Penentuan awal bulan Hijriyah sering menimbulkan polemik dikarenakan setiap golongan mempunyai keyakinan dan pemahaman tersendiri dalam menentukan awal bulan Hijriyah khususnya bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah yang ada hubungannya dengan kegiatan ibadah. Adanya perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriyah selain disebabkan adanya perbedaan metode dan sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan batas geografis keberlakuan rukyat atau disebut Approach/mathla’.
Approach secara harfiah di ambil dari bahasa Inggris yang mempunyai beberapa arti diantaranya adalah mendekatnya, datangnya, menjelang, tibanya, jalan, perdekatan, pendekatan. Sedangkan Mathla’ (مَطْلَعٌ) secara bahasa ialah berasal dari lafadz bahasa Arab yang berarti waktu atau tempat terbit, kata kerjanya (طَلَعَ) yaitu terbit, muncul, keluar. Kemudian lafadz (طَلَعَ) ini dapat dibentuk menjadi (مَطْلِعْ) dengan huruf lam yang di kasrah, dan (مَطْلَعٌ) dengan huruf lam yang di fathah yang memiliki makna yang berbeda. Kata yang pertama bermakna tempat terbit, sedangkan kata kedua bermakna waktu terbit. Sementara itu dalam istilah falak, mathla’ ialah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya hilal atau dengan kata lain mathla’ adalah batas geografis keberlakuan rukyat.
Perbedaan pendapat mengenai Approach atau mathla’ ini dapat mengakibatkan perdebatan dalam memulai puasa dan berhari raya. Kasus seperti ini banyak terjadi jika di Saudi Arabia telah dikabarkan berhasil melakukan rukyat. Sehingga di Indonesia akan terpengaruh dengan informasi hasil rukyat tersebut. Perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriyah disebabkan adanya perbedaan Approach/ikhtilaful mathla’ ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada Approach Global, dan ada yang berpedoman pada Approach Parsial.
Approach Global merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa tanggal satu bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh penduduk bumi, sebagai salah satu lambang kesatuan ummat Islam sedunia. Pada Approach Global ada dua sistem yang di tempuh yaitu sistem rukyat dan sistem nisbah ke kota Makkah. Sistem rukyat yang dimaksud ialah apabila ada orang yang berhasil melihat hilal, di negeri manapun dia melihatnya, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk seluruh penduduk bumi. Sedangkan sistem nisbah ke kota Makkah maksudnya ialah apabila kota Makkah sudah memulai awal bulan Hijriyah maka seluruh penduduk bumi juga ikut memulai awal bulan Hijriyah, misalnya 1 Syawal di kota Makkah jatuh pada hari ahad, maka hari ahad pula 1 Syawal bagi umat Islam di seluruh penduduk bumi.
Approach Parsial merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa kesatuan ummat Islam bukan hanya berdasarkan sama di dalam menetapkan awal bulan Hijriyah untuk seluruh permukaan planet bumi, melainkan bisa diwujudkan dengan adanya rasa saling menghargai di antara ummat Islam dengan tidak membedakan bangsa, suku, ras, dan budaya. Tidak pernah terjadi bahwa seluruh permukaan bumi ini berada pada hari yang sama. Bila di kota Makkah (39◦ 50’ Bujur Timur) sekarang pukul 16.00 kamis sore misalnya, maka di suatu tempat yang terletak pada 129◦ 50’ Bujur Timur sekarang pukul 22.00 malam Jum’at menurut kalender Hijriyah disebut sudah hari jum’at. Jadi di kota Makkah masih hari kamis sedangkan di tempat lain sudah hari jum’at. Berdasarkan kejadian tersebut, pendukung approach parsial berpendapat bahwa tanggal awal bulan Hijriyah tidak harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh permukaan planet bumi. Berdasarkan pertimbangan ini muncullah pikiran ketunggalan mathla’.Yaitu apabila hilal berhasil di rukyat pada suatu kota pada saat matahari terbenam maka sejak matahari terbenam hari itu sudah dinyatakan tanggal satu bulan baru bagi penduduk kota tersebut dan wilayah sebelah baratnya, tetapi tidak untuk disebelah timurnya. Pendapat ketunggalan mathla’ ini dipandang bersifat ilmiah karena sejalan dengan ilmu astronomi. Akan tetapi bila diterapkan secara konsekwen akan menimbulkan banyak masalah. Misalnya sebuah kota terbelah dua, bagian sebelah barat sudah berhari raya sedangkan sebelah timurnya belum. Dalam menetapkan garis zone time atau waktu daerah, garis itu dibelok-belokkan sehingga tidak membelah sebuah kota, untuk menghindarkan kesulitan, dengan pertimbangan tersebut maka banyak pendukung Approach Parsial didalam mengartikan ketunggalan mathla’ itu sebagai ketunggalan negara atau Mathla’ fi Wilayatul Hukmi.
Approach Wilayah Indonesia
Mengenai perbedaan batas geografis keberlakuan rukyat atau disebut Approach/mathla’ ada dua pendapat fuqaha. Jumhur ulama yakni Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat, puasa itu harus dalam satu waktu yang sama di antara kaum muslimin sekalipun mathla’ bulan berbeda. Sedangkan Syafi’iyyah berpendapat bahwa awal puasa dan hari raya bisa terjadi tidak sama mengingat adanya perbedaan mathla’ bulan diantara jarak yang jauh. Pemahaman terhadap mathla’ ada yang mengatakan bahwa hasil rukyat di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Hal ini dengan argumentasi bahwa khitab dari hadits-hadits hisab rukyat ditujukan pada seluruh umat Islam. Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas daerah kekuasaan. Namun para ahli fiqh tidak sepakat tentang argumen tersebut, karena hadits ini lebih menunjukan geografis orang yang melakukan rukyat, bukan untuk seluruh umat Islam. Atas dasar itu ada pendapat yang menyatakan bahwa apabila disuatu daerah sudah ada orang yang melihat hilal maka mereka wajib memulai puasa atau mengakhiri puasa. Sementara umat Islam di daerah lain menunggu sampai mereka melihat hilal, atau jika tidak hilal tidak terlihat, maka mereka menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban sampai 30 hari (istikmal).
Ukuran jauh dan dekatnya suatu wilayah ke wilayah yang lain, para ulama juga berbeda pendapat diantaranya. Pertama, dengan melihat adanya persamaan dan perbedaan mathla’. Kedua, masafah al-qasr, yaitu jarak yang diperbolehkan untuk melakukan shalat qashar. Ketiga, perbedaan iklim dan keempat, berdasarkan pada perbedaan sisi tinggi rendah geografis suatu wilayah. Namun, jumhur ulama menyatakan bahwa apabila suatu daerah dipimpin oleh satu kepala negara, walaupun berjauhan, apabila kepala negara telah mengumumkan dimulainya puasa dengan rukyat yang telah dilakukan di suatu daerah kekuasaannya maka seluruh umat Islam di negara tersebut wajib mengikuti penetapan pemerintah. Hal ini menurut mereka sejalan dengan kaidah fiqh yaitu “حُكْمُ الْحَاكِمِ إِلْزَامٌ وَ يَرْفَعُ الْخِلَافَ (keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan/kontroversi)”.
Wahbah al Zuhaily menjelaskan mengenai batasan jarak mathla’ bahwa satu mathla’ setara dengan 24 farsakh. Jika 1 farsakh 5544 m, maka jarak 1 mathla’ tersebut adalah 24 × 5544 = 133,056 km. Akan tetapi, jika 1 farsakh adalah 3 mil, maka jarak 1 mathla’ tersebut menjadi 1,6093 km × 3 × 24 = 115,8696 km. Akan tetapi dengan adanya konsep negara bangsa (nation state). Jarak tersebut dapat memunculkan berbagai masalah apabila keberlakuan hasil rukyat diberlakukan sejauh mathla’, maka sebuah negara yang memilki wilayah yang luas seperti Indonesia akan memiliki beberapa mathla’. Oleh karenanya Indonesia menjadikan batasan negara secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan rukyat atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam wilayah hukum (Mathla’ fi Wilayah Al-Hukmi). Apabila hilal terlihat dimanapun di wilayah Nusantara, dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Penduduk Indonesia melaksanakan puasa dan berhari raya secara serentak berdasarkan ketetapan pemerintah.
Wallahu A’lam bis Shawwab.
Penulis | Meri Fitri Yanti / Mahasiswa FSH IAIN Raden Intan Lampung |
Editor | – |
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.