Breaking NewsOrmas

NU, dan Indonesia Milenial (HARLAH NU Ke 92)

NU, dan Indonesia Milenial

Ichwan Adji Wibowo (Ketua PCNU Kota Bandar Lampung)

Hari ini berdasar kalender masehi, usia NU genap 92 tahun, artinya kurang sewindu menuju satu abad usia jamiyyah yang didirikan para ulama nusantara demi menselaraskan islam rahmatan lilalamin dengan keniscayaan negeri yang beragam kultur.

Titik temu agama sebagai ruh, sebagai nilai nilai dengan negara sebagai entitas telah dipertemukan tidak sekadar pertemuan konsep, tidak sebatas pertemuan paradigmatik, tetapi diejawantahkan laksana pertemuan antara “wadah dan isi”.

Maka sublimasi keislaman dan keindonesiaan yang telah dibangun oleh para ulama nahdliyin berimplikasi harmoni, keselarasan, karena islam rahmatan lilalamin dihadirkan melalui karakter moderasi (tawasuthiyah), dan keindonesiaan dengan kulturnya justru tetap dihargai sebagai kerangka, sebagai wadah sebagai model.

Lantas, “ramuan” kristalisasi islam moderat dengan kekuatan kultur keindonesiaan, apakah perjalanannya hingga kini bebas uji, tentu tidak sejarah telah membuktikan betapa ujian kemenyatuan keduannya datang pergi berganti setiap era, setiap zaman seiring perjalanan usia negeri. Oleh karenanya NU mendedikasikan dirinya menjadi “anak bangsa” yang harus setia merawat harmoni bangunan NKRI.

Indonesia hari ini adalah Indinesia yang sedang bergairah memasuki peradaban teknologi informasi, sebuah negeri yang hari ini disesaki ekspresi dan kehadiran generasi milenial, generasi yang lahir di era 80 an hingga 90 an yang secara demografi sedang memastikan segera menggesar dan mendominasi karakter bangsa. Generasi ini dicirikan dengan berbagai karakter, salah satunya, generasi milineal mensyaratkan memiliki akun sosial sebagai alat komunikasi dan pusat informasi serta merosotnya ketertarikan membaca secara konvensional.

Melihat Indonesia hari ini setidaknya tidak sekadar menatapi keragaman yang tidak saja unik tetapi juga sedang -terus menerus- kembali diuji tingkat kelenturannya menghadapi keniscayaan zaman yang terus berubah.

NU sebagai penjaga harmoni kembali harus mengaktualusasikan dan merefresh karakter wasothiyahnya melalui prinsip prinsip tawasuth, tawazun, tasamuh dan itidal, pada satu sisi dan menguji kembali manhaj atau paradigma aswaja annahdiyah dalam menselaraskan keniscayaan hadirnya peradaban baru, yakni peradaban teknologi informasi, Indonesia milenial.

Pada sisi lain, secara organisatoris, gerakan (harokah) NU harus memiliki kesanggupan untuk memperbaharui strategi, menjemput keniscayaan zaman yang terus berubah. Sebagai jamiyyah diniyah wal ijtimaiyyah tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode dan cara cara lama, mengingat corak, karakter dan orientasi umat juga terus berubah.

Menjadi niscaya, jamiyyah NU pada semua level untuk menjadikan momentum harlah tahun ini untuk sesegera “melek jaman” menyadari hari ini jamiyyah yang kita urus sedang memasuki peradanan teknologi informasi, yang mensyaratkan serba cepat serba up to date, sekaligus serba terukur. tidak boleh lagi corak kelenturan justru menjadi dalih “berlambat lambat”, tersamar dan tak terukur, dalam menggerakan organisasi.

Pemanfaatan teknologi informasi harus linier atau sebangun dengan upaya meningkatkan kemaslahatan kehadiran jamiyyah NU dalam kerangka islakhul ummah, upaya perbaikan kualitas hidup umat pada semua sektor kehidupan, dan pada kerangka tugas yang lebih besar NU harus hadir terdepan memasuki dunia baru ini demi menjaga tetap tegak utuhnya NKRI.

Selamat HARLAH NU ke 92

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button