Author: muilampungdigital

  • Opini: Idul Fitri Momentum Untuk Memperbaiki Niat

    Idul Fitri Momentum Untuk Memperbaiki Niat
    Prof. Wan Jamaluddin, M. Ag., P. hD
    Rektor UIN Raden Intan Lampung

    Idul Fitri adalah momentum untuk menguatkan niat menggapai ridha Ilahi, karena dengan niat yang kuatlah yang dapat menghantarkan diri menuju iman dan taqwa-Nya. Hari kemenangan dan membahagiakan, dalam bentuk silaturahmi dan bermaafan sehingga kembali kepada fitrah serta lebur, yaitu sirnanya dari segala kesalahan dan dosa hingga hari itu disebut sebagai hari lebaran, hari yang semua menjadi halal buah dari adanya kesadaran diri untuk menjadi orang yang rendah hati dan merasa tidak sombong dan besar hati serta takabur.

    Memaafkan serta meminta maaf merupakan akhlak mulia, dan bahkan merupakan kesempurnaan iman, karena memaafkan merupakan prilaku yang sangat mulia namun berat jika nafsu kita tetap membelenggu, karena nafsu akan senantiasa membelenggu manusia mengalahkan akal serta relung hati yang mendalam.

    Hawa nafsu yang selalu menjerumuskan kearah keburukan dan kesesatan, hingga Allah SWT, telah memberikan kesempatan kepada hamba yang beriman untuk melemahkan nafsu tersebut agar menjadi tunduk dan patuh pada Ilahi, sebagai bentuk pengabdian hamba dalam bentuk ibadah puasa, yang kemudian Allah menganugrahkan kepada orang yang beriman untuk kembali kepada ridhaNya dalam bentuk Iman taqwa yang sempurna.

    Moment idul fitri merupakan kebaikan yang mulia agar saling berbagi kasih dengan bentuk yang mulia yaitu yang besar menghargai yang kecil dan sebaiknya yang kecil menghormati yang besar, merupakan sebuah fitrah kemanusiaan yang diajarkan dalama agama Islam. Halal, artinya boleh dapat juga berarti bebas atau zero, berarti dalam kondisi halal adalah suatu posisi yang terlepas dari beban atau yang membebani. Media halal bihalal adalah sarana bersilaturahmi dan saling membebaskan dari segala belenggu syahwat yang angkuh dan sombong, hingga mampu menjadi tunduk dan rendah hati serta saling memaafkan, hingga pada kesempatan itulah menjadi lebur, yaitu leburnya dari dosa dan kesalahan.

    Lebaran yang juga berarti labur artinya cet warna putih yang mewarnai tembok hingga menjadi bersih seperti lembaran baru, dan itulah yang dimaksud fitrah, yaitu kesucian hati dan jiwa seperti bayi yang baru dilahirkan, sebagaimana sabda baginda Rasulullah, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah” Putih bersih seperti lembaran baru, hingga menggapai ridha Ilahi, menuju keteguhan iman dan taqwa-Nya.

    Pada saat ramadhan dan idul fitri itulah sesungguhnya kita membangun bi’ah, suatu kebiasaan mulia untuk dapat melatih kita menuju insan yang taat dan mulia.

    Pasca lebaran seharusnya kita telah terbiasa melakukan kebaikan baik dalam beribadah dan beramal shalih, hingga benar-benar amaliyah kita pasca lebaran menjadi kebiasaan yang mulia dalam keberkahan dan keimanan serta ketaqwaan-Nya. Wallahu alam

  • Opini: Salam Jangan Verbalitas Belaka

    Salam Jangan Verbalitas Belaka
    Oleh: Dr. Abdul Aziz, M.Pd.I
    Sekretaris Umum MUI Kota Bandar Lampung

    salam (السلام) berasal dari akar kata bahasa arab salima – yaslamu – salaaman – wa salaamatan (سَلِمَ – يَسْلَمُ – سَلاَمًا – وَسَلاَمَةً) yang berarti selamat dari bahaya, bebas dari cacat, ketulusan hati, keselamatan, ketentraman, ketenangan, kedamaian, kesejahteraan, aman dan nyaman. Salam adalah sapaan, penghargaan dan penghormatan kepada orang lain sebagai bentuk ekspresi empati dan harmoni dari seseorang kepada orang lain, bisa dalam bentuk ucapan, gerakan atau gabungan keduanya.

    فَكَانَ أَوَّلَ شَيْءٍ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ

     يَا أَيُّهَا النَّاسُ , أَفْشُوْا السَّلَامَ , وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ , وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ , وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ , تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ (رواه البخاري)

    Artinya:

    (Ketika Rasulullah Saw. Sampai ke Madinah) Dan yang pertama kali beliau ucapkan adalah, Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan, sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan sejahtera. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ahmad)

                Menyebarkan salam itu akan menumbuhkan rasa cinta diantara manusia. Rasulullah Saw. bersabda :

     لَا تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا . وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا . أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ . أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

    Artinya:

    Tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai, sebarkanlah salam di antara kalian. (HR. Bukhari)

                Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw. Wahai Rasulullah Saw. Islam yang bagaimanakah yang paling baik, Beliau Saw. Menjawab:

     تُطْعِمُ الطَّعَامَ , وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ

    Artinya:

    Engkau memberi makan dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak kenal. (HR. Bukhari)

                Menyapa adalah bentuk empati, harmoni, kepedulian, cinta, kasih sayang, penghargaan, dan penghormatan seseorang kepada orang tua, saudara, kerabat, guru, teman, sahabat, sejawat, tetangga atau siapapun. Orang yang disapa akan merasa dihargai dan dihormati sehingga akan tercipta suasana harmoni sosial penuh persaudaraan, menjadi semakin erat dan akrab. Cara, bentuk dan ekspresi seseorang ketika menyapa akan berbeda – beda berdasarkan peradaban dan budaya masyarakat. Islam mengajarkan bentuk sapaan dengan ucapan salam, bukan hanya berfungsi sebagai alat sapaan belaka, melainkan sebuah syariat, doktrin, do’a, sekaligus penghormatan pada sesama. Dalam Al Qur’an disebut tahiyyah;

    وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا ٨٦

    Artinya:

    Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An Nisa’ : 86)

                Salam merupakan bagian dari syari’ah, Rasulullah Saw. mengajarkan ucapan salam dengan diksi yang baku, yaitu السلام علبكم ورحمة الله وبركاته Salam dianjurkan untuk diucapkan sebagai sapaan, dihidupkan, disebarkan, dibiasakan dan tentu diresapi makna dan substansinya. Apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. merupakan yang terbaik untuk umatnya. Salam juga adalah do’a yang bermakna “Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dianugerahkan Allah kepada kalian.” Ada tiga permohonan kepada Allah Swt. untuk setiap orang yang disapa, yaitu keselamatan/kedamaian/kesejahteraan, kasih sayang (rahmat), dan keberkahan (ziyadatul khair) Allah swt.

                Ketika seseorang mengucapkan salam kepada orang lain, sesungguhnya ia sedang memberikan sebentuk jaminan untuk menjaga, merawat dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketulusan, keselamatan, keamanan, kedamaian, kesejahteraan, cinta, kasih sayang, dan kebaikan sesama sesuai dengan makna salam. Sehingga tidaklah pantas seseorang mengucapkan salam kepada orang lain, namun tetap berdusta, berkhianat, berbuat licik, culas, menebarkan kebencian, menyakiti hatinya, dan aktivitas lainnya yang menyebabkan terenggutnya rasa tulus, aman, damai, tentram, sejahtera, kasih sayang dan cinta.

                Apabila seseorang telah mengucapkan salam kepada orang lain, sama dengan memberikan jaminan kepada yang diberi salam bahwa tidak mungkin melakukan hal-hal yang menjadikannya tidak tulus, tidak selamat, tidak aman, tidak damai, tidak tenang dan tidak nyaman. Inilah hakikat tahiyyah (penghormatan) dalam salam, sehingga logic sekali Allah Swt. menyuruh membalas setiap sapaan salam yang didengar.

    أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ . رَدُّ السَّلاَمِ , وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ , وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ , وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ , وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ (متفق عليه)

    Artinya :

    Abu Hurairah Ra. Berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. Bersabda, hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima; menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendo’akan orang yang bersin.

                Menjawab salam, baik secara verbalistik maupun substansi, menjawab salam minimal frasanya sama dengan ucapan salam kepadanya, assalamu’alaikum dijawab dengan wa’alaikumussalam, yang lebih baik dan mulya, jawablah salam dan penghormatan itu dengan yang lebih baik, wa’alaikussalam warahmatullahi wabarakatuh. Makna terdalamnya (substansinya), kebaikan seseorang mestinya dibalas dengan minimal kebaikan yang sepadan, cinta dan kasih sayang seseorang mestinya dibalas dengan minimal cinta dan kasih sayang yang sepadan, ketulusan hati seseorang mestinya dibalas dengan minimal ketulusan hati yang sepadan, tutur sapa santun, sikap empati, perilaku luhur, cinta damai dan harmoni sosial mestinya direspon sepadan, tentu respon atau jawaban salam lebih baik yang lebih mulya. Salam jangan direduksi hanya verbalitas belaka.

                Hidup rukun dengan hati tulus dan ikhlas, tentram dan sejahtera, cinta dan damai, aman dan nyaman, dengan tutur kata dan sapa yang ramah dan santun, sikap empati dan harmoni, serta perilaku yang berlandaskan budi pekerti luhur. Kehidupan sosial tanpa kebencian dan permusuhan, tanpa iri hati, dengki dan prasangka buruk adalah impian kita semua. Islam hanya mengajarkan kepada kita semua untuk senantiasa menebarkan salam, cinta, kasih sayang, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian.

    والله تعالى أعلم بالصواب

  • LAZISNU Seputih Agung, Lampung Tengah Gelar Pelatihan Amil Zakat

    Lampung Tengah: Jajaran keluarga besar pengurus Lembaga Amil Zakat Infaq Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, mengadakan agenda istimewa yakni pelatihan amil zakat, Rabu (27/4/2022) bertepatan 25 Ramadhan 1443 H.

    Hal tersebut disampaikan, Ketua LAZISNU Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, Kiai Miftakhul Munir, disela-sela agenda tersebut Rabu (27/4/2022) pagi di gedung Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Seputih Agung, Kabupaten Lampung Tengah.

    “Semoga pelatihan ini dapat bermanfaat sekaligus menjadikan bekal amil zakat dalam menunaikan pelaksanaan pengumpul dan pembagian zakat fitrah di wilayah Kecamatan Seputih Agung, dan sekitarnya” tambahnya.

    Ketua PC Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Kabupaten Lampung Tengah, masa khidmat 2017-2022, Kiai Muhammad Masykur, S.Sy, selaku narasumber, menyampaikan beberapa materi antaralain; siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat fitrah, siapa saja dan bagaimana syaratnya mustahik yang berhak menerima zakat fitrah, syarat-syarat menjadi Amil yang sah, baik sah menurut undang undang, maupun sah menurut aturan agama, besaran ukuran kadar zakat fitrah menurut empat Madzhab, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali dan sekaligus fungsi zakat menurut syariat agama, sekaligus manfaat secara Sosial.

    Sekretaris MWCNU Kecamatan Seputih Agung, Ahmad Muhlison, S.Pd.I, menambahkan, agenda ini, pelatihan amil zakat, infaq dan shodaqoh Kecamatan Seputih Agung ini, diikuti sebanyak 350 orang, dari berbagai wilayah Kecamatan diantaranya Kecamatan Seputih Agung 310 Peserta, Kecamatan Terusan Nunyai 6 orang, Kecamatan Terbanggi besar 10 orang, Kecamatan Way Pengubuan 10 orang, Kecamatan Anak Tuha 4 orang, Kecamatan Bekri 5 orang, dan dari Kabupaten Lampung Utara 5 orang.

    Pada kesempatan tersebut dibagikan SK Amil Zakat, sebanyak 107 SK, berbasis masjid dan musholla se Kecamatan Seputih Agung.

    Hadir dalam acara tersebut, Rais Syuriah MWC NU Seputih Agung, Ketua Tanfidziyah MWC NU Seputih Agung, Kiai Ikhsan, Babinkamtibmas dari Polsek Terbanggi besar, dan lain-lain.

    Secara sosiologis dan geografis Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah terdiri atas Sepuluh (10) Kampung / Desa, yaitu; Harapan Rejo, Endang Rejo, Dono Arum, Simpang Agung, Bumi Kencana, Gayau Sakti, Fajar Asri, Muji Rahayu, Sulusuban, dan Bumi Mas. (Akhmad Syarief Kurniawan)

  • Opini: Menjaga Protokol Kesehatan Saat Mudik

    Menjaga Protokol Kesehatan Saat Mudik
    Prof. Wan Jamaluddin, M.Ag., P.hD
    (Rektor UIN Raden Intan Lampung)

    Mudik adalah nama lain dari pulang kampung, kegiatan mudik merupakan event penting yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Islam di Indonesia, yang merupakan sebuah tradisi unik, dikatakan unik karena tidak terjadi di negara-negara lain. Ada kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri yang dirasakan oleh masyarakat muslim Indonesia ketika pada bulan ramadhan atau menjelang lebaran Idul Fitri, yaitu umumnya pada sepuluh terakhir bulan ramadhan, walaupun sebagian di awal dan pertengahan ramadhan.

    Salah satu hal penting yang dinantikan pada saat mudik adalah dapat berkumpul dengan keluarga, baik kedua orang tua maupun sanak famili, bersilaturahim dan bercengkrama setelah setahun lamanya beraktivitas masing-masing, dan pada saat intulah dapat meluangkan waktu menunaikan ibadah puasa dan lebaran di kampung halaman, bersama orang tua dan keluarga serta kerabat dekat demi menyambung tali silaturahmi yang selama satu tahun penuh tidak terjalin.

    Kemeriahan mudik sering membuat masyarakat kita senang walaupun terkadang harus antri di jalan, biaya ongkos mahal, namun semua itu terasa ringan dengan spirit rindu dan ingin senantiasa berjumpa dengan keluarga, hal tersebut bagian dari berkah ramadhan dapat terlaksana dengan rasa cinta, sehingga apapun caranya dapat dilakukan asalkan bisa mudik. Mudik pada tahun ini tentunya lebih meriah dibandingkan dua tahun sebelumnya pada saat musim corona yang menjadikan umat muslim sulit untuk melakukan pulang kampung.

    Idul Fitri adalah hari kemenangan setelah melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh lamanya, ketika Idul Fitri tiba, umat Islam mengadakan acara yang sangat unik, yaitu silaturahim, yang istilah ini sering disebut Sungkem kepada kedua orang tua yang masih ada dan sanak keluarga lainnya, namun ketika sudah tiada, mereka menyempatkan waktunya untuk berziarah ke Makam dan berdoa bersama atau dilaksanakan dengan sendiri-sendiri.

    Istilah silaturahim pada awal masuknya Islam ke Indonesia agak begitu sulit di ucapkan, kemudian KH. Wahab Chasbullah diberi nama halal bi halal yang kemudia istilah ini popular sampai hari ini. Halal bi halal adalah sebuah tradisi di masyarakat kita yang merupakan media untuk bersilaturahmi, halal bi halal berasal dari kata halal yang artinya lepas dari dosa. Sehingga istilah ini digunakan untuk menyambung tali silaturahim sering juga disebut bersal dari kalimat thalabul halal bi thariqi al- halal, yaitu meminta mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan  hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Sehingga istilah halal bi halal sebagai sarana untuk saling bermaafan.

    Istilah halal bi halal memang hanya sebuah tradisi baik dan mulia di Indonesia, yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Sunah dan tidak ada pelaksanaannya di Negara-negara lain. Unik memang hal ini, dan inilah merupakan sebuah tradisi Islam yang ada di Indonesia.

    Jika kehidupan ini ibarat benang yang selama ini tidak jelas ujungnya karena saking banyaknya alur kemudian menjadi kusut, maka sejatinya halal bi halal adalah  merajut kembali benang yang sudah kusut dan nyaris sulit diselesaikan. Jika ada kesalahan yang terjadi dan belum termaafkan karena sebuah kesalahan atau khilaf, maka saat itulah bertemu, duduk bersama untuk bemaafan, bercerita dan saling tabayyun.

    Walaupun tradisi mudik pada lebaran kali ini ramai kembali, namun kita harus tetap menjaga protokol kesehatan, agar Allah senantiasa memberikan kesehatan dan keselamatan, karena suatu tujuan yang baik yaitu menjalin tali silaturahmi dengan keluarga, jika dijalani dengan cara yang baik dan mengikuti aturan yang baik, insyallah akan menjadi yang terbaik, semoga Allah meridhai.

  • Opini: Menjaga Istiqamah Agar Menjadi Akhlak

    Menjaga Istiqamah Agar Menjadi Akhlak
    Dr. Siti Nurjannah, M.Ag
    Rektor IAIN Metro

    Marhaban ya ramadhan, bulan penuh keberkahan. Manusia diciptakan oleh Allah SWT, sebagai makhluk sempurna dengan sebaik-baiknya bentuk, dalam bahasa al Qur’an disebut “bi ahsani taqwiim” sebaik-baiknya bentuk tidak berarti sebaik-baiknya rupa, karena mungkin burung merak lebih indah, atau makhluk lain ciptaan Allah ada yang lebih indah dari manusia, namun manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk. Di antara kesempurnaan dari anugrah Allah kepada munusia adalah akal yang sehat, sebagai sarana untuk berfikir, juga di sisi lain Allah swt., menganugrahkan agama kepadanya sebagai obor agar akal dapat berfikir dengan sehat dan bermaslahat.

    Di sisi lain, Allah swt., juga menganugrahkan hawa nafsu agar manusia memiliki keinginan, posisi nafsu ini berada di belakang otak, sehingga sering kali mempengaruhi dan menyetir otak, meskipun demikian, otak haruslah dapat mengendalikan nafsu dan bukan dikendalikannya, sebuah ungkapan bijak yang mengatakan, nafsu itu seperti halnya anak kecil yang sulit dilepaskan dengan ibunya, jika dia tidak dilatih untuk di sapih, maka dia akan selalu mengikuti ibunya, begitu juga nafsu jika tidak dilatih untuk dikendalikan, maka dia akan selalu mengendalikan kita.
    Dalam konteks ibadah, istiqamah merupakan hal penting yang harus dilatih, dibiasakan dan dilestarikan, karena diajarkan oleh Rasulullah muhammad saw, “al istiqaamatu khairun min alfi karaamatin” Istiqomah adalah lebih baik dari seribu kemuliaan.

    Kemaksiatan merupakan hal yang dapat mengancam istiqamah, sehingga dapat mengikis keimanan kita, yang kemudian iman dapat bertambah dengan ketaatan kepada allah swt, sebagaimana sabdanya, Iman seseorang akan bertambah dan akan berkurang dan bahkan hilang, yang dikatenakan amal baik atau amal buruknya. Taat kepada allah swt., berarti menjalankan segala yang diperintahkan Allah swt., dengan penuh ketulusan, keikhlasan dan istiqamah serta tawakkal kepada allah swt., sedangkan berkurangnya ketika manusia melupakan Allah dan bahkan mentaati syaithan, yang mana syaithan akan selalu mengendalikan hawa nafsu kita untuk digiring kearah kemaksiatan dan kemudharatan dan menjerumuskan pada lembah hitam yang dapat merusak hati untuk beristiqamah.

    Pada bulan yang suci ini, kita telah berlatih istiqamah selama ramadhan, dengan modal iman. Istiqamah yang kita lakukan akan senantiasa membekas pada setiap insan yang beriman, baik shalat malamnya, tadarrusnya, amal sunah lainnya selama ramadhan seharus benar benar menancap pada relung relung sanubari kita, sehingga selepas ramadhan kita masih istiqamah me jalankan segala yang melekat kepada kita, dan itulah hakekat kataqwaan yang kita dapatkan selama ramadhan. Semoga kita semua dalam naungan ramadhan penuh keberkahan.amin

  • Opini: Ikhlas dalam Menggapai Ridha Ilahi

    Ikhlas dalam Menggapai Ridha Ilahi
    Dr. Efa Rodiah Nur, MH
    Dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung

     

    Marhaban ya ramadhan, bulan penuh keberkahan. Ikhlas merupakan hal yang terpenting dalam ibadah kita, terlebih kita berada di bulan ramadhan, Allah menjanjikan kepada hambaNya untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih, karena dengan keikhlasan kita dalam beribadah di bulan ramadhan ini, senantiasa akan terlihat kualitas amal ibadah kita, sah ataukah bathil. Ibadah di bulan ramadhan berbeda dengan ibadah di bulan bulan lainnya, Allah akan melipat gandakan segala kebaikan selama ramadhan.

    Ikhlas adalah menjalankan segala sesuatu (ibadah) karena Allah semata dan bukan karena bisiskan atau pengaruh yang lainnya, sehingga ikhlas sering diibaratkan air putih yang jernih yang berada dalam gelas yang belum tercampur dengan kotoran atau noda setetespun, sehingga air tersebut terlihat jernih tanpa noda, begitulah gambaran keikhlasan kita dalam beribadah.

    Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Nawawi, ikhlas yaitu: “ikhlas yaitu mensucikan panca indra kita baik secara dhahir maupun batin dari akhlak buruk (yang dapat merusak ibadah kita)”.

    Tujuan ibadah kita adalah menggapai metaqwaan kepada Allah Ta’ala, termasuk ibadah puasa yang jika kita jalani secara totalitas hanya mengharapkan ridhaNya.

    Taqwa secara etimologi berasal dari kata ta, qaf, waw dan ya’. Pertama adalah Ta’ yang berasal dari kalimat tawadhu’, tawadhu’ adalah rendah diri dan tidak sombong, karena sesungguhnya kesombongan akan dengan mudah menghancurkan diri kita.

    Kedua, adalah Qaf, yang berasal dari kalimat qona’ah, qonaah adalah menerima atas apa yang telah diberikan dan dianugrahkan oleh Allah swt.,

    Ketiga, adalah Waw, yang berasal dari kalimat wara’, wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang berlebihan.

    Keempat adalah Ya’, yang berasal dari kalimat yaqin, yaqin merupakan bekal yang sangat penting untuk dapat mewujudkan tawadhu’, qana’ah, wara’ dan yaqin.

    Taqwa secara terminology adalah sebagaiamna yang diungkapkan Umar bin Khattab ra.,
    “Taqwa adalah takut kepada Allah yang maha Agung, dan mengamalkan apa-apa yang diturunkan Allah swt., dan ridha terhadap apa yang dianugrahkan Allah swt., dan dan mempersiapkan diri untuk menjelang hari diamna ia meninggalkan jagad raya ini”. Semoga kita senantiasa mampu menggapai ketaqwaan di bulan ramadhan ini sebagai bonus dari selama setu bulan penuh menjalani ujian melawan hawa nafsu, yang merupakan jihad terbesar dalam kehidupan, semoga keberkahan senantiasa menyertai kita, amin

  • Khutbah Hari Raya 1443 H: “Lebaran, Mudik dan Orang Tua”

     

    Lebaran, Mudik dan Orang Tua
    Oleh: H. Muhammad Faizin
    Sekretaris MUI Lampung

    Untuk mendownload teks silakan Klik Link berikut, semoga bermanfaat:

    Khutbah Idul Fitri 1443 H 2022 Muhammad Faizin

    Jangan Lupa Like, Komen dan Subscribe Youtube MUI Lampung.

  • Khutbah Idul Fitri: “Meneguhkan Persaudaraan dan Saling Memaafkan”

     

    Untuk mendownload teks silakan Klik Link berikut, semoga bermanfaat:

    Khutbah Idul Fitri 1443 H MUI

    Jangan Lupa Like, Komen dan Subscribe Youtube MUI Lampung.

     

  • Khutbah Idul Fitri 1443 H II Kembali Ke Fitrah Menuju Ridhanya

     

    Untuk mendownload teks silakan Klik Link berikut, semoga bermanfaat:

    Khutbah Idul Fitri Kembali Ke Fitrah Menuju RidhaNya

     

    Jangan Lupa Like, Komen dan Subscribe Youtube MUI Lampung.

     

     

     

  • Opini: Zakat Fitrah dengan Uang

     

    Zakat Fitrah dengan Uang
    Oleh: Dr. Abdul Aziz
    Sekretaris Umum MUI Bandar Lampung

    Zakat berasal dari akar kata zaka – yazki atau sama akar katanya dengan zakiya, azka dll. yang berarti berkah, tumbuh, berkembang, bertambah, bersih, membersihkan, suci, mensucikan, baik, dan terpuji. Bagi muzakki (seorang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat) zakat berarti membersihkan (tathhir) dan mensucikan (tazkiyah) baik material maupun spiritual, secara material zakat membersihkan dan mensucikan harta dan diri pribadi muzakki dari hak-hak mustahik (delapan golongan yang berhak menerima zakat), khususnya para fakir dan miskin sebagai skala prioritas, secara spiritual zakat juga membersihkan dan mensucikan jiwa dan fikiran muzakki dari sifat-sifat tercela seperti ananiyah (egois), hasad (iri hati), bakhil (kikir atau pelit), tamak (rakus), serta takabur (sombong). Sedangkan bagi mustahik, zakat dapat membersihkan dan mensucikan jiwa dan fikiran mereka dari sifat-sifat tercela seperti iri hati, menggunjing, adu domba, prasangka buruk dan dengki terhadap para muzakki.

    Penerapan hukum wajib zakat bagi yang memenuhi syarat dalam sejarah tidak bisa dilepaskan dari perkembangan usaha, penghasilan masyarakat dan peningkatan pendapatan perkapita umat Islam pada saat itu. Pada awal Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Yatsrib (kemudian hari menjadi Madinah), hukum wajib zakat bagi yang telah memenuhi syarat belum diterapkan, padahal ayat – ayat Al Qur’an yang mengingatkan orang mukmin agar mengeluarkan sebagian harta kekayaaannya untuk diberikan kepada orang – orang fakir dan miskin sudah turun semenjak Nabi Muhammad SAW masih tinggal di Mekah (sebelum hijrah ke Yatsrib), pada periode ini hukum zakat baru berupa anjuran (sunnah), hal ini terekam jelas dalam Firman Allah SWT yang diwahyukan ketika Nabi masih di Mekah;

    وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ ٣٩

    Artinya:
    Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar Rum : 39)

    Hukum anjuran (sunnah) mengeluarkan zakat ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan obyektif kondisi sosial ekonomi masyarakat muslim pada saat itu, Mayoritas sahabat Nabi ketika baru hijrah dalam kondisi tidak berkelayakan dalam hidupnya karena rata – rata mereka semua meninggalkan harta benda dan kekayaannya yang mereka miliki di Mekah, karena situasi dan kondisi pada saat itu yang tidak memungkinkan para sahabat Nabi membawa harta kekayaannya ke Yatsrib, beruntunglah Sahabat Anshor (orang – orang Yatsrib yang sudah memeluk Islam sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah) menerima dengan tangan terbuka, menyambut dengan keramah tamahan dan bantuan yang luar biasa, namun karena jumlahnya yang belum signifikan sehingga belum mampu memenuhi semua kebutuhan hidup sahabat muhajirin secara maksimal.

    Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi sosial ekonomi para sahabat Nabi Muhammad SAW terus membaik, tentu karena didukung oleh atmosfer kehidupan di Madinah yang terus stabil dan kondusif. Berbagai keahlian dalam bermata pencaharian para sahabat muhajirin dan anshor terus dikembangkan dan disinergikan, mulai dari berniaga baik lokal, antar negara bahkan antar benua dalam berbagai bentuk dan jenis perniagaan, pengembangan pertanian dan perkebunan dan lain sebagainya. Setelah keadaan kaum muslimin sudah mulai mapan maka hukum wajib zakat bagi yang telah memenuhi syarat mulai di syari’atkan pada tahun ke-2 hijriyah, zakat fitrah diwajibkan pada Bulan Ramadlan sedangkan zakat mal di wajibkan pada bulan berikutnya, yakni syawal. Sesuai dengan Firman Allah SWT. yang diwahyukan di Madinah;

    وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٠

    Artinya:
    Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah SWT. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah : 110)

    Pembayaran zakat fitrah pada masa Rasulullah Muhammad SAW dengan bahan makanan (min tha’amin), mayoritas madzhab mengharuskan pembayaran zakat fitrah dengan makanan pokok (qutul balad), tidak boleh dengan non-makanan pokok, demikianlah mayoritas pendapat hukum (qaul) Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Adapun Madzhab Hanafiyah membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang dengan landasan normatif Firman Allah SWT dalam Al Qur’an;

    لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢

    Artinya:
    Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran : 92)

    Allah SWT. memerintahkan untuk menginfaqkan sebagian harta yang kita cintai, mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan atau penghasilan untuk sesuatu yang dianjurkan atau diharuskan dalam ajaran agama Islam, bentuknya bisa zakat, infaq, sedekah, wakaf dan dana sosial keagamaan lainnya. Pada masa Rasulullah Muhammad SAW harta yang paling dicintai umat Islam adalah bahan makanan, sedangkan hari ini harta yang paling dicintai oleh umat manusia adalah uang karena efektifitas dan fleksiblitasnya.

    Beras adalah serealia (dikenal juga dengan nama sereal atau biji – bijian, sekelompok tanaman yang ditanam untuk dipanen biji atau bulirnya sebagai sumber karbohidrat) bahan makanan pokok di Indonesia yang lazim digunakan untuk membayar zakat fitrah, sesuai dengan hadits berikut;

    عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نُخْرِجُ في عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَومَ الفِطْرِ صَاعًا مِن طَعَامٍ . وقالَ أَبُوْ سَعِيدٍ: وكانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ والزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ والتَّمْرُ (رواه البخاري)

    Artinya:
    Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. Berkata : dulu pada zaman Rasulullah Saw. Kami menunaikan zakat fitrah dengan satu sha’ bahan makanan, dan Abu Sa’id Menyampaikan bahwa bahan makanan kami adalah gandum, anggur, keju dan kurma. (HR. Bukhari)

    عَن ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ , أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ , وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى , وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ (رواه البخاري و مسلم)

    Artinya:
    Dari Ibnu Umar ra. Berkata: Rasulullah Saw. Mewajibkan zakat fitrah pada Bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi orang merdeka, budak, laki – laki, perempuan, kecil dan dewasa dari segenap muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Tujuan diterapkannya kewajiban zakat fitrah ((مقاصد الشريعة adalah agar pada perayaan kemenangan umat Islam di hari Idul Fitri para mustahik dapat menikmati hidup layaknya orang mampu, semua bisa menikmati hidangan yang layak, pantas dan tentu saja enak, pendek kata semua bisa makan enak. Dengan argumentasi normatif ushuli ini, tentu saja uang akan jauh lebih efektif dan fleksibel dalam mewujudkan maqashid syari’ah tersebut, sesuai dengan hadits berikut;

    عَن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ . وَقاَلَ : أَغْنُوْهُمْ فيِ هَذاَ الْيَوْمِ (رواه الدَّارَقُطْنِيّ) . وفي رواية البيهقي : أَغْنُوْهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ

    Artinya:
    Dari Ibnu Umar ra. Berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: Rasulullah Saw. Mewajibkan zakat fitrah, dan Rasul Bersabda : cukupilah kebutuhan mereka hari ini! (HR. Daruquthni). Dalam riwayat Imam Baihaqi : cukupilah kebutuhan mereka! Sehingga tidak perlu meminta – minta hari ini.

    Standar nominal yang ditetapkan oleh Madzhab Hanafiyah adalah Qimatul Manshush (nilai nominal harga bahan makanan pokok yang ada dalam teks hadits), berarti harga nominal dari satu sha’ kurma, gandum dll. Tentu hal ini, bagi sebagian masyarakat muslim Indonesia cukup memberatkan. Jalan tengahnya adalah menggunakan standar nominal harga dari bahan makanan pokok menurut Madzhab Syafi’iyah di Indonesia, yakni nominal harga dari 2,5 Kg. beras. Hari ini di Kota Bandar Lampung beras dengan kualitas premium berada pada kisaran harga 12.000,- per kg. sedangkan beras dengan kualitas medium berada pada kisaran harga 11.000,- per kg. opsinya adalah Rp. 30.000,- (premium) atau Rp. 27.500,- (medium), sesuai dengan kebiasaan konsumsi muzakki dalam kehidupan sehari – hari, tentu lebih dari itu lebih baik. Perpaduan pendapat hukum diperbolehkan sepanjang formulasinya tidak bertentangan dengan substansi ijmak.

    Besaran pembayaran zakat fitrah dengan uang, yaitu 27.500,- atau 30.000,- mendasarkan diri pada argumentasi normatif bahan makanan pokok (qutul balad) Madzhab Syafi’iyah di Indonesia, yakni 2,5 Kg. beras, lalu di konversi dengan uang. Hal ini mendasarkan argumentasinya pada qaul Imam Abu Hanifah dan Imam Ibnu Qosim dari Madzhab Malikiyah. Semua itu sudah sesuai dengan tujuan diterapkannya kewajiban zakat fitrah, yaitu dalam rangka mencukupi kebutuhan mustahik (delapan golongan yang berhak menerima zakat), dengan skala prioritas adalah fakir dan miskin. Uang akan jauh lebih efektif dan fleksibel dalam memenuhi kebutuhan tersebut.

    والله تعالى اعلم بالصواب