Sarasehan Fiqih Perempuan MUI Bandar Lampung Bahas Peran dan Eksistensi Perempuan dalam Perspektif Fiqih

Bandar Lampung, MUI Lampung Digital
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandar Lampung menggelar Sarasehan Fiqih Perempuan di Soeltan Luxe Hotel pada Sabtu, (26/10/2024). Acara ini menghadirkan narasumber utama, Ustazah Hj. Siti Masyithah, M.Pd., pengasuh santri putri Pondok Pesantren Al Hikmah, yang menyampaikan materi menarik bertajuk “Diskursus Fiqih Perempuan, Klasik dan Kontemporer.”
Sarasehan ini dihadiri oleh berbagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, termasuk perwakilan dari Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah. Hadir pula akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung dan Universitas Lampung (UNILA) yang memberikan kontribusi pemikiran dalam diskusi seputar peran dan eksistensi perempuan.
Dalam pemaparannya, Ustazah Hj. Siti Masyithah menjelaskan pentingnya memahami fiqih perempuan dari perspektif klasik dan kontemporer. Beliau menekankan bahwa fiqih klasik, yang telah berkembang sejak masa awal Islam, berfokus pada pemenuhan hak-hak dasar perempuan dalam konteks tradisional. Namun, perkembangan zaman menuntut adanya pemahaman kontemporer yang lebih relevan dengan kondisi sosial saat ini, termasuk terkait peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Menurut Ustazah Siti Masyithah, perempuan memiliki banyak kelebihan yang penting untuk diakui dan diberdayakan. “Perempuan itu sabar dan tabah dalam merawat anak dan keluarga. Bahkan, perempuan diberi kemampuan oleh Allah untuk melahirkan dan membesarkan generasi masa depan. Ini adalah salah satu keistimewaan perempuan yang perlu dijaga dan dihargai,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ustazah Masyithah membahas berbagai hukum dalam fiqih perempuan, baik yang bersumber dari dalil aqli (logika) maupun naqli (teks Al-Qur’an dan hadits), sebagai landasan hukum yang mengatur peran perempuan dalam beragam aspek kehidupan. Dalam konteks fiqih klasik, beberapa aturan mengenai peran perempuan disusun untuk menjaga kehormatan dan martabat, sedangkan fiqih kontemporer menghadirkan interpretasi yang lebih dinamis, sesuai dengan perkembangan sosial budaya dan peran perempuan di dunia modern.
Acara sarasehan ini tidak hanya menjadi wadah diskusi, tetapi juga menguatkan eksistensi perempuan dalam dunia Islam. Sarasehan ini sangat penting untuk menyegarkan pemahaman fiqih perempuan. Dengan demikian, perempuan diharapkan semakin mampu menyeimbangkan perannya di rumah, masyarakat, dan dunia pendidikan.
Dengan antusiasme peserta dan beragam pandangan yang disampaikan, sarasehan ini sukses memperkaya wawasan para peserta mengenai pentingnya penghargaan terhadap peran dan eksistensi perempuan dalam perspektif Islam. (Rita Zaharah)