Al-Qurˊan maupun al-hadis yang berkaitan dengan tolong-menolong, mencerminkan salah satu dasar adanya bantuan hukum. Bantuan hukum dalam istilah literatur hukum Islam disebut dengan al-muhāmy (المُحَامِى)yang berasal dari kata حَامَى)yang berarti membela, mempertahankan, melindungi).[1] Hal tersebut dikarenakan istilah bantuan hukum yang terkait dengan profesi advokat. Makna al-muhāmy dalam hukum Islam setara dengan pengacara (lawyer).[2] Jika dilihat dari konteks sejarah hukum Islam, istilah al-muhāmy juga dekat dengan peran kalangan penegak hukum pada zaman awal perkembangan hukum Islam, yaitu hakam, muftī, dan juru damai (mushālaih ‘alaih).[3] Selain kata al-muhāmy, bantuan hukum juga dikonotasikan dengan wakālah. Wakālah (الوَكَالَة)merupakan pemberian kuasa dari seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang diperkenankan oleh syariat.[4] Wakālah secara bahasa bermakna الَتَفْوِيْض(penyerahan), juga dapat bermakna pemeliharaan seperti dalam surat Ali Imrān ayat 173.
Sifat wakālah yang mewakili urusan orang lain, identik dengan kegiatan advokat dalam melakukan perwakilan kepada seseorang untuk membantu menyelesaikan sengketa, terutama dalam proses peradilan. Pada kenyataannya, tidak semua orang memilki kompetensi atau kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu yang berkaitan dengan kehidupannya. Manusia dalam menyelesaikan urusannya sendiri terkadang membutuhkan keterlibatan pihak lain dalam membantu menyelesaikannya. Bantuan hukum dalam Islam dapat disebut sebagai jasa hukum yang diberikan untuk menegakkan hukum dan keadilan oleh seorang ahli hukum (pengacara) dalam menyelesaikan perkara klien, baik di luar maupun di pengadilan. Bantuan hukum dalam hukum Islam tidak sesederhana seperti dipahami dalam konteks Barat, yaitu jasa hukum cuma-cuma (prodeo), melainkan seseorang yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan.[5]
Seseorang yang memberikan bantuan hukum merupakan seseorang yang diberi hak oleh penerima bantuan hukum untuk membantunya dalam menyelesaikan urusan/sengketanya. Sebagai seseorang yang diberi kepercayaan untuk mewakili, tugasnya akan selesai jika:
- Wakīl atau orang yang mewakilkan meninggal dunia atau gila
- Pekerjaan yang diinginkan telah selesai
- Pemutusan akad wakālah
- Wakīl mengundurkan diri
- Urusan yang diwakilkan bukan lagi hak orang yang mewakilkan.[6]
Adapun syarat-syarat wakīl (yang mewakili), adalah sebagai berikut:
- Cakap hukum,
- Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
- Wakīl adalah orang yang diberi amanat.[7]
Wakālah merupakan salah satu akad yang dapat diaplikasikan ke berbagai bidang, termasuk bidang hukum. Bantuan hukum (wakālah) pada dasarnya ialah untuk membantu seseorang dalam menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi, baik untuk membantu perbuatan tertentu atau masalah hukum. Perwakilan pada bidang hukum dalam arti sempit bertujuan memberikan kuasa kepada orang lain untuk menyelesaikan urusan-urusan hukum.[8]
Bantuan hukum dalam hukum Islam berasal dari teori persamaan hak hukum manusia yang didasarkan pada teori kehormatan manusia (al-fitrah). Secara alami dan hakiki (fitrah) setiap orang memiliki hak untuk bebas dalam harkat dan martabat. Teori tersebut dikemukakan oleh al-Maududi dalam human right in Islam bahwa secara fitrah setiap orang terlahir dalam keadaan bebas dan sama dalam harkat dan martabat (all human beings are born free and equal in dignity and right).[9] Bantuan hukum dalam hukum Islam tidak sesederhana seperti dipahami dalam konteks Barat, yaitu jasa hukum cuma-cuma (prodeo), melainkan seseorang yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan.
Menyelesaikan perkara bukan semudah membalikkan telapak tangan. Orang yang berurusan dengan hukum namun tidak memahami hukum akan sangat kesulitan sehingga adanya bantuan hukum akan dapat memenuhi kebutuhannya. Kemașlahatan bagi manusia yang dipenuhi oleh tujuan dari bantuan hukum tersebut meliputi kebutuhan ḑaruriyyat dan kebutuhan hajiyyat. Pemberi bantuan hukum merupakan kebutuhan hajiyyat dikarenakan tidak semua orang memiliki kebutuhan akan bantuan hukum dari lembaga tersebut, seperti dalam faktanya, masyarakat hanya membutuhkan lembaga tersebut jika sedang mengalami masalah hukum. Namun, kebutuhan akan bantuan hukum merupaka kebutuhan ḑaruriyyat, terutama ketika terjadi masalah hukum. Berdasarkan tujuan dari bantuan hukum tersebut, maka dapat disimpulkan meliputi:
- mewujudkan kebutuhan ḑarurriyat manusia
- mengaplikasikan prinsip tolong-menolong secara universal
- membantu seseorang dalam menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi
- membantu orang yang dizalimi dan mencegah orang yang bertindak zalim
Bantuan hukum yang diperoleh dalam menyelesaikan perkara oleh penerima bantuan hukum merupakan mașlahah ḑaruriyyat bagi mereka. Pelaksanaan teknis dalam pemberian bantuan hukum Islam dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara itu sendiri. Negara Indonesia menganut trikotomi sistem hukum yaitu hukum Islam, hukum barat, dan hukum adat, maka sistem hukum yang paling dominan diterapkan disuatu negara mempengaruhi pelaksanaan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat khususnya bantuan hukum dalam Islam
Berbagai penyelesaian perkara yang ditempuh, tetap membutuhkan bantuan hukum. Penyelesaian perkara baik litigasi maupun non litigasi merupakan sarana akan kebutuhan akses setiap warga negara atas keadilan dan kesamaan di hadapan hukum yang merupakan jaminan dari negara Indonesia. Hukum yang ada tersebut tidak akan berjalan dan berlaku dengan sendirinya. Pembelaan yang diperoleh melalui bantuan hukum merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar bagi setiap orang yang meliputi berbagai aspek dalam memperoleh keadilan. Melaksanakan dan memelihara keadilan di bumi merupakan prasyarat bagi kebahagiaan manusia. Hal tersebut merupakan sebab gagasan keadilan sedemikian kuat dalam al-Qurˊan.[10] Kehidupan yang adil, bebas konflik, dan masing-masing orang mendapatkan haknya merupakan dambaan setiap manusia. Kondisi kehidupan masyarakat tersebut akan terwujud dengan terlaksananya bantuan hukum dengan baik di tengah masyarakat.[11]
Penulis | Anik Khoiriyah / Alumni Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung |
Editor | – |
Refrensi
[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 300
[2] Didi Kusnadi, Bantuan Hukum dalam Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2012), h. 29- 32
[3] Ibid., h. 49
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 3, penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zainudin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 269
[5] Didi Kusnadi, Op.Cit., h. 51
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, Penerjemah Asep Sobari, dkk, (Jakart: Al-I’tishom, 2008), h. 404
[7] Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, hukum.unsrat.ac.id, (akses internet tanggal 28 Juni 2016, Jam 03.09 WIB).
[8] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, perjemah Joko Supomo, (Yokyakarta: Imperium, 2012), h. 178
[9] Didi Kusnadi, Op.Cit., h. 36
[10] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta: Pustaka LP3IS Indonesia, 2006), h. 17
[11] Ridwan HR, Fiqih Politik, (Jakarta: FH UI Press, 2007), h. 287
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.