Aktualisasi Spiritual Islam dalam Sosial Ekonomi Umat
Alhamdulillah, ibadah puasa ramadhan sebulan penuh telah dilaksanakan dan kini merayakan hari kemenangan dengan beridul fitri saling memaafkan. Nilai-nilai spiritualitas yang diperoleh selama bulan ramadhan sejatinya diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari secara universal, termasuk dalam bidang sosial ekonomi. Agar umat mengimplementasikan konsep Islam ke dalam kehidupan sosial ekonomi, maka al-Qur’an dan as-Sunnah dijadikan sebagai pedoman. segalanya harus bersumber dari Allah Swt, dilakukan dengan cara atau metode yang digariskan Allah Swt dan untuk mencari ridha Allah Swt. Bila tidak menemukan dalam kedua sumber (al-Qur’an dan as-Sunnah) tersebut, umat Muslim harus menggali, menganalogikan atau mempergunakan akalnya dengan berpedoman kepada prinsip maqashid asy-syariah.
Pandangan Islam, kegiatan sosial ekonomi pun berdimensi ibadah. Implikasinya bahwa semua aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan dengan niat ikhlas, akan menjadi ibadah dan mendapatkan pahala, baik aktivitasnya tersebut sukses maupun tidak. Berbeda dengan sosial ekonomi konvensional yang menjadikan kadar income/profit yang akan diraih, atau keinginan bekerja sebagai penggerak. Konsekuensinya, jika income berkurang atau keinginan bekerja sedikit, maka aktivitasnya akan berkurang atau berhenti.
Sebagai khalifatullah fil ardhi, manusia sejatinya menghormati seperangkat nilai dasar yang digariskan dan diajarkan oleh Islam, yaitu:
Pertama, Keadilan (Justice). Dalam ajaran Islam, keadilan harus ditegakkan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Ma’idah ayat 8: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Selain itu, Islam mengajarkan untuk menghormati hak orang lain. Berikan hak kepada pemiliknya tanpa melebih-lebihkan atau menguranginya. Tidak boleh berlaku zhalim, baik dalam mendapatkan maupun mengelola harta. Islam meletakkan beberapa nilai instrumental yang diperlukan oleh sistem ekonomi, antara lain: 1). Perintah untuk beramal saleh. Bagi setiap Muslim, hukumnya fardhu ‘ain mencari nafkah untuk kehidupan diri dan keluarga dengan bekerja yang baik sesuai kemampuan skill/profesi masing-masing yang produktif dan membawa manfaat bagi sesama; 2). Perintah zakat, infaq dan shadaqah. Orang kaya sejatinya berbagi kebahagiaan dengan berbagi sebagian kekayaannya kepada orang miskin. Aktivitas ini dapat menghapus kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin, dan dapat menciptakan redistribusi yang merata serta dapat membantu mengekang laju inflasi. Hal ini pun akan berimplikasi sosial memperkuat tali kasih sayang, sehingga kohesivitas antara anggota masyarakat akan semakin kuat dan solid; 3). Perintah untuk bekerjasama. Seseorang yang memiliki skill dan berkeahlian bisnis tapi tidak memiliki modal bisa menjalin kerjasama dengan seseorang yang memiliki modal tapi tidak berkeahlian. Sehingga kerjasama keduanya akan produktif dan menguntungkan kedua belah pihak.
Kedua, Kepemilikan (ownership). Dalam ajaran Islam, kepemilikan hakiki dari segala sesuatu adalah Allah Swt, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 107: “ …Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” Sedangkan kepemilikan oleh manusia adalah relatif. Oleh karenanya kepemilikan harus memiliki dua fungsi yakni fungsi individual dan fungsi sosial.
Ketiga, Persaudaraan dan kebersamaan. Dalam ajaran Islam manusia itu bersaudara. Mereka sama-sama diciptakan dari tanah, sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Al An’am ayat 2: “Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, ….”, Manusia sama-sama keturunan Adam, sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 1: “…Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, …”. Oleh karenanya, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan kebersamaan, termasuk dalam perilaku sosial ekonomi. Manusia tidak boleh berbuat anti sosial yang akan merusak dirinya dan orang lain (laa dharara wa laa dhirara), tetapi harus mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan kebersamaan antara sesama.
Untuk menciptakan keadilan, kepemilikan dan kebersamaan/kerjasama tersebut lebih produktif, tenteram, aman, damai dan kondusif, Allah Swt pun mengeluarkan larangan-larangan, seperti praktik ribawi, ihtikar (praktik menimbun barang dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang berlipat), iktinaz (praktik menarik uang dari peredaran dan menyimpannya dengan harapan mendapatkan keuntungan lebih besar), berbohong, menipu, ingkar janji, tidak jujur, mencuri, berjudi, mubadzir dan israf.
Kondisi riil dan realitas dalam kehidupan masyarakat saat ini masih banyak pelaku ekonomi yang beragama Islam khususnya, tapi praktik muamalahnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mereka masih banyak yang melakukan pelanggaran terhadap hak milik, praktik ribawi, tindak korupsi, dan lainnya. Masih banyak umat Islam yang belum memahami konsep ekonomi Islam. Sehingga mereka masih lebih memilih konsep ekonomi/bisnis konvensional dari pada syariah. Ini adalah tugas dan kewajiban semua umat Islam untuk melakukan edukasi dengan menjelaskan dan mensosialisasikan melalui berbagai cara dan media tentang konsep ekonomi Islam/syariah. Karena konsep syariah jelas lebih baik daripada konsep konvensional. Karena konsep syariah berorientasi pada kehidupan hasanah fiddunya wal akhirah.
Penulis | Dr.© Suryani M. Nur, S.Sos., MM Ketua MUI Kota Bandar Lampung |
Editor | Abdul Qodir Zaelani |