Opini: Relasi Simbiotik antara Agama dan Negara

Relasi Simbiotik antara Agama dan Negara
Suryani
Ketua MUI Provinsi Lampung
Ada tiga paradigma relasi agama dan negara, yaitu integralistik (simbolistik formalistik) yaitu paradigma integrasi penuh antara agama dan negara, sekularistik yaitu paradigma pemisahan total antara keduanya, dan simbiotik yaitu paradigma hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam perkembangan peradaban, hubungan antara agama dan negara selalu menjadi topik yang penuh dengan perdebatan, karena ada berbagai pandangan tentang bagaimana seharusnya agama dan negara berinteraksi satu sama lain.
Dari ketiga paradigma tersebut diatas, bagi negara kita Indonesia yang masyarakatnya majemuk (plural) maka yang paling ideal adalah menganut paradigma simbiotik, karena menawarkan pemahaman bahwa agama dan negara memiliki hubungan yang saling menguntungkan, dimana keduanya saling memerlukan untuk mencapai tujuan bersama. Agama memerlukan negara agar dapat berkembang dengan stabil dan terorganisir, sedangkan negara memerlukan agama untuk memberikan fondasi etika dan moral dalam pembangunan bangsa. Dengan demikian, kedua entitas ini saling melengkapi satu sama lain. Negara memberikan dukungan struktural kepada agama, sementara agama memberikan panduan moral kepada negara.
Pendekatan ini sejalan dengan konstitusi Indonesia, yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara. Dalam hal ini, negara Indonesia diatur berdasarkan nilai-nilai spiritual yang diakui oleh masyarakat luas. Penerapan aturan hukum juga disesuaikan dengan aspirasi agama, terutama dalam hal merespons masalah-masalah kemasyarakatan dan kebangsaan. Penetapan fatwa keagamaan, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai arahan bagi umat beragama, tetapi juga sebagai respons terhadap isu-isu sosial yang mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Paradigma simbiotik, sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini, menunjukkan bahwa hubungan agama dan negara bukanlah hubungan yang kaku, melainkan dinamis dan saling mendukung. Negara yang berpijak pada prinsip-prinsip agama yang universal dapat membangun masyarakat yang adil dan sejahtera, sedangkan agama yang dibimbing oleh aturan negara dapat berkembang dengan stabil dan tertib. Termasuk fatwa-fatwa MUI mengambil pola relasi ta’yidy (menguatkan), ishlahy (memperbaiki), tashhihy (mengoreksi/membenarkan), dan insya’y (menginisiasi).
Secara keseluruhan, pilihan paradigma simbiotik ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara agama dan negara. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini tidak hanya relevan, tetapi juga memberikan solusi bagi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam menjaga keharmonisan antara kehidupan beragama dan kenegaraan. Hubungan yang kuat antara keduanya, jika dipelihara dengan baik, akan mendorong terciptanya masyarakat yang bermoral dan pemerintahan yang berintegritas, di mana aspirasi spiritual dan kebutuhan duniawi dapat dipenuhi secara bersamaan.
Tanggal 20 Oktober 2024 kita resmi memiliki Presiden dan Wakil Presiden baru dengan Kabinet Merah Putih, khususnya Menteri Agama yang baru Bapak Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar MA, semoga mampu mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang majemuk, di mana agama menjadi sumber moralitas dan kekuatan, bukan pemecah belah. Dengan demikian, masyarakat Indonesia dapat hidup rukun dalam keberagaman (harmony in diversity) saling menghargai dan bersama-sama membangun bangsa yang sejahtera dan bermartabat.
Harapan kita bersama semoga Pemerintah dengan Kabinet Merah Putih terus dapat menjaga keseimbangan antara negara dan agama melalui kebijakan yang inklusif dan berkeadilan. Ini berarti menciptakan ruang dialog antaragama yang sehat, serta merangkul para pemuka agama dalam merumuskan kebijakan yang relevan bagi masyarakat. Tantangan radikalisme dan intoleransi yang semakin mengemuka harus ditangani dengan tegas namun bijaksana, melalui pendekatan yang memperkuat pendidikan agama yang moderat dan humanis.