Peran MUI dalam Menangkal Paham Radikal-Terorisme
Peran MUI dalam Menangkal Paham Radikal-Terorisme[1]
Oleh : Dr. KH. Khairuddin Tahmid, MH
Ketua Umum MUI Lampung
Munculnya paham radikal-terorisme akhir-akhir ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pemimpin di Indonesia, termasuk para penegak hukum dan para ulama. Faham radikal-terorisme terbukti mengancam keamanan dan kedamaian masyarakat serta membawa dampak buruk bagi perwajahan umat Islam, karena dilakukan oleh sekelompok orang beragama Islam yang salah memahami ajaran agama;
Sejatinya, faham radikal-terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apapun, karena setiap agama pasti mengajak kepada kebaikan. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa fakta di lapangan menunjukkan aktifitas terorisme yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh sekelompok orang beragama Islam dilandasi oleh radikalisme politik dan pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama. Faham radikalisme; aliran/faham yang menginginkan perubahan dengan cara kekerasan/drastis. Bentuk radikalisme ada dua, pertama, radikalisme yg masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih diperbincangkan, yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Kedua, radikalisme telah melakukan upaya nyata dalam mencapai tujuan utamanya baik pada ranah sosial-politik dan agama. Aksi terorisme masuk dalam kategori ini. Faham radikal, setidaknya memiliki tipologi sbb, (1) Radikal gagasan, yaitu kelompok yg secara gagasan/ide radikal, namun tdk terlibat dlm aksi kekerasan, (2) radikal milisi, yaitu kelompok radikal dlm bentuk milisi yg terlibat dlm konflik komunal seperti di Poso dan Ambon, (3) radikal separatis, yaitu kelompok radikal yg mengusung misi-misi separatisme (pemisahan dari NKRI), (4) radikal non-terorisme/radikal premanisme, yaitu kelompok radikal dlm bentuk residivisme, gangsterisme, dan vandalisme dan (5) radikal terorisme, yaitu kelompok radikal yg mengusung gagasan idiologi keagamaan dan melakukakan aksi terorisme. Khusus terkait faham radikal-terorisme dapat dimaknai setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan / ancaman yang menimbulkan suasana teror / rasa takut terhadap orang secara meluas/menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan / hilangnya nyawa / harta benda / mengakibatkan kerusakan/kekacauan terhadap objek vital yang strategis / lingkungan hidup / fasilitas publik / fasilitas internasional. (Pasal 6 Perppu No. 1 Tahun 2002). Terorisme merupakan kejahatan kriminal; kejahatan kemanusian dan kejahatan peradaban. Lazimnya aksi tersebut dilakukan dengan sengaja, menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan menimbulkan korban secara massal, baik dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa atau fasilitas publik;
Majelis Ulama Indonesia melalui forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2003 menetapkan fatwa tentang terorisme. Fatwa tersebut menyatakan bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif). Sedangkan jihad menurut keputusan Ijtima’ Ulama mengandung dua pengertian : pertama, segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb. Dan kedua, segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah). Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa perbedaan antara jihad dan terorisme adalah sebagai berikut, pertama, Jihad sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan. Tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzholimi. Dan dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Sedangkan kedua, terorisme sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis/chaos (faudha). Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain. Dan dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Oleh karena itu fatwa MUI menyatakan bahwa hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara. Sedangkan hukum melakukan jihad adalah wajib. Tindakan terorisme dengan mengatasnamakan jihad untuk melegalkan tindakan kekerasan yang dilakukan tidaklah dibenarkan agama. Jihad ada syarat dan batasan yang harus dipenuhi, misalnya dilakukan hanya untuk membela diri dari serangan musuh, dilakukan di medan perang, dan dilakukan untuk tujuan kebaikan yakni menciptakan suasana yang aman dan damai. Tindakan terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia sama sekali tidak memenuhi syarat dan batasan tersebut, karenanya tidak bisa dikategorikan sebagai jihad. Fatwa MUI tentang terorisme diharapkan dapat menjadi panduan umat Islam di Indonesia dalam memandang tindakan terorisme dan membentengi umat Islam yang awam dari ajakan dan perangkap kelompok teroris yang terus aktif merekrut anggota baru. Fatwa ini sangat penting karena diputuskan dalam forum Ijtima’ Ulama se Indonesia yang dihadiri oleh pimpinan komisi fatwa MUI provinsi se Indonesia, pimpinan Ormas Islam se Indonesia, perwakilan pondok pesantren se Indonesia, perwakilan fakultas syariah Perguruan Tinggi se Indonesia, dan para tokoh serta cendekiawan muslim. Fatwa ini penting diketahui oleh sebanyak mungkin umat Islam, sebagai langkah preventif untuk membentengi umat Islam yang awam agar tidak terjerembab dalam ajakan para pelaku teror. Penggunaan media yang bermacam-macam untuk sosialisasi fatwa tersebut dipandang penting, agar lebih mendekatkan pemahaman umat terhadap fatwa tersebut. Khusus untuk kalangan muda dan remaja perlu dibuat media khusus dan menggunakan cara-cara khusus agar dapat mendekatkan fatwa tersebut kepada mereka;
- Beberapa faktor yang menjadi peyebab munculnya faham radikal-terorisme adalah, (1) wawasan agama yang sempit dan penyalahgunaan simbol keagamaan, (2) lingkungan yg tdk kondusif terkait kesejahteraan dan keadilan, (3) prilaku tdk adil oleh kelompok atau negara terhadap kelompok tertentu, (4) kebebasan dan dominasi media/pers yang tidak terkontrol, (5) faktor pemicu munculnya faham radikal-terorisme tdk disebabkan faktor tunggal, tp multi faktor. Dari berbagai bentuk radikalisme & terorisme itu, setidaknya, dibedakan menjadi dua, yaitu pertama aspek motifnya, dan kedua aspek cara/metodenya. Selain itu, ada sejumlah faktor spesifik, diantaranya, pertama, memiliki sikap keras dan keinginan utk merubah idiologi negara yg dianggap tdk sejalan, tanpa kompromi, kedua, memaksakan satu model kebenaran agama atau tafsir sesuai dg pahamnya, dan menutup tafsir dari kelompok yg berbeda, dan ketiga, memiliki sikap ekslusivisme, intoleransi, fanatisme dan militansi tekstual, fanatisme aliran, anti dialog, dan reaktif revolusioner.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengeleminir atau mencegah berkembangnya faham radikal-terorisme;
- Membumikan ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengakui keragaman manusia merupakan realitas objektif yg tdk dpt di tolak dan dihilangkan. Dalam bahasa lain membumikan fikroh Islam Wasathiyah atau Islam moderat, Islam tengah.
- Islam wasathiyah identik dengan kaum Muslimin yang disebut sebagai ‘ummatan washatan’ (Qur’an 2:143). Umat seperti inilah yang dapat dan mampu menjadi saksi kebenaran bagi manusia lain. ummatan washatan adalah umat yang selalu menjaga keseimbangan; tidak terjerumus ke ekstrimisme kiri atau kanan, yang dapat mendorong kepada tindakan kekerasan.
- Islam wasathiyah sejatinya ajaran ulama nusantara yg selama ini dianut dan diamalkan oleh umat Islam di Namun setelah terjadinya revolusi teknologi informasi, di mana semua faham keagamaan bisa diakses dengan mudah dan bebas oleh masy, mulailah ajaran keagamaan yg awalnya tdk dikenal di Indonesia dan berkembang di negara lain, mulai diajarkan di Indonesia, termasuk ajaran keagamaan yang radikal yg bisa membimbing pemeluknya melakukan tindakan teror. Karena itu merupakan hal yg sangat penting utk mengembalikan umat Islam kepada ajaran Islam bermajuan dan jg Islam nusantara, yakni dg mengembalikan pemahaman Islam wasathiyah;
- Prinsip dasar Islam Wasathiyah adalah pertama, santun, tdk keras dan tdk radikal (layyinan la fadzdzon wala gholidzon). Kedua, kesukarelaan, tdk memaksa & tdk mengintimidasi (tathowwu’iyyan la ikrohan wala ijbaron). Ketiga, tolerans, tdk egois dan tdk fanatis (tasamuhiyyan la ananiyyan wala ta’ashibiyyan). Keempat, saling mencintai, tdl saling bermusuhan dan membenci (tawadhudiyyan la takhosumiyyan wala tabaghudiyyan).
- Islam memandang keragaman dan kemajemukan sebagai
- Konflik dan ketegangan antar-umat beragama tidak murni disebabkan oleh faktor agama, tetapi faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian dikaitkan dengan agama. Sedangkan yang terkait dengan persoalan agama, di samping karena munculnya sikap keagamaan secara radikal dan in-toleran pada sebagian kecil kelompok agama, juga dipicu oleh persoalan pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama serta adanya penodaan agama;
Metoda pencegahannya melalui;
- Peran institusi keagamaan (ulama), institusi pendidikan (dasar, menengah, atas dan tinggi, agama & umum, swasta & negeri, formal & non formal) dan institusi-institusi kaderisisasi, eleman masyarakat lainnya melakukan deradikalisasi dengan cara counter radikalisasi melalui counter pandangan, pemikiran (dari sikap yang keras, anti NKRI menjadi toleran, menghargai perbedaan pendapat, demokratis, moderat, pluralis, memahami sesuatu tidak hitam putih dan menggunakan pendekatan simbiotik/intersection dalam memahami relasi agama dan negara);
- Deradikalisasi dengan pendekatan multidisipliner, melibatkan multipihak, dilakukan dengan jejaring berlapis dan integratif;
- Pendekatan dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme dilakukan dengan cara; pertama, gerakan kultural, persuasif melalui pendekatan pencegahan, perlindungan dan deradikalisasi; kedua, gerakan represif melalui pendekatan politik dan hukum dengan membuat peraturan perundang-undangan dan dengan mengimplementasikan penegakannya.
Bandar Lampung, 30 September 2017
[1]Bahan ini disampaikan dalam Weekend Discussion, di Studio KOMPAS TV Lampung, 30 September 2017, pukul 13.00-14.00.