Author: muilampungdigital

  • Pesantren Sunan Ampel Punggur Tuan Rumah Sosialisasi Pembinaan Ideologi Pancasila dan Wawasan Kebangsaan

    Lampung Tengah: Nilai – nilai Pancasila mari kita amalkan sehari-hari dalam kehidupan kita, dimanapun kita tinggal. Mulai dari sila pertama hingga sila yang kelima, para santri inilah para penerus bangsa ini, oleh karenanya pondasi bangsa kita ini dalam bentuk Pancasila harus kita rawat bersama.

    Hal tersebut disampaikan anggota DPRD Provinsi Lampung, Dra. Jauharoh Hadad, M.M disela-sela sambutan Sosialisasi Pembinaan Ideologi Pancasila dan Wawasan Kebangsaan, di komplek Pesantren Sunan Ampel yang beralamatkan di Jalan Raden Rahmat, RT/RW 021/009, Dusun Mulyokaton, Kampung Totokaton, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, Jumat (22/4/2022) petang, bertepatan 20 Ramadhan 1443 H.

    “Nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila harus kita jaga, tentang ketauhidan, persatuan, empati kemanusiaan, etika musyawarah dan gotong royong, dan lain-lain,” tutup Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Provinsi Lampung ini.

    Kapolsek Punggur, IPTU Mualimin, dalam pemaparannya menyampaikan, bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila itu dijadikan tuntunan dan pegangan dalam mengatur sikap dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, seluruh elemen masyarakat, dan semesta alam.

    Selain dihadiri anggota DPRD Provinsi Lampung, Dra. Jauharoh Hadad, M.M, agenda ini juga dihadiri pengasuh Pesantren Sunan Ampel, Kiai Alie Fadhilah Musthofa, santri Sunan Ampel, Kapolsek Punggur, IPTU Mualimin, Kepala Kampung Totokaton, Subagio, penyuluh Agama Islam KUA Punggur, Indah Susilowati, S.Ag, tokoh masyarakat, dan lain-lain. (Akhmad Syarief Kurniawan)

  • Jalin Silaturahmi, Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Lampung Safari Ramadhan

    Bandar Lampung: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung, melalui Komisi Ukuwah Islamiyah melakukan Safari Ramadhan, dari masjid satu ke Masjid lain untuk mempererat tali persaudaraan sesama muslim sebagai agenda utamanya di bulan suci ramadhan 1443 H ini.

    Agenda ini selain untuk mempererat hubungan ukuwah islamiyah pengurus MUI Provinsi Lampung dengan masyarakat, ta’mir masjid, ulama dan tokoh masyarakat khususnya di Bandar Lampung.

    Pada Kamis 21 April 2022 Komisi Ukuwah melakukan Kunjungan dan Silaturahminya Ke Masjid Jami Al-Iman di Perum Kopri Raya Bandar Lampung, yang langsung di koordinatori oleh Ketua Komisi Ukuwah Islamiyah Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., MH.

    Turut juga hadir, dalam agenda tersebut H. Aliyanda, M.Kom, Ustaz. Drs. M. Bainalhuri Halim, M.Kom. Kemudian para tokoh seperti Prof. Dr. Agus Fahrudin, M.Pd., H.Hasan Badri, SH., Joni Satria, SH., H.Akmal Yusuf.SE., Ketua Ta’mir Masjid Jami Al-Iman., H. Ahmad Husna,M.IP., Yakiwan., dan para jam’ah juga para remaja Islam.

    Dr. H. A.Khumaidi Ja’far, S.Ag.,MH selaku Ketua Komisi Ukuwah Islamiyah berharap, Masjid kita selalu lebih makmur diisi dengan kegiatan-kegiatan positif. Dan tak lupa terjalin hubungan silaturahmi yang kuat dengan Majelis Ulama Indonesia yang merupakan organisasi keumatan juga sebagai payung besar bagi umat Islam. (Ramadan/Rita Zaharah)

  • NU Lampung Tengah Siap Sukseskan Gerakan Satu Juta Vaksin Booster

    Lampung Tengah: Keluarga besar Nahdlatul Ulama Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, yang tersebar pada 28 Kecamatan, plus 1 Kecamatan Istimewa dan 311 Kampung dan kelurahan siap sukeskan Gerakan Satu Juta Vaksin Booster.

    Hal tersebut disampaikan Ketua PCNU Lampung Tengah, KH. Ngasifudin, M.Pd.I, melalui sambungan seluler, Rabu (20/4/2022) malam.

    “Hal ini sesuai dengan surat dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Provinsi Lampung, Nomor: 289/PWNU/A.1/IV/2022 tanggal 17 Ramadhan 1443 H tentang Gerakan 1 Juta Vaksin Booster dari PBNU jelang mudik lebaran 1443 H, maka kami mengajak seluruh jajaran pengurus MWC NU dan pengurus Ranting NU se Kabupaten Lampung Tengah, dan seluruh elemen masyarakat untuk dapat mensukseskannya,” tambah Gus Asif, sapaan akrabnya.

    “Oleh karena itu kami telah mendistribusikan Surat Instruksi kepada pengurus MWC NU se – Lampung Tengah dan Pimpinan Badan Otonom NU Kabupaten Lampung Tengah, yang berisikan untuk berkoordinasi dengan Polsek, Puskesmas, KUA wilayah masing-masing,” imbuhnya.

    “Selanjutnya, bersama-sama mempersiapkan tempat pelaksanaan Vaksin Booster, mengajak warga nahdliyyin dan seluruh elemen masyarakat se Kabupaten Lampung Tengah untuk berpartispasi dalam Vaksin Booster,” imbuhnya.

    “Masing – masing MWC NU melaporkan hasil pelaksanaan Vaksin Booster kepada PCNU Lampung Tengah, pelaksanaan Vaksin Booster mulai Kamis – Sabtu, 21 – 23 April 2022,” imbuh mantan Sekretaris PC GP Ansor Lampung Tengah ini.

    Untuk syarat Vaksinasi Booster ini adalah minimal 18 tahun, dan membawa foto copy KTP, dan telah mendapatkan vaksinasi dosis 1 dan dosis 2.

    Gerakan Satu Juta Vaksin Booster ini adalah program Nasional, gerakan kerjasama PBNU, Kapolri dan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. (Akhmad Syarief Kurniawan)

  • Resensi Buku:  Merayakan Iman: Potret Keberagamaan dan Kebudayaan, Dulu Hingga Kini

    Merayakan Iman: Potret Keberagamaan dan Kebudayaan, Dulu Hingga Kini

    Buku Merayakan Iman ; Beragama Dengan Menyenangkan dan Penuh Kasih Sayang ini merupakan kumpulan esai karya Fariz Alnizar (FA) yang diambil dari artikel rubrik Hikayat Ramadhan yang tayang di tirto.id sepanjang Ramadhan 2019. Tema esai berkisar tentang kisah dan hikmah yang diangkat dari dunia Pesantren dan dunia Islam dengan sudut pandang yang unik dan berbeda dengan mainstream.

    Buku karya akademisi Univeritas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta ini, mencoba memotret sekaligus merekam corak dan pola kebudayaan dalam beragama – utamanya dalam konteks cara beragama ulama – ulama klasik. Buku ini menyajikan berbagai rekaman selebrasi keberagamaan dan kebudayaan yang kental dengan nuansa keterbukaan, keteguhan, akseptan dan juga penuh kelakar.

    FA yang juga alumni Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang, Jawa Timur ini, melalui buku ini dimaksudkan menjadi alternatif jawaban dan tawaran pola keberagamaan yang belakangan banyak di citrakan dan dipenuhi oleh gejala formalisme yang cenderung kaku, saklek, dan plastis.

    Buku setebal 288 halaman ini menjabarkan 4 (empat) kurasan besar, yaitu; kurasan I tentang merawat tradisi, kurasan II berisi merayakan iman, kurasan III mendedah mengeja alamat zaman, dan kurasan IV lebih menukik pada mengunduh keteladanan, halaman vi.

    Kurasan I tentang merawat tradisi, terdiri 10 (sepuluh) kisah inspiratif yang bisa dijadikan spirit motivasi dalam kehidupan sehari – hari, seperti; tradisi debat dalam Islam, tradisi berdebat dan adu argumen merupakan salah satu diantara dua alat penguji kealiman seseorang dalam tradisi Islam. Selain perdebatan, Islam mengenal tradisi uji transmisi atau sanad. Kualifikasi kealiman bukan saja di uji dari kepiawaian beragumentasi, namun lebih dari itu, diuji dengan ketersambungan transmisi keilmuan, halaman 7.

    Kedewasaan umat bisa diukur salah satunya melalui seberapa lapang menerima perbedaan. Dan untuk menumbuhkan sikap kedewasaan, tidak ada jalan lain kecuali terus membangun tradisi perdebatan yang dialogis, bukan monologis. Mirip ungkapan pelaut yang tangguh tidak terlahir dari lautan yang teduh, umat yang dewasa tidak tumbuh dari iklim yang tidak bisa berdebat dan menerima pandangan-pandangan berbeda.

    Pada kurasan ini FA juga menuliskan, bahwa siksaan fisik dan pemenjaraan raga tidak sama artinya dengan pemenjaraan pikiran dan pembungkaman suara. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka pada Ramadhan tahun 1348 H bertepatan 1964 M dipenjara oleh pemerintah Orde Lama (Orla). Pemerintah menuduh Hamka telah melanggar Undang-Undang Anti-Subversif Pempres No.11, lebih spesifik ia dituduh terlibat merencanakan pembunuhan terhadap pemimpin besar revolusi, Presiden Soekarno, halaman 60.

    Hamka tidak bersedih menghadapi kenyataan. Bahkan ia semangat menceritakan berbagai pengalaman spiritualnya di balik jeruji besi lewat Tafsir Al Azhar.

    Kurasan II berisi tentang merayakan iman, FA menjabarkannya pada 8 (tulisan) yang lugas dan bermakna, seperti; Ibnu Athaillah as Sakandari dari Alexandria penyusun kitab Syarah Hikam mengatakan, ketika seorang hamba menyatakan dirinya tidak sombong, maka saat itulah justru puncak kesombongan telah dilakukannya. Perasaan tidak sombong merupakan kesombongan itu sendiri, halaman 115.

    Dalam perspektif menata hati, para sufi memberikan pelajaran, mereka tidak main – main dengan kualitas ibadah kepada Allah. Mereka selalu menjaga hati agar tetap bersih dan suci sehingga tidak kehilangan koneksi dengan Allah.

    Pesan inspiratif spiritual lainnya, FA menulis dalam hal silang pendapat antar ulama adalah perkara yang lumrah, mereka bisa berdebat dengan sengit didalam sebuah forum, tapi tetap gayeng dan santai diluar forum, halaman 126.

    Seperti perdebatan KH Hasyim Asy’ari, Jombang, salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama dengan KH Faqih Maskumambang, Gresik, tentang hukum penggunaan kentongan untuk menandakan masuknya waktu shalat. Bagi KH Hasyim Asy’ari dalam salah satu kitabnya Risaalah al Musamma bil Jaasuus fi Bayaani Hukmin Nuqus, menjelaskan, kentongan tak ubahnya lonceng yang digunakan digereja-gereja umat Nasrani. Oleh karena itu, hukum menggunakannya untuk memanggil orang agar shalat menjadi haram.

    KH Faqih Maskumambang tidak tinggal diam, diapun menulis argumentasi sistematis yang bisa dijadikan pijakan hukum mengapa kentongan boleh dipakai untuk memanggil orang shalat. “kentongan tak ubahnya bedug. Ia hanya alat. Jika bedug boleh digunakan untuk memanggil orang shalat, mengapa kentongan tidak ?,” ungkapnya.

    Para ulama terdahulu telah memberi contoh bahwa debat yang produktif adalah debat dengan berbalas karya, sembari tetap menjunjung etika. Perbedaan pendapat antar ulama itu oleh karenanya justru menjadi rahmat dan keberkahan umat, halaman 132.

    Kurasan III mendedah mengeja alamat zaman, mahasiswa doktor Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini, menguraikannya sebanyak sepuluh (10) tulisan hikmahnya, diantaranya; motivasi dalam mengarang sebuah karya menjadi modal besar dan utama. Motivasi yang salah akan berujung pada petaka dan ketidakberkahan karya, halaman 150.

    Syaikh Ihsan bin Dahlan, salah satu ulama dari Kediri, Jawa Timur, yang mendapat julukan Imam Ghazali dari Timur ini menulis kitab monumental bertajuk Siraajuth Thaalibin. Karya ini merupakan komentar atas kitab karya Al Ghazali dalam disiplin ilmu tasawuf, yakni Minhaajul ‘Aabidiin, karya ini hingga kini menjadi salah satu kitab wajib yang dipelajari di kampus Al Azhar, Mesir.

    Kurasan IV, bertemakan mengunduh keteladanan, pengelola komunitas Literasi Omah Aksoro, Jakarta ini, menuangkannya dalam delapan (8) tulisan.

    Kisah-kisah keteladanan, nilai-nilai (values), hikmah, semangat juang, ahli ilmu, ahli strategi, budayawan, beberapa tokoh lintas generasi Nusantara ini, seperti; Syaikh Yasin bin Isa al Fadani dari Minangkabau (Sumatera Barat), KH. Hasyim Asy’ari, Jombang, KH. Abdul Wahab Hasbullah, Jombang, KH. Bisri Syansuri, Jombang, KH. Ahmad Sahal Mahfudh, Kajen, Pati, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jombang, dan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Rembang.

    Bagi dalang Sujiwo Tedjo, sosok Gus Dur tak ubahnya semar. Gus Dur adalah pengayom yang bisa mengobati dahaga kemanusiaan. Atau dalam bahasa yang lebih sastrawi: Gus Dur adalah oase keteladanan bagi kemarauanya sikap kemanusiaan, halaman 260.

    Semar adalah Raja. Namun disaat yang lain ia juga rakyat biasa yang bisa berbaur dengan sesama jelata. Ia dengan seenaknya ceplas-ceplos membincang apa saja. Ia tinggi, tapi disaat yang bersamaan ia juga rendah.

    Maka tidak mengherankan jika Gus Dur menjadi sosok yang longgar dan non protokoler. Meminjam kata Franz Magnis Suseno, Gus Dur memiliki kelapangan psikologis dan bahkan teologis.

    Dalam momentum Ramadhan ini, buku sederhana nan istimewa ini bisa dibaca semua kalangan latar belakang sosial apapun di Indonesia, juga bisa dijadikan tambahan literasi keberagamaan dan kebudayaan yang selama ini telah tersedia.

    IDENTITAS BUKU :

    Judul : Merayakan Iman ; Beragama Dengan Menyenangkan dan
    Penuh Kasih Sayang
    Penulis : Fariz Alnizar
    Penerbit : Qafila, Jakarta
    Tahun Terbit : 2021
    Tebal : vii + 288 Halaman
    Nomor ISBN : 978-602-052-395-8
    Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan, warga NU, tinggal di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

  • Opini: Idul Fitri dan Tradisi Tukar Menukar Uang dalam Perspektif Hukum Islam

    Idul Fitri dan Tradisi Tukar Menukar Uang dalam Perspektif Hukum Islam
    Oleh: Ustaz. Ismail Soleh, SHI., MHI.
    (Ketua Dewan Asatidz MT. Rachmat Hidayat Lampung)
    Tidak sampai dua pekan lagi idul fitri akan tiba di tengah tengah kita. Meskipun masih lumayan lama karena belum masuk sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan (likuran/21 Ramadhan) namun geliat dan aktivitas masyarakat nampaknya sudah mulai mempersiapkan dan menyambut perayaan Idul Fitri.
    Ada yang menghias taman rumah dengan vas aneka bunga baru, mengecat rumah, membeli baju baru, mempersiapkan aneka kue dan toples baru, ada yang beli cash dan kredit kendaraan baru, bahkan tidak sedikit perbankan rame pengunjung hingga antri demi mendapatkan tukaran uang baru.
    Memang secara etimologi “Idul Fitri” maknanya adalah “kembali suci”. Itu berarti simbol suci identik dengan hal yang bersih, wangi, ori dan belum terkontaminasi. Maka kata yang tepat untuk mengakumulasi makna Idul Fitri adalah “Sesuatu yang Baru”.
    Pakaian baru, makanan dengan menu baru, kendaraan baru, ornamen rumah serba baru, perabot baru, hingga uang baru bagaikan simbol dari bersihnya hati, dan sebagai syiar Islam ketika hari Raya Fitri.
    Adakah Anjuran Agama Memakai Sesuatu Serba Baru Saat Lebaran Idul Fitri
    Idul fitri adalah waktunya berhias dan berpenampilan sebaik mungkin untuk menampakan kebahagiaan di hari yang berkah itu. Berhias bisa dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik dan pakaian terbaik.
    Lebih utama memakai pakaian putih, kecuali bila selain putih ada yang lebih bagus, maka lebih utama mengenakan pakaian yang paling bagus, semisal baju baru. Keterangan ini dapat dipahami bahwa tradisi membeli baju baru saat lebaran menemukan dasar yang kuat dalam teks agama, dalam rangka menebarkan syiar kebahagiaan di hari raya Idul Fitri. Kesunnahan berhias ini berlaku bagi siapapun, meski bagi orang yang tidak turut hadir di pelaksnaan shalat Idul Fitri.  Khusus bagi perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat, seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat laki-laki lain yang bukan mahramnya dan lain sebagainya.
    (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281)
    قَالَ رَجُلٌ: «إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً»، قَالَ: ((إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ)
    “Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan”. (HR. Muslim).
    Hadits lain menceritakan sahabat Ibnu Umar RA yang mengenakan pakaian bagus di hari raya.
    عَنْ نَافِعٍ : أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَلْبَسُ فِى الْعِيدَيْنِ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ
     “Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar RA memakai baju terbaiknya di dua hari raya,” (HR Al-Baihaqi dan Ibnu Abid Dunya dengan sanad shahih).
    قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى … فَأُحِبُّ في الْعِيدَيْنِ أَنْ يَخْرُجَ بِأَحْسَنَ ما يَجِدُ من الثِّيَابِ
    “Imam As-Syafi’i rahimahullahu ta’ala berkata, ‘… maka aku senang dalam dua hari raya orang hendaknya ke luar dengan baju terbaik yang ia temukan,’” (Lihat Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1393 H], juz I, halaman 248).
    Makna dan Esensi Hari Raya Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairomi dalam k Hasiyah al-Bujairami alal Khatib memaknai esensi hari raya bukan sekadar tentang makanan baru dan sesuatu yang serba baru, meski pada dasarnya dianjurkan (baca: sunnah) menggunakan pakaian baru, pada hakikatnya bukan itu maksud dan makna dari hari raya yang sesungguhnya.
    Syekh Sulaiman mengatakan:
    جعل اللّه للمؤمنين في الدنيا ثلاثة أيام: عيد الجمعة والفطر والأضحى، وكلها بعد إكمال العبادة وطاعتهم. وليس العيد لمن لبس الجديد بل هو لمن طاعته تزيد، ولا لمن تجمل باللبس والركوب بل لمن غفرت له الذنوب
    “Allah swt menjadikan tiga hari raya di dunia untuk orang-orang yang beriman, yaitu, hari raya jum’at, hari raya Fitri, dan Idul Adha. Semua itu, (dianggap hari raya) setelah sempurnanya ibadah dan ketaatannya. Dan Idul Fitri bukanlah bagi orang yang menggunakan pakaian baru. Namun, bagi orang yang ketaatannya bertambah. Idul Fitri bukanlah bagi orang yang berpenampilan dengan pakian dan kendaraan. Namun, Idul Fitri hanyalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasiyah al-Bujairami alal Khatib, juz 5, h. 412)
    Tukar Menukar Uang dalam Perspektif Hukum Islam
    Jelang hari raya Idul Fitri benar-benar dimanfaatkan sejumlah kalangan untuk meraup untung, termasuk dengan menyediakan pecahan uang baru. Fenomena ini sudah banyak disaksikan di pinggiran jalan utama, terminal, stasiun, pelabuhan, diperkotaan hingga ke pelosok desa. Ada banyak pecahan yang ditawarkan, mulai nominal kecil hingga puluh ribu rupiah.
    Masalah praktik penukaran uang ini cukup pelik. Praktik ini dapat dilihat dari dua sudut. Kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma’qud ‘alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba. Namun kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma’qud ‘alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah. Ijarah sebenarnya adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang. Karena ijarah adalah sejenis jual beli, maka ia bukan termasuk kategori riba sebagai keterangan
    Kitab Fathul Mujibil Qarib berikut ini:
    والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل
    “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas),” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Maktabatul As‘adiyyah: 2014 M/1434 H], cetakan pertama, halaman 123).
    Perbedaan orang dalam memandang masalah ini muncul karena perbedaan mereka dalam memandang titik akad penukaran uang itu sendiri (ma’qud ‘alaih). Sebagian orang memandang uang sebagai barang yang dipertukarkan. Sementara sebagian orang memandang jasa orang yang menyediakan jasa penukaran. Tetapi terkadang barang itu sendiri mengikut sebagai konsekuensi atas akad jasa tersebut sebagai keterangan Nihayatuz Zein berikut ini:
    وقد تقع العين تبعا كما إذا استأجر امرأة للإرضاع فإنه جائز لورود النص والأصح أن المعقود عليه القيام بأمر الصبي من وضعه في حجر الرضيع وتلقيمه الثدي وعصره بقدر الحاجة وذلك هو الفعل واللبن يستحق تبعا
    “Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma’qud ‘alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein.
    Bila dalam praktik penukaran uang baru yang menjadi objeknya adalah uang, maka ia bisa menjadi haram karena masuk dalam kategori riba. Akan tetapi, apabila objeknya adalah jasa orang yang menyediakan uang, maka hukum menukar uang baru saat Lebaran boleh-boleh saja menurut Islam.
    Dapat disimpulkan bahwa:
    1. Serba baru boleh bahkan mustahab ada nilai kesunahan saat lebaran dengan niat karena Allah bukan didasari kesombongan, riya’, ujub. Dan sebagai ujud ekspresi syukur atas nikmat kemenangan yang Alloh berikan.
    2. Bisnis tukar menukar duit baru hukumannya boleh asal dasarnya suka sama suka (Q.S Annisa ayat 29). Dan memang prinsip dasar muamalah dalam kaidah fiqhiyah adalah Al ibahah (diperbolehkan). Tapi dengan catatan objeknya (ma’qud ‘alaih) adalah karena jasa orang yang menyediakan penukaran uang dengan akad ijarah.
    Waallohu a’lam bi showab.
  • Opini: Nuzulul Qur’an Malam 17 Ramadhan atau Lailatul Qadar?

    Nuzulul Qur’an, Malam 17 Ramadhan atau Lailatul Qadar?
    Oleh: Ustaz. Ismail Soleh, SHI., MHI.
    (Ketua Dewan Asatidz MT. Rachmat Hidayat Lampung)
    شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ.
    “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al Baqarah: 185).
    Pendapat pertama berpandangan turun pada Malam 17 Ramadhan
    Sejarah Peristiwa Nuzulul Quran terjadi pada 17 Ramadhan, di Gua Hira pada Tahun ke-41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Saat itu, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama ayat 1-5 dari Surat Al-‘Alaq.
    Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu turunnya Alquran. Sebagian berpendapat pada 17 Ramadhan, sebagian lagi mengatakan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.
    Pendapat yang mengatakan Alquran diturunkan pada malam 17 Ramadhan didasarkan pada hadits berikut :
    عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال : مَا أَشُكُّ وَلاَ أَمْتَرِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ أُنْزِل الْقُرْآنُ
    “Dari Zaid bin Arqam radhiyallahuanhu berkata, ”Aku tidak ragu bahwa malam 17 Ramadhan adalah malam turunnya Al-Quran.” (HR. Ath-Thabarani dan Abu Syaibah)
    Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa malam Qadar itu adalah malam yang siangnya terjadi Perang Badar, berdasarkan firman Allah SWT:
    إِنْ كُنْتُم آمَنْتُمْ باِللهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
    “Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al-Anfal : 41).
    Imam Thabari menjelaskan dengan sanad dari Hasan bin Ali:
    كانت ليلة الفرقان يوم التقى الجمعان لسبع عشرة من شهر رمضان
    Malam al-Furqan (malam diturunkannya al-qur’an ) adalah bertepatan hari pertempuran dua golongan yaitu tanggal 17 Ramada Artinya tanggal 17 Ramadhan merupakan momen penting dalam sejarah Islam, selain hari berlangsungnya perang Badar, juga merupakan waktu pertama kali diturunkannya al-Qur’an kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril.
    Menurut para ahli sejarah, pada tanggal 17 Ramadhan itulah terjadi peristiwa Nuzulul Qur’an atau pertama kali turunnya Al Quran dari langit dunia ke muka bumi.
    Jumlahnya hanya 5 ayat saja, yaitu awal ayat Surat Al-‘Alaq. Jadi tepatnya malam 17 Ramadhan itu adalah malam awal mula turunnya 5 ayat Qur’an pertama ke muka bumi dari langit dunia.
    Sementara Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadar (Surat al-Qadar ayat 1), yaitu malam paling spesial di bulan suci, malam yang sangat diharapkan seluruh umat Muhammad, ia lebih baik dari pada seribu bulan.
    Kedua berpandangan Al-Qur’an turun pada malam Lailatul Qadar
    Penjelasan dalam literasi Tafsir Jalalain
    dan tafsir Ibnu Katsir
    تفسير الجلالين : معنى و تأويل الآية 1
    «إنا أنزلناه » أي القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى السماء الدنيا «في ليلة القدر» أي الشرف العظيم.
    “Sesungguhnya kami turunkan (Al-Qur’an) ya’ni ” turun sekaligus/ jumlatan waahidatan” dari lauhil Mahfudz ke langit dunia ” pada malam Lailatul Qadar/ malam yg mulia dan agung”.
    (Tafsir Jalalain)
    إنا أنـزلناه في ليلة القدر: تفسير ابن كثير
    الله تعالى أنه أنزل القرآن ليلة القدر ، وهي الليلة المباركة التي قال الله عز وجل : ( إنا أنزلناه في ليلة مباركة ) [ الدخان : 3 ] وهي ليلة القدر ، وهي من شهر رمضان ، كما قال تعالى : ( شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن ) [ البقرة : 185 ] .قال ابن عباس وغيره : أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العزة من السماء الدنيا ، ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم .
    Bahwasanya Allah SWT menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, yaitu malam yang penuh berkah, hal ini didasarkan pada firman Allah surat Addukhon ayat 3. Yaitu malam Lailatul Qadar dibulan Ramadhan (Al-Baqarah 185). Ibnu Abbas dan yang lainnya menegaskan “Allah menurunkan Al-Qur’an sekaligus (30 juz, red) dari lauhil Mahfudz ke Baitul Izzah langit dunia. Kemudian turun berangsur angsur sesuai dengan peristiwa dalam kurun waktu 23 tahun kepada Rasulullah SAW. (Tafsir Ibnu Katsir)
    Pertanyaannya kemudian, bagaimana korelasi antara dua narasi di atas? Mengapa bisa berbeda antara peringatan Nuzulul Quran dan diturunkannya Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar?
    Beberapa pakar tafsir menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dua kali proses. Pertama, diturunkan secara keseluruhan (jumlatan wahidah). Kedua, diturunkan secara bertahap (najman najman). Sebelum diterima Nabi di bumi, Allah terlebih dahulu menurunkannya secara menyeluruh di langit dunia, dikumpulkan jadi satu di Baitul Izzah.
    Selanjutnya malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi di bumi secara berangsur, ayat demi ayat, di waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan selama 20 tahun, pendapat lain 21 tahun. ( Imam Qurthubi). Walaupun ada sebagian mengatakan Al-Qur’an dalam tempo durasi waktu 22 tahun 22 bulan 22 hari. Ibnu Abbas dan Ibnu Katsir 23 tahun.
    Sehingga dapat disimpulkan bahwa Lailatul Qadar (ليلة القدر) malam mulia karena Al-Qur’an turun sekaligus 30 juz (jumlatan waahidatan) dari lauhil mahfudz ke Baitul Izzah langit dunia, menurut ulama tafsir kisaran tanggal 24 ramadhan. Nuzulul Qur’an ( نزول القران) saat turunya Al-Qur’an dari langit dunia kepada nabi Muhammad Saw melalui Ruhul Amiin Jibril As secara mufassholat (berangsur-ansur) satu, dua ayat atau lebih, di waktu yang berbeda-beda selama beberapa tahun, dimulai malam ke 17 Ramadhan dengan turunya wahyu pertama surat Al- Alaq ayat 1-5.
  • Opini: Qona’ah dalam Keberkahan Ramadhan

    Qona’ah Dalam Keberkahan Ramadhan
    Dr. Efa Rodiah Nur, MH
    Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

    Bulan ramadhan yang penuh keberkahan dan kemulyaan, sehingga disebut syahrun mubarok, dan syahrun karim. Marhaban ya ramadhan. Semoga kita semua senantiasa dalam keberkahan dan kemulyaannya. Di antara hakekat puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, tidak hanya sebatas makan dan minum saja, melainkan juga syahwat dan keinginan yang lebih, termasuk keinginan yang berlebihan jika tidak dibarengi dengan nilai keagamaan dan kontrol diri, akan mengakibatkan sikap yang kurang baik, hingga masuk dalam wilayah (ghulluw) yaitu berlebihan, bisa juga tergolong (syubhat), yaitu tidak mampu mengontrol antara yang hak dengan yang bathil, sehingga menjadi orang yang serakah, tentunya hal ini dilarang oleh agama Islam.

    Ada sebuah ungkapan bijak, “innalhayaata lan tu’thiyaka kullamaa tuhibbu, walakinna al-qonaa’ata taj’aluka tuhibbu maa tamliku” sesungguhnya kehidupan ini tidak akan pernah memberikan atas segala apa yang kamu sukai, namn dengan berqona’ah (yaitu menerima atas apa yang telah dianugrahkan kepadanya), maka akan tercapainya rasa cinta atas segala apa yang kamu miliki. Sebagai hamba yang paling mulia adalah ketika ia selalu bersyukur atas segala apa yang ia dapatkan, karena itu adalah anugrah yang terbaik, janji Allah swt., barang siapa yang bersyukur kepada Allah, pasti Allah akan menambah kenikmatan yang telah ia berikan, namun jika ia kufur, maka sesungguhnya adzab Allah amatlah pedih.

    Manusia termasuk melekat pada dirinya sikap yang tiada puas pada dirinya, contoh yang paling ringan ialah ketikabmemiliki sepeda, menginginkan motor, begitu juga ketika motor sudah ia miliki, ia menginginkan mobil, begitu juga ketika rumah sudah dimiliki ingin istana dan seterusnya, begitulah sikap manusia yang tiada puas dengan hal yang melekat kepadanya yaitu berupa kenikmatan-kenikmatan dari Allah swt.

    Di tengah keinginan manusia yang tiada batas, terkadang keinginan kita untuk memiliki sesuatu, namun Allah tidak mengabulkan sesuatu tersebut sesuai keinginan kita, yakinlah bahwa apa yang Allah anugrahkan kepada kita adalah hal yang terbaik, yaitu baik menurut Allah, walaupun terkadang belum baik menurut angan-angan kita, seperti halnya ketika seseorang mengharapkan kupu-kupu yang indah nan elok, ternya beberapa hari kemudia terdapat ulat yang sangat banyak di sekitar rumahnya, ia marah karena seakan-akan doa dan harapannya tidak tercapai, karena ia mengaharapakan kupu-kupu yang indah nan elok namun justru ulat yang menjijikkan yang mendatanginya, tanpa iab sadari beberapa hari kemudian, ternyata ulat yang menjijikakan tersebut lamban laun menjadi kepompong dan kemudian menjadi kuku-kukupu yang begitu indah berwarna-warni, ia baru sadar bahwa anugrah Allah swt, diberikan kepada kita, terkadang berbeda dengan keinginan kita, dan sejatinya itulah yang terbaik untuk kita.

    Ketika seseorang menginginkan bepergian dengan memesan tiket kereta api atau pesawat yang berangkat di pagi hari, katakan pukul 07.00 wib karena ia akan ada kepentingan yang sangat genting pada siang harinya, namun ternyata pesawat atau kereta itu harus menunggu beberapa lama hingga dua sampai tiga jam, maka kemudia anda marah, jengkel terhadap keadaan yang ada, tamun beberapa saat kemudian, pusat suara di stasiun kereta atau bandara pesawat tersebut memberikan informasi bahwa pada saat ini pesawat atau kereta yang berangkat beberapa saat tadi (yaitu kereta yang seharusnya ia kendarai), terdapat kecelakaan, maka anda baru sadar bahwa Allah swt, memberikan yang terbaik kepada anda karena adanya kemogokan sehingga terlambat berangkat, mungkin jika ia tetap berangkat bersama pesawat atau kereta tersebut anda sudah berakhir usianya.

    Contoh lain adalah Ketika ada seorang laki-laki duduk di bawah pohon salam, seraya ia berprotes pada Allah swt, denngan mengatakan “Allah swt, tidak adail, masa pohon salam yang besar ini hanya memiliki buah yang kecil, namun pohon labu yang pohonnya kecil tenyata buahnya sebesar kepala, Allah swt, memang tidak adil” setelah beberapa saat kemudian, ada buah salam yang jatuh dan menjatuhi kepala seseorang tadi, maka seseorang tadi baru menyadari, ternyata Allah swt, maha Adil, hanya pikiran kita yang kurang tadabbur, kurang berfikir, kurang menghayati, coba jika pohon sebesar ini (pohon salam) buahnya sebesar labu, waduh, bisa pecah kepala saya, begitulah kenikmatan yang Allah swt berikan, sehingga dikatakan janganlah engkau cintai sesuatu secara berlebihan, karena sesungguhnya apa yang anda cintai belum tentu mendapatkan cinta dari Allah, dan janganlah engkau membenci sesuatu berlebihan, karena bisa jadi apa yang anda benci tersebut adalah yang Allah cintai dan harapkan dan itu adalah yang terbaik untukmu.

    Di bulan ramadhan yang suci ini, kita sejatinya dituntut untuk memiliki keinginan banyak dalam kebaikan, dan bahkan dituntut untuk berlomba-lomba dalam segala kebaikan, baik dalam hal puasanya, shalat malamnya, tadarus al-Qur’annya, i’tikafnya, dzikir tasbih, tahmid, takbir dan tahlilnya, serta bentuk-bentuk shadaqah dan zakatnya, serta segala kebaikan lainnya adalah hal yang positif yang justru akan membawa kearah iman dan taqwa kepada-Nya. Qona’ah adalah dalam wilayah yang membawa kebaikan, misalnya dalam hal harta dan kepemilikan, atau berupa kenikmatan, namun dalam hal ibadah dan amal shalih, setidaknya kita tetap harus berpacu dalam spirit meraih iman dan takwa serta keberkahan ramadhan. Wallahu ‘A’lam.

  • Opini: Peringatan Nuzulul Qur’an sebagai Media Muhasabah

    Peringatan Nuzulul Qur’an sebagai Media Muhasabah
    Dr. Agus Hermanto

    Dosen UIN Raden Intan Lampung

    Di tengah semaraknya bulan ramadhan yang penuh keberkahan, dimana setiap orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menunaikan puasa dan shalat pada malam-malamnya, peringatan malam Nuzulul Qur’an merupakan ciri khas masyarakat Nusantara yang selalu mewarnai hari-hari besar Islam, termasuk peringatan Nuzulul Qur’an.
    Peringatan Nuzulul Qur’an dilaksanakan di masjid-masjid, dengan banyak corak kegiatan yang dilakukan untuk menyemarakkan nya. Mulai dari tausiyah yang diisi oleh para Alim Ulama dan Mubaligh, ada juga yang mengekspresikan nya dengan syukuran bersama (genduri) atau sekedar berdoa bersama, terdapat juga kegiatan meriah lainnya, yang semua itu adalah spirit untuk melaksanakan peringatan Nuzulul Qur’an, dengan senantiasa mengharapkan pemahaman dan keberkahan ramadhan.
    Nuzulul Qur’an, berasal dari dua kata, Nuzulul dan al-Qur’an. Nuzul yang berarti dipindahkan atau diturunkan, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) berupa wahyu. Terkait dengan kapan dilaksanakan kegiatan peringatan Nuzulul Qur’an, sebagian masyarakat Islam di Nusantara melaksanakannya pada malam ketujuh belas, dinisbatkan pada terjadinya Perang Badar, di tanggal 17 Ramadhan, walaupun sebagian ulama berpendapat di tanggal 18, 21 ada juga yang di tanggal 24, namun demikian, yang terpenting bukan pada tanggal kapan jatuhnya Nuzulul Qur’an, tapi semangat untuk menelaah hari besar sebagai tonggak sejarah Nuzulul Qur’an itulah yang terpenting, sehingga kita tahu bahwa al-Qur’an diturunkan dengan sejarah panjang yang melatarbelakangi nya dan menjadi pelajaran besar bagi umat Islam.
    Sebagian lain bertanya tanya tentang perbedaan Nuzulul Qur’an dengan lailatul Qodar, karena dalam Syarat al-Qodr juga dipaparkan turunnya al Qur’an. Malam lailatul Qodar adalah malam kemulyaan yang terjadi di bulan ramadhan, dimana dikisahkan bahwa pada malam lailatul Qodar, Allah menurunkan al-Qur’an kelauhil mahfudz yang kemudian diteruskan ke baitul izzah yaitu sama’ul ardh, atau langitnya bumi secara keseluruhan dari ayat-ayat al-Qur’an secara utuh. Sedangkan turunkan al-Qur’an adalah setiap saat dimana sesuai dengan asbab al-nuzul dan sebagian tidak terdapat asbab. Namun ayat yang pertama diturunkan yaitu di bulan ramadhan yang kemudian menjadi sejarah peringatan Nuzulul Qur’an, dimana pada saat itu Nabi Muhammad saw, berada di Guwa Ghira dan turunlah ayat pertama yang disampaikan oleh ruhul amin yaitu Malaikat.
    Berbicara tentang al-Qur’an, tentunya berbicara tentang adanya ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah. Ayat Makiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Makkah, sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah yang diturunkan di Madinah, ciri kedua biasanya ayat Makiyah turun sebelum Hijrah dan ayat-ayat Madaniyah turun setelah Hijrah, dan yang ketiga ayat-ayat Makiyah ciri-cirinya menggunakan lafadz “ya ayyy hal ladziina aamanuu” Sedangkan ayat-ayat Madaniyah biasanya menggunakan lafadz “ya ayyuhannas”. Walaupun demikian juga terkadang harus dilihat konteksnya, yaitu mana ayat-ayat yang relevan dengan masyarakat Makkah dan Madinah.
    Sesungguhnya peringatan Nuzulul Qur’an adalah upaya untuk muhasabah, menyadarkan diri untuk selalu ingat malam diturunkan nya kitab Agung yaitu al-Qur’an yang merupakan pedoman bagi kita semua, semoga kita semua di bulan ramadhan (syahrul Qur’an) ini senantiasa diberikan keberkahan amin.

  • Ai’syiyah Lampung Utara Gelar Puncak Milad Ke-105 Tahun Ai’syiyah

    Lampung Utara: Ai’syiyah Kabupaten Lampung Utara gelar Tausiyah dan Bakti Sosial dalam rangka memperingati Milad Ai’syiyah Ke-105 Tahun dengan mengusung Tema ‘Perempuan Pengusung Peradaban Utama’ di ruang Aula UMKO.

    Listaria, Ketua Ai’syiyah Kabupaten Lampung Utara, menyampaikan kegiatan ini merupakan puncak dari rangkaian kegiatan milad Ai’syiyah yang beberapa hari lalu telah dilaksanakan pembagian takjil bagi masyarakat yang melintasi Tugu Payan Mas.

    “Hari ini Ai’syiyah menghadirkan dr. H. Hary Sulistyanto sebagai narasumber untuk menyampaikan tausiyiah berkaitan dengan ‘Tetap Fit, Sehat, dan maksimal beribadah 10 hari terakhir dibulan Ramadhan’ dan membagikan 85 paket sembako serta uang kepada Kepsek dan Guru TK dan SD Ai’syiyah serta petugas dan satpam kampus UMKO.” Jelas Listaria, Jumat (15/4/2022).

    Zainal Abidin, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lampung Utara, mengapresiasi dan mendukung sepenuhnya yg telah dilakukan ortonom Aisyiyah.

    “Kami yakin ibu-ibu Aisyiyah mampu dalam mengelola tatanan kehidupan sehingga mampu terbentuk peradaban akhlak yang baik bagi penerus bangsa ini. Teruslah Ai’syiyah menjadi contoh minimal suri tauladan di rumahnya. Sehingga kaum ibu mampu menjadi teladan bagi putra-putri menjadi gairah dalam memperbanyak membaca quran.” Ungkapnya.

    Sementara, Endah Sulastri, Ketua PKK Kabupaten Lampung Utara, mengucapkan selamat Milad Ai’syiyah Ke-105 Tahun. “Semoga dengan meningkatnya usia, semakin meningkatkan peran positif dan kontribusi pada pembinaan akhlak dan moralitas, serta pemberdayaan masyarakat khususnya bagi kaum perempuan di Kabupaten Lampung Utara baik lewat pendidikan, gerakan dakwah, mauoun kegiatan sosial masyarakat.” Harapnya.

    Kemudian, Ia juga mengatakan kita harus mampu menjadi perekat dan pemersatu umat. “Serta menjadi bagian terdepan dalam menciptakan kondisi masyarakat yang rukun dan damai.” Tutupnya.

    Tampak hadir; Ibu Persit Kartika Candra Kodim 0412 LU; Ibu Bhayangkari Polres LU; Ketua MCCC LU; Ketua BKMT LU; Ketua Muslimat LU; Wakil Rektor 2 UMKO; dan Jajarang Pengurus Ai’syiyah LU. (Ramdan)

  • Opini: Kidung Cinta Ditengah Kekerasan

    Kidung Cinta Ditengah Kekerasan
    Oleh: H. M Soffa Ihsan
    Pengurus MUI Pusat Komisi Ukhuwah Islamiyah
    Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

    Ketika dunia digebrak dan teror sadis digelar untuk sebuah tujuan absurd. Ketika bom pemusnah menyemburkan api kematian, lalu sepakat; War Againts Terrorism. Tapi kegilaan terus menderu atau-seperti kata Julia Kristeva-terus memerangkap manusia dalam kebinatangan dan fantasi kekejaman, bercak darah dan kematian. Maka jagad manusia tak pernah sepi dari nyinyir darah, tubuh yang terarak oleh massa, lebam, berceraiberai, muka-muka garang eksekutor, atau muka-muka pasi keluarga korban.

    Kaum pemuja kekerasan berpijak pada suatu ideologi yang menjadikan mereka separatis, anarkhis, pemberontak, nasionalis, revolusioner atau pemeluk agama yang  radikal. Rata-rata, mereka terpincuk oleh fanatisme yang kuat. Tetapi, apapun dasar pijakannya, sebagai teroris mereka ditandai oleh tindakan kekerasan yang ditujukan kepada penduduk biasa atau non-combatting, yang tak dipersenjatai dengan sasaran mencapai khalayak yang lebih luas. Dengan cara ini, mereka berharap memperoleh pengaruh politik yang jauh lebih besar, diakui keberadaannya oleh masyarakat. Seperti digambarkan oleh Albert Camus dalam sandiwaranya Les Justes bahwa karena tujuan mereka hanyalah memberikan gangguan dimana saja, sampai tujuan politik mereka dikabulkan.

    Kidung Cinta

    Kaum sufi-kata Abul Husein al-Nuri-adalah manusia yang paling bijak di antara seluruh umat manusia. Ketika banyak orang memburu karunia Tuhan, sang sufi justru merindukan keintiman dengan Tuhan. Ketika semua orang mengejar dan memuaskan diri dengan sifat-sifat, sang sufi mencari esensi  ilahiah dan tak menjunjung tinggi apapun kecuali esensi itu. Ketika banyak orang menampilkan kekuatannya, sang sufi menyendiri seraya berdoa, memohon kasih bagi mereka. Ketika banyak orang berlomba untuk dipuji, sang sufi justru melahiriahkan keburukan dirinya (malamatiyah). Ketika sufi Bayazid al-Busthami dipukul anak muda dengan seruling, ia justru mengganti kerusakan seruling dengan sejumlah uang dan makanan. Ketika Abu Hasan Busanji ditinju oleh seseorang, ia justru memaafkannya. Ketika Abu Ali Rudbari dipukul kepalanya oleh seseorang dengan kendi, ia malah menghiburnya, hingga orang itu lupa akan rasa malunya dan kembali riang.

    Bagi kaum sufi, tidak melakukan perlawanan memiliki dua aspek. Pertama, tersinggung adalah sifat eksistensi diri dan egosentris, sedangkan sufi adalah “tanpa ego”. Jadi barangsiapa yang kesal dan melakukan kekerasan, masihlah ia seorang yang sadar akan identitas dirinya terpisah dari Tuhan. Lebih jauh, ia malah orang yang menyekutukan yang lain dengan Tuhan, bukannya seorang yang bertauhid. Kedua, sufi adalah seorang yang berpasrah diri kepada Tuhan dan berpuas diri dengan kehendak-Nya. Apapun penderitaan dan kehinaan menimpanya, ia justru menganggapnya sebagai kiriman ilahi.

    Semua itu dimungkinkan, karena jalan yang ditempuh kaum sufi adalah “jalan cinta”. Jalan cinta ini bukan melalui pemikiran, melainkan jalan penghayatan dan pengamalan jiwa yang bergerak tiada batas (la nihayata lah). Tuhan didekati melalui cinta, dan hanya melalui keagungan dan rahmat ilahi, intimasi (al-uns) bersamanya bisa tercapai. Dalam sufisme, cinta dan pengetahuan tidak bakal pernah benar-benar bisa dipisahkan.

    Masing-masing tarekat sufi hanya menekankan satu segi tanpa pernah menafikan segi lainnya. Sesungguhnya cinta sufi (‘syq) dipahami kaum sufi sebagai realisasi aspek gnosis (ma’rifah). Metafisika paling murni, jika hanya bercorak teoritis adalah kecil dibandingkan dengan realisasinya dalam jiwa manusia. Ia adalah sejenis cinta yang dikawinkan dengan gnosis serta mengantarkan pada keesaan Allah (tauhid) yang akan mengatasi semua bentuk dualitas, bahkan dualitas yang ada antara sang pecinta dan kekasih. Dari sini, bisa dipahami bila al-Ghazali menempatkan al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami sebagai orang yang telah mencapai puncak hakikat tauhid (khawash al-khawash).

    Para guru sufi senantiasa berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan (khidmah) kepada sesama umat manusia tanpa beda serta mendukung perkembangan kualitas-kualitas yang tersimpuh dalam potensi setiap individu. Seperti yang terungkap secara herois dan tulus dalam kata-kata Abu Hasan al-Kharaqani:”sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia, sehingga aku tidak perlu menunggu kematian”.

    Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual atau yang disebut dengan “futuwwah” yakni segebung kualitas positif dari kepribadian manusia seperti kejujuran, keterusterangan dan kejernihan fikiran. Qani’i Thusi menggambarkan bahwa permata mahkota tubuh adalah kebajikan (muruwwah) dan kebajikan adalah tanda etika (futuwwah). Etika ini tidak menyebabkan sakit hati, membiarkan diri congkak dan memandang orang lain hina, membuat hati jauh dari kedengkian, tidak pernah merusak diri dengan perbuatan salah serta berharap dunia damai dan unggul.

    Jalan yang dipilih sufi adalah pancaran dari kepekaan intuisi. Bagi sufi, sebuah pilihan rasional sesungguhnya hampa secara spiritual dan bisa menyeret kegamangan secara moral dan sosial. Jalaluddin Rumi menggambarkan bahaya ini dalam kisah perdebatan antara pencuri buah aprikat dan pemilik kebun. Keduanya saling beradu alasan dalam mendukung tindakannya. Maka antara tindakan mencuri dan penyiksaan pemilik kebun terhadap si pencuri itu menjadi kabur, tertelikung oleh alasan rasional.

    Periskiran terhadap aspek nalar bukan berarti sufisme kemudian menjadi larut dalam “gula-gula esoterisme” yang terpancang pada rasa manis estetika yang subtil dan memberantakkan kebutuhan aktivisme. Dengan melukar penalaran yang formalis, sufisme justru hendak membelalakkan mata atas kekerdilan cara pandang yang hanya menekuri sisi-sisi skriptural dalam agama. Sufisme hendak mencairkan upaya reduksionisme pola pikir yang dualistik yang hanya akan memantik ekstrimisme.

    Dalam tilikan sejarah, justru sufisme  klasiklah yang menunjukkan gerak aktivisme melawan segala bentuk ekstrimitas. Sufisme bergerak secara oposisif terhadap praktik-praktik kepicikan pemahaman keagamaan yang berwujud pada pembedakan radikal atas umat manusia atau pemberangusan terhadap kemanusiaan. Gerakan oposisi yang dilokomotifi oleh Hassan Bashri adalah sebuah contoh gerakan tasawuf yang paling fasih menentang despotisme politik pemerintahan dinasti Umawiyah di Damaskus. Gerakan sufisme  yang demikian adalah replika suatu gerakan yang berhimpitan (interwoven) dengan universalisme empati kemanusiaan.

    Tentu sangat berbeda, bila gerakan keagamaan merekah dari sudut pandang keagamaan yang formal-ideologis seperti pada gerakan Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban, al-Qaedah atau gerakan ektrem dan puritan lainnya yang saat ini tengah mekar bak cendawan di musim hujan. Gerakan-gerakan seperti ini akan mudah terjungkang pada kerangkeng ekstrimisme yang justru ditangkis oleh sufisme, karena mencanangkan penafsirannya lebih pada teks-teks kitab suci secara dzahiri. Sebaliknya, kaum sufi lebih memahami teks-teks suci secara isyari dan ta’wili.

    Nah, dalam situasi apapun, tasawuf tetaplah abadi sebagai penjaga gawang “kesucian” dengan mekanisme dasarnya yaitu pengendalian diri. Bagi sufi: “hasrat tidak dapat dilawan dengan hasrat, melainkan dengan hati yang berbinar (nur al-qudsi).