka yang membuatmu menangis bukan yang membuatmu ketawa)

    Sedangkan penggunaan istilah khaliil digunakan dalam beberapa istilah termasuk ketika Allah memberikan gelar kepada Nabi Ibrahim as, “kaliilullah” (Kekasih Allah), sebagai gelar atas kesabarannya dalam menerima segala ujian dan musibah yang menimpanya, dalam istilah lain misalnya ungkapan yang digunakan oleh Syaikh Al-Mas’uud Najm, “Lam ara khaliilan yarfa’u qadra khaliil ihi ka al-Quran, fatuubaa limanittakhada al-Quran khaliilan” (Saya belum melihat seorang sahabat yang mengangkat derajat sahabatnya seperti dia mengangkat (memulyakan) al-Quran, maka beruntunglah orang-orang yang menjadikan al-Quran sebagai sahabatnya. Begitu mulianya al-Quran, sehingga akan menjadi petunjuk dan penolong.

    Bulan Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan, bukan tarbiyah, bulan al-Quran dan nama baik lainnya yang disandarkan kepadanya. Allah swt, akan senantiasa menjadikan pahala yang berlipat ganda dibandingkan ibadah di bulan lainnya. Untuk itu, marilah kita jadikan al-Quran sebagai sahabat baik kita, yang sehingganya akan memberikan pertolongan kelak, dalam suatu hikam dikatakan “khairu jaliisin fi al-zamaani kita abun” (Sebaik-baiknya teman duduk adalah kitab), di bulan Ramadhan yang suci nanti mulia ini, mari kita jadikan al-Quran sebagai sahabat baik kita, yang memberi manfaat, dan nilai pahala di dalamnya, bukan pada setiap kalimat atau ayatnya nilai pahala yang kita baca, namun pada setiap hurufnya, wallahu ‘alam.

  • Opini: Iman Sebagai Kokohnya Taqwa

    IMAN SEBAGAI MODAL KOKOHNYA TAQWA
    Dr. Efa Rodhiyah Nur, M.H.
    Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

    Bulan ramadhan adalah wadah kebaikan, dan merupakan lahan bagi setiap insan unuk berlomba-lomba dalam melakukan amal shalih. Dalam hal ini Allah swt., firmannya: “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana puasa itu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (al-Baqarah: 183). Ayat ini mengisyaratkan kepada seluruh umat Islam untuk meneguhkan keimanannya, dengan sapaan “wahai orang-orang yang beriman” sapaan ini seharusnya dirasakan oleh seluruh umat Islam yang beriman, namun senyatanya, kualitas keimanan tidaklah sama.

    Berbicara tentang keimanan seseorang, maka nabi Muhammad saw, bersabda dalam suatu hadis “Iman seseorang naik dan turun, iman naik disebabkan karena ketaatan dan turun karena kemaksiatan”(al-Hadis). Menelaah hadis tersebut, bahwa keimanan seseorang akan istiqqamah dan senantiasa konsisten, sehingga secara serentak hatinya menerima seruan tersebut dan melaksanakan atas inti dari perintah untuk menjalankan suatu kewajiban, yaitu ibadah puasa.

    Namun di sisi lain, iman seseorang juga mengalami masa mengurang, bila mana selalu menjalankan bentuk-bentuk kemaksiatan, yang sehingganya akan dapat menutup relung hatinya, dan bahkan mengikis spirit keagamaannya serta melemahnya aktivitas ibadah yang seharusnya dilakukan, termasuk dalam hal menjalankan ibadah puasa, sehingga mengabaikan dan mengingkari atas kebenaran dari perintah tersebut dengan meninggalkannya.

    Spirit ibadah puasa sejatinya adalah tercapainya derajat ketaqwaan kepada Allah swt. Ibadah puasa juga merupakan salah satu syari’at yang telah diperintahkan kepada para umat terdahulu (syar’u man qablana), dan kemudian syari’at ini diperintahkan kembali kepada umat Nabi Muhammad untuk menjalankan iadah puasa, sebagaimana termaktub dalam ayat “kutiba ‘alaikum al-shiyam” lafadz kutiba yang bermakna adalah diwajibakan, artinya perintah tersebut telah termaktub pada kitabnya para Nabi terdahulu “kama kutiba ‘alaikum al-shiyam” sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian.

    Target dari ibadah puasa yang merupakan jihad, sekaligus ujian bagi orang-orang yang benar-benar beriman akan dibuktikan dengan melaksanakan atau tidaknya ibadah puasa, padahal ibadah puasa sejatinya untuk menjadi orang yang bertaqwa ,”la’allakum tattaquun”.

    Maka sesungguhnya taqwa bukanlah menjadi jaminan bagi orang yang berpuasa kecuali ia berpuasa dengan sungguh-sungguh, yang dibarengi dengan rasa keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barang siapa yang berpuasa ramadhan dengan penuh rasa keimanan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang akan datang dan yang telah lalu” (HR. Bukhari Muslim). Puasa yang benar akan terpenuhinya target, yaitu terjaga dari kemaksiatan, menjadi lemah syahwatnya, serta dapat terhindar perbuatan yang dilakukan oleh umat-umat sebelum kita. Semoga kita selalu mendapatkan bimbingan Allah dan dapat tercapai ketaqwaan di bulan suci Ramadhan ini. Amin.